Anda di halaman 1dari 9

Menjadi Sebuah Pepaya

“Kenapa kamu ingin menjadi pepaya?”

“Karena Pak Habibie sudah tak ada….”

Aku termenung mendengar jawaban anak muridku. Baru saja kutanyai cita-cita mereka
satu per satu. Ada yang menjawab ingin jadi dokter, jadi pilot, jadi tentara. Tiba giliran Misman.
Dia bilang ingin jadi pepaya.

Beberapa waktu lalu, Pak Habibie meninggal dunia. Pengibaran bendera setengah tiang
dilakukan di mana-mana untuk menunjukkan kepedihan karena tokoh bangsa paling ikonik itu
telah berpulang ke Yang Mahakuasa. Siapa sih yang tidak kenal Pak Habibie? Aku juga dulu
ingin jadi seperti beliau.

Bel berbunyi. Jam pelajaranku telah habis. Karena jawaban Misman, aku meminta murid-
muridku mengarang tentang cita-cita mereka beserta alasan yang menyertainya. “Bapak minta
tulisan kalian selesai besok, ya. Tidak usah banyak-banyak. Satu halaman saja cukup.”

Penasaran juga aku, apa yang menyebabkan Misman ingin menjadi papaya. Bila pun Pak
Habibie sudah tak ada, apakah tak ada tokoh lain yang menginspirasinya? Sebut saja, sudah ada
berapa Presiden yang terpilih bakda Pak Habibie? Apa mereka-mereka itu tidak inspiratif?

“…. Pak Habibie itu bisa bikin pesawat terbang.”

Terdengar sebuah suara kecil dari ingatanku. Beberapa potong kenangan datang
menyambangiku. Aku masih mengenakan seragam merah-putih. Ibu Fatimah, wali kelasku, juga
bertanya kepada kami di kelas, apa cita-cita kami semua.

“…. Pak Habibie itu jenius!” ujar anak yang lain dengan penuh semangat.

Aku terdiam di pojokan dan berpikir, “Jika banyak anak yang ingin jadi Pak Habibie,
berarti nanti akan ada banyak pesawat yang dibuat. Kami tidak akan rebutan lagi saat berteriak
ingin minta uang dari setiap pesawat yang lewat. Karena akan makin banyak pesawat yang
lewat.”
Ibu Fatimah bertanya padaku kemudian, aku ingin jadi apa. Aku tidak tahu ingin menjadi
apa. Yang ada di kepalaku waktu itu cuma ingin sering-sering ke kota, naik mobil pick-up. Aku
akan merasa antusias melihat gedung-gedung tinggi lebih dari 3 tingkat. Lalu sebuah pesawat
rongsok di Simpang Talang Betutu, yang menjadi tanda masuk menuju bandara yang dikelola
angkatan udara itu, menjadi benda mewah untuk dilihat.

Aku kerap melihatnya saat pagi-pagi sekali ikut Bapak mengantar sayur di Pal Lima. Dini
hari, aku ikut bangun, menyiapkan yang bisa kusiapkan, lalu menerobos dinginnya udara dini
hari itu.

Anak seorang petani sayur, apakah boleh punya cita-cita seperti Pak Habibie? Ingin
kutanyakan pertanyaan itu pada Ibu Fatimah. Namun, aku menggeleng sambil menyilangkan
tanganku di meja, berkata, “Saya belum tahu, Bu…”

***

Sebuah pepaya. Hal itu masih menjadi misteri bagiku. Kenapa ada seorang anak yang
ingin jadi pepaya?

Kubuka sebuah laman pencarian. Kuketikkan “sejarah papaya” sambil mengira-ngira


barangkali Misman terinspirasi dari kisah papaya atau apa. Dari Wikipedia kudapatkan data
bahwa ternyata papaya bukanlah tanaman asli Indonesia, melainkan dari Meksiko bagian selatan
dan Amerika Selatan bagian utara. Carica namanya.

Ah, tidak mungkin Misman menjangkau sampai sana.

