Anda di halaman 1dari 12

Jurnal Biodjati, November 2016, 1-12 Vol. 1, No.

1
ISSN: 2541-4208
ETNOEKOLOGI DAN PENGELOLAAN
AGROEKOSISTEM OLEH PENDUDUK DESA
KARANGWANGI KECAMATAN CIDAUN,
CIANJUR SELATAN JAWA BARAT
Johan Iskandar1, Budiawati Supangkat Iskandar2
1
Staf Dosen Prodi Biologi, FMIPA dan Pascasarjana Lingkungan (DIL dan MIL),
Peneliti PPSDAL-Unpad. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21, Jatinangor,
Sumedang 45363, Jawa Barat. Tel. 22-7797712
2
Staf Dosen Prodi Antropologi, FISIP Unpad. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21,
Sumedang 45363, Jawa Barat, Tel. 7798418 & 7796416
email: 1johan.iskandar@unpad.ac.id, 2budiawati.supangkat@unpad.ac.id

Diterima : 25 Mei 2016 Ditinjau :17 September 2016 Disetujui :18 Oktober 2016

Abstrak. Sejatinya di masa silam, penduduk pedesaan di Jawa Barat, termasuk penduduk di Desa
Karangwangi, Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat dominan menggarap sistem
ladang (sistem huma). Namun, sejalan dengan kian padatnya penduduk, makin berkurangnya
kawasan hutan, dan berkembangnya ekonomi pasar di pedesaan, maka, sistem huma berubah
menjadi beberapa tipe sistem agroforestri tradisional, seperti kebon kayu-kayuan (kebon kai),
kebon campuran kayu-kayuan dan buah-buahan (talun) dan sistem pekarangan (buruan). Selain
itu, dengan adanya program Revolusi Hijau pada sistem sawah dan introduksi albasiah/jengjen
(Paraserinthes falcataria (L) I Nielsen) pada sistem tegalan dan agroforestri tradisional, seperti
kebon kai. Konsekuensinya, sistem sawah dan sistem huma mengalami perubahan secara drastis.
Paper ini mendisuksikan tentang perkembangan beberapa tipe agroekosistem dari sistem huma,
dengan berbagai perubahannya. Metoda penelitian menggunakan kualitatif dengan pendekatan
etnoekologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil studi telah memberikan berbagai informasi
untuk lebih memahami perilaku penduduk pedesaan dalam mengelola berbagai tipe agroekosistem
di desanya. Dalam kaitannya dengan pembangunan, seyogianya berbagai pengetahuan ekologi
lokal penduduk yang positif dan kearifan ekologi penduduk tidak diabaikan atau bahkan dicoba
untuk dimusnahkan, namun dapat diintegrasikan dengan pengetahuan ilmiah barat untuk dapat
digunakan untuk pembangunan sistem pertanian di Indonesia yang berkelanjutan.
Kata kunci: sistem huma, agroforestri tradisional, agroekosistem, revolusi hijau.

Abstract. Originally in the past, village people of West Java, including people of Village of
Karangwangi, Sub-district of Cidaun, District of Cianjur and Province of West Java predominated
practicing the swidden farming system (sistem huma). However, due to increasing human
population density, decreasing the forest area, and rapid development of market economy in the
village, the huma system have changed to several types of the traditional agroforestry systems,
such as the tree garden system (kebon kai), mixed-garden system of wood and fruits (talun), and
home garden (buruan). In addition, because of introduction of the green revolution in the sawah
systems and the introduction of albasiah/jengjen (Paraserianthes falcataria (L) I Nielsen) in the
traditional agroforestry systems, such as kebon kai. As a result, those agroecosystem types have
dramatically changed. This paper discusses the development of the traditional agroforestry
systems which is developed from the huma system. Method used in this study qualitative with the
ethnoecology approach. The resulted of study show that it has provided rich information which is
very useful to more understand the village people behavior in managing various type of
agroecosystem in their village. With regard to development process, we suggest various positive
local knowledges and ecological wisdoms, rather than ignoring or attempting to replace them, it
may be useful to be integrated with the scientific knowledge to use in supporting the sustainable
agriculture in Indonesia.
Iskandar, J. dan B. S. Iskandar, Vol 1, 2016 J Biodjati 2

Keywords: swidden system, agroforestry traditional, agroecosystem, green revolution

