Identitas Etnik Dalam Komunikasi Politik
Identitas Etnik Dalam Komunikasi Politik
Ilyas Lampe
Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Tadulako Palu, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Tadulako Jl. Soekarno Hatta Km.9 Kampus Bumi Kaktus, Kelurahan Tondo, Palu
Kode Pos 94118 HP: 081342654249 / e-mail: balaula_lias@yahoo.com
Abstract
Abstrak
Identifikasi identitas etnik yang lazim dilakukan pada masyarakat multietnik senantiasa diarahkan
pada situasi dan konteks di mana seseorang berada. Dalam konteks politik, terutama pada lembaga
seperti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), identifikasi identitas etnik menjadi hal penting
dalam aktifitas politik. Identitas etnik adalah sesuatu yang problematik ketika dihadapkan dengan
komunikasi politik, terutama dalam sistem pemilu yang demokratis. Hal tersebut bisa menjadi pembeda
atau ko-identifikasi bagi pihak-pihak yang menggunakannya untuk tujuan meraih dukungan politik.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan dramaturgi dan etnik
situasional. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data wawancara mendalam, pengamatan
dan studi dokumentasi. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa atribut artifisial komunikasi politik anggota
DPRD Palu seperti pakaian yang digunakan, gaya hidup, kendaraan yang dimiliki dan gaya berkomunikasi
merupakan bentuk pengelolaan kesan (impression management) dalam panggung politik. Sementara
simbol-simbol identitas etnik yang ditemukan dalam komunikasi politik adalah, klan sebagai identitas,
bahasa daerah, logat dan adat istiadat. Beragam simbol tersebut kemudian melahirkan stigma pendatang
dan asli sebagai bentuk pembeda dan ko-identifikasi identitas etnik. Istilah pendatang disematkan pada
orang yang tidak memiliki ikatan genealogis, perkawinan, tempat lahir dan hubungan erat dengan tokoh
beretnis Kaili. Etnik pendatang lalu mengkonstruksi identitas baru yang mereka sebut sebagai “orang
Palu”. Penggunaan beragam identitas tersebut juga dilakukan sesuai konteks dan waktu yang dianggap
dapat memberikan keuntungan politik, penerimaan sosial dan budaya.
Hal ini dianggap penting sebab sangat terkait tive paradigm yang digunakan dalam penelitian
dengan citra diri (self image) dan harga diri (self ini tidak lepas dari dukungan teori meskipun pene-
esteem) baik sebagai individu maupun kelompok. liti kualitatif beranggapan bahwa mereka justru
Identitas-identitas inilah yang akan selalu dialami, harus membebaskan dirinya dari “tawanan suatu
dikomunikasikan, diolah ataupun dikonstruksi teori”. Pengumpulan data dilakukan melalui ob-
setiap individu dalam berinteraksi. servasi, wawancara mendalam dan penelusuran
Perspektif Barth mengilhami banyak ahli pustaka yang relevan. Analisis dilaksanakan se-
untuk meneliti apa yang disebut sebagai etnisitas panjang penelitian berlangsung, data dikategori-
situasional, yaitu bagaimana identitas etnik di- kan dan diklasifikasikan sesuai dengan tema dan
gunakan individu-individu dalam interaksi dengan model. Untuk menjaga keabsahan data yang di-
orang lain. Individu menganggap identitas et- peroleh, peneliti melakukan konfirmasi dengan
nik sebagai dinamik, cair, situasional sebagaima- mendatangi kembali informan setelah hasil
na ditunjukkan Amstrong (1986), dan Mulyana wawancara sebelumnya diklasifikasi berdasarkan
(1994). Individu menunjukkan bagaimana identitas fokus penelitian.
etnik dan lambang-lambangnya dimanipulasi untuk
kepentingan-kepentingan pribadi, sosial, ekonomi, Hasil Penelitian Dan Pembahasan
dan politis tertentu. Atribut dan Simbol-simbol
Adanya perbedaan etnis dalam interaksi Identitas pada Panggung Politik Atribut
sosial tidak seharusnya melepaskan identitas etnik Artifisial pada Panggung Politik
seseorang walaupun antara kedua etnik yang hidup
berdampingan diantara masyarakat yang berbeda Banyaknya partai yang berkontestasi pa-
budaya. Keharmonisan dan hubungan antaretnik da pemilu tahun 2009, menyebabkan keang-
merupakan kemutlakan guna menjalani kehidupan gotaan DPRD di Kota Palu pun menjadi sangat
yang lancar. Di pihak lain tidak ada satu budaya beragam. Berdasarkan data hasil pemilu tahun
pun yang tidak dipengaruhi oleh budaya lain. De- 2009 terdapat 13 partai politik yang berhasil me-
mikian halnya budaya yang dominan atau budaya nempatkan wakilnya di DPRD Kota Palu. Partai
pribumi yang biasa mempengaruhi budaya yang Politik tersebut adalah: (1) Partai Golongan Karya
minoritas atau budaya pendatang. Selanjutnya (Golkar); (2) Partai Demokrat; (3) Partai Keadilan
budaya minoritas terpengaruh oleh budaya yang Sejahtera (PKS); (4) Partai Persatuan Pemba-
dominan akibat dari tekanan-tekanan lingkungan ngunan (PPP); (5) Partai Amanat Nasional (PAN);
budaya itu sendiri (Barth, 1988). (6) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP); (7) Hati Nurani Rakyat (HANURA);
Metode Penelitian (8) (PKPB); (9) Partai Peduli Rakyat Indonesia
(PPRN); (10) Barisan Nasional (Barnas);
Subjek atau informan penelitian ini ada- (11) Partai Bulan Bintang (PBB); (12) Partai
lah anggota DPRD Kota Palu masa bakti 2009- Bintang Reformasi (PBR); (13) Partai Damai
2014. Berdasarkan keterwakilan etnis maka in- Sejahtera (PDS).
forman yang dipilih adalah enam orang. Semen- Keadaan tersebut ditambah lagi dengan
tara itu objek penelitiannya adalah bagian dari kenyataan bahwa Kota Palu didiami oleh beragam
perilaku komunikasi politik anggota DPRD Kota etnik sehingga keanggotaan DPRD pun sangat
palu yang disebut dengan tindakan yang diko- beragam. Di lihat dari ragam etnik, penduduk
munikasikan baik berupa atribut etnik, simbol- Sulawesi Tengah terdiri dari 16 etnik pemukim
simbol komunikasi (verbal dan nonverbal), bahasa, pertama (asli) dan 14 etnik sebagai penduduk
setting komunikasi dalam mengungkapkan iden- pemukim susulan (pendatang), dengan ragam
titasnya dalam konteks relasi sosial dan politik. bahasa 14 bahasa penduduk asli dengan 70 ragam
Metode penelitian yang digunakan dalam dialek, yang tersebar pada 10 kabupaten dan satu
penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan kota. Sebagai ibukota propinsi, representasi etnik
dramaturgi Erving Goffman dan etnik situasional tersebut juga hadir di Kota Palu, tentu dengan
Fredrik Barth. Penelitian kualitatif atau interpre- presentasi yang berbeda.
Akibat dari keadaan tersebut proses politik bangun citra, baik dalam internal angota dewan
yang berlangsung banyak diwarnai lobi-lobi di luar maupun kepada khalayak.
jalur politik yang pakem mengingat tidak adanya Di sisi lain, para anggota DPRD juga
partai politik yang memiliki kursi yang bisa melakukan komunikasi politik dengan konsti-
mencapai mayoritas untuk mengambil keputusan tuennya. Komunikasi di antara mereka tidak
bulat dalam setiap sidang dan pemungutan suara. berlangsung dalam situasi formal. Interaksi terse-
Karenanya kemampuan komunikasi politik dengan but berlangsung di halaman ruang fraksi, di
bermacam pendekatannya menjadi hal penting mushola, di rumah dan tempat lainnya. Wahana-
dalam mengagregasi kepentingan partai atau wahana tersebut di atas merupakan panggung
kelompok terutama dalam menetapkan suatu politik di DPRD Kota Palu untuk mempertukarkan
keputusan baik penetapan Perda, APBD dan pesan-pesan komunikasi politik sebagaimana
Pencalonan Walikota atau Wakil Walikota serta dikemukakan Goffman dengan dramaturgisnya.
keputusan penting lainnya. Di DPRD Palu, meski Pendekatan Goffman menurut Mulyana (2006),
anggota yang berasal dari Partai Golkar masih berintikan pandangan bahwa “ketika berinter-
yang terbesar yaitu tujuh kursi namun jumlah itu aksi dengan sesamanya, ia ingin mengelola kesan
jauh dari minimal 1/2 jumlah anggota yang ber- yang ia harapkan tumbuh pada orang lain terha-
jumlah 30 orang untuk pengambilan keputus- dapnya. Untuk itu, setiap orang melakukan per-
an yang bulat lewat satu fraksi. DPRD Kota Palu tunjukan bagi orang lain. Interaksi yang dilakukan
terbagi ke dalam lima fraksi. Masing-masing, antara anggota DPRD Kota Palu merupakan suatu
(1) Fraksi Golkar dengan tujuh kursi, (2) Fraksi upaya pengelolaan kesan yang diharapkan tum-
Demokrat enam kursi (terdiri dari lima kursi dari buh pada orang lain. Pengelolan kesan tersebut
Partai Demokrat dan satu kursi dari Partai Damai merupakan bagian dari upaya menyajikan gam-
Sejahtera) (3) Fraksi Keadilan Sejahtera tiga kursi, baran diri yang dapat diterima orang lain. Tujuan
Fraksi Palu Ngataku delapan Kursi (dua PDIP, utama dari kegiatan tersebut adalah membangun
dua kursi Hanura, masing-masing satu kursi citra positif dan meningkatkan opini positif publik
PPRN, PBB, Barnas dan PBR), (4) Fraksi Per- terhadap anggota DPRD bersangkutan. Hal ter-
satuan Amanat Rakyat enam kursi terdiri dari (dua sebut sangat penting karena opini publik yang
PPP, dua PAN dan dua PKPB). positif adalah kunci dari setiap aktifitas politik
Rapat komisi, rapat fraksi, rapat pansus seseorang. Dalam konteks komunikasi politik,
bisa dipandang sebagai suatu arena memper- esensi dari kegiatan komunikasi politik adalah
tukarkan pesan-pesan komunikasi politik. De- penciptaan opini publik yang positif karena naik-
mikian pula pada rapat peripurna, pertukaran turunnya seseorang atau organisasi politik ba-
simbol-simbol komunikasi sangat beragam. Dalam nyak ditentukan oleh opini publik.
rapat paripurna seluruh anggota DPRD berkumpul Kegiatan komunikasi politik yang ber-
dalam suatu tempat. Mereka berinteraksi saling langsung di DPRD Kota Palu dapat dilihat pada
mempertukarkan simbol komunikasi. Kadang- panggung-panggung politik yang pesan politik
kadang diwarnai tepuk tangan, saling mendukung dipertunjukkan dan ditafsirkan oleh mereka yang
argumen, teriakan tidak setuju atau juga interupsi. terlibat dalam kegiatan komunikasi politik terse-
Wahana itu merupakan panggung pertukaran but. Dengan menggunakan pendekatan Drama-
simbol yang pada umumnya dilakukan di gedung turgis Erving Goffman perilaku komunikasi politik
DPRD. Pada proses tersebut, simbol-simbol iden- dapat dijelaskan dengan mengamati apa yang
titas yang berkaitan dengan etnik juga dapat mun- ditampilkan citra politisi dan konstruksi realitas,
cul baik disengaja maupun tidak disengaja. Nada semuanya dipertunjukkan dalam suatu wadah/
suara, bahasa daerah, logat, aksen, bahkan pa- wahana, di mana wadah tersebut sesungguhnya
kaian yang dikenakan menjadi penanda identitas adalah panggung pertunjukan bagi anggota DPRD
seorang anggota dewan. Penonjolan identitas- Kota Palu periode 2009-2014.
identitas itu akan disesuaikan dengan setting Goffman menggambarkan “kehidupan
komunikasi yang sedang berlangsung, sehingga sosial bagaikan teater yang memungkinkan sang
memberikan efek pengaruh terhadap upaya mem- aktor memainkan berbagai peran di atas suatu atau
beberapa panggung dan memproyeksikan citra diri menjadi incaran anggota dewan, karena memiliki
tertentu kepada orang hadir sebagaimana yang nilai prestisius lebih tinggi. Meski demikian
diinginkan sang aktor dengan harapan bahwa kepemilikan kendaraan menjadi simbol kema-
khalayak bersedia menerima citra diri sang aktor panan untuk mempertegas status anggota DPRD
dan memperlakukannya sesuai dengan citra diri- yang dianggap berpendapatan tinggi.
nya itu”. Sering aktor-aktor politik ini melakukan Atribut yang bersifat artifisial adalah
pengelolaan diri tanpa sadar, setengah sadar dan bentuk dari pengelolaan panggung depan (front
bahkan dengan kesadaran penuh untuk tujuan stage) seorang anggota DPRD. Bagian-bagian
finansial, politik dan sosial. Pengelolaan kesan yang dari penampilan di panggung depan merupakan
disengaja mengandung berbagai resiko, alih-alih bentuk dari pemeliharaan citra diri supaya stabil
khalayak menafsirkan perilaku sang aktor secara di depan khalayak, inilah yang disebut Erving
berbeda. Politisi sebagai aktor sekaligus pemegang Goffman sebagai “pertunjukan” (perfomance).
mandat partai politik yang mengusungnya dan Sebagaimana disampaikan Herbert Mead (dalam
mandat dari rakyat yang memilihnya (Mulyana, Dilla, 2006) bahwa dalam interaksi manusia meng-
2006). gunakan simbol-simbol, cara menggunakan simbol
Pengelolaan kesan (impression manage- merepresentasikan apa yang mereka maksudkan
ment) yang dilakukan untuk mencapai tujuan untuk berkomunikasi dengan sesamanya.
politik anggota DPRD adalah dengan mengenakan Goffman juga mengasumsikan bahwa
atribut yang bersifat artifisial secara cukup ketika orang-orang berinteraksi, seseorang akan
menonjol. Pertama, ekspresi identitas melalui memberikan gambaran diri yang akan dipersepsi
pakaian yang dikenakan. Untuk disebut ber- orang lain. Ia menyebutnya sebagai “pengolahan
penampilan “keren” anggota DPRD pria keba- kesan” (impression management) yakni teknik-
nyakan mengenakan stelan jas yang baru dengan teknik yang digunakan aktor untuk memupuk
berbagai asesoris yang menyertainya seperti dasi kesan-kesan tertentu, dalm situasi spesifik dan
dan kopiah baru. Sementara anggota dewan yang untuk tujuan yang tertentu. Kebanyakan atribut,
perempuan selalu tampil “cantik” dengan stelan milik atau aktifitas manusia digunakan untuk
pakaian resmi jika akan mengikuti rapat-rapat. merepresentasikan diri, termasuk busana yang
Pada hari-hari yang lain, sebagian anggota dewan dikenakan, rumah dan perabot yang digunakan,
perempuan mengenakan pakaian yang paling trend kendaraan, cara berjalan dan pekerjaan yang di-
saat ini, ditambah dengan berbagai atribut kema- lakukan untuk mengisi waktu luang. Hal tersebut
panan seperti perhiasan berupa gelang, kalung dan berarti segala sesuatu yang terbuka mengenai diri
pin, dan bross. Dalam soal ini, Kuper (dalam kita digunakan untuk memberitahu orang lain siapa
Nordholt, 2005:10) menyatakan bahwa dengan diri kita.
memperhatikan arti penting berpakaian sebagai Pada panggung depan para pelaku dalam
suatu ekspresi dari identitas sosial, asal usul dan hal ini anggota DPRD berkesempatan untuk
kesetiaan individu maka tidak mengherankan jika menciptakan image terhadap pertunjukannya yang
orang memandang pakaian hampir seperti per- sekenarionya sudah diatur dan berbeda jauh
panjangan diri mereka sendiri. Dapat dimengerti dengan panggung belakang. Penampilan individu
jika kemudian hubungan seseorang dengan pa- juga berfungsi secara teratur untuk mendefinisikan
kaiannya bersifat langsung dan lebih akrab dari- situasi bagi mereka yang menyaksikan penampilan
pada hubungannya dengan semua obyek materi itu, yang dikenal juga dengan setting dan personal
yang lain. Kedua, kendaraan yang dimiliki. front untuk kemudian di bagi lagi menjadi pe-
Persoalan kendaraan ini menjadi cukup penting nampilan (appearance) dan gaya (manner). Ber-
artinya dalam aktivitas anggota dewan dalam dasarkan pandangan dramaturgis bahwa seseorang
komunikasi politik mereka. Meski memiliki cenderung mengetengahkan sosok diri ideal sesuai
kendaraan mewah, prestise anggota dewan tidak dengan status peran dan kegiatan rutinnya
terlalu menonjol karena banyaknya kendaraan (Ariannie, 2006). Seseorang akan menyembu-
serupa yang berseliweran di jalan raya. Kendaraan nyikan fakta dan motif yang tidak sesuai dengan
dinas dengan nomor plat khusus (plat merah) citra dirinya.
butkan sebelumnya dalam politik dan birokrasi di jan (1997) menyebutnya sebagai modal politik
Tanah Kaili masih sangat kuat pengaruhnya se- seseorang dalam politik lokal di Indonesia. Hal ini
hingga sangat sulit untuk menerapkan demokrasi juga sejalan dengan apa yang disebut King dan
subtansial yang didasarkan pada kemampuan se- Wilder (Maunati, 2007:70) bahwa etnisitas me-
seorang. Pasalnya secara komunikasi politik, me- rupakan ekspresi dari produk masa lalu, kebang-
reka yang menjadi bagian dari klan tersebut di atas kitan asal-usul yang sama, hubungan sosial dan
terus memelihara dan melanggengkan simbol- kesamaan nilai-nilai budaya yang sifatnya tidak
simbol yang dimilikinya untuk mempertahankan konstan, tidak kekal dan dapat dibentuk dan di-
dominasi politik. konstruksi.
Penegasan soal ini dapat dipahami jika kita
melihat bahwa ternyata di negara dengan sistem Bahasa Daerah dan Logat Sebagai Identitas
demokrasi sekalipun faktor ginealogis memiliki ni-
lai lebih dalam kontestasi kepemimpinan lokal dan Ciri-ciri lain yang menjadi atribut yang
nasional. Di Amerika Serikat, kehebatan klan atau dapat menegaskan Identitas seseorang dalam
keluarga Kennedy diakui hingga saat ini, demikian konteks ruang politik Kota Palu adalah bahasa
juga dengan keluarga Bush yang sempat memimpin daerah dan logat anggota DPRD. Penggunaan
negara itu dalam dua generasi meski dengan bahasa daerah dalam kegiatan komunikasi politik
periode yang diselingi oleh rezim lainnya. Keluarga anggota DPRD Palu lebih banyak dilakukan oleh
Gandhi di India atau keluarga Abdul Razak dan anggota DPRD yang menganggap diri mereka
Datuk Hussain Onn di Malaysia adalah contoh sebagai etnik asli Kaili atau etnik lain yang lahir
nyata besarnya peran faktor genealogis dalam dan besar di tanah Kaili. Hal ini juga dimungkin-
politik. Dalam konteks Indonesia, keluarga kan karena jumlah anggota dewan yang beretnik
Sukarno adalah contoh klan atau keluarga yang Kaili lebih banyak. Di lain pihak mereka yang
memiliki nilai jual politik yang sangat besar di In- berasal dari etnik lain atau yang dianggap sebagai
donesia. Ini sejalan dengan apa yang disampaikan pendatang akan berusaha mempelajari bahasa
Horowitz dan James (2006) bahwa fenomena lokal sebagai bentuk penyesuaian diri agar dapat
semacam ini banyak muncul pada negara yang diterima di masyarakat lokal terutama dalam ak-
miskin dan masih berkembang di mana struktur tivitas politik. Penggunaan bahasa daerah dalam
politik dijalankan oleh jaringan elit yang berbasis kegiatan komunikasi terutama dalam kaitan lobi
patronase etnis. Horowitz menilai bahwa struktur dan upaya menyatukan pendapat pengambilan
politik yang dikendalikan oleh patronase etnis lebih keputusan seringkali dianggap lebih efektif oleh
cenderung mendistribusikan sumber daya publik para anggota DPRD yang berasal dari etnik yang
kepada kelompoknya masing-masing. Bahkan sama. Penilaian itu didasarkan pada kemudahan
dalam arena kontestasi pemilihan, struktur politik menjalin pendekatan baik secara persuasif maupun
clientelism ini seringkali dijadikan perangkat dengan cara coercive kepada rekan sejawat yang
politik untuk melakukan mobilisasi dan dukungan memiliki etnik sama tentu dengan bungkus demi
terhadap kandidat dan partai. kepentingan rakyat. Hal tersebut di atas dapat
Kemunculan politik kekerabatan tersebut tergambar dari hasil wawancara dengan WJR,
merupakan wujud dari kuatnya politik patronase seorang beretnik Jawa yang menjabat sebagai
dengan oligarki yang masih terpelihara pada Wakil Ketua DPRD Kota Palu dari Partai Ke-
masayarakat Indonesia. Mereka yang telah mem- adilan Sejahtera berikut ini:
peroleh kekuasaan melalui perjuangan keras pada Misalnya ketika saya bertemu dengan kons-
awal membangun klan politik mewariskan modal tituen dan rekan-rekan yang orang Kaili saya
ekonomi, modal sosial, modal budaya dan modal akan berusaha memanggil dengan “Komiu”
simbol kepada keturunan atau keluarganya atau kalau orang Bugis dengan kata-kata
sehingga memberikan kemudahan pada generasi “Maiki”. Tetapi dalam interaksi saya dima-
selanjutnya untuk memperoleh kekuasaan hanya syarakat yang beretnik Jawa saya tetap ber-
dengan mengelola dengan baik modal yang usaha untuk menggunakan bahasa Jawa biar
diwariskan tersebut. Sebagaimana Kacung Mari- nanti mereka tidak menganggap saya sebagai
orang yang sombong dan cuek. Pada dasarnya lain fungsinya sebagai tranformator pertukaran
konsep itu bukan seluruhnya faktor etnisitas makna pesan, fungsi pewarisan nilai-nilai sosial
tetapi Islam mengajarkan bagaimana harus pun begitu menonjol.
menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana Manurut Harris dan Reilly, 2000) bahasa
berada. Rasulullah sendiri katika bertemu adalah isu pusat dalam politik etnik. Untungnya itu
dengan orang atau berdakwah dengan segala isu yang mudah untuk dihadapi dibanding dengan
umat akan berusaha menggunakan bahasa isu etnik lainnya sebab bahasa membolehkan multi-
yang sesuai dengan kaum yang ditemuinya. identitas. Pengetahuan bahasa bukan merupakan
Ketika dia bertemu dengan Badui ia akan pemberian etnik secara eksklusif atau tetap hampir
menggunakan bahasa Badui (Wawancara mirip dengan agama atau ras. Manusia bisa berbi-
dengan WJR, 17 April 2010). cara dalam beberapa bahasa dan berberapa ba-
Selain itu, logat seseorang akan dapat me- hasa tersebut hidup berdampingan.
negaskan identitas seseorang. Dalam konteks
DPRD Kota Palu, logat yang terdengar ketika Kategori Identitas Etnik Anggota DPRD Kota
seseorang berbicara dapat menimbulkan stere- Palu Pendatang atau Orang Asli Palu?
otype tertentu yang seringkali dijadikan sebagai
bentuk politik pembeda. Seorang anggota dewan Dua kategori identitas tersebut adalah
yang beretnis Bugis amat mudah dikenali di dalam sesuatu yang ajeg, sehingga menjadi bentuk
ruang sidang DPRD ketika sedang berbicara pembeda dalam komunikasi politik anggota
ataupun berpidato, demikian halnya dengan dewan. Isu putra daerah berkorelasi dengan kon-
anggota DPRD beretnis lain seperti Minahasa, sepsi pemberdayaan masyarakat lokal yang lalu
Jawa, Sunda dan Gorontalo. dipertegas dan dipertajam dengan adanya fa-
Logat telah dapat menyebabkan se- natisme daerah sehingga simbolisasi etnik lokal
seorang anggota DPRD diberikan label sebagai semakin berkembang di berbagai bidang. Sim-
pendatang, oleh pengunjung sidang hanya karena bolisasi kultural berevolusi menjadi simbolisasi
berlaku kritis terhadap eksekutif. Bahkan penga- politik lokal yang telah menjadi konsumsi politik
laman seorang anggota DPRD yang menjadi in- bagi kelompok-kelompok elite lokal untuk men-
forman menyatakan bahwa pernah suatu ketika ia dapatkan simpatisan dari etnik sendiri. Isu putra
ditegur oleh Walikota Palu dengan kata-kata ber- daerah menjadi komoditi politik lokal ini sering
nada ancaman karena sikap kritisnya. Anggota mencuat ketika menjelang suksesi kepemimpin-
dewan tersebut disapa dengan sebutan “pen- an daerah dan pada saat pemilu.
datang” dan tidak perlu mengatur Orang Palu ka- Kecenderungan kalangan elit politik dan
rena yang paling tahu situasi, adalah Orang Palu kandidat dalam menggunakan isu-isu etnis (play-
sendiri. Terlepas apakah secara personal Wali- ing ethnic card) karena target yang ingin didapat
kota kenal yang bersangkutan, nyatanya anggota adalah adanya kelekatan dengan etnis yang menjadi
dewan tersebut memang masih sangat kental de- obyeknya. para politisi dan kandidat memainkan
ngan logat Jawa. kartu etnis untuk mengamankan batas keunggulan
Identitas etnik ditandai dengan simbol- yang dimilikinya dalam sebuah arena kompetisi
simbol budaya, bahasa, organisasi serta ideologi baik ketika pemilu berlangsung maupun setelah
mereka. Setiap etnik memiliki identitas yang harus pemilu (Posner, 2005: 57). Gambaran dikotomis
dipatuhi oleh masyarakat itu guna berinteraksi satu etnik pendatang atau pribumi dalam politik di Kota
sama lainnya (Eriksen: 1993). Kekhasan etnik se- Palu dapat disimak dari hasil wawancara dengan
cara kultural membuat manusia unik dalam ber- informan JPA (56 tahun), seorang beretnik Mi-
komunikasi sekaligus menjadi kajian tersen- nahasa dari Partai Damai Sejahtera, berikut ini:
diri dari para ahli antropologi maupun ahli ko- Kalau yang saya rasakan masih sangat kental.
munikasi. Salah satu hal yang menonjol dalam Disini identitas sebagai pendatang itu masih
interaksi sosial seseorang, terutama dalam kon- berpengaruh dan dilihat sebagai pembeda.
teks komunikasi yang melibatkan orang-orang Saya sudah sampai di wilayah Maluku, saya
yang berbeda etnik adalah bahasa. Bahasa se- mulai dari orang Manado. Orang Manado itu
DPRD
Itu artinya komunikasi politik harus terjalin dengan
baik kepada para elit politik yang berasal dari etnik
Issue
Issue
Khalayak pendatang, baik yang di luar struktur politik resmi
maupun yang saat ini menjabat sebagai pejabat
Pendatang Kom unikasi Politik Putera Da erah
eksekutif maupun DPRD. Kepentingan tokoh elit
Konsolidasi lokal dalam hal ini adalah bagaimana menciptakan
Lobi-lobi
patron-patron politik di kalangan pendatang yang
Kom promi dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan politik
yang lebih besar. Sebagai contoh, seorang ketua
Powe r Sharing
DPD partai yang berasal dari etnik Kaili akan
menempatkan tokoh-tokoh etnik pendatang se-
bagai calon anggota DPRD di wilayah atau daerah
pemilihan yang banyak dihuni oleh etnik yang sa-
ma dengan caleg bersangkutan. Syaratnya tentu
saja adalah tokoh etnik tersebut harus loyal ke-
sangat egaliter, sehingga kadang kala saya pada ketua DPD partai sehingga ketika dilaksa-
juga biasanya jengkel biar sama-sama orang nakan kontestasi politik yang lebih besar semisal
Manado, dia baku acuh. Di Manado ada isti- pemilu walikota-wakil walikota dan gubernur, sang
lah Motmangus atau Gotong Royong mau suka caleg dapat menjadi pengumpul suara pada
atau duka kalau ada orang menikah tetapi komunitas etniknya.
kalau salah mereka bilang salah. Di sini saya Di lain pihak, elit-elit politik etnik pen-
cemburu hati sama orang Kaili dan Toraja. datang menjadikan kesempatan tersebut untuk
Mereka saling baku dukung kuat sekali, bah- meraih kekuasaan pada lembaga politik resmi.
kan dalam politik di DPRD ini. Mungkin juga Proporsi etnik pendatang yang cukup besar akan
karena saya sendiri yang Manado dan juga memberi peluang yang besar untuk memasuki
Kristen (wawancara tanggal 21 April 2010). lembaga politik resmi seperti DPRD. Ini tentu sa-
Identitas pendatang yang disematkan ja dengan asumsi bahwa preferensi pemilih da-
kepada siapa saja yang tidak memiliki hubungan lam pemilu masih diwarnai oleh isu etnisitas dan
kekerabatan atau genealogis dengan etnik lokal di agama. Meskipun jika di lihat bahwa dengan sis-
Palu merupakan bentuk proteksi politik yang tem pembagian daerah pemilihan, yang seringkali
dilakukan oleh elit-elit lokal untuk menjaga dan memecah unit wilayah yang di dalamnya terkon-
mengembangkan kekuasaan. Tindakan akomodatif sentrasi pemilih dengan etnik tertentu sehingga
dan kompromi oleh elit-elit politik lokal (yang memperkecil peluang seorang caleg memenangkan
dianggap orang asli) nampaknya dijadikan sebagai suara terbanyak. Dengan demikian kompromi
salah satu cara untuk memperluas dan menjangkau antara elit-elit politik etnik pendatang dengan elit
elit-elit politik dan sosial masyarakat pendatang. politik pribumi, merupakan bentuk kerjasama
Kuatnya posisi sosial dan ekonomi sebagian etnik yang saling menguntungkan. Langkah tersebut,
pendatang dianggap sebagai ancaman serius ba- bagi elit politik pendatang adalah yang paling te-
gi penduduk lokal dalam usaha melestarikan ke- pat, karena mereka harus menyadari akan ada-
kuasaan dan pengaruh politik. Situasi politik yang nya tekanan yang kuat dari publik terutama etnik
telah berubah dengan penerapan sistem politik lokal terhadap kepemimpinan orang-orang yang
yang demokratis di mana sistim pemilu langsung berasal dari etnik pendatang. Dalam lingkungan
dengan suara terbanyak pada pemilu legislatif, politik di Kota Palu, dalam beberapa kasus masih
pemilu presiden dan pemilukada juga merupakan menerapkan adanya power sharing dalam me-
tantangan yang harus dihadapi oleh poilitisi lokal netapkan kepemimpinan pada lembaga publik
ketika menyadari bahwa komposisi penduduk terutama lembaga politik guna menghindari
etnik Kaili kini menjadi minoritas. Berdasarkan terjadinya konflik. Power sharing dalam kadar
data hasil penelitian Suryadinata (2003) etnik Kaili tertentu merupakan pilihan bijaksana untuk
di Kota Palu presentasinya hanya 38,71persen. menghindari pertikaian politik yang melibatkan
isu etnik dan agama, tetapi di sisi lain seringkali Usaha untuk memperoleh pengakuan
melupakan aspek kompetensi dan kapasitas sebagai bagian dari masyarakat pribumi dalam
seseorang. berbagai aktifitas baik sosial, ekonomi dan poli-
tik seringkali malah mempertegas batas identitas
Kami ini Orang Palu tersebut. Ketika seseorang berinteraksi dalam
lingkup masyarakat yang lebih luas berbagai atribut
“Orang Palu” adalah sebuah konstruksi yang melekat akan tampak lebih menonjol, hal ini
identitas yang merujuk kepada wilayah adminis- karena suatu identitas yang melekat akan sulit
trative yang tidak menggambarkan sebuah etnik untuk hilang dan tereduksi oleh faktor interaksi.
tertentu. Orang Palu adalah sebutan yang me- Sebagaimana komentar informan WJR (38 thn)
nunjukkan bentuk penyesuaian etnik pendatang berikut ini:
agar diterima sebagai penduduk Kota Palu yang Saya tidak bisa mengelak kalau soal etnik,
memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan disini masih ada stereotipe meskipun sudah
etnik apa saja yang berdomisili di daerah ini. Semua mulai berkurang. Saya kalau ditanya selalu
informan penelitian yang beretnis di luar Kaili ketika saya bilang saya orang Palu tetapi kelahiran
peneliti menanyakan berasal dari etnik mana? Jawa karena sudah belasan tahun disini, hidup
Menjawab sebagai Orang Palu. Pertanyaan yang dan makan disini. Tapi pernah pada waktu
merujuk kepada identitas etnik mereka ketika periode sebelumnya, saya malah ditegur oleh
menanyakan suku apa, informan lalu menjawab Walikota dalam suatu rapat dengar pendapat
dengan Bugis, Jawa, Sunda, Minahasa, Gorontalo. dengan kata-kata “hati-hati, anda kan pen-
Etnisitas sebagaimana pendapat (Abdillah, datang”. Namun setelah itu beliau melurus-
2002:45) merupakan aspek penting dalam kan dengan mengatakan bahwa ibu Wiwik
hubungan politik. Tema semacam ini muncul adalah orang Palu yang lahir di Jawa. Pak
dari gagasan tentang perbedaan, dikotomi anta- Wali mengutip kata-kata “Nosarara Nosa-
ra kami dan mereka serta pembedaan atas klaim batutu. Saya kira karena saya cukup vocal
terhadap dasar, asal usul dan karakteristik budaya. pada saat itu (wawancara tanggal 13 Mei
Eriksen (1993) menambahkan bahwa syarat 2010).
kemunculan etnisitas adalah kelompok tersebut Hal ini telah ditegaskan Barth (1988)
menjalin hubungan dan kontak dengan etnik lain bahwa batas-batas budaya dapat bertahan
dan masing-masing menerima gagasan dan ide- walaupun suku-suku tersebut saling berbaur.
ide perbedaan di antara mereka, baik secara kul- Dengan kata lain adanya perbedaan etnik tidak
tural maupun dalam politik. Dalam hal hubungan ditentukan oleh terjadinya pembauran, kontak dan
politik terutama pada aspek komunikasi politik pertukaran informasi, namun lebih disebabkan oleh
antara etnik di Kota Palu dalam lembaga politik adanya proses-proses sosial berupa pemisahan
seperti DPRD, gagasan perbedaan dalam hal suku dan penyatuan, sehingga perbedaan kategori tetap
sebagai yang primordial, seperti identitas Jawa, dipertahankan walaupun terjadi pertukaran peran
Kaili, Bugis dan lain-lainnya, bisa diterima. Tetapi serta keanggotaan di antara unit-unit etnik dalam
dalam hal identitas terkonstruksi sebagaimana perjalanan hidup seseorang. Bagi etnik Bugis yang
sebutan dan stigma pendatang dan putera daerah, bermigrasi keberbagai wilayah seringkali identik
ini yang menghadapi tantangan berat. Bahwa ke- dengan profesi nelayan dan pedagang pada pasar-
mudian politik identitas etnik berkembang dalam pasar tradisional, sementara etnik Jawa yang
ruang ini, sebagaimana disebutkan oleh LSI me- bermigrasi identik dengan pekerjaan petani sawah,
mang sanyatanya ada. Ini sejalan dengan pendapat berkebun dan jualan bakso atau mie ayam yang
Syamsuddin Haris (LSI, 2007) bahwa kalangan ulet serta tidak gengsi. Meski identitas tersebut
partai politik dan elit politik di Indonesia masih tidaklah kaku. Demikian halnya dalam kegiatan
menganggap penting politik etnisitas dalam are- politik terutama pada masyarakat yang multietnik,
na mobilisasi politik, membangun jaringan, mem- pendekatan genealogis dan kekerabatan menjadi
bangun koalisi-koalisi politik serta membangun awal berkiprahnya seseorang dalam dunia politik.
jaringan lobi politik. Munculnya paguyuban-paguyuban yang berbau
kedaerahan di wilayah yang multietnik menambah kelompok-kelompok sosial mereka tanpa mereka
dinamika persaingan dan konflik politik dan hal persoalkan dimana setiap entitas-entitas sosial itu
tersebut malah mempertegas perbedaan etnik. mereka anggap bagian dari identitas kolektif.
Menjadi “orang Palu”, sebagai suatu iden- Identitas etnik muncul dengan membandingkan
titas yang netral, seseorang melakukan berbagai dialek, intonasi, isyarat nonverbal, adat istiadat,
bentuk penyesuaian diri dengan menggunakan kebiasaan, nilai, makanan, pakaian, nama, raut
berbagai atribut dan simbol-simbol etnik dalam wajah dan bahkan warna kulit milik sendiri dan
interaksi dan komunikasi di masyarakat, termasuk milik orang lain (Mulyana, 2010:388). Orang Kaili
dalam kegiatan komunikasi politik. Penggunaan misalnya mengkonstruksikan diri dengan tetangga
bahasa daerah dalam interaksi sosial dengan pen- dan teman sekolah mereka yang Bugis, berbeda
duduk lokal, mencoba melakukan penyesuaian secara etnik.
dalam hal logat dan aksen khas lokal Palu dalam Dalam konteks penelitian ini, sebagaima-
komunikasi adalah bentuk-bentuk upaya penye- na disampaikan Mulyana di atas, tampaknya
suaian dalam interaksi sosial. Tidak hanya itu, berlaku pada aktivitas politik dan bagaimana
penggunaan pakaian khas atau pakaian adat da- mereka menampilkan diri pada ruang politik di
lam kegiatan-kegiatan resmi maupun dalam acara DPRD maupun di ruang khalayak politik. Seorang
keluarga juga menjadi hal yang biasa dilakukan. politisi etnik Bugis, Jawa, Sunda berusaha untuk
menjadi orang asli Palu, dengan berusaha meng-
Etnik Situasional dan Manipulasi Etnik dalam gunakan bahasa Kaili, mengakrabkan diri dengan
Aktifitas Komunikasi Politik makanan khas daerah, mengikuti adat-istiadat
serta pakaian khas Kaili pada situasi dimana ia
Setiap orang dalam situasi yang multi- harus menampilkan diri sebagai politisi yang orang
kultural selalu diperhadapkan pada upaya adap- Palu. Aspek penerimaan etnik Kaili kepada pen-
tasi agar dapat diterima sebagai bagian dalam datang terutama pada kegiatan politik yang je-
komunitas mayoritas dan kuat. Tindakan adaptif jak rekam seseorang diketahui publik tampaknya
adalah bentuk dari upaya survive dan dalam tidak cukup melalui proses simbolisasi yang bersifat
menghindari terjadinya konflik yang melibatkan arifisial. Berdasarkan apa yang teramati selama ini,
identitas-identitas etnik yang menjadi pembeda penerimaan orang Kaili kepada etnik pendatang
dalam komunitas tertentu. Dalam penelitian ini, masih sangat terbatas pada hal yang bersifat ge-
identitas-identitas yang mengemuka sebagai nealogis, yaitu bila ada sedikit pertalian darah juga
bentuk politik perbedaan adalah identitas melalui perkawinan.
pendatang dan putera daerah, hampir seluruh Alasan pengelolaan identitas etnik yang
konstruksi pembeda yang terjadi pada anggota dilakukan anggota DPRD Kota Palu dapat di-
DPRD berputar pada persoalan ini. Identitas uraikan berdasarkan perangkat-perangkat alasan
sebagai orang Jawa, Sunda, Bugis, Makassar, yang saling berhubungan. Meminjam temuan
Mandar dan Gorontalo meskipun dalam kese- Armstrong pada orang Melayu di Malaysia,
harian masih ditemukan prasangka dan stereo- perangkat itu dapat dibagi menjadi tiga (Mulyana,
type tetapi dalam lingkup politik terutama dalam 2006: 99). Pertama, berhubungan dengan penge-
aktifitas komunikasi politik tereduksi ke dalam jaran gengsi pribadi dan gengsi orang lain. Bebe-
pembedaan berdasarkan simbol pendatang dan rapa di antara identitas-identitas yang dimiliki se-
putera daerah. seorang mungkin akan lebih menghasilkan gengsi
Munculnya identitas pendatang terkait publik dibandingkan dengan yang lainnya. Dengan
dengan konsep diri seseorang pada aspek ke- menggunakan identitas tertentu, seseorang dapat
ruangan atau pemukiman. Konsep diri pemukim memiliki reputasi di depan politisi lain atau kepada
telah dibentuk dalam sosialisasi awal seseorang. khalayak (konstituen). Selain itu dapat digunakan
Berturut-turut mereka mengidentifikasi diri dalam untuk menghindari atau mengurangi konflik dan
keluarga, kampung (kota), suku dan akhirnya pertikaian yang mungkin timbul. Hal ini juga
dalam konsep negara bangsa (nation state). Me- berkaitan dengan penggunaan gengsi tersebut
reka menerima definisi-definisi yang ditawarkan kaitannya dengan harta yang berharga yang dimiliki
Prestise, dukungan
Identitas Aw al
Pendatang makanan khas.
Anggota DPRD Kota Palu yang berasal
Int ernal DPRD Komunikasi Politik Khalayak
dari beragam etnik, mengidentifikasi identitas
Ke pentingan
etnik mereka dalam komunikasi politik sesuai
Et nik Sama Et nik Beda Etnik Beda Et nik Sam a
politi k, adaptasi dll dengan konteks ruang dan waktu. Pada saat ter-
tentu ketika berinteraksi dengan sesama etnik,
Ident itas Dikonstruksi maka identitas yang melekat seperti asal suku
Orang Palu
dan agama dengan tegas ditonjolkan. Hal ini
berkaitan dengan upaya pengelolaan kesan (im-
Gambar 2. Model Penggunaan Etnik Situasional (Bugis,
Jawa, Sunda dan Minahasa) dalam Komuni-
pression management) anggota DPRD dalam
kasi Politik DPRD Kota Palu mencapai kepentingan mereka baik kepentingan
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2010 pribadi, kelompok, partai asal dan atas nama
kepentingan rakyat.
dari suatu daerah asal dan penghargaan kepada Dalam hal penggunaan identitas etnik,
orang lain. Kedua, terkait dengan keberhasilan terdapat ciri yang menunjukkan apa yang disebut
yang dicapai dalam kehidupan sehari-hari. Identitas Barth sebagai etnik situasional dan manipulasi
etnik digunakan untuk memperoleh akses terhadap identitas etnik. Mereka yang selama ini disebut
dukungan-dukungan sosial dengan mengasosiasi sebagai “pendatang” berusaha untuk menyesu-
diri pada identitas kedaerahan tertentu. Sebagai aikan diri dengan menggunakan identitas pen-
contoh, para politisi yang beretnis Jawa, Sunda, duduk asli seperti berusaha mempelajari bahasa
Minahasa dan Bugis akan lebih menguntungkan daerah Kaili dan menggunakan pakaian adat lokal
disebut dengan identitas “Orang Palu” dibanding- pada acara-acara tertentu. Sehingga penonjolan
kan menyebutnya sebagai Palu kelahiran Jawa identitas sebagai “orang Palu” di lakukan dalam
atau Palu keturunan Bugis untuk menghindari komunikasi politik baik kepada politisi maupun
klasifikasi “pendatang” atau “bukan asli Palu”. khalayak yang berasal dari etnik asli atau putera
Ketiga, penggunaan identitas etnik politisi seiring daerah. Pada sisi lain umumnya mereka masih
dengan kepuasan timbal balik dengan dari ko- memelihara keterikatan dengan identitas etnik
identifikasi. Kesamaan daerah asal memberi rasa dengan identitas awal, misalnya dengan ikut dalam
aman melalui harapan akan nilai-nilai bersama dan organisasi paguyuban kedaerahan asal mereka, hal
saling percaya. Misalnya bagi sebagian orang Bu- yang justru mempertegas identitas sebagai
gis, penunjukan dan penerimaan oleh orang lain pendatang. Penggunaan beragam identitas tersebut
yang sedaerah asal akan memberi rasa aman melalui juga dilakukan sesuai konteks dan waktu yang
kekuatan dalam hal jumlah. mereka anggap dapat memberikan keuntungan
politik, penerimaan sosial dan budaya.
Kesimpulan
Saran-saran
Terdapat beragam atribut dan simbol-
simbol yang menjadi pembeda untuk mengi- Politisi yang melakukan peran-peran
dentifikasi identitas etnis anggota DPRD. Atribut politik dalam lembaga DPRD seharusnya da-
yang bersifat artifisial seperti pakaian, perhiasan, pat menghindari politisasi etnik dalam upaya
kepemilikan benda-benda elektronik dan sarana meraih simpati publik maupun dalam mencapai
komunikasi terkini, kendaraan serta gaya hidup tujuan politik baik untuk tujuan pribadi, golong-
menandakan struktur ekonomi dan kemapanan an maupun untuk partai politik.
anggota dewan. Sementara simbol-simbol yang Upaya penyesuaian diri dalam suatu
khas menunjukkan identitas etnik seorang anggo- komunitas sosial terutama dalam peran politik
ta dewan yang sering dijadikan pembeda dalam hendaknya tidak menonjolkan identitas pembeda
yang sifatnya primordial karena dapat me- Isaacs, Harold R., 1993, Pemujaan terhadap
nimbulkan konflik. Dalam konteks komunikasi Kelompok Etnis (Identitas Kelompok
politik di daerah-daerah yang heterogen terutama dan Perubahan Politik), Terjemahan
di Indonesia Timur banyak terjadi kekerasan Canisyius Maran, Yayasan Obor Indone-
karena faktor politik identitas etnis. sia, Jakarta.
Liliweri, Alo, 2007, Makna Budaya dalam
Ucapan Terima Kasih Komunikasi Antarbudaya, LKiS,
Jogjakarta.
Artikel ini merupakan ringkasan tesis pe- Liliweri, Alo, 2005, Prasangka dan Konflik,
nulis saat menyelesaikan program magister Ilmu LKiS, Jogjakarta.
Komunikasi di Universitas Padjadjaran Bandung, Maunati, Yekti, 2004, Identitas Dayak (Komo-
karenanya saya ingin menyampaikan terima kasih difikasi dan Politik Kebudayaan) LKiS,
yang sebesar-besarnya kepada dosen pembim- Yog-yakarta.
bing penulis; Prof. H. Deddy Mulyana, MA, Ph.D Mulyana, Deddy, 2006, Metode Penelitian
dan Dra. Hj. Lukiati Komala, M.Si. Ucapan yang Kualitatif ; Paradigma baru Ilmu
sama kepada para informan penelitian ini : Wiwik Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya,
Jumatul Rofi’ah, Andi Patongai, Arfandi Labanu, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Jaan Path Agus, Ani Suryani, Idiljan Djanggola, ______, 2007, Metode Penelitian Komunikasi,
Muh. Ali Lamu, Danawira Asri dan Ishak Cae yang Remaja Rosdakarya, Bandung.
telah bersedia meluangkan waktu untuk diikuti, ______, 2010, Komunikasi Lintas Budaya,
diamati dan diwawancarai. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Nimmo, Dan, 2005, Komunikasi Politik: Komu-
Daftar Pustaka nikator, Pesan dan Media, Remaja Ros-
Buku Teks dakarya, Bandung.
Nordholt, Henk Schulte, Klinken, Gerry Van dan
Abdillah S, Ubed, 2002, Politik Identitas Etnis; Ireen Karang-Hoogenboom (editor),
Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, In- 2007, Politik Lokal Indonesia, KITLV
donesiatera, Magelang. – YOI, Jakarta.
Amstrong, M. Jocelyn, 1986, Ethnicity and Eth- Nordholt, Henk Schutle (ed), 2005, Outward
nic Relations in Malaysia, Center for Appearances: Trend, Identitas dan
Southeast Asian Studies, NIU. Kepentingan, (diterjemahkan M. Imam
Aragon, L.V., 2000, The Colonial Introduction Azis), LKiS - KITLV, Yogyakarta.
of Religion and Language as Ethnicity Peter Harris dan Ben Reilly (ed) Demokrasi dan
in Sulawesi, Indonesia, University of Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pi-
Hawai Press, Honolulu. lihan untuk Negosiator, (diterjemahkan
Barth, Fredrik, 1988, Kelompok Etnik dan oleh LP4M), Cetakan pertama, 2000,
Batasannya, Terjemahan Nining I Susilo, AMEEPRO.
UIP, Jakarta. Posner, Daniel N., 2005, Institution and Ethnic
Eriksen, Thomas Hilland, 1993, Ethnicity and Politics in Africa, Cambridge University
Nationalism (anthropological perspec- Press, New York.
tive) Pluto Press, London. Suryadinata, Leo, dkk., 2003, Penduduk Indo-
Horowitz, Donald L.,1981, Ethnic Group in nesia : Etnis dan Agama dalam Era
Conflict, University of California Press, Perubahan Politik, LP3ES.
California. Rirtosudiro, Riwanto, 2007, Mencari Indonesia;
Horowitz, Jeremy dan James D. Long, 2006, Demografi-Politik Pasca-Soeharto,
Democratic Survival in Multi-etnik LIPI – YOI, Jakarta.
Countries, Working Paper, Department of Warnaen, Suwarsih, 2002, Stereotipe Etnis
Political Science, University of California, dalam Masyarakat Multietnis, Mata
California. Bangsa, Yogyakarta.