Anda di halaman 1dari 13

TUGAS 2

FILSAFAT ILMU
ALIRAN FILSAFAT KRITISISME IMMANUEL KANT
SEBAGAI SINTESIS ANTARA RASIONALISME DAN EMPIRISME

OLEH :
RAHMAT HIDAYATULLAH
A022222002

PROGRAM STUDI MAGISTER SAINS MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
PEMBAHASAN
A. SEJARAH FILSAFAT KRITISISME
Filsafat periode modern melahirkan berbagai macam aliran
pemikiran. Dua diantaranya adalah rasionalisme dan empirisme.
Kedua aliran ini memiliki pengertian, ciri dan tokohnya masing-masing.
Namun tentang aspek mana yang berperan pada ilmu pegetahuan
terdapat perbedaan pendapat.
Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan
adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal).
Aliran empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber
pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul
aliran kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda
itu. Dimana aliran ini menejelaskan bahwa, justru sumber ilmu
pengetahuan adalah hasil dari integrasi antara rasio (akal) dan
pengalaman yang didapat oleh manusia. Namun sebelum membahas
kritisisme, penulis akan sedikit menyinggung dari dua aliran
sebelumnya.
Rasionalisme

Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650


M). Dalam buku Discourse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan
perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua
pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis.
Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal
ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh
pengetahuan.

1
Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata hanya
ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu "saya ragu-ragu". Ini
bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa "aku ragu-ragu". Jika aku
menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan
adanya. Dengan lain kata kesangsian itu langsung menyatakan
adanya aku. Itulah "cogito ergo sum", aku berpikir (= menyadari) maka
aku ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi. -- Mengapa
kebenaran itu pasti? Sebab aku mengerti itu dengan "jelas, dan
terpilah-pilah" "clearly and distinctly", "clara et distincta". Artinya, yang
jelas dan terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai benar. Dan
itu menjadi norma Descartes dalam menentukan kebenaran.
Descartes menerima 3 realitas atau substansi bawaan, yang
sudah ada sejak kita lahir, yaitu (1) realitas pikiran (res cogitan), (2)
realitas perluasan (res extensa, "extention") atau materi, dan (3) Tuhan
(sebagai Wujud yang seluruhnya sempurna, penyebab sempurna dari
kedua realitas itu). Pikiran sesungguhnya adalah kesadaran, tidak
mengambil ruang dan tak dapat dibagi-bagi menjadi bagian yang lebih
kecil. Materi adalah keluasan, mengambil tempat dan dapat dibagi-
bagi, dan tak memiliki kesadaran. Kedua substansi berasal dari Tuhan,
sebab hanya Tuhan sajalah yang ada tanpa tergantung pada apapun
juga. Descartes adalah seorang dualis, menerapkan pembagian tegas
antara realitas pikiran dan realitas yang meluas. Manusia memiliki
keduanya, sedang binatang hanya memiliki realitas keluasan: manusia
memiliki badan sebagaimana binatang, dan memiliki pikiran
sebagaimana malaikat. Binatang adalah mesin otomat, bekerja
mekanistik, sedang manusia adalah mesin otomat yang sempurna,
karena dari pikirannya ia memiliki kecerdasan. (Mesin otomat jaman
sekarang adalah komputer yang tampak seperti memiliki kecerdasan
buatan).

2
Empirisme

Aliran empririsme pemikiran yang dipelopori oleh David Hume


(1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama
pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang
menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi
manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk
pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Dua hal dicermati oleh Hume, yaitu substansi dan kausalitas.
Hume tidak menerima substansi, sebab yang dialami hanya kesan-
kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama. Dari
kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil penginderaan langsung,
sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan seperti itu. Misal
kualami kesan: putih, licin, ringan, tipis. Atas dasar pengalaman itu
tidak dapat disimpulkan, bahwa ada substansi tetap yang misalnya
disebut kertas, yang memiliki ciri-ciri tadi. Bahwa di dunia ada realitas
kertas, diterima oleh Hume. Namun dari kesan itu mengapa muncul
gagasan kertas, dan bukan yang lainnya? Bagi Hume, "aku" tidak lain
hanyalah "a bundle or collection of perceptions (kesadaran tertentu)".
Kausalitas. Jika gejala tertentu diikuti oleh gejala lainnya, misal
batu yang disinari matahari menjadi panas, kesimpulan itu tidak
berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya memberi kita urutan
gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan sebab-akibat.