PENDAHULUAN meningkat produksi padi sawah setinggi-


tingginya melalui program Revolusi Hijau.
Pada masa silam, masyarakat tani di Akibat program Revolusi Hijau dapat
pedesaan Jawa Barat dalam mengelola usaha menyebabkan dampak positif dan negatif.
taninya dilandasi kuat oleh pengetahuan lokal Dampak positifnya, produksi padi sawah
dan kepercayaan atau kosmos (cf. Mustapa secara makro meningkat.Sementara itu,
1985; Toledo 2002). Mereka memiliki dampak negatifnya menyebabkan kepunahan
pengetahuan lokal yang mendalam tentang anekaragam varietas padi lokal, para petani
berbagai aspek yang berhubungan dengan menjadi sangat tergantung pada asupan pupuk
kegiatan usaha tani. Misalnya, pengetahuan anorganik dan pestisida hasil pabrikan, yang
tentang iklim, jenis-jenis tanah dan kesuburan harus dibeli dari pasar. Timbulnya ledakan
tanah, anekaragam tumbuhan dan binatang, anekaragam hama baru, seperti hama wereng
hama tanaman, sistem irigasi dan lain-lain (cf. coklat (Nilaparvata lugens Stal) (cf. Fox,
Iskandar, 2012a). 1991). Serta, timbulnya pencemaran racun
Sejatinya di masa silam sistem pertanian pestisida terhadap tanah dan perairan. Revolusi
yang utama di pedesaan Jawa Barat adalah Hijau tidak saja berdampak pada sistem
bercocok tanam padi di lahan hutan (ngahuma) sawah, tapi juga pada sistem huma. Misalnya,
(Iskandar dan Iskandar, 2011; Iskandar, et al. pengelolaan sistem huma yang tadinya
2016). Pada kondisi hutan masih cukup luas di memanfaatkan sumber daya alam lokal, seperti
berbagai kawasan pedesaan Priangan, para pemanfaatan anekaragan varietas padi lokal
petani biasa menggarap huma secara dan penggunaan pupuk organik, diubah
berpindah-pindah tempat di kawasan hutan dengan menanam varietas padi baru, serta
(cf.Iskandar 2012b; Iskandar, et al. 2016). penggunaan intensif pupuk an-organik dan
Berdasarkan tradisi, mereka dalam mengelola pestisida hasil pabrikan.
huma dibalut dengan budaya lokal. Oleh Paper ini mendiskusikan tentang
karena itu, pada setiap pengerjaan sistem perkembangan sistem ladang (huma) menjadi
huma, seperti waktu tanam padi dan panen beberapa tipe agroekosistem lainnya, seperti
padi biasa dilakukan upacara, agar mereka macam-macam kebun (kebon), sawah, dan
berhasil dalam usaha taninya. Menurut pekarangan (buruan) di Desa Karangwangi,
kebiasaan masyarakat peladang waktu itu, padi Cianjur Selatan, Jawa Barat dengan
pantang dijual hanya untuk memenuhi pendekatan etnoekologi.
kebutuhan sehari-hari saja (ekonomi
subsisten). Namun demikian, jenis-jenis BAHAN DAN METODE
tanaman non padi, seperti trubuk, mentimun,
waluh, dan lainnya dapat diperdagangkan Penelitian ini bersifat eksplorasi dengan
untuk menghasilkan uang tunai. melakukan penelitian di Desa Karangwangi,
Seiring dengan kian bertambahnya Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur,
jumlah penduduk pedesaan, menyusutnya luas Provinsi Jawa Barat. Desa ini merupakan
hutan, dan kebijakan pemerintah yang pemekaran dari Desa Cidamar, memiliki luas
memberi disinsentif seperti melarang wilayah 2.300,17 ha, terletak pada ketinggian
membakar hutan dan ngahuma, maka sistem 200-275 m dpl. Sungai yang melintasi Desa
huma di berbagai kawasan pedesaan Priangan Karangwangi, di antaranya Sungai Cikawung
kian berkurang (Iskandar dan Iskandar 2011; dan Sungai Cisela. Jumlah penduduk Desa
Iskandar, et al. 2016). Sebaliknya, sistem Karangwangi pada tahun 2015 sejumlah 5.587
sawah yang aslinya diintroduksi dari Jawa jiwa, terdiri dari 1.817 KK. Pekerjaan
Tengah, makin berkembang di kawasan penduduknya tercatat sebagai petani 963 orang
pedesaan Priangan (Geertz, 1963). Terlebih dan buruh tani 246 orang, serta nelayan 117
lagi pada awal Orde Baru di akhir 1960-an, orang. Desa Karangwangi memiliki batas-
pemerintah telah melakukan upaya batas yaitu di bagian utara berbatasan dengan
modernisasi sistem usaha tani untuk Desa Cimaragang; di bagian barat berbatasan
Iskandar, J. dan B. S. Iskandar, Vol 1, 2016 J Biodjati 3

