Tugas Kliping Sejarah
Tugas Kliping Sejarah
Di Susun Oleh :
Zalfa Nur Hafizah
Kelas :
XI TKC 1
Djamaluddin Tambunan,
SH 1974 - 1979
Dr. H. Al
Haris, S.Sos., M.H. 2021 - Sekarang
BAB II
A. Harimau Sumatera
Bentuk kerajinan ini juga memiliki keberagaman, tidak hanya sekadar bentuk
lonjong saja. Pada zaman sekarang ini, dalam pembuatannya terutama pada bentuk,
biasanya perajin akan memiliki desain khusus yang menyesuaikan kegunaan dari
kerajinan tersebut, apakah akan digunakan sebagai mangkok, celengan, kendi, atau
yang lainnya. Sementara untuk ukuran juga beragam, ada yang berukuran kecil
hingga raksasa dengan ketinggian mencapai 3 meter. Apakah Grameds pernah
bermain pasaran yang menggunakan gerabah kecil berbentuk piring, cobek, gelas,
dan kuali? Nah, itu adalah contoh kerajinan berbentuk kecil dan umumnya digunakan
sebagai hiasan.
BAB III
ARCA
Pria Jambi mengenakan baju kurung tanggung, karena lengan bajunya tanggung di
atas pergelangan tangan. Mengapa baju lengan pria Jambi tanggung? Bukan tanpa
maksud, lengan tanggung memiliki makna bahwa pria Melayu Jambi harus tangkas
dan cekatan dalam bekerja. Bahan baju kurung juga terbuat dari kain beludru. Baju
bersulaman benang emas, motif kembang bertabur atau disebut tagapo, bunga
melati di bagian tengah, dan di bagian sisi terdapat motif kembang berangkai dan
pucuk rebung. Di bagian bawah pria Jambi mengenakan celana (cangge) biasa,
terbuat dari beludru. Di bagian pinggang terlilit sarung songket. Sebagai pengikat
sarung, digunakan sabuk kuningan yang terpasang melingkar di pinggang, keris
diselipkan sebagai senjata tradisional Jambi. Tak hanya itu, pakaian adat Jambi
pria terdapat aksesori lainnya seperti tutup dada berbentuk bunga teratai. Di bagian
tangan Gelang kilat bahu berwarna emas/perak terlukisi naga, selendang tipis
merah jambu dengan rumbai-rumbai kuning di bagian ujungnya, dan alas kaki
selop.
Terdapat sulam benang berwarna emas dengan motif yang cukup beragam, seperti
bunga melati, pucuk rebung dan bunga tagapo (bunga bertabur). Di dada juga
terdapat motif bunga teratai, selendang, pending dan sabuk sebagai ikat pinggang,
dan sebagai alas kaki juga selop. Khusus wanita, sarung songket dan selendang
merah ditenun dari benang sutra. Sebagai mahkota (penutup kepala), pakaian
tradisional Jambi wanita adalah pesangkon, dengan hiasan logam berwarna kuning
yang bentuknya mirip duri pandan.
Pakaian adat Jambi wanita dilengkapi dengan aneka aksesori yang lebih banyak
daripada aksesori pria, seperti kalung, gelang tangan, gelang kaki, dan anting-
anting. Ada tiga jenis kalung yang biasanya digunakan, yaitu kalung tapak, kalung
jayo, dan kalung rantai sembilan.
Sedangkan cincin pun ada 2 jenis, yaitu cincin kijang dan cincin pacat kenyang.
Anting ada dua jenis, yaitu antong motif kupu-kupu atau berupa gelang
banjar.Gelang tangan ada empat jenis, yaitu gelang kilat bahu, gelang kano, gelang
ceper, dan gelang buku beban. Gelang kaki ada dua jenis, yaitu gelang nago betapo
dan gelang ular melingkar
B. Alat Tradisional Jambi
Batik dan tenun (songket) Jambi merupakan produk kerajinan budaya Melayu
Jambi yang telah lama dikenal hingga ketingkat internasional. Tidak hanya menjadi
produk budaya, kerajinan tersebut juga menjadi produk ekonomi yang bernilai jual
terutama setelah pengrajin melakukan diversifikasi produk-produk baru dengan
berbagai bentuk, jenis, dan ragamnya lewat hasil kreativitas dan inovasi, dalam
rangka menarik selera konsumen dan menmbus pasar yang luas. Berawal dari hanya
sekedar produk budaya yang diciptakan penduduk sekaligus pengrajin di kawasan
Jambi seberang (Sekoja), pada perkembangannya muncul sentra produksi baru
kerajinan tersebut di kawasan Jambi kota (pusat kota / ibukota provinsi) sehingga
kerajinan ini telah memasuki babak baru dalam kegiatan industrialisasi dalam
ekonomi kreatif di Kota Jambi. Hal ini menandakan bahwa sektor kerajinan ini
semakin memperlihatkan peranan yang penting dalam peningkatan perekonomian
pengrajin dan pengusaha maupun bagi perekonomian Kota Jambi sendiri.