3
Yang disebut kepastian hanya mengungkapkan harapan kita saja dan
tidak boleh dimengerti lebih dari "probable" (berpeluang). Maka Hume
menolak kausalitas, sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti yang
lain tidak melekat pada hal-hal itu sendiri, namun hanya dalam
gagasan kita. Hukum alam adalah hukum alam. Jika kita bicara tentang
"hukum alam" atau "sebab-akibat", sebenarnya kita membicarakan
apa yang kita harapkan, yang merupakan gagasan kita saja, yang lebih
didikte oleh kebiasaan atau perasaan kita saja. Menurut Hume ada
batasan-batasan yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat
diambil melalui persepsi indera kita.
Kritisisme

Kritisisme yang diperkenalkan pertama kali oleh Immanuel Kant


(1724-1804) adalah sebuah ajaran yang disebut sebagai filsafat kritis
Tiga karya besarnya disebut sebagai “Kritik”, yaitu :
1. Kritik der reinen Vernunft (Critique of Pure Reason),
2. Kritik der praktischen Vernunft (Critique of Practical Reason),
3. dan Kritik der Urteilskraft (Kritik atas Daya Pertimbangan).
(Hadiwijono, 1980 : 64)
Secara harafiah kata kritik berarti “pemisahan”. Filsafat Kant
bermaksud membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dan
yang tidak murni, yang tiada kepastiannya. Ia ingin membersihkan
pengenalan dari keterikatannya kepada segala penampakan yang
bersifat sementara. Jadi filsafatnya dimaksud sebagai penyadaran
atas kemampuan-kemampuan rasio secara objektif dan menentukan
batas-batas kemempuannya untuk memberi tempat kepada keyakinan.

4
Dengan kata lain, filsafat Kant bermaksud untuk memugar sifat
objektivitas dunia dan ilmu pengetahuan. Agar maksud itu terlaksana,
orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan
sifat sepihak dari empirisisme. Rasionalisme mengira telah
menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya lepas
dari segala pengalaman. Sedangkan empirisisme mengira hanya
dapat memperoleh pengenalan dari pengalaman saja. Ternyata bahwa
empirisisme sekalipun mulai dengan ajaran yang murni tentang
pengalaman, tetapi melalui idealisme subjektif bermuara pada suatu
skeptisisme yang radikal. Disini, filsafat Kant memadukan kedua
filsafat rasionalisme dan empirisisme manjadi satu kesatuan dalam
bentuk filsafat kritis, dan membangun cara berpikir kritis yang tidak
terjebak dalam keduanya.
Menurut Kant, pemikiran telah mencapai arahnya yang pasti
dalam ilmu pengetahuan pasti-alam yang telah disusun oleh Newton.
Ilmu pengetahuan pasti alam itu telah mengajar kita bahwa perlu sekali
kita terlebih dahulu secara kritis meneliti tindakan pengenalan itu
sendiri. Pengenalan bersandar kepada putusan. Oleh karena itu perlu
sekali pertama-tama diadakan penelitian terhadap putusan.
Suatu putusan menghubungkan dua pengertian yang terdiri dari
subjek dan predikat. Dalam satu putusan seperti “meja itu bagus”,
maka predikatnya (bagus) menambahkan sesuatu yang baru kepada
subjeknya (meja). Karena tidak semua meja adalah bagus. Putusan ini
disebut putusan yang sintetis, karena menambahkan sesuatu yang
baru terhadap subjeknya dan diperoleh secara a posteriori, atau
melalui pengalaman dengan melihat meja itu dan membandingkan
dengan meja-meja lain. Inilah putusan yang dihasilkan oleh
empirisisme.
Dalam putusan yang lain seperti “lingkaran adalah bulat”,
ternyata predikatnya (bulat) tidak memberi sesuatu yang baru terhadap
subjeknya (lingkaran). Maka hal ini disebut putusan yang analitis, dan

