Anda di halaman 1dari 10

TUGAS INDIVIDU

ESSAY PSIKOLOGI SOSIAL

MATA KULIAH:
SEMINAR PSIKOLOGI SOSIAL

OLEH :
NOVIA RENITA
(1930901127)

DOSEN PENGAMPU :
Dr. ,EMA YUDIANI, M.Si.,PSIKOLOG

FAKULTAS PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2022
ESSAY PSIKOLOGI SOSIAL

Seiring dengan perkembangan teknologi banyak orang di abad


20 menjalani hidup dengan sangat mudah. Perkembangan teknologi yang
begitu pesat menjadikannya alternatif dalam mempermudah manusia
dalam melakukan bermacam-macam aktivitas yang tak kenal jarak dan
waktu yang biasa kita sebut dengan internet (Andani, dkk 2020).
Sehingga dikatakan bahwa manusia merupakan makhluk teknologi yang
mana manusia adalah penentu segala bentuk perkembangan
dimasyarakatnya. Marnita, Ahmad & Said (2014) mengatakan bahwa
internet dapat ditafsirkan sebagai perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi guna melakukan komunikasi antar individu dari berbagai penjuru
dunia yang sangat jauh menjadi dekat dengan efisien. Artinya bahwa
setiap manusia tidak bisa terpisahkan dengan internet dari evolusi
sosialisasi (Andini, 2006). Jejaring Sosial memiliki keisitimewaanya yaitu
luasnya kemampuan dan kemudahan dalam menjangkau jaringan dan
informasi yang menjadi fasilitas bagi kalangan masyarakat. Lahirnya
berbagai media jaringan sosial diantaranya facebook, twitter, instagram,
dan lainnya adalah salah satu bentuk dari perkembangan teknologi
komunikasi. Karena kemajuan tersebut hidup manusia dalam berinteraksi
dengan sesama menjadi sangat lebih mudah, memperoleh informasi
sampai dengan menjalankan aktifitasnya adalah bentuk dari dampak
positif dari kemajuan teknologi.
Hootsuite (We are Social) yaitu sebuah situs layanan manajemen
konten yang menyediakan layanan media daring yang juga terhubung
dengan berbagai situs jejaring sosial lainnya, menyebutkan bahwa pada
tahun 2021 data pengguna internet sebanyak 4,66 milyar yaitu 59,5% dari
jumlah populasi di dunia. Sedangkan pengguna media sosial aktif
sebanyak 4,20 milyar yaitu 53,6% dari jumlah populasi di dunia. Lalu di
Indonesia sendiri pengguna internet mencapai 202,6 juta yaitu 73,7% dari
jumlah populasi di Indonesia. Sedangkan pengguna media sosial aktif
mencapai 170 juta yaitu 61,8% dari jumlah populasi di Indonesia
(Hootsuite (We are Social): Indonesian Digital Report 2021 dalam
Andi.Link, 2021)
Dari data yang tertera, semakin banyak dan luasnya para
pengakses internet yang tidak hanya berbagi informasi pengetahuan
melalui Wikipedia, Google Scholar, ataupun situs lainnya yang dapat
berbagi pengetahuan, namun juga kemudahan dalam bertransaksi uang
seperti pembayaran tagihan, pembelian serta penjualan barang secara
online apapun itu baik berupa barang ataupun jasa, pengembangan
bisnis, sensasi bermain seperti di dunia nyata, kemudahan berkonsultasi
kesehatan, sampai menikmati lagu-lagu atau unjuk kemampuan bermain
musik seseorang hingga berkomunikasi dari berbagai aplikasi bahkan
sampai menemukan pasangan pun bisa kita lakukan.
Efek dari pengunaan teknologi sendiri diambil dari sudut
pandang positif yang berupa seseorang dapat meningkatkan partisipasinya
ke dalam kehidupan sosial politik, menyalurkan ekspresi dan aspirasinya
guna mengakrabkan satu sama lain, mengakses hasil-hasil dari
kebudayaan yang ada diberbagai daerah maupun negara dan
berkomunikasi dengan orang-orang diberbagai penjuru dunia (Nurudin,
2016). Namun penggunaan teknologi itu sendiri pun memiliki sisi
negatifnya sebagai contoh Thio (2010) menyebutkan bahwa
penyalahgunaan internet dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan tujuan
para penggunanya yaitu berupa memperoleh uang dari hasil penipuan
dengan mudah, mengakses konten pornografi, dan menunjukkan sampai
menyebarkan ujaran kebencian.