B. Tengkuluk
Indonesia dikenal sebagai bangsa dan negara yang memiliki kekayaan budaya luar
biasa, dari segi keindahaannya, juga nilai falsafah yang terkandung di dalamnya. Di
Indonesia sendiri terdapat banyak suku bangsa yang mendiami sepanjang kepulauan
ini. Setiap suku bangsa memiliki unsur kebudayaan yang berbeda-beda dengan suku
lainnya. Salah satunya yang sudah diakui dunia yaitu tengkuluk.
Tengkuluk merupakan sebuah peninggalan budaya melayu di Kota Jambi. Kota
Jambi merupakan sebuah Provinsi di Indonesia yang terletak di pesisir timur dibagian
tengah Pulau Sumatra. Kota Jambi berbatasan langsung dengan Provinsi Riau dan
Sumatra Selatan. Wilayahnya dikenal dengan sebutan“Sepucuk Jambi, Sembilan
Lurah betanggo alam barajo”. Tengkuluk menjadi suatu indentitas tersendiri bagi
kaum perempuan di Jambi. Menurut sejarah, kain Tengkuluk sudah ada sejak abad ke
7, yang pada saat itu digunakan perempuan melayu untuk menghadiri suatu acara adat
ataupun saat kegiatan bercocok tanam seperti di sawah dan ladang. Bukan hanya
sekedar sebagai penutup kepala, sejatinya kain tengkuluk memiliki makna yang lebih
mendalam. Kain tengkuluk yang berarti sebagai lambang kesahajaan dan budi pekerti
luhur perempuan Jambi. Pada tahun 1946 tengkuluk pertama kali masuk ke Kota
Jambi yaitu di Seberang Kota Jambi digunakan masyarakat seberang sebagai
tengkuluk untuk ke umo dan tudung lingkup yang terispirasi dari anak-anak pesantren
yang ada di seberang Kota Jambi yaitu sorban dan cadar yang digunakan oleh para
santriwati.
Tengkuluk (tutup kepala) sebagai bagian penting dalam pakaian yang dipakai oleh
perempuan Jambi terdiri dari etnik dengan ragam budaya penduduk asli dan
pendatang tampak indah dan anggun, merupakan kebanggaan masyarakat Jambi
sebagai masyarakat yang berkebudayaan tinggi. Menampilkan kembali tutup kepala
(tengkuluk) dalam kesehariannya ditengah-tengah masyarakat sama dengan
membangkitkan batang yang terendam dan mengait barang yang teranyut (Nurlaini.
2017). Jambi kaya akan budaya yang mana belum banyak diketahui masyarakatluas.
Propinsi yang terletak di pesisir timur di bagian tengah Pulau Sumatera
inimempunyai budaya Melayu sejak dahulu. Salah satu bukti adat budaya
BangsaMelayu di Jambi ialah warisan tradisi penutup kepala yang disebut
tengkulukbagikaum wanita. Tutup kepala atau dalam bahasa Jambi lebih dikenal
tengkulukadalah salah satu pelengkap adat tradisi berbusana, yang sering digunakan
baikuntuk sehari-hari maupun untuk acara khusus. Dalam setiap model
tengkulukterkandung falsafah yang memiliki nilai/norma yang menentukan
bagaimana kitabersikap, bertindak, dan berperilaku, juga memberikan kita aturan
untuk hidup.
