Anda di halaman 1dari 9

BENTUK- BENTUK KERJA SAMA DALAM PENGOLAHAN LAHAN

PERTANIAN (MUZARA’AH, MUSAQAH)


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah FIQH

Dosen Pengampu: AM. Maqdum Biahmada, M.Pd

Disusun Oleh Kelompok 12

Ayu Fitri Wulandari (22105002)

Ridho Mauluda Zuhri (22105014)

JURUSAN SOSIOLOGI AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI

TAHUN 2023
0
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Agama Islam mengatur manusia dalam melaksanakan kerjasama, tanpa kerjasama maka tidak
akan dapat memenuhi semua keinginannya. Semua manusia diciptakan Allah dalam keadaan
lemah dan kekurangan, maka dari itu manusia memerlukan bantuan orang lain, manusia
butuh pertolongan yang datangnya dapat melalui kerjasama bagi hasil seperti bagi hasil
dalam bidang pertanian. Di antara masyarakat, ada yang mempunyai lahan pertanian, akan
tetapi tidak mampu mengerjakannya, sebaliknya ada juga di antara masyarakat yang tidak
memiliki lahan pertanian tetapi mempunyai kemampuan untuk mengelolahnya.

Dalam mu’amalat akad dalam bidang pertanian dikenal dengan istilah al-Muzara’ah dan al-
Musaqah. Pada hakikatnya pengertian kedua akad ini sama saja yakni perjanjian bagi hasil
antara pemilik lahan pertanian dengan penggarap,akan tetapi yang menjadi letak
perbedaannya adalah penyedia bibitnya. Muzara’ah yaitu paroan sawah atau ladang,
seperdua, sepertiga, bisa lebih bisa kurang, sedangkan benihnya dari pemilik tanah. Musaqah
adalah paroan sawah atau ladang, seperdua, sepertiga atau lebih atau kurang, sedangkan
benihnya dari petani penggarap.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Kerja Sama?

2. Apa saja Bentuk Kerja Sama dalam Pengolahan Lahan Pertanian?

C. Tujuan Pemateri

1. Untuk mengetahui pengertian kerja sama.

2. Untuk mengetahui bentuk kerja sama dalam pengolahan lahan pertanian.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kerja Sama / Syirkah

Syirkah menurut bahasa berarti al-ikhtilath yang artinya campur atau percampuran. Maksud
percampuran disini adalah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain
sehingga tidak mungkin untuk dibedakan. Menurut defenisi syariah, syirkah adalah transaksi
antara dua orang atau lebih yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha finanssial dengan
tujuan mencari keuntungan.

Menurut istilah yang dimaksud dengan syirkah, para fuqaha berbeda pendapat. Abdurrahman
al-Jaziri dalam Suhendi merangkum pendapat-pendapat tersebut antara lain, menurut Sayyid
Sabiq syirkah ialah akad antara dua orang berserikat pada pokok harta (modal) dan
keuntungan. Menurut Muhammad al-Syarbini al-Khatib yang dimaksud dengan Syirkah ialah
ketetapan hak pada suatu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang masyhur atau
diketahui. Menurut Syihab al-Din al-Qalyubi wa Umaira yang dimaksud dengan syirkah
adalah penetapan hak pada sesuatu bagi dua orang atau lebih. Imam Taqiyuddin Abi Bakr Ibn
Muhammad al-Husaini pula mengatakan bahwa syirkah ibarat penetapan suatu hak pada
sesuatu yang satu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang diketahui. Pendapat Imam
Hasbie Ash-Shidieqie bahwa yang dimaksud dengan syirkah ialah akad yang berlaku antara
dua orang atau lebih untuk ta’awun dalam bekerja pada suatu usaha dan membagi
keuntungannya. Sedangkan Idris Muhammad menyebutkan syirkah sama dengan syarikat
dagang yakni dua orang atau lebih sama-sama berjanji akan bekerja sama dalam dagang
dengan menyerahkan modal masing-masing di mana keuntungan dan kerugiannya
diperhitungkan menurut besar kecilnya modal masing-masing.