Selanjutnya, Wikipedia menuliskan bahwa pepaya berbatang lurus, tidak bercabang. Aha!
Barangkali ini alasannya, Misman ingin hidupnya lurus-lurus saja seperti papaya, tidak perlu
bercabang ke mana-mana. Namun, kenapa pepaya? Kelapa juga ‘kan tidak bercabang?

Mataku terus turun baris demi baris sampai kutemukan kalimat yang mencurigakan
berikutnya. “Pepaya memiliki manfaat yang banyak karena pepaya banyak mengandung vitamin
A yang baik untuk kesehatan mata.”
Barangkali Misman ingin mengajukan kritik, sekarang banyak orang punya mata tapi tak
bisa melihat mana yang baik mana yang buruk. Makan papaya bisa jadi menyehatkan mata dan
mengembalikan kesadaran manusia untuk melihat sebaik-baiknya.

Ah, tapi mana mungkin ada anak kecil berpikir seperti itu?

Rasanya tak sabar betul menunggu apa yang akan dituliskan Misman kenapa ia mau jadi
pepaya?

***

Bu Fatimah adalah guru yang baik, wali kelas yang baik pula. Beruntung betul rasanya
bila kemudian kulihat anak-anak kelas B yang dapat Bu Jumari sebagai wali kelas. Pasalnya, Bu
Jum suka marah-marah. Barang siapa yang telat masuk ke sekolah, akan ia suruh berdiri di depan
kelas sambil mengangkat satu kaki. Kedua tangan disilangkan sambil menjewer kuping. Jadi,
tangan kiri menjewer kuping kanan dan tangan kanan menjewer kuping kiri. Melihatnya saja
sudah menyakitkan.

Bu Fatimah tidak pernah berlaku demikian. Kepadaku yang acap kali terlambat, ia
menyuruhku duduk saja. Katanya, tidak ada gunanya menghukum anak-anak. Kami semua tidak
pernah dihukum—bahkan untuk hukuman seperti menyanyi di depan kelas. Bu Fatimah juga
tidak pernah memberi PR banyak-banyak.

Bu Fatimah masih menunggu jawabanku. Ketika aku masih diam, dia tidak marah sama
sekali. Saat dia berbalik pergi itulah, bibirku terbuka, terbata-bata berkata, “Bu, saya… saya
ingin jadi seperti Ibu.”

Bu Fatimah kembali memandangku. Matanya berbinar. Bibirnya tertarik mengembang ke


sisi sekali lagi.

Aku sendiri tidak paham waktu itu apakah aku ingin menjadi orang yang baik seperti Bu
Fatimah ataukah aku ingin menjadi guru?

***
Kita tidak pernah ke mana takdir membawa kita pergi. Bila pun seperti Kafka, yang
ketika terbangun menjadi seekor kecoa bernama Gregor Samsa—tak ada yang tidak mungkin.
Aku mengingat masa kecilku sambil aku mengingat Misman. Ya, aku melihat diriku di dirinya
yang masih tak paham harus membayangkan masa depan seperti apa yang kujalani.

Aku penasaran sekali dengan Misman, tetapi baru besok bias kubaca tulisannya itu. Iseng
kubuka laptop, kuketikkan yang ada di kepalaku.

Bayangkan suatu hari, saat merasa terbangun dari tidurmu, tiba-tiba kau tak dapat
menggerakkan tangan dan kaki. Ah, lebih tepatnya, kau tak lagi memiliki tangan dan kaki. Tiba-
tiba saja kau jadi sebuah papaya mengkal, tergantung di sebuah pohon. Kau mencoba
menggerakkan tubuhmu, tetapi kau pepaya, bisa apa?

Lalu kau melihat seorang pria paruh baya. Ia membawa semacam satang dan karung.

Kau tahu, ia akan memetikmu. Perasaanmu yang bilang demikian.

Ya, kau mulai memiliki kesadaran sebagai papaya dan memiliki segala intuisinya.

Kau juga tahu hari itu kau akan dimasukkan ke dalam karung, dinaikkan ke bak mobil,
dibawa ke suatu tempat, entah terpilih ke pasar atau penjual di pinggir jalan. Sang penjual akan
menjajakanmu per kilogram, menimbangmu, lalu ada tawar-menawar kecil-kecilan sebelum kau
dibawa ke rumah seseorang.