Tengkuluk adalah produk adat dan budaya yang mengungkapkan aspek
kehidupan bermasyarakat (Nurdin.2010). Tengkuluk berupa sebuah selendang
denganberbagai jenis bahan yang dilipat dan dililitkan di kepala. Sebagaimana
mengenakkan jilbab/kerudung untuk para muslimah, bedanya tengkuluk hanya dilipat
dan dililitkan saja tanpa menggunakan alat jarum, peniti, dan lain-lain. Bagi non
muslim pun juga bisa mengenakkan tengkuluk sebagai penambah kecantikan
penampilan. Disaat telah berkembang berbagai model penutup kepala, tetapi
tengkuluk masih dipakai oleh masyarakat Kota Jambi khususnya seberang Kota
Jambi. Banyak anak mudayang tidak tahu dan tidak mengenali tengkuluk sebagai
warisan leluhur Jambi. Padahal, penggunaan tengkuluk sejatinya membuat wanita
lebih bersahaja dan sekaligus melestarikan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki
Indonesia. Tengkuluk menjadi kebudayaan Masyarakat Jambi yang telah dikenal oleh
seluruh Indonesia, menjadi kebudayaan khas perempuan Jambi pada upacara-upacara
adat tertentu menggunakan tengkuluk sebagai pelengkap busana perempuan di Kota
Jambi, bahkan pernah digunakan oleh beberapa tokoh pemerintahan dalam agenda
penting mereka. Berbagai macam bentuk fashion penutup kepala masa kini seperti
hijab, turban, pashmina dll Sehingga sangat perlu dilakukan penelitian ini untuk
mengetahui bagaimana sejarah tengkuluk di Kota Jambi, sehingga penulis tertarik
untuk melakukan penelitian tentang “Perkembangan Tengkuluk Di Kota Jambi Tahun
1946 - 2017” Melihat sejarah budaya masyarakat Jambi yang begitu beragam, maka
pengetahuan tentang tutup kepala/tengkuluk daerah Jambi, dan teknik-teknik
pemakaiannya, sangat memegang peranan di dalam kehidupan sejarah budaya
masyarakat Jambi.
C. Baju Adat Suku Kubu Jambi
Orang Rimba atau yang pada tahun 1970 dinamakan Suku Anak Dalam,
merupakan salah satu penduduk asli yang mendiami Provinsi Jambi. Mereka
umumnya masih tinggal secara nomaden (berpindah-pindah) di kawasan Taman
Nasional Bukit Duabelas. Setidaknya terdapat tiga versi tentang asal muasal Orang
Rimba. Versi pertama, bahwa Orang Rimba adalah sisa laskar Kerajaan Pagaruyung
Minangkabau yang tersesat saat berada dalam perjalanan untuk membantu Ratu
Jambi.
Dalam versi kedua, Orang Rimba diduga merupakan sisa masyarakat Desa Kubu
Karambia Kerajaan Pagaruyung yang menolak untuk memeluk agama Islam. Dan
dalam versi terakhir, Orang Rimba diyakini sebagai keturunan Bujan Perantau dan
Putri Kelumpang yang berkelompok dan menetap di hutan. Orang Rimba memiliki
beragam tradisi dan kebudayaan yang menjadi identitas diri, bahkan tercatat sebagai
Warisan Budaya Tak Benda Nasional. Seperti melangun (berpindah saat ada anggota
keluarga yang meninggal), ubat ramuan orang rimba, hingga cawot orang rimba.
Pada zaman dahulu, Cawot Orang Rimba terbuat dari kulit kayu ipuh (Antiaris
toxicaria). Untuk melenturkan bahan cawot yang kaku, pelepah kayu harus direndam
selama tiga hari, kemudian ditumbuk hingga pipih. Proses tersebut dilakukan selama
berkali-kali hingga didapatkan pelepah yang kelenturannya hampir mendekati kain.
Biasanya, proses ini bisa memakan waktu hingga satu bulan. Selain kaum laki-laki,
kaum perempuan juga menggunakan kulit kayu ipuh sebagai pakaian. Kulit kayu
tersebut dibuat menjadi pakaian dengan bentuk kemben.
Sekitar tahun 1970, ketika Orang Rimba mulai berinteraksi dengan masyarakat
luar, penggunaan Cawot dari kulit kayu digantikan dengan kain. Selain karena lebih
lentur, penggunaan kain juga menghindarkan Orang Rimba dari kutu kulit kayu yang
membuat tubuh gatal-gatal. Redaksi Pariwisata Indonesia perlu memberikan catatan,
Suku Anak Dalam tidak semua primitif. Terbukti pemakai cawot bisa beradaptasi dan
hidup normal, pernah mencuri perhatian publik.