Dalam menghubungkan atau menemukan seseorang dari
berbagai kalangan di banyak negara, salah satunya dapat dilakukan
dengan cara mengunduh aplikasi kencan. Aplikasi kencan seluler adalah
salah satu bentuk aplikasi pada smartphone yang bertujuan untuk
memfasilitasi kegiatan kencan secara daring (Sumter & Vandenbosch,
2017). Seseorang dapat memilih kenalan dengan mudah sesuai kriteria
dan tipe yang diinginkan, sehingga aplikasi kencan memiliki banyak
penggemarnya. Menurut data yang dipublikasikan
oleh businessofapps.com, pada 2021 jumlah pengguna aplikasi
kencan online  sudah  mencapai 323,9 juta di seluruh dunia, nama-nama
aplikasi yang paling banyak penggemarnya diantaranya ada Badoo,
Tinder, Bumble, dan Tantan. Angka ini meningkat 10,3% dibandingkan
tahun sebelumnya yaitu 293,7 juta pengguna. Namun aplikasi tersebut
memiliki komunikasi dua arah tanpa ada perlindungan dalam
pemakaiannya yang artinya tidak sedikit kalangan pengguna mengalami
kejadian tidak menyenangkan. Seperti contoh Ketika mereka mengirimkan
foto atau video tidak tidak senonoh, keduanya berkirim pesan untuk saling
menggoda, melakukan percakapan atau panggilan video tentang seks
atau pornografi yang dapat memberikan dorongan hasrat dan fantasi para
user. Kemudian dengan meluasnya akses tanpa batas di dunia maya
terutama para pengguna aplikasi kencan dapat berujung besarnya
kesempatan orang yang tidak dikenal untuk melakukan tindakan cybersex.
Dilansir dari KOMNAS (Komisi Nasional) Perempuan dalam Catahu 2021:
Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2020 mencatat
ada 16 total kasus yang mana pelaku dengan sengaja mengirimkan
gambar intimnya ataupun pesan bernada seksual dengan maksud untuk
melecehkan korban.
Daneback, Cooper, & Mansson (2005) mengkategorikan
Cybersex masuk sebagai subkategori dari OSA (Online Sexual Activities)
yaitu internet digunakan sebagai alat untuk melakukan kegiatan pemuas
hasrat seksual. Sedangkan Noonan (1999) mengatakan bahwa cybersex
adalah pertukaran pesan erotis yang sugestif atau fantasi seksual melalui
perangkat computer yang terkoneksi dengan dua orang atau lebih yang
sedang online atau aktif pada saat yang sama. Itulah mengapa Carnes,
Delmonico, dan Griffin (2001) menyebutkan bahwa cybersex terdiri atas
tiga kategori yaitu recreational user, at risk user, dan sexually compulsive
user. Karena reaksi yang dirasakan tidak langsung dan jauh membuat
para pelakunya bebas melakukan apapun yang mereka inginkan seperti
pembicaraan seks, melakukan rekaman seks atau menonton orang yang
melakukan aksi seksual, berkumpulnya komunitas penyimpangan seks,
transaksi seksual secara berbayar maupun gratis. Akan tetapi bagi
kebanyakan orang, terlebih mereka yang akan menikah serta belum
mengenal seks, cybersex bisa menjadi sarana untuk belajar atau simulasi.
Arisandi (2009) melakukan penelitian terhadap mahasiswa dari
salah satu Universitas yang berada di Sumatera Selatan mengatakan
bahwa di kategori rendah sebanyak 6% mahasiswa kecanduan terhadap
internet, kategori sedang sebanyak 76% dan di kategori tinggi sebanyak
18%. Lalu Arisandi memaparkan bahwa ada beberapa mahasiswa yang
berterus terang pernah melakukan cybersex, sedangkan beberapa
mahasiswa berterus terang membuat kumpulan topik-topik mengenai
bermacam-macam hal yang didapatkan dari cybersex (Arisandi, 2009).
Penelitian lain yang dilakukan di Kota Medan oleh Sari dan Purba (2012)
mengatakan bahwa ada remaja yang melakukan aksi cybersex dalam
rangka rekreasi (recreational users) sebanyak 67%, pengguna beresiko
(at risk users) sebanyak 29%, dan pengguna komplusif ( sexual
compulsive users) hanya 4%. Sari dan Purba (2012) juga mendapatkan
ada tiga alasan kuat para remaja melakukan aksi cybersex yaitu: pertama,