dengan Desa Cidamar dan Desa Kertajadi, di Sementara itu, bagian selatan berbatasan
bagian timur berbatasan dengan Desa Cimahi. dengan lautan Hindia (Gambar 1).

Gambar 1. Peta daerah penelitian di Desa Karangwangi, Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat.

Metoda yang digunakan bersifat dengan beberapa stafnya, beberapa tokoh


kualitatif dengan pendekaatan etnoekologi masyarakat, beberapa petani tua laki dan
(Iskandar, 2012a; Albuqerque, et al. 2014). perempuan pemilik pekarangan, huma, kebun
Dengan pendekatan etnoekologi, peneliti lebih dan sawah, buruh tani, beberapa bandar
memusatkan pada dimensi makna dan desa,bandar kayu, dan beberapa petani yang
pengetahuan manusia mengenai lingkungan. biasa dagang mingguan di pasar desa.
Pada studi di Desa Karangwangi ini peneliti Analisis data dilakukan dengan cara
berupaya untuk mengungkapkan pandangan cross-checking, summarizing and synthesizing
masyarakat yang diteliti mengenai lingkungan dari berbgai sumber data, seperti observasi,
mereka dalam konteks kegiatan sistem wawancara mendalam dengan informan, dan
pertanian atau agroekosistem yang mereka data data sekunder sepeti statistik desa, serta
lakukan pada setiap tahunnya (cf. Johnson, dibuat narasi secara deskriptif analisis
1974; Milton, 1996; Ahimsa-Putra, 1997. (Newing, et al. 2011).
Teknik pengumpulan data lapangandilakukan
dengan observasi dan wawancara mendalam HASIL
(deep interview) (Newing, et al.2011,
Iskandar, 2012a; Alburque, et al. 2014). Pengetahuan penduduk tentang tipe-tipe
Teknik observasi lapangan utamanya Agroekosistem
melakukan obsrvasi tentang kondisi hutan, Berdasarkan wawancara mendalam
macam-macam agroekosistem seperti (deep interview) dengan berbagai infoman di
pekarangan, huma, kebun, dan sawah di lokasi Desa Karangwangi, dikenal 4 tipe
penelitian. Sementara itu, teknik wawancara agroekosistem, yaitu sistem huma, sistem
dilakukan wawancara secara mendalam kebun, sistem sawah, dan sistem pekarangan.
dengan berbagai informan yang dipilih secara Keempat tipe agroekosistem tersebut
purposive yang dianggap kompeten, dengan berkembang dari lahan hutan. Hutan biasa
memperhatikan keragaman atau kategorisasi dinamakan penduduk dengan sebutan
informan. Berbagai informan yang dipilih leuweung, sedangkan hutan sekunder bekas
dalam studi ini, yaitu kepala desa (kades) ladang yang baru ditinggalkan atau diberakan
Iskandar, J. dan B. S. Iskandar, Vol 1, 2016 J Biodjati 4

