Anda di halaman 1dari 5

RENCANA PENELITIAN

PANDANGAN HUKUM PROGRESIF TERHADAP EKSISTENSI UU TINDAK


PIDANA KEKERASAN SEKSUAL DALAM UPAYA PENEGAKAN HAK
ASASI MANUSIA

TUGAS KELAS METODE PENELITIAN (G)


Disusun oleh:
Almira Salma Idellia
NIM. E0021036

UNIVERSITAS SEBELAS MARET


FAKULTAS HUKUM
2022
PANDANGAN HUKUM PROGRESIF TERHADAP EKSISTENSI UU TINDAK
PIDANA KEKERASAN SEKSUAL DALAM UPAYA PENEGAKAN HAK
ASASI MANUSIA

A. Latar Belakang

Kekerasan seksual merupakan problematika hukum yang belum terselesaikan


dengan baik di Indonesia. Kekerasan seksual dapat dikatan sebagai salah satu bentuk
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang memberikan dampak pada korbannya
berupa dampak fisik, psikiatrik, hingga sosial. Secara definisi, kekerasan seksual dapat
dipahami sebagai bentuk kekerasan berbasis gender yang tidak terbatas pada tindakan
seksual atau percobaan melakukan tindakan yang menyerang seksualitas seseorang
khususnya perempuan dan/atau anak dengan menggunakan paksaan, kekerasan,
dan/atau ancaman, penyalahgunaan kuasa, serta pemanfaatan situasi dimaan tindakan
tersebut dilakukan tanpa persetujuan korban (Ahsinin & Dkk, 2013: 13). Pasal 1
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap manusia memiliki
hak untuk mendapatkan keamanan, bebas dari penyiksaan, bebas dari perbuatan yang
merendahkan derajat manusia, perlindungan nama baik, serta jaminan hukum yang
setara (Mauna, 2005: 601). Dengan demikian, perbuatan kekerasan seksual tidak bisa
hanya dipandang sebagai penganiyaan atau pencabulan semata, melainkan juga
pelanggaran terhadap HAM.

Berdasarkan data yang dirilis Forum Pengada Layanan, Komisi Nasional


Perempuan, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
sepanjang tahun 2021 terdapat 27.335 kasus kekerasan seksual di Indonesia, khususnya
yang menimpa kaum perempuan (Wiryono, 2022). Hal tersebut menunjukkan bahwa
tindakan kekerasan seksual di Indonesia masih marak terjadi sehingga perlu adanya
penanganan khusus guna meminimalisir korban. Pemerintah sendiri telah mengesahkan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU
TPKS). Dalam aspek substansi, UU TPKS tidak hanya menghadirkan pengaturan
ancaman pidana bagi pelaku kekerasan seksual, melainkan mengatur juga mengenai
hak-hak korban (penanganan, perlindungan, dan pemulihan), kewajiban aparat penegak
hukum, pendampingan korban, hingga ganti rugi material dan/atau immaterial
(Hardianti et al., 2021: 41). Ketentuan-ketentuan tersebut diartikan sebagai upaya
negara dalam bersikap responsif terhadap problematika kekerasan seksual di Indonesia.

Memperbaiki dan membangun hukum untuk menyelesaikan problematika


kekerasan seksual merupakan bagian dari penegakan HAM. Berdasarkan Artikel 2
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, menyatakan setiap orang memiliki hak dan
kebebasan tanpa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Apabila ditinjau dari
pengalaman perempuan, tindakan kekerasan seksual tentu merupakan perbuatan yang
dilarang (Sadli, 2000: 1). Sebagai negara hukum, perlindungan HAM adalah aspek
esensial yang harus menjadi perhatian bagi pemerintah. Oleh karena itu, pengesahan
UU TPKS merupakan bentuk komitmen negara dalam melindungi perempuan dan anak
sebagaimana diamanahkan Pasal 45 sampai dengan Pasal 51 Undang-undang Hak Asasi
Manusia.

Hukum Progresif lahir karena kondisi penerapan hukum positif yang


memprihatinkan serta tidak mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi
masyarakat. Terdapat empat unsur penting pada teori Hukum Progresif, yakni (Erwin,
2019: 288):

1. Hukum diciptakan untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Hukum


harus dipandang sebagai suatu sarana bagi masyarakat untuk mencapai apa
yang diharapkan atau dicita-citakan, bukan manusia yang diatur dan dipaksa
oleh hukum dengan sedemikian rupa.
2. Hukum diciptakan untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
Hukum Progresif memandang bahwa substansi adalah bagian yang esesial
dari suatu hukum. Maka, bentuk, struktur, dan sistem hukum tidak boleh
menghambat hal-hal yang substansial.
3. Hukum harus berlandaskan pada nilai-nilai luhur, moralitas yang baik dalam
suatu bangsa. Hukum harus menjadikan moralitas sebagai modal utama
dalam berbudaya hukum dan tidak boleh terbelenggu pada bentuk, struktur,
dan sistem hukum.
4. Hukum harus bergerak secara progresif dan menolak status quo. Hukum
harus berempati pada persoalan masyarakat dengan mempertimbangkan ilmu
sosial. Dengan demikian, hukum bersifat tidak final dan terus mengikuti
perkembangan (adaptif) selama untuk kemanusiaan.