Setelah diketahui definisi-definisi syirkah menurut para ulama kiranya dapat dipahami bahwa
yang dimaksud dengan syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam berusaha,
yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama.1

B. Bentuk-Bentuk Kerja Sama Pengolahan Lahan Pertanian

a. Muzara’ah

1. Pengertian Muzara’ah

Secara etimologi, muzara'ah berarti kerjasama di bidang pertanian antara pihak pemilik tanah
dan petani penggarap. Secara terminologi, terdapat beberapa definisi muzara'ah yang
dikemukakan ulama figh.

a) Ulama Malikiyah, mendefinisikan muzara'ah sebagai perserikatan dalam pertanian.


1
Departemen pendidikan dan Kebudayaan , Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1990),
hlm. 428

2
b) Ulama Hanabilah, mendefinisikan muzara'ah merupakan penyerahan tanah pertanian
kepada petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua.

c) Ulama Safi'i, mendefinisikan muzara'ah merupakan pengelolaan tanah oleh petani dengan
imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah.

d) Ulama Hanafiyah, muzara'ah ialah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang
keluar dari bumi.2

Jadi, muzara,ah itu yaitu kerjasama antara pemilik tanah dan penggarap tanah dengan
perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama. sedangkan benih (bibit)
tanaman berasal dari pemilik tanah.

2. Rukun Muzara’ah dan Sifat Akadnya

Rukun muzara'ah menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul, yaitu berupa pernyataan pemilik
tanah, "Saya serahkan tanah ini kepada Anda untuk digarap dengan imbalan separuh dari
hasilnya"; dan pernyataan penggarap "Saya terima atau saya setuju". Sedangkan menurut
jumhur ulama, sebagai mana dalam akad- akad yang lain, rukun muzara'ah ada tiga, yaitu:

a) Aqid, yaitu pemilik tanah dan penggarap

b) Ma'uqu 'alaih atau objek akad, yaitu manfaat tanah dan pekerjaan penggarap.

c) Ijab dan qabul.3

Menurut Hanabilah, dalam akad muzara'ah tidak diperlukan qabul dengan perkataan,
melainkan cukup dengan penggarapan secara langsung atas tanah. Dengan demikian, qabul-
nya dengan perbuatan (bil fi'li). Adapun sifat akad muzara'ah menurut Hanafiah, sama
dengan akad syirkah yang lain, yaitu termasuk akad yang ghair lazim (tidak mengikat).
Menurut Malikiyah, apabila sudah dilakukan penanaman bibit maka akad menjadi lazim
(mengikat). Akan tetapi, menurut pendapat yang mu'tamad (kuat) di kalangan Malikiyah,
semua syirkah amwal hukumnya lazim dengan telah terjadinya ijab dan qabul. Sedangkan
menurut Hanabilah, muzara'ah dan musaqah merupakan akad yang ghair lazim (tidak
mengikat), yang bisa dibatalkan oleh masing-masing pihak dan batal karena meninggalnya
salah satu pihak.4

3. Syarat-Syarat Muzara’ah

a) Syarat yang menyangkut orang yang berakal: keduanya harus sudah baligh dan berakal.

b) Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehingga benih yang akan
ditanam itu jelas dan akan menghasilkan.

c) Syarat yang menyangkut tanah pertanian sebagai berikut:

2
Abdul Rahman, Fiqh Muamalat (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012) hlm 114
3
Ahmad Wardi Muslich, op.cit., hlm. 394
4
Ibid,395

3
1) Menurut adat di kalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan. Jika
tanah itu tandus dan kering sehingga tidak memungkinkan untuk dijadikan tanah pertanian,
maka akad muzaraah tidak sah.

2) Batas-batas tanah itu jelas.

3) Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila disyaratkan bahwa
pemilik tanah ikut mengelolah pertanian itu maka akad muzaraah tidak sah.

d) Syarat yang menyangkut dengan hasil panen sebagai berikut:

1) Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.

2) Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh ada pengkhususan.

3) Pembagian hasil penen itu ditentukan: setengah, sepertiga, atau seperempat, sejak dari
awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan di kemudian hari, dan penentuannya tidak
boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak,seperti satu kwintal untuk pekerja, atau satu
karung, karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh di bawah itu atau dapat juga jauh
melampaui jumlah itu.

e) Syarat yang menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dalam akad sejak semula,
karena akad muzara‟ah mengandung makna akad al-ijarah (sewa-menyewa atau upah-
mengupah) dengan imbalan sebagian hasil panen. Oleh sebab itu, jangka waktunya harus
jelas. Untuk penentuan jangka waktu ini biasanya disesuaikan dengan adat setempat.5

B. Musaqah

Makna Musaqah

Secara bahasa musaqah berasal dari kata Saqa, arti kata tersebut adalah as-Saqyyang
dimaknai dengan penyiraman atau pengairan untuk mendapatkan kemaslahatan dan
memperoleh imbalan tertentu dari hasil lahan yang dikelola. 6Dalam literasi lain, musaqah
diartikan dengan memberikan hasil dari pepohonan kepada orang yang merawat pohon
tersebut dari bagian buahnya.7

Menurut syara'musaqah adalah menyerahkan pada orang yang merawat, menyiram dan
menjanjikan bila pohon yang diserahkan untuk dirawat telah siap panen dan diambil
manfaatnya sebagai sebagian dari imbalan pengelolaan.

5
Abdul Rahman DKK, op.cit hlm. 116-117
6
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Jakarta: Pustaka Progresif,
2002), h. 642
7
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kreasindo Media Cita, 2013), h. 405

4
Berdasarkan hukum musaqah, petani bertanggungjawab pada lahan dan tanaman dengan
menyiram dan memeliharanya. Petani penggarap diberi imbalan atas kerja kerasnya dengan
mendapatkan persentase tertentu dari hasil panennya.8

Menurut Mazhab Malikiyah, musaqah dikategorikan dalam 5 macam, yakni :

a.Pohon yang ditanam harus kuat akarnya, dapat berbuah, dapat dipanen, dan pohon
bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama, contohnya anggur dan zaitun.

b.Pohon yang ditanam memiliki akar tetap namun tidak dapat berbuah, contohnya kayu
jati, kayu mahoni, dll.

c.Pohon yang ditanam tidak memiliki akar yang kuat namun memiliki buah untuk dipanen.

d.Pohon yang ditanam tidak memiliki akar yang kuat dan tidak memiliki buah untuk
dipanen namun mempunyai bunga yang dapat dimanfaatkan, contohnya bunga melati,
mawar, anggrek dan lain lain.

e.Pohon yang hanya diambil kehijauan dan keindahannya untuk dimanfaatkan sebagai
tanaman hias.

Segala bentuk hasil dari petani penggarap adalah hak untuk kedua belah pihak yang
dibagi sesuai kesepakatan. Akad musaqah tidak sama dengan pekerja kebun yang digaji
uang dari merawat tanaman, tetapi imbalan yang diterimanya dari hasil pengelolaan
tanaman dari akad musaqahyang ukurannya sudah pasti.9

BAB III
8
Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah dari Teori ke Praktik,(Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 100
9
Rahmat Hidayat Nasution, Filsafat Hukum Islam dan Maqashid Syariah, (Jakarta: Kencana, 2020), h. 81

5
PENUTUP
A. Kesimpulan

muzara’ah adalah suatu kerjasama bagi hasil pertanian antara pemilik tanah dengan petani
penggarap dimana petani mengolah tanah dan menanaminya sampai waktu panen tiba.
Sedangkan pemilik tanah diharuskan menyediakan bibit untuk ditanam. Adapun
musaqah adalah pemberian hak dari pemilik perkebunan kepada pengelola lahan yang
didalamnya sudah terdapat objek untuk dirawat, diairi dan dipanen contohnya seperti
tanaman berbuah. Hasil dari pepohonan tersebut harus dibagi sebagai imbalan kepada orang
yang merawat pohon tersebut dalam persentase bagian tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

6
Departemen pendidikan dan Kebudayaan , Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai
Pustaka, 1990), hlm. 428

Abdul Rahman, Fiqh Muamalat (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012) hlm 114

Ahmad Wardi Muslich, op.cit., hlm. 394

Abdul Rahman DKK, op.cit hlm. 116-117

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Jakarta:


Pustaka Progresif, 2002), h. 642

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kreasindo Media Cita, 2013), h. 405

Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah dari Teori ke Praktik,(Jakarta: Gema Insani,
2001), h. 100

Rahmat Hidayat Nasution, Filsafat Hukum Islam dan Maqashid Syariah, (Jakarta: Kencana,
2020), h. 81

Anda mungkin juga menyukai