Dia seorang gadis. Tinggal sendiri di apartemennya.

Ia melemparkanmu ke sofa saat sebuah panggilan telepon menyapanya.

Kau mendengar nadanya meninggi. Ia pasti sedang bertengkar dengan pacarnya.


Biasanya orang yang paling pandai menyakiti kita adalah orang yang paling kita cintai.

Kau tidak tahu pasti apa yang ia bicarakan. Persepsimu sebagai manusia mulai kabar,
digantikan dengan intuisi papaya.

Yang kautahu pasti, ia kemudian memegang pisau. Dan kau mulai ketakutan.
Kubaca lagi hasil coretanku dan bagus juga sepertinya jika kukembangkan sebagai
sebuah cerita pendek. Pertanyaannya, apakah aku ataukah Misman yang cocok menjadi pepaya
dalam ceritaku?

***

Hari yang kunanti tiba. Hari ini aku akan membaca semua cita-cita anak muridku.

Aku tahu, aku tidak boleh berharap terlalu banyak karena tidak mungkin anak-anak
seusia mereka bisa membuat tulisan yang indah dan tak terduga tentang cita-cita.

Bel masuk berbunyi. Semua anak lengkap. Kecuali Misman.

“Ke mana, Misman?” tanyaku.

“Tidak tahu…” jawab Ketua Kelas.

“Siapa yang berteman dekat dengan Misman?” tanyaku lagi.

Tidak ada satu pun anak yang menjawab. Semuanya menggeleng.

Ketua Kelas kemudian berkata, “Misman pendiam. Dia tidak pernah akrab dengan kami
semua, meski kami sudah sekelas, bersama-sama sejak kelas 1.”

“Mungkin sakit,” ujar anak lain.

“Sakit?”

“Iya, Misman selalu tampak lelah.”

“Sebab rumahnya jauh,” timpal anak yang lain.

“Iya, dia jalan kaki dari rumah ke sekolah.”

“Memangnya di mana rumahnya?” tanyaku.

“Talang Ilir.”

“Iya, Talang Ilir. Dari kandang ayam, masih jauh lagi.”


Aku pun mengingat saat pertemuan dengan wali murid. Orang tua Misman tak datang
pada pertemuan itu. Saat itu aku abai, tak menanyakan secara detail alamatnya. Kandang ayam
yang muridku maksudkan, letaknya sudah lebih 2 kilometer dari sekolah. Luar biasa bila dia
harus berjalan kaki setiap hari sekolah dengan jarak sejauh itu.

Tanpa Misman, kelas kulanjutkan. Dan kutunggu kabar darinya.

Namun, sampai hari ketiga, tak juga ada kabar. Nomor kontak orang tuanya kuhubungi,
tapi tak aktif.

Ada apa dengan Misman?

Apa ia tiba-tiba terbangun, lalu menjadi sebuah papaya seperti yang kubayangkan?

Tidak mungkin ‘kan khayalanku jadi kenyataan?

***

Gadis itu memegang pisaunya.

Namun, ia malah menangis.

Kau pasti tak tahu kenapa ia menangis. Di sampingnya, telepon genggamnya terus
bordering. Namun, ia tidak mengangkatnya.

Televisi ia nyalakan. Barangkali untuk menyamarkan suara tangisnya.

Lalu kau mendengar ia mengatakan sesuatu, “Aku bukan orang jahat. Kenapa kau
menyakitiku.”

Kau juga merasa bukan orang jahat, tapi kenapa kau berubah menjadi papaya?

Gadis itu beranjak, sambil masih memegang pisaunya.

Ia mendekatimu. Kau pun sangat ketakutan.

“Tolong, jangan bunuh aku!”


Namun, kau papaya, tidak punya mulut. Suaramu—ah, kau tidak punya suara. Itu hanya
perasaanmu sebagai papaya yang tidak mungkin ia dengar.

Gadis itu pun memegangmu, mengangkatmu, dan memandangimu dalam-dalam.