mudah mengakses atau mendapatkan entitas seksual; kedua, terjaganya
privasi; dan ketiga, kebebasan mengekspresikan fantasi seksual (Sari dan
Purba, 2012). Indonesia sendiri untuk jumlah situs porno setidaknya
meningkat dari 22.100 situs pada tahun 1997 menjadi 280.00 situs pada
tahun 2000 atau melesat 10 kali lipat dalam kurun waktu tiga tahun
terakhir (Soebagijo, 2008).
Akibat dari kecanduan internet ini cybersex akhirnya muncul
yaitu sebagai alternatif lain yang artinya tidak perlu melakukan kontak
langsung sehingga membuat keuntungan bagi para pelaku. Kegiatan
cybersex ini biasanya dilakukan karena adanya dua orang atau lebih
dimana mereka melakukan timbal balik. Hasil beberapa wawancara yang
dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa adanya kegiatan cybersex
yang diperoleh dari salah satu informan :
“pake semuanya sih aku, dari chat, telepon sama vc itu pake.
Tapi kalua pake chat itu yang paling sering. Kalau chat itu kan dulu awal-
awal itu Cuma lewat SMS, telepon biasa. Pas sekarang udah aplikasi
online itu seringnya ya pake wa”
Terlihat dari cara mereka berinteraksi melalui chat, telepon, dan
videocall adalah sebagian dari cara mereka untuk menaikkan gairah seks,
guna memicu rangsangan yang membuat mereka merasakan aktifitas
hubungan seks secara nyata.
Dalam penelitian O’sullivan dan Ronis (2013), menyebutkan ada
beberapa faktor yang menjadi penyebab perilaku cybersex yang dilakukan
oleh laki-laki maupun perempuan dipengaruhi oleh internet time spent,
religiusitas, dan sensation seeking. Teori ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Hung-Yi Lu, Li-Chun Ma, Tsai-Shin Lee, Hsin-Ya Hou,
dan Hui-Yen Liao mengatakan bahwa high sexual sensation lebih mungkin
daripada low sexual sensation untuk menerima cybersex, banyak
pasangan seksual, dan one-night stand. Kemudian dijelaskan dalam
(Rosenbloom, 2003), high sexual sensation seekers membutuhkan lebih
banyak stimulasi untuk mempertahankan tingkat gairah yang optimal
daripada low sexual sensation. Kemudian dalam (Zuckerman, 2009)
dijelaskan bahwa pencari sensasi atau Sensation Seeking yaitu orang yang
memiliki pencari pengalaman dan perasaan adalah ciri kepribadian yang
menginingkan banyak variasi, suatu hal yang baru, kompleks dan intens
serta kesiapan untuk menerima risiko fisik, sosial, hukum, dan keuangan
demi pengalaman tersebut. Mashegoane, Moalusi, Ngoepe. Lalu Peltzer
(2002) juga mendefinisikan Sex Sensation Seeking sebagai kecenderungan
untuk terlibat dalam perilaku seksual yang berani dan merangsang secara
optimal. Noar, Zimmerman, Palmgreen, Lustria, dan Horosewski (2006)
menyimpulkan bahwa seksual sensation seeker berada pada individu yang
memiliki kebutuhan tinggi akan seksual yang baru dan mendebarkan
pengalaman dan dorongan untuk kebutuhan tersebut menyebabkan
sensation seeker untuk terlibat dalam perilaku seksual berisiko.
Hasil wawancara yang dilakukan peneliti pada salah satu
pengguna aplikasi kencan online dan didukung dengan data yang di
dapatkan peneliti bahwa pengguna aplikasi kencan online melakukan
videocall dengan melakukan seks secara online melalui fitur-fitur yang ada
di aplikasi kencan online. Dan berdasarkan hasil wawancara dan data yang
didapatkan peneliti menyimpulkan bagaimana sensation seeking dapat
berpengaruh terhadap perilaku cybersex karena berdasarkan pengamatan
peneliti para pelaku cybersex melakukannya atas dasar kemudahan dalam
mengenal orang-orang baru sesuai kriteria yang mereka inginkan, dan
dapat berinteraksi seksual tanpa harus mengenal satu sama lain
didasarkan atas suka sama suka selain itu mereka bebas mengekspresikan
fantasi seksualnya karena kebanyakan mereka memiliki waktu senggang
dan suasana yang mendukung untuk melakukan seksual secara online.
REFERENSI