5
bersifat a priori, atau bisa diperoleh hanya melalui kegiatan pemikiran
akali saja tanpa dibutuhkannya suatu pengalaman. Inilah putusan yang
dihasilkan oleh rasionalisme.
Menurut Kant, syarat dasar bagi suatu pengetahuan adalah
bersifat umum dan perlu mutlak namun sekaligus memberi
pengetahuan yang baru. Empirisme memberikan putusan-putusan
yang sintetis, jadi tidak mungkin empirisme memberikan suatu yang
bersifat umum dan perlu mutlak. Sebaliknya rasionalisme memberikan
putusan-putusan yang analitis, jadi tidak memberikan suatu
pengetahuan yang baru. (Hadiwijono, 1980 : 65-66)
Demikianlah, ternyata baik empirisisme maupun rasionalisme
tidak memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh ilmu pengetahuan.
Maka dari itu, perlu diselidiki bagaimana membuat suatu putusan-
putusan yang sintetis a priori, yaitu suatu putusan yang mampu
memberikan sesuatu yang baru, namun tidak perlu tergantung dari
pengalaman. Demikianlah bahwa filsafat Kant juga bersifat
transendental, yang berusaha meneliti bagaimana cara seseorang
untuk mengenal segala sesuatu. (Hadiwijono, 1980 : 65)
Segala pengalaman terjadi karena penggabungan dua faktor,
yaitu pengamatan inderawi dan penyadaran akal. Dalam kesadaran
sehari-hari, kedua faktor ini tidak terpisahkan. Akan tetapi dalam hal ini
secara teoretis keduanya harus dipisahkan, dengan maksud supaya
masing-masing dapat diselidiki kemungkinan dan keadaannya secara
transendental.
Adapun yang kita amati itu bukanlah bendanya sendiri atau
“benda dalam dirinya sendiri” (das ding an sich), melainkan suatu
salinan dari pembentukan benda itu dalam daya-daya inderawi lahiriah
dan batiniah, yang disebut sebagai penampakan atau gejala-gejala
(fenomena). Yang kita amati sesungguhnya bukanlah objek dalam
dirinya sendiri, melainkan gagasan kita tentang objek itu yang nampak
pada kita melalui indera-indera kita, yang menggerakkan daya tangkap

6
indera kita, sehingga kita membentuknya dalam fantasi menjadi suatu
gambaran tertentu. Jadi, mengetahui bukanlah mengetahui benda
dalam dirinya (das ding an sich), melainkan mengetahui penampakan
atau fenomena, sehingga pengertian hanya dapat dipakai untuk
memikirkan penampakan atau fenomena, bukan untuk memikirkan
benda dalam dirinya. (Hadiwijono, 1980 : 67)
Dalam hal ini, proses mengetahui dengan pengamatan terhadap
objek tersebut terletak dan dikuasai oleh kedua bentuk a priori, yaitu
ruang dan waktu. Bagi Kant, ruang dan waktu adalah sebuah “bentuk
formal” dari penginderaan. Bentuk ruang membentuk kesan-kesan
inderawi yang lahiriah, sedangkan waktu membentuk cerapan-cerapan
inderawi yang batiniah. Ajaran Kant tentang etika banyak tertuang
dalam bukunya Kritik der praktischen Vernunft (Critique of Practical
Reason). Disana dibicarakan tentang syarat-syarat umum dan yang
perlu mutlak bagi perbuatan kesusilaan. Yang dijadikan pegangan
adalah gagasan bahwa ada suatu “intuisi” yang memberi keyakinan
bahwa tiada sesuatu yang lebih tinggi daripada perbuatan yang
dilakukan berdasarkan suatu “kehendak baik”. Kelihatannya naluri
manusia lebih menentukan “kehendak baik” itu. Namun demikian
sesungguhnya naluri senantiasa memperhitungkan faktor-faktor
pengalaman. Maka dari itu harus dicari satu faktor yang semata-mata
baik dalam dirinya sendiri dan tidak tergantung dari apapun, termasuk
hasil yang akan diperoleh. Faktor yang demikian itu hanyalah rasio,
yang dalam hal ini dapat memberi suatu patokan praktis dalam setiap
tindakan. (Hadiwijono, 1980 : 74)
Menurut Kant, ada dua bentuk ketetapan kehendak, yaitu
ketetapan subjektif dan ketetapan objektif. Ketetapan subjektif datang
dari subjek dan ada kemungkinan kesewenang-wenangan. Ketetapan
yang objektiflah yang memberi perintah (imperatif), dimana terdapat
gagasan tentang suatu asas yang objektif, yang menjadikan kehendak
itu harus terjadi, lepas dari keinginan pribadi. Jadi, yang menentukan