bekas ladang kurang dari satu tahun, masih ada Dilihat dari sejarah ekologi, pada era
sisa-sisa jeraminya dinamakan jami. Lantas, tahun 1950-an dan 1960-an, penduduk di
apabila lahan jami tersebut dibiarkan atau Desa Karangwangi memiliki mata pencaharian
diberakan terus, lebih dari satu tahun utama menggarap ladang (huma) di lahan
membentuk hutan sekunder, dinamakan hutan. Pada setiap keluarga (KK) biasanya
reuma. Sistem hutan sekunder yang ditumbuhi memiliki beberapa petak lahan ladang
semak-semak belukar biasanya disebut (sababaraha gunudukan huma) di hutan. Pada
rungkun, ruyuk atau dungus. Lahan reuma tua setiap tahun biasanya tiap keluarga membuka
yang telah diberakan cukup umur, biasanya lahan hutan sekitar 500 are (0,5 ha) hingga
ditumbuhi semak-semak belukar tua, dapat 1.000 are (1 ha). Untuk menentukan
digarap kembali menjadi ladang (huma). kesesuaian waktu penggarapan sistem ladang
Pada lahan ladang yang ditinggalkan (ngahuma) biasanya para petani mengamati
menjadi lahan terbuka disebut tegal atau berbagai pertanda di alam (panyosian).
tegalan. Pada musim hujan, tegal ini dapat Misalnya, memprediksi akan tibanya musim
ditanami anekaragam tanaman semusim atau kemarau biasanya dengan melihat tanda-tanda,
tahunan, biasanya disebut kebon. Apabila seperti musim pohon beuris (Aporosa
kebon tersebut ditanami domanan oleh jenis frutescens Bl, Famili Euphorbiaceae)
tanaman pisang (cau), maka lahan tersebut berbunga dan daunnya luruh (ngarangrangan).
biasa disebut kebon cau. Demkian pula apabila Demikian pula, indikator lainnya, seperti
lahan kebun tersebut ditanami oleh pepohonan daun-daun pohon randu (Ceiba petandra (L)
bambu (awi), disebut kebon awi dan dominan Gaetn, Famili Bombaceae) dan pohon
ditanami albasiah biasa disebut kebon pongporang (Dolichandrone spathacea (L.f.)
albasiah. Sedangkan kebun (kebon) yang K.Schum, Famili Bignoniaceae) pada luruh.
ditanami anekaragam tanaman kayu disebut Serta, pada waktu bersamaan, serangga turaes
kebon kai atau kebon tatangkalan. Sementara (Cryptotympana sp, Famili Cicadiidae) mulai
itu, sistem kebun campuran yang ditanami ramai berbunyi. Sebaliknya, pertanda akan
kayu dan buah-buahan dengan cukup luas dan tibanya musim kemarau antara lain
dibiarkan untuk kepentingan jangka panjang, diindikasikan dengan buah-buah beuris telah
pada masa lalu disebut sistem talun. Tapi, matang dan berjatuhan ke tanah. Indikator
istilah sistem talun ini kini kurang dikenal lagi alam lainnya,antara lain masa matang buah-
oleh generasi muda di Desa Karangwangi. buah randu dan tumbuhnya tunas-tunas ranting
Dewasa ini mereka lebih mengenalnya sebagi dan daun barunya. Selain itu, aneka-ragam
sistem kebon kai daripada menamakannya umbi dan rimpang (bongborosan) juga mulai
sebagai talun. pada bertunas.Sementara itu, ribuan kupu-
Pada lahan bekas ladang apabila kupu kuning bermigrasi ke arah barat. Namun,
‘dibedah’ dicangkul atau digarpu, diairi pertanda yang paling utama biasa dijadikan
dengan sumber air tanah atau sungai pedoman untuk menentukan waktu-waktu
(walungan) guna ditanami padi dengan sistem guna pengerjaan ladang (ngahuma) adalah
irigasi desa, maka lahan tersebut berubah dengan mengamati kenampakan rasi bintang
menjadi sistem sawah. Dikenal ada 2 jenis kidang (the belt of orion) di langit. Misalnya,
sistem sawah di Desa Karangwangi, yaitu kenampakan bintang kidang di ufuk timur di
sawah cukup air sepanjang tahun (sawah waktu fajar biasanya diindiksikan sebagai
boyor) dan sawah tadah hujan, tidak cukup air musim kemarau (usum halodo). Pada saat itu,
dimusim kemarau (sawah gogoranca). biasanya betepatan dengan bulan 6 (Juni) masa
Sementara itu, apabila bekas ladang, kebun kemarau, pekerjaan yang di ladang utamanya
dan sawah dibangun rumah di atasnya, maka mempersiapkan lahan ladang (huma), seperti
lahan tersebut berubah menjadi sistem menebang semak-semak belukar (nyacar) di
pekarangan (buruan), yaitu lahan sekitar hutan. Lantas, ketika posisi bintang kidang
rumah yang biasa ditanami anekaragam terlihat tepat di atas kepala ataupun mulai
tanaman semusim dan tahunan. condongkearah barat (bentang kidang
manceran jeung ngagilek ka kulon), saat itu
Pengelolaan huma dianggap tepat guna tanam padi ladang
Iskandar, J. dan B. S. Iskandar, Vol 1, 2016 J Biodjati 5