***

Nyatanya, aku tidak pernah sengaja jadi guru. Selepas SMA, aku mengikuti tes masuk
perguruan tinggi. Untungnya, di Indonesia, passing grade untuk diterima di Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pengetahuan (FKIP) itu cukup rendah. Beda dengan di luar negeri seperti Finlandia.
Kalau di sana, anak yang berkeinginan menjadi guru diseleksi betul-betul dari 10 besar terbaik
sekolahnya.

Ironis memang, ketika menyadari, aku memahami takdirku jadi guru justru karena nilaiku
yang pas-pasan. Sedangkan yang pintar-pintar memilih melanjutkan harapannya sebagai dokter
atau anak teknik—meski lucunya, tidak sedikit juga yang berakhir sebagai karyawan bank.

Aku hanya seorang anak tukang sayur. Dan aku merasa beruntung bisa keluar dari ikatan
itu. Anak tukang sayur biasanya berakhir sebagai tukang sayur pula.

***

Gadis itu mulai mengupasmu. Namun, tak ada kaurasakan sakit.

Pisau yang pelan-pelan mengulitimu itu seperti es dingin yang menyentuhmu. Tapi
papaya tak berdarah. Barangkali itulah alasannya kau juga tidak mengenal rasa sakit.

Selesai mengupasmu, ia mulai memotongmu. Ngilu. Namun, sama, tidak ada rasa apa-
apa. Selesai membersihkan bijimu, ia meletakkanmu di sebuah piring.

Dibukanya jendela dan pintu menuju balkon. Ia melangkah keluar sambil membawamu.
Di sana ada sebuah meja kecil. Di situlah kau diletakkan.

Satu potongan tubuhmu ia tusuk dengan garpu.

Sebelum memakannya, ia berbisik pelan, “Apa ya rasanya maut?”

***
Hari keempat. Kalau Misman sampai tak masuk hari ini, aku harus mengunjungi
rumahnya. Aku harus minta karangannya soal menjadi sebuah papaya.

Namun pagi itu, aku melihat Misman di depan ruang guru. Di sampingnya berdiri
seorang perempuan, mirip Misman. Pasti itu ibunya Misman.

Beliau menyalamiku.

“Mari masuk dulu, Bu.”

Ibunya Misman masuk.

Kupersilakan duduk.

Kulihat matanya sembab. Kuduga sesuatu yang buruk telah terjadi padanya. Kulihat
Misman di sampingnya. Ia menunduk dan diam saja.

“Mohon maaf, tiga hari ini Misman tak masuk sekolah. Saya kesulitan memberi kabar.”

Aku berusaha mengerti dan berkata pada ibunya Misman, “Tidak apa-apa, Bu. Yang
penting nanti Misman mau dan bisa mengejar pelajaran yang ia tinggalkan.”

Sekaligus mengumpulkan karangannya tentang menjadi sebuah papaya.

“Soal itu… hmm…”

“Ada apa, Bu? Katakan saja….”

“Saya tidak yakin apa Misman bisa melanjutkan sekolah atau tidak….”

“Hah? Kenapa, Bu?”

Saat itulah kudengar kalimat-kalimat yang tak kuduga. Tiga hari lalu, Bapaknya Misman
meninggal. Misman anak laki-laki pertama dan satu-satunya. Ia punya empat adik yang masih
kecil semua. Misman kini harus jadi tumpuan keluarga, menggantikan Bapaknya berjualan di
pasar.

Ya, Misman juga anak tukang sayur ternyata. Sama sepertiku.


Meski sialnya, hari itu memang hari terakhir kulihat ia di sekolah.

Saat ia berpamitan denganku, aku lihat ada airmata tertahan di wajahnya dan bertanya-
tanya di mana negara. Ia menyalamiku, aku rasakan ada gulungan kertas di dalamnya.

Saat ia berbalik dan menjauh, baru kubuka gulungan kertas itu.

Menjadi Sebuah Pepaya

Saya ingin menjadi sebuah papaya. Seperti yang tumbuh di belakang rumah. Batangnya
tinggi. Banyak buahnya. Kami tidak pernah memetiknya sebelum matang. Meski godaan itu ada
—untuk bikin pempek pistel misalnya.

Saya ingin menjadi sebuah papaya, yang dipetik pada waktunya.

(2019)

Anda mungkin juga menyukai