7
adalah suatu pandangan objektif yang dimiliki rasio, yang seakan-akan
memberi perintah “Berbuatlah menurut motif-motif yang diberikan oleh
rasio.” Disinilah kehendak benar-benar objektif dan bersifat imperatif.
Tindakan imperatif itu ada dua macam, yaitu imperatif hipotetis
dan imperatif kategoris. Imperatif hipotetis adalah suatu perintah yang
mengemukakan suatu perbuatan sebagai alat untuk mencapai tujuan
tertentu. Yang menjadi tujuan dapat sesuatu yang nyata atau yang
mungkin. Contohnya adalah “Jika ingin pandai maka harus rajin
belajar.” (Scruton, 1982)
Imperatif yang kedua adalah imperatif kategoris. Imperatif
kategoris adalah perintah yang tidak tergoyahkan, yang tidak ada
hubungannya dengan tujuan yang hendak dicapai, perintah yang tidak
mengenal pertanyaan “untuk apa berbuat sesuatu ?” Perintah ini hanya
memiliki tujuan dalam dirinya sendiri, dan bersifat formal yang hanya
memformulasikan syarat formal yang harus dipenuhi perbuatan
apapun supaya dapat diberi nilai etis yang baik.
Adapun imperatif hipotetis hanya dapat ditaati karena
kepentingan diri sendiri, sehingga tersirat di dalamnya suatu dorongan
ego. Tidak demikian dengan imperatif kategoris, disini kehendak dan
hukum adalah satu. Inilah yang disebut rasio praktis yang murni. Disini
tidak ada unsur akal, yang ada hanya “keharusan” sesuatu yang
sekaligus adalah kehendak yang sempurna dan murni. Imperatif
kategoris inilah yang dipandang Kant sebagai asas kesusilaan yang
transendental. Keharusan (sollen) ini mewujudkan segala persoalan
etis.
B. TEORI KRITISISME IMMANUEL KANT
Teori kritisisme Kant terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Kritik atas pengetahuan murni: Kant mengembangkan kritik
terhadap kemampuan manusia dalam memahami realitas.
Menurut Kant, pengetahuan manusia terbatas oleh keterbatasan
akal manusia dan pengalaman manusia. Justru dengan siitesis

8
ataupun perpaduan dari dua aliran tersebut yang akan
melahirkan pengetahuan baru.
2. Kritik atas pengetahuan praktis: Kant juga mengembangkan kritik
terhadap kemampuan manusia dalam bertindak secara moral.
Menurut Kant, moralitas bersumber dari kemampuan manusia
untuk berpikir secara rasional dan otonom.
3. Kritik atas estetika: Kant juga mengembangkan teori estetika
yang menekankan bahwa pengalaman estetika terletak pada
kemampuan manusia untuk memahami keindahan secara
otonom.
Beberapa teori yang mengacu pada filsafat kritisisme Immanuel
Kant adalah sebagai berikut:
1. Transendentalisme: Teori ini mengemukakan bahwa sumber
pengetahuan manusia berasal dari struktur akal budi manusia
yang mendasari pengalaman manusia. Transendentalisme
berpendapat bahwa akal budi memberikan struktur dan kategori-
kategori konseptual yang diperlukan untuk mengorganisir dan
memahami pengalaman.
2. Etika Deontologis: Teori ini mengemukakan bahwa moralitas
bersumber dari kemampuan manusia untuk berpikir secara
rasional dan otonom. Etika deontologis berpendapat bahwa
manusia harus bertindak sesuai dengan prinsip moral yang
universal dan tidak hanya mengikuti perintah otoritas atau nafsu
pribadi.
C. KRITISISME DALAM ASPEK FILSAFAT ILMU
Kritisisme Immanuel Kant memiliki pengaruh yang besar dalam
tiga aspek filosofi, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Berikut
adalah penjelasan mengenai ketiga aspek tersebut dalam kritisisme
Kant:

9
1. Ontologi:
Dalam ontologi, Kant mengemukakan bahwa realitas terdiri dari dua
jenis objek: objek fenomena (hal-hal yang dapat kita lihat, dengar,
raba, dan sebagainya) dan objek noumena (hal-hal yang berada di
luar ruang dan waktu dan tidak dapat kita amati). Menurut Kant,
objek noumena tidak dapat diketahui secara langsung oleh manusia,
karena manusia hanya dapat mengetahui objek melalui
pengalaman melalui indera mereka.
2. Epistemologi:
Dalam epistemologi, Kant mengemukakan bahwa pengetahuan
manusia dibentuk oleh pengalaman dan akal budi manusia.
Manusia hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang dunia
melalui pengalaman, tetapi akal budi manusia juga memainkan
peran penting dalam membentuk pengetahuan tersebut. Akal budi
memberikan struktur dan kategori-kategori konseptual yang
diperlukan untuk mengorganisir dan memahami pengalaman.
Dengan kata lain, akal budi membentuk dan membatasi cara
manusia memahami dunia.
3. Aksiologi:
Dalam aksiologi, Kant mengemukakan bahwa moralitas bersumber
dari akal budi manusia dan bukan dari agama atau tradisi. Menurut
Kant, manusia memiliki kemampuan untuk memahami prinsip-
prinsip moral yang universal dan dapat mengikuti prinsip-prinsip
tersebut secara otonom. Prinsip moral tertinggi menurut Kant adalah
imperatif kategoris, yaitu tindakan yang benar adalah tindakan yang
dapat diterapkan secara universal. Artinya, manusia harus bertindak
sesuai dengan prinsip moral yang universal dan tidak hanya
mengikuti perintah otoritas atau nafsu pribadi.

10
KESIMPULAN
Sepanjang sejarah perkembangan ilmu pegetahuan dalam hal ini
filsafat, aliran rasionalisme maupun empirisme memiliki peran yang begitu
besar. Walaupun kedua aliran ini saling bertolak belakang dan memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun dengan hadirnya paham
kritisisme yang di kemukakan oleh Immanuel Kant (1724-1804) dapat
menjembatani kedua aliran tersebut. Segala pengalaman terjadi karena
penggabungan dua faktor, yaitu pengamatan inderawi dan penyadaran akal.
Dalam kesadaran sehari-hari, kedua faktor ini tidak terpisahkan. Akan tetapi
dalam hal ini secara teoretis keduanya harus dipisahkan, dengan maksud
supaya masing-masing dapat diselidiki kemungkinan dan keadaannya
secara transendental.
kritisisme Immanuel Kant memiliki pengaruh yang besar dalam
filsafat modern dan memperkenalkan gagasan baru tentang bagaimana
manusia memperoleh pengetahuan dan memahami realitas. Dalam
aksiologi, kritisisme Kant menekankan bahwa moralitas bersumber dari
kemampuan manusia untuk berpikir secara rasional dan otonom, yang
menempatkan manusia sebagai agen moral yang bertanggung jawab atas
tindakan mereka.

11
DAFTAR PUSTAKA
Hadiwijono, H. (1980). Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Kanisius
http://perpustakaan-online.blogspot.com/2008/04/filsafat-metafisika-
immanuel-kant.html
http://rezaantonius.multiply.com/journal/item/235
Kaelan. 2009. Filsafat Bahasa Semiotikan dan Kermeneutika, Yogyakarta:
Paradigma
Scruton, R., 1982, Kant, Oxford University Press, London
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007. Filsafat Imu.
Yogyakarta: Liberty
Windo, W. (2009). Kritisisme Kant : Sintesis Antara Rasionalisme Dan
Empirisme FIB UI

12

Anda mungkin juga menyukai