(ngaseuk). Pada saat tersebut biasanya (ngaseuk). Hari dan arah memulai bergeraknya
bertepatan dengan bulan 10 (Oktober) ataupun ngaseuk dari arah pupuhunan biasa ditentukan
bulan 11 (Nopember), ketika musim hujan oleh perhitungan naptu tempat dan naptu hari,
(usum ngijih) tiba. Bentang kidang pada bulan yang dianggap akan membawa keberuntungan.
5 (Mei) biasanya tidak menampakan lagi di Pada lahan ladang biasanya ditanami
langit, dijadikan pertanda untuk saatnya oleh varietas padi lokal (Oryza sativa L),
berhenti untuk tanaman padi.Sementara itu, seperti pare sintung (berasnya berwarna
panen padi ladang biasanya bertepatan dengan merah) dan pare jampang (bulunya panjang,
bulan 2 (Februari) ataupun bulan 3 (Maret). berasnya warna putih). Selain itu, di antara
Para peladang di Desa Karangwangi selain tanaman padi dicampur atau ditumpangsarikan
memiliki pengetahuan ekologi tradisional dengan tanaman lainnya, seperti suuk (Arachis
mendalam tentang rasi bintang dan cuaca, hypogaea L), sampeu (Manihot esculenta
serta iklim, mereka juga mengenal jenis-jenis Crantz), cengek (Capsicum frutescens L),
dan sifat tanah.Misalnya, tanah berdasarkan wijen (Sesamum indicum L), hiris (Cajanus
warnanya oleh penduduk dapat dibedakan cajan (L) Huth), turubuk (Saccharumedule
menjadi 3 galongan, yaitu tanah hitam (taneuh Hassk), dan hajeli (Coix lacryma-jobi L). Pada
hideung), tanah merah (taneuh beureum) dan umumnya, keanekaan tanaman yang ditanam
tanah putih (taneuhbodas). Karakteristik di ladang sangat tergantung dari rajinnya
ketiga golongan tanah tersebut, taneuh pemilik ladang. Makin rajin seorang peladang
hideung dianggap subur, karena banyak maka makin beranekaragam tanaman yang
seresah dan humus, serta memiliki cukup air. ditanam di lahan ladang. Padi hasil ladang
Taneuh beureum dianggap kurang subur, pantang untuk dijual dan disimpan di
karena tidak banyak humus dan serta kering. lumbung-lumbung padi (leuit) berupa ikatan-
Sementara itu, taneuh bodas dianggap tidak ikatan padi (gedengan pare). Namun,
subur,kurang unsur hara. Tanda-tanda tanah anekaragam produksi tanaman non padi,
baik (taneuh sae) atau tanah subur di lapangan seperti kacang suuk (Arachys hopgaea L)
dapat diidentifikasi, seperti warnanya hitam, biasa diperdagangkan. Kacang suuk biasa
banyak kotoran cacing (tai cacing), dan dijual ke bandar desa atau dijual langsung
rerumputan serta kirinyuh (Chromolaena berupa kacang rebus pada acara-acara hiburan
odorata) yang tumbuh di tempat tersebut di desa. Hingga akhir 1985/1986, lumbung-
terlihat tumbuh subur. Sebaliknya, tanah tidak lumbung padi dan ternak kerbau masih
subur (taneuh keri) diindikasikan antara lain, ditemukan cukup banyak di Desa
rumput-rumput tumbuh tidak subur dn banyak Karangwangi.
tumbuhan merambat atau liana (areuy). Namun, dewasa ini sistem huma kian
Berdasarkan lokasinya, lahan di bukit-bukit berkurang di Desa Karangwangi, antara lain
(pasir) secara umum kurang subur karena dikarenakan kawasan hutannya telah tidak ada
permukaan tanahnya sering tergerus air lagi, kecuali tinggal tersisa berupa kawasan
hujan.Sementara itu, lahan-lahan di lembah konservasi alam yaitu Cagar Alam Bojong
(legok atau lengkob) biasanya subur karena larang Jayanti seluas 750 ha. Kini, sistem
ada sedimen dari lahan di bukit (pasir). huma hanya ditemukan di kawasan-kawasan
Pada setiap kali tanam padi di ladang, bukit dibuka dari lahan tegalan atau kebon kai.
senantiasa dilakukan upacara berupa Benih padi yang ditanam di ladang merupakan
permohonan untuk kelancaran dan keberkahan benih padi ungul dengan umur 100 hari,
dalam bertanam padi ladang. Pada upacara seperti padi sawah. Pada sistem ladang
tersebut disajikan persembahan (sesuguhan) tersebut juga digunakan pupuk an-organik dan
berupa buah kelapa hijau (Cocos nuciferaL), pestisida. Hasil ladang tidak lagi berbentuk
daun surawung/kemangi (Ocimum bacilicum ikatan tapi merupakan bulir-bulir gabah dan
L), dan tembakau (Nicotiana tabacum L). tidak disimpan di lumbung padi. Pasalnya,
Upacara di huma biasa dilakukan di lumbung-lumbung padinya juga telah punah.
pupuhunan, tempat sakral di huma diberi batas Tanam padi ladang biasanya dilakukan bulan
oleh hanjuang (Cordyline fruricosa (L) 10 (Oktober) atau bulan 12 (Desember) dan
A.Chev.), tempat untuk memulai tanam padi panen bulan 2 (Februari) atau bulan 3 (Maret).
Iskandar, J. dan B. S. Iskandar, Vol 1, 2016 J Biodjati 6

Usai tanam padi, lahan huma biasanya menjadi tidak serempak (bersamaan)
ditanami lagi kacang kedele (Glycine max (L) waktunya. Mengingat pada lahan sawah yang
Merill), kacang suuk dan lain-lain. cukup tersedia air, tanam padi biasa dilakukan
penduduk sepanjang tahun secara terus
Pengelolaan sawah menerus, tiga kali dalam setahun.Sementara
Berbeda dengan sistem huma, sistem itu, pada sawah yang tidak cukup air biasanya
sawah berkembang di Desa Karangwangi ditanami padi dua kali dalam setahun.
belakangan. Sistem sawah diciptakan dari Pada umumnya tanam padi utama
sistem huma dengan dibedah dan diberi sistem (musim rendeng), di sawah dilakukan pada
perairan/irigasi desa. Menurut informasi dari bulan 11-12 dan panen bulan 3. Pada
berbagai informan pada awalnya yang penanam padi sawah kedua kalinya (morekat)
memiliki sistem sawah di Desa Karangwangi dilakukan bulan 3-4 dan panen bulan 8. Bagi
sangat terbatas, terutama pada keluarga kaya. sawah yang masih cukup air, sawah ditanami
Pasalnya, untuk membangun sawah dari sistem lagi padi, penanaman ke tiga kali, yaitu tanam
huma dibutuhkan biaya untuk membayar upah bulan 8 dan panen padi bulan 11. Namun, bagi
para pekerja dalam membangun sawah.Sawah sawah yang tidak cukup air, usai panen padi
dibangun di lahan-lahan bekas huma yang kedua kali, sawah ditanami palawija seperti
dekat sumber air. Sama halnya dengan sistem jagung atau lahan sawah tersebut diberakan.
huma, pada awalnya penduduk mengelola Dampak dari program Revolusi Hijau, kini
sistem sawah dengan menerapkan sistem para petani dalam menggarap sawah sangat
‘organic farming’. Benih padi yang ditanam tergantung pada pupuk an-organik dan
dengan menggunakan anekaragam varietas pestisida pabrikan dari kota. Akibatnya, biaya
padi lokal.Pupuk yang biasa digunakan usaha tani kian meningkat dan sangat
biasanya pupuk organik, seperti kotoran ternak tergantung pada asupan dari luar. Selain itu,
dan sampah-sampah organik. Tanam padi seiring dengan meningkatnya penggunaan
dilakukan utamanya hanya setahun sekali. pestisida malah sering terjadi ledakan hama
Usai panen padi, lahan sawah diberakan atau padi (hama beuki meuweuh) di sawah. Oleh
sawah yang cukup air,diselingi dulu oleh karena itu, kini apabila budidaya tanam padi
tanaman ikan dan genjer. sawah tanpa menggunakan pestisida, maka
Pada awal 1970-an, seiring dengan tidak bakal panen padi karena padinya banyak
adanya program revolusi hijau secara nasional, diserang hama, seperti hama wereng coklat
dengan diperkenalkannya program ‘panca (Nilaparvata lugens Stal).
usaha tani’ secara seragam di seluruh pedesaan
Indonesia. Program ‘panca usaha tani’ Pengelolaan kebon
tersebut mencakup, (1) introduksi benih padi Sistem kebun (kebon) di Desa
unggul baru, seperti IR, PB, hasil rekayasa