UU TPKS sejatinya dapat dikatakan sebagai progresivitas hukum karena


penyusunan dan pengesahannya yang didasari oleh adanya kekosongan hukum dan
positivisme hukum di Indonesia yang gagal memberikan perlindungan kepada korban
kekerasan seksual. Positivisme hukum membuat mayoritas hakim dalam memberikan
putusan hanya berorientasi pada peraturan perundang-undangan semata sebagai patokan
utama, sehingga penegakan hukum menjadi gersang dan kering dari moralitas (Asnawi,
2013: 4). Hal tersebut terlihat pada kasus Baiq Nuril sebagai korban pelecehan seksual
yang dilaporkan balik oleh pelaku menggunakan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pada tingkat kasasi, hakim memutuskan
Baiq Nuril bersalah karena telah menyebarkan dokumen elektronik berupa rekaman
yang dianggap bermuatan asusila, meskipun dalam rekaman tersebut Baiq Nuril
berkedudukan sebagai korban (Sulistyawan, 2018: 193). Baiq Nuril memang memenuhi
unsur-unsur dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE, sehingga putusan bersalah yang
dijatuhkan hakim tidak salah secara hukum. Akan tetapi, putusan tersebut menunjukan
bahwa hakim telah terpaku pada pandangan Positivisme, sehingga gagal menggali
unsur-unsur moralitas, HAM, dan keadilan bagi Baiq Nuril selaku korban pelecehan
seksual.

Tingginya kasus kekerasan seksual di Indonesia merupakan fenomena hukum


yang menarik dikaji secara ilmiah guna mengetahui perkembangan dan solusi bagi
permasalahan tersebut. UU TPKS memang menjadi angin segar bagi penanggulangan
kekerasan seksual di Indonesia, namun masih perlu dikaji apakah produk hukum
tersebut mampu menjawab kendala penanganan kekerasan seksual berupa kekosongan
hukum dan penegakan hukum yang terlalu positivistik. Artinya, UU TPKS diharapkan
dapat menghadirkan progresivitas hukum, yakni dengan mengakomodir instrumen
hukum yang memberikan keleluasaan kepada penegak hukum agar dapat menggali nilai
dan moralitas sehingga tidak terpaku pada teks undang-undang semata. Hal tersebut
perlu dilakukan agar perlindungan terhadap korban kekerasan seksual dapat
diselenggarakan secara komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA

Ahsinin, A., & Dkk. (2013). Buku Saku : Mencegah dan Menangani Kekerasan Seksual
terhadap Perepuan dan Anak di Lingkungan Pendidikan. Universitas Indonesia.

Asnawi, H. S. (2013). Membongkar Positivisme Hukum dalam KUHP Perspektif


Hukum Islam. NIZHAM, 1(1), 4.

Erwin, M. (2019). Filsafat Hukum. Rajawali Pers.

Hardianti, F. Y., Efendi, R., Lestari, P. D., & Puspoayu, E. S. (2021). Urgensi
Percepatan Pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
Seksual. Jurnal Suara Hukum, 3(1), 41. https://doi.org/10.26740/jsh.v3n1.p26-52

Mauna, B. (2005). Hukum Internasional Pengertian dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global. Alumni.

Sadli, S. (2000). Hak Asasi Perempuan adalah Hak Asasi Manusia. Alumni.

Sulistyawan, A. Y. (2018). Berhukum Secara Objektif Pada Kasus Baiq Nuril: Suatu
Telaah Filsafat Hukum Melalui Kajian Paradigmatik. Hukum Dan Masyarakat
Madani, 8(2), 193. https://doi.org/10.26623/humani.v8i2.1382

Wiryono, S. (2022). Laporan 3 Lembaga: Perempuan Korban Kekerasan Sepanjang


2021 Berjumlah 27.335 Orang. Kompas.Com2.
https://nasional.kompas.com/read/2022/09/05/21413971/laporan-3-lembaga-
perempuan-korban-kekerasan-sepanjang-2021-berjumlah-27335#:~:text=Dengan
rincian dari Kementerian PPPA,korban%2C%22 ucap Siti Mazuma.

Anda mungkin juga menyukai