Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

ADMINISTRASI PUBLIK
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Pancasila
Dosen Pengampu : M. Tarom, S.P., M. Si

Disusun oleh.
Fasya Dinda O. P (220440121069)

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS APRIL

2022
Kata pengantar
Alhamdulillah, puji dan syukur tim penulis panjatkan kehadirat Allah Ta’ala. atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul, “Administrasi Publik” dapat kami selesaikan dengan baik.
Tim penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi. Begitu pula atas
limpahan kesehatan dan kesempatan yang Allah SWT karuniai kepada kami sehingga makalah ini dapat
kami susun melalui beberapa sumber yakni melalui kajian pustaka maupun melalui media internet.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kami
semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas makalah ini. Kepada kedua orang tua kami yang telah
memberikan banyak kontribusi bagi kami, dosen pembimbing kami, dan juga kepada teman-teman
seperjuangan yang membantu kami dalam berbagai hal. Harapan kami, informasi dan materi yang
terdapat dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Tiada yang sempurna di dunia, melainkan
Allah SWT. Tuhan Yang Maha Sempurna, karena itu kami memohon kritik dan saran yang membangun
bagi perbaikan makalah kami selanjutnya.
Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, atau pun adanya
ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, kami mohon maaf. Tim penulis menerima
kritik dan saran seluas-luasnya dari pembaca agar bisa membuat karya makalah yang lebih baik pada
kesempatan berikutnya.
Daftar Isi
Daftar Isi
Kata pengantar............................................................................................................................................ 2
Daftar Isi ...................................................................................................................................................... 3
BAB I ............................................................................................................................................................ 3
Pendahuluan ............................................................................................................................................ 3
Latar Belakang .................................................................................................................................... 3
Tujuan .................................................................................................................................................. 3
BAB II .......................................................................................................................................................... 4
Pembahasan ............................................................................................................................................. 4
BAB III......................................................................................................................................................... 9
Penutupan ................................................................................................................................................ 9

BAB I
Pendahuluan
Latar Belakang
Administrasi sendiri pada dasarnya merupakan ilmu pengetahuan yang berkembang pada awal
abad ke-19. Dengan semakin berkembangnya zaman dan ilmu pengetahuan, administrasi pun juga ikut
berkembang hingga pada akhirnya banyak diaplikasikan untuk memenuhi kebutuhan di berbagai negara
di dunia.Dalam penggunaanya, administrasi sangat dibutuhkan oleh sebuah perusahaan atau lembaga
untuk dapat berdiri dan terus berkembang dengan membuat sumber daya serta pengelolaan yang baik.
Publik juga didefinisikan sebagai bukan pribadi, yang meliputi orang banyak, berkaitan dengan
atau mengenai suatu negara, bangsa, atau masyarakat yang tidak berafiliasi dengan pemerintahan bangsa
tersebut.Dalam bahasa Indonesia, penggunaan kata “publik” sering diganti dengan “umum”, misalnya
perusahaan umum dan perusahaan publik. Kesejahteraan adalah tujuan utama sektor publik dan bukan
untuk mencari laba.
Pengetahuan terhadap Administrasi dan publik adalah hal yang perlu diketahui setiap orang,
pengetahuan dasar setiap manusia terkandung pada dua hal itu.

Tujuan
Rumusan masalah :
1. Sejarah ilmu administrasi negara?
2. Bagaimana Perubahan Administrasi Negara Menjadi Administrasi Publik?
3. Kajian Administrasi Publik

Tujuan:
1. Mengetahui Sejarah Ilmu Administrasi Negara
2. Mengetahui Bagaimana perubaha Perubahan Administrasi Negara Menjadi Administrasi
4. Mengetahui Kajian Administrasi Publik
3.

BAB II
Pembahasan
1. Sejarah ilmu administrasi negara?
Ilmu Administrasi Negara lahir sejak Woodrow Wilson(1887), yang kemudian menjadi
presiden Amerika Serikat pada 1913-1921, menulis sebuah artikel yang berjudul “The Study of
Administration” yang dimuat di jurnalPolitical Science Quarterly. Kemunculan artikel itu sendiri
tidak lepas dari kegelisahan Wilson muda akan perlunya perubahan terhadap praktik tata
pemerintahan yang terjadi di Amerika Serikat pada waktu itu yang ditandai dengan meluasnya
praktik spoil system (sistem perkoncoan) yang menjurus pada terjadinya inefektivitasdan
inefisiensi dalam pengelolaan negara. Studi Ilmu Politik yang berkembang pada saat itu ternyata
tidak mampu memecahkan persoalan tersebut karena memang fokus kajian Ilmu Politik bukan
pada bagaimana mengelola pemerintahan dengan efektif dan efisien, melainkan lebih pada urusan
tentang sebuah konstitusi dan bagaimana keputusan-keputusan politik dirumuskan.