Hubungan Sensation Seeking Terhadap Perilaku Cybersex Pada Pengguna


Aplikasi Kencan Online.
Teknologi > Aplikasi Kencan Online > Perilaku Cybersex > Sensastion
Seeking.
Andini, S. (2006). Perbedaan Sikap Terhadap Cybersex Berdasarkan Jenis
Kelamin Pada Dewasa Awal. Skripsi yang tidak dipublikasikan,
Universitas Gunadarma, Fakultas Psikologi, Jakarta, Indonesia.
Zuckerman, Marvin (2009). "Chapter 31. Sensation seeking". In Leary,
Mark R.; Hoyle, Rick H. (eds.). Handbook of Individual Differences in
Social behavior. New York/London: The Guildford Press. pp. 455–
465. ISBN 978-1-59385-647-2.
Riyanto, A. D. (2021). Hootsuite (We are Social): Indonesian Digital
Report 2021. https://andi.link/hootsuite-we-are-social-indonesian-digital-
report-2021/
Curry, D. (2022). Dating App Revenue and Usage Statistics (2022) .
Business of Apps. https://www.businessofapps.com/data/dating-app-
market/
KomNas Perempuan. (2021). Catatan Tahunan Tentang Kekerasan
Terhadap Perempuan. Jakarta.
https://komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/1466.1614933645.pdf
Sumter, S. R., Vandenbosch, L., & Ligtenberg, L. (2017). Love me Tinder:
Untangling emerging adults’ motivations for using the dating
application Tinder. Telematics and Informatics, 34(1), 67-78.
Mashegoane, S., Moalusi, K. P., Ngoepe, M. A., & Peltzer, K. (2002).
Sexual sensation seeking and risky sexual behaior among south
African university students. Social Behavior and Personality, 30 (5),
475-483.
Daneback, K., Cooper, A., & Mansson, S.A. (2005). An internet study of
cybersex participants. Archives of Sexual Behavior, 34 (3), 321-328.
Carnes, P., Delmonico, D.L., & Griffin, E. (2001). In The Shadows of The
Net: Breaking Free of Complusive Online Sexual Behaviour .
Minnesota: Hazelden.
Huwaidah, R., Rokhmah, D., & Ririanty, M. (2020). Penyebab Perilaku
Cybersex dan Dampaknya pada Perilaku Mahasiswa (Studi Kualitatif
di Kabupaten Jember). Universitas Muhammadiyah Jember. Fakultas
Psikologi. Jurnal Insight, 16 (2), 347-362.
Rosenbloom, T. (2003). Risk evaluation and risky behavior of high and low
of sensation seeker. Social Behavior and Personality , 31 (4), 357-
387. Doi:10.2224/sbp.2003.31.4.375
Laier, C. (2012). Cybersex Addiction: Craving and Cognitive Processes .
Journal Psychology. Fachgebiet Allgemeine Psychologie. Kognition
der Universität Duisburg-Essen.
Soebagijo, A. (2008). Pornografi: Dilarang Tapi Dicari. Jakarta: Gema
Insani.
Nurudin. (2016). Perkembangan Teknologi Komunikasi. Depok: Rajawali
Pers.
Thio, A. (2010). Deviant Behavior (Tenth Edition). Boston: Allyn & Bacon.
Sari, N.N., & Purba, R.M. (2012). Gambaran Perilaku Cybersex Pada
Remaja Pelaku Cybersex di Kota Medan . Jurnal Psikologi, 7 (2), 62-
73.
Andani, F., Alizamar, A., & Afdal, A. (2020). Relationship between Self-
Control with Cybersex Behavioral Tendencies and It’s Implication for
Guidance and Counseling Services. Journal Neo Konseling. 2 (1).
Marnita, W., Ahmad, R.., & Said, A. (2014). Komunikasi Interpersonal
Siswa Pengguna Internet dan Implikasinya terhadap Layanan
Bimbingan dan Konseling. Jurnal Konseling dan Pendidikan, 2(1), 8-
14.

Anda mungkin juga menyukai