Woodrow Wilson
Menurut Wilson, Ilmuwan Politik lupa bahwa kenyataannya lebih sulit
mengimplementasikan konstitusi dengan baik dibanding dengan merumuskan konstitusi itu
sendiri. Sayangnya ilmu yang diperlukan untuk itu belum ada. Oleh karena itu, untuk dapat
mengimplementasikan konstitusi dengan baik maka diperlukan suatu ilmu yang kemudian disebut
Wilson sebagai Ilmu Administrasi tersebut. Ilmu yang oleh Wilson disebut ilmu administrasi
tersebut menekankan dua hal, yaitu perlunya efisiensi dalam mengelola pemerintahan dan
perlunya menerapkan merit system dengan memisahkan urusan politik dari urusan pelayanan
publik. Agar pemerintahan dapat dikelola secara efektif dan efisien, Wilson juga menganjurkan
diadopsinya prinsip-prinsip yang diterapkan oleh organisasi bisnis ―the field of administration is
the field of business.

Penjelasan ilmiah terhadap gagasan Wilson tersebut kemudian dilakukan oleh Frank J. Goodnow
yang menulis buku yang berjudul: Politics and Administration pada tahun 1900. Buku Goodnow
tersebut sering kali dirujuk oleh para ilmuwan administrasi negara sebagai "proklamasi‟ secara
resmi terhadap lahirnya Ilmu Administrasi Negara yang memisahkan diri dari induknya, yaitu
Ilmu Politik. Era ini juga sering disebut sebagai era paradigma dikotomi politik-administrasi.
Melalui paradigma ini, Ilmu Administrasi Negara mencoba mendefinisikan eksistensinya yang
berbeda dengan Ilmu Politik dengan ontologi, epistimologi dan aksiologi yang berbeda. Beberapa
tahun kemudian, sebuah buku yang secara sistematis menjelaskan apa sebenarnya Ilmu
Administrasi Negara lahir dengan dipublikasikannya buku Leonard D. White yang berjudul
Introduction to the Study of Public Administration pada 1926. Buku White yang mencoba
merumuskan sosok Ilmu Administrasi tersebut pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh berbagai
karya ilmuwan sebelumnya yang mencoba menyampaikan gagasan tentang bagaimana suatu
organisasi seharusnya dikelola secara efektif dan efisien, seperti Frederick Taylor (1912) dengan
karyanya yang berjudul Scientific Management, Henry Fayol (1916) dengan pemikirannya yang
dituangkan dalam monograf yang berjudul General and Industrial Management, W.F. Willoughby
(1918) dengan karyanya yang berjudul The Movement for Budgetary Reform in the State, dan
Max Weber (1946) dengan tulisannya yang berjudul Bureaucracy.

Era berikutnya merupakan periode di mana para ilmuwan administrasi negara berusaha
membangun body of knowledge ilmu ini dengan terbitnya berbagai artikel dan buku yang
mencoba menggali apa yang mereka sebut sebagai prinsip-pinsip administrasi yang universal.
Tonggak utama dari era ini tentu saja adalah munculnya artikel L. Gulick (1937) yang berjudul
Notes on the Theory of Organization di mana dia merumuskan akronim yang terkenal dengan
sebutan POSDCORDB (Planning, Organizing, Staffing, Directing, Co-ordinating, Reporting dan
Budgeting). Tidak dapat dimungkiri, upaya para ahli administrasi negara untuk mengembangkan
body of knowledge ilmu administrasi negara sangat dipengaruhi oleh ilmu manajemen. Prinsip-
prinsip administrasi sebagaimana dijelaskan oleh para ilmuwan tersebut pada dasarnya
merupakan prinsip-prinsip administrasi yang diadopsi dari administrasi bisnis yang menurut
mereka dapat juga diterapkan di organisasi pemerintah.

Perkembangan pergulatan pemikiran ilmuwan administrasi negara diwarnai sebuah era


pencarian jati diri Ilmu Administrasi Negara yang tidak pernah selesai. Kegamangan para
ilmuwan administrasi negara dalam meninggalkan induknya, yaitu Ilmu Politik, untuk
membangun eksistensinya secara mandiri bermula dari kegagalan mereka dalam merumuskan apa
yang mereka sebut sebagai prinsip-prinsip administrasi sebagai pilar pokok Ilmu Administrasi
Negara. Keruntuhan gagasan tentang prinsip-prinsip administrasi ditandai dengan terbitnya
tulisan Paul Applebey (1945) yang berjudul Government is Different. Dalam tulisannya tersebut
Applebey berargumen bahwa institusi pemerintah memiliki karakteristik yang berbeda dengan
institusi swastasehingga prinsip-prinsip administrasi yang diadopsi dari manajemen swasta tidak
serta merta dapat diadopsi dalam institusi pemerintah. Karya Herbert Simon (1946) yang berjudul
The Proverbs of Administration semakin memojokkan gagasan tentang prinsip-prinsip
administrasi yang terbukti lemah dan banyak aksiomanya yang keliru. Kenyataan yang demikian
membuat Ilmu Administrasi Negara mengalami "krisis identitas‟ dan mencoba menginduk
kembali ke Ilmu Politik. Namun demikian, hal ini tidak berlangsung lama ketika ilmuwan
administrasi negara mencoba menemukan kembali fokus dan lokus studi ini.

Kesadaran bahwa lingkungan pemerintahan dan bisniscenderung mengembangkan nilai,


tradisi dan kompleksitas yang berbeda mendorong perlunya merumuskan definisi yang jelas
tentang prinsip-prinsip administrasi yang gagal dikembangkan oleh para ilmuwan terdahulu.
Dwiyanto(2007) menjelaskan bahwa lembaga pemerintah mengembangkan nilai-nilai dan praktik
yang berbeda dengan yang berkembang di swasta (pasar) dan organisasi sukarela. Mekanisme
pasar bekerja karena dorongan untuk mencari laba, sementara lembaga pemerintah bekerja untuk
mengatur, melayani dan melindungi kepentingan publik. Karena karakteristik antara birokrasi
pemerintah dan organisasi swasta sangat berbeda, maka para ilmuwan dan praktisi administrasi
negara menyadari pentingnya mengembangkan teori dan pendekatan yang berbeda dengan yang
dikembangkan oleh para ilmuwan yang mengembangkan teori-teori administrasi bisnis. Dengan
kesadaran baru tersebut maka identitas Ilmu Administrasi Negara menjadi semakin jelas, yaitu
ilmuwan administrasi negara lebih menempatkan proses administrasi sebagai pusat perhatian
(fokus) dan lembaga pemerintah sebagai tempat praktik (lokus).

2. Bagaimana Perubahan Administrasi Negara Menjadi Administrasi Publik?


Sejarah tentang perubahan Ilmu Administrasi Negara masih terus berulang. Upaya
mendefinisikan diri Ilmu Administrasi Negara sebagai ilmu administrasi pemerintahan
sebagaimana dijelaskan sebelumnya ternyata tidak berlangsung lama. Dinamika lingkungan
administrasi negara yang sangat tinggi kemudian menimbulkan banyak pertanyaan tentang
relevansi keberadaan Ilmu Administrasi Negara sebagai administrasi pemerintahan. Gugatan
tersebut terutama ditujukan pada lokus Ilmu Administrasi Negara yang dirasa tidak memadai lagi.
Menurut Dwiyanto (2007) lembaga pemerintah dirasa terlalu sempit untuk menjadi lokus Ilmu
Administrasi Negara. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa lembaga pemerintahan tidak lagi
memonopoli peran yang selama ini secara tradisional menjadi otoritas pemerintah. Saat ini
semakin mudah ditemui berbagai lembaga non-pemerintah yang menjalankan misi dan fungsi
yang dulu menjadi monopoli pemerintah saja. Di sisi yang lain, organisasi birokrasi juga tidak
semata-mata memproduksi barang dan jasa publik, tetapi juga barang dan jasa privat. Pratikno
(2007) juga memberikan konstatasi yang sama. Saat ini negara banyak menghadapi pesaing-
pesaing baru yang siap menjalankan fungsi negara, terutama pelayanan publik, secara lebih
efektif. Selain pelayanan publik, dalam bidang pembangunan ekonomi dan sosial, negara juga
harus menegosiasikan kepentingannya dengan aktor-aktor yang lain, yaitu pelaku bisnis dan
kalangan civil society(masyarakat sipil). Secara lebih tegas, Miftah Thoha(2007) bahkan
mengatakan telah terjadi perubahan paradigma “ dari orientasi manajemen pemerintahan yang
serba negara menjadi berorientasi ke pasar (market). Menurut Thoha, pasar di sini secara politik
bisa dimaknai sebagai rakyat atau masyarakat (public). Fenomena menurunnya peran negara ini
merupakan arus balik dari apa yang disebut Grindle sebagai too much state, di mana negara pada
pertengahan 1980-an terlalu banyak melakukan intervensi yang berujung pada jeratan hutangluar
negeri, krisis fiskal, dan pemerintah yang terlalu sentralistis dan otoriter.
Dwiyanto (2007) menyebut setidaknya ada empat faktor yang menjadi sebab semakin
menurunnya dominasi peran negara, yaitu:

• Dinamika ekonomi, politik dan budaya yang membuat kemampuan pemerintah semakin
terbatas untuk dapat memenuhi semua tuntutan masyarakat;
• Globalisasi yang membutuhkan daya saing yang tinggi di berbagai sektor menuntut
makin dikuranginya peran negara melalui debirokratisasi dan deregulasi;
• Tuntutan demokratisasi mendorong semakin banyak munculnya organisasi
kemasyarakatan yang menuntut untuk dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan dan
implementasinya;
• munculnya fenomena hybrid organization yang merupakan perpaduan antara pemerintah
dan bisnis.
• Berbagai fenomena tersebut menimbulkan gugatan di antara para mahasiswa maupun
ilmuwan Ilmu Administrasi Negara: Apakah masih relevan menjadikan pemerintah
sebagai lokus studi Ilmu Administrasi Negara?

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa kata "negara‟ dalam Ilmu Administrasi Negara
menjadi terlalu sempit dan kurang relevan lagi untuk mewadahi dinamika Ilmu Administrasi
Negara di awal abad ke-21 yang semakin kompleks dan dinamis. Utomo (2007) menyebutkan
bahwa dalam perkembangan konsep Ilmu Administrasi Negara telah terjadi pergeseran titik tekan
dari negara yang semula diposisikan sebagai agen tunggal yang memiliki otoritas untuk
mengimplementasikan berbagai kebijakan publik menjadi hanya sebagai fasilitator bagi
masyarakat. Dengan demikian istilah public administration tidak tepat lagi untuk diterjemahkan
sebagai administrasi negara, melainkan lebih tepat jika diterjemahkan menjadi administrasi
publik. Sebab, makna kata ‟publik‟ di sini jauh lebih luas daripada kata ‟negara‟ (Majelis Guru
Besar dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara UGM, 2007: x). Publik di sini menunjukkan
keterlibatan institusi-institusi non-negara baik di sektor bisnis maupun civil society di dalam
pengadministrasian pemerintahan.

Konsekuensi dari perubahan makna public administrationsebagai administrasi publik di sini


adalah terjadinya pergeseran lokus Ilmu Administrasi Negara dari yang sebelumnya berlokus
pada birokrasi pemerintah menjadi berlokus pada organisasi publik, yaitu birokrasi pemerintah
dan juga organisasi-organisasi non-pemerintah yang terlibat menjalankan fungsi pemerintahan,
baik dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik maupun pembangunan ekonomi, sosial
maupun bidang-bidang pembangunan yang lain.

3. Sistem Administrasi Publik di Indonesia


4. Manajemen Publik
Dengan adanya perkembangan terakhir tersebut menjadikan Ilmu Administrasi Publik
memiliki lokus dan fokus yang lebih jelas. Lokus studi ini adalah organisasi publik, sementara
fokus perhatiannya adalah persoalan publik (public affairs) dan bagaimana persoalan tersebut
dipecahkan dengan instrumen kebijakan publik. Akan tetapi seiring berjalannya waktu,
kegelisahan ilmuwan administrasi publik tidak hanya berhenti sampai di sini. Buku Owen E.
Hughes (1998) yang berjudul Public Management and Administration merupakan pemikiran yang
memicu perlunya perubahan dalam mendefinisikan Ilmu Administrasi Publik.
Jika di masa-masa sebelumnya yang dipersoalkan adalah makna public pada public
administration yang kemudian bergeser dari administrasi negara menjadi administrasi publik,
Hughes memulai diskusi dengan menganjurkan untuk menggunakan
istilah manajemen publik daripada administrasi publik. Pemikiran Hughes tersebut memang tidak
dapat dipisahkan dari perkembangan paradigma Ilmu Administrasi Publik yang terjadi pada era
1990an yang mencoba memperbarui mekanisme pengelolaan birokrasi publik yang dikenal sangat
hirarkis, lamban, dan tidak efisien dengan mengadopsi prinsip-prinsip yang diterapkan pada
manajemen bisnis. Keluhan tentang tidak relevannya prinsip-prinsip birokrasi Weberian sudah
sering disampaikan.
Apa yang disampaikan oleh Al Gore sebagaimana dikutip oleh Hughes (1998: 3) tentang
buruknya sistem birokrasi yang bekerja atas dasar prinsip Old Public Administration barangkali
mewakili pemimpin negara yang lain:
[…] in today‘s world of rapid change, lightning-quick information technologies, tough
global competition, and demanding customers, large, top-down bureaucracies –public or
private—don‘t work very well.
Merespon persoalan tersebut, beberapa pemikir kemudian mengajukan gagasan mereka,
seperti: managerialism (Pollit, 1993), new public management (Hood, 1991), market-based
public administration (Lan, Zhioying & Rosenbloom, 1992), dan post-bureaucratic paradigm
(Barzelay, 1992). Namun yang paling fenomenal tentu saja pemikiran Osborne dan Gaebler
(1992) tentang entrepreneurial government yang ditulis dalam buku mereka yang menjadi best
seller, yaitu Reinventing Government. Gagasan mereka kemudian diadopsi secara luas di berbagai
negara setelah pemerintahan Clinton-Gore di Amerika Serikat mengadopsinya secara sukses.
Selain di Amerika, gagasan untuk mengembangkan paradigma public managerialism dalam
disiplin Ilmu Administrasi Publik juga terjadi di Eropa, terutama di Inggris ketika tekanan
terhadap keterbatasan anggaran bagi penyediaan layanan publik telah memaksa
pemerintahan Margaret Thacher untuk menerapkan berbagai upaya guna lebih mengefisienkan
pelayanan publik di Inggris. Rhodes (1991) menyerukan perlunya diterapkan semboyan “3Es”
atau economy, efficiency dan effectiveness agar pelayanan publik di Inggris menjadi lebih efisien.
Berbagai realitas sebagaimana digambarkan di atas membawa pada suatu cakrawala baru di
antara para ilmuwan administrasi negara untuk sampai pada suatu kesimpulan bahwa administrasi
publik yang berkonotasi sempit perlu diubah menjadi manajemen publik yang lebih memiliki
jangkauan yang lebih luas sebagaimana dikatakan oleh Hughes (1998: 4): It is argued here that
administration is a narrower and more limited function than management […]. Dalam
argumentasinya lebih lanjut, Hughes mengatakan bahwa menurut definisi kamus, kata
"manajemen‟ memiliki makna yang lebih luas dibandingkan "administrasi‟. Dari berbagai
definisi kamus yang ada (Oxford English Dictionary, Webster Dictionary dan Latin Dictionary)
dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa administrasi lebih dimaknai sebagai proses dan prosedur
yang harus dipatuhi oleh seorang administrator dalam menjalankan tugasnya untuk memberikan
pelayanan publik. Sedangkan manajemen memiliki arti lebih luas, yaitu tidak hanya sekadar
mengikuti prosedur, melainkan berkaitan juga dengan: pencapaian target dan tanggung jawab
bagi manajer untuk mencapai target-target yang telah ditetapkan.
Selain alasan tersebut, Hughes (1998: 6) juga menyebut semakin meluasnya penggunaan istilah
"manajemen‟ dan "manajer‟ di sektor publik. Sementara di sisi yang lain, penggunaan istilah
‟administrasi‟ justru mengalami penurunan. Di Indonesia sendiri, sejak pemerintahan Kolonial
Belanda berakhir, penggunaan istilah ‟administrasi‟ di dalam birokrasi pemerintah semakin
jarang digunakan. Kalaupun digunakan, istilah ‟administrasi‟ telah mengalami kemerosotan
makna sebagai konsep untuk menggambarkan pekerjaan ketik-mengetik atau sesuatu yang
berkaitan dengan pemenuhan prosedur surat-menyurat (cf. Utomo, 2007: 131). Apa yang terjadi
tersebut menunjukkan bahwa istilah ‟manajemen‟ memiliki makna lebih superior dibandingkan
istilah "administrasi‟. Oleh karena itu Hughes (1998: 6) kemudian mengatakan bahwa:
As part of the general process public administration‘ has clearly lost favor as a
description of the work carried out; the term manager‘ is more common, where once
administrators‘ was used.
Dukungan terhadap pendapat Hughes juga diberikan oleh Pollitt (1993: vii) yang
menyebutkan: formerly they were called administrators‘, principal officers‘, finance officers‘
atau assistant directors‘. Now, they are managers‘. Tentu saja, pentingnya perubahan dari
administrasi menjadi manajemen bukan hanya sekadar sebuah pergantian istilah. Perubahan
tersebut akan berimplikasi pada bangun teoretis yang perlu dikembangkan untuk mendukung
perubahan nama dari administrasi menjadi manajemen, misalnya menyangkut bagaimana
akuntabilitas disampaikan, hubungan eksternal, dan konsepsi tentang pemerintahan sendiri yang
juga akan turut berubah.
Konsekuensi dari perubahan nama "administrasi publik‟ ke "manajemen publik‟ secara
epistimologis juga berpengaruh terhadap cara bagaimana ilmuwan administrasi publik ke depan
mengembangkan ilmu ini. Jika selama ini ilmuwan administrasi publik lebih berkutat pada
diskusi yang bersifat filosofis tentang administrasi, standar etika dan norma bagi manajer publik
dalam menjalankan tugasnya, maka ke depan jika administrasi publik berubah menjadi
manajemen publik, orientasi keilmuan dari disiplin ini juga akan bergeser pada hal-hal yang lebih
empirikal tentang bagaimana mengembangkan keilmuan untuk membantu manajer publik
mencapai tujuan organisasi, bagaimana meningkatkan kemampuan manajerial mereka dan
bagaimana meningkatkan akuntabilitas para manajer publik tersebut di depan masyarakat. Untuk
itu di masa depan ilmuwan administrasi publik harus memahami:
1. semakin meningkatnya tekanan terhadap sektor publik untuk
melakukan restrukturisasi dan menyerahkan urusan kepada sektor swasta;
2. bagaimana membuat keputusan yang secara ekonomis menguntungkan dengan
mempelajari public choice theory, principal/agent theory dan transaction cost theory;
3. perubahan-perubahan lingkungan di sektor swasta seperti kompetisi yang semakin
meningkat dan globalisasi;
4. terjadinya perubahan teknologi informasi yang dapat membantu manajer publik untuk
menyelesaikan berbagai persoalan mereka sehingga ilmuwan manajemen publik ke depan
harus belajar perkembangan teknologi informasi untuk diadopsi menjadi e-government
Pemikiran untuk mengubah nama "administrasi‟ menjadi "manajemen‟ sebenarnya bukan
sesuatu yang aneh jika kita merujuk kembali pada gagasan awal yang dikembangkan oleh Wilson
(1887: 16) tentang Ilmu Administrasi yang Ia katakan sebagai berikut: This is why there should
be a science of administration which shall seek to straighten the paths of government, to make it
business less unbusinesslike. Namun demikian, tentu saja manajemen publik yang dikembangkan
oleh ilmuwan administrasi publik di masa mendatang jelas akan berbeda dengan manajemen
bisnis sebagaimana dikembangkan oleh ilmuwan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
BAB III
Penutupan
Kesimpulan
Secara sederhana, administrasi publik adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana
pengelolaan suatu organisasi publik. Kajian ini termasuk mengenai birokrasi; penyusunan,
pengimplementasian, dan pengevaluasian kebijakan publik; administrasi pembangunan; kepemerintahan
daerah; good governance, bahkan perkembangan saat ini telah melingkupi kepublikan (publicness) atau
yang biasa dikenal dengan nilai publik (public value).
Saran
Pengetahuan terhadap Administrasi Publik harus ditanamkan disemua sektor Pendidikan, karena
hal dasar meyangkut moral manusia dibahas pada hal ini, sehingga sebaiknya semua bidang harus bisa
menguasai Administrasi Publik

Anda mungkin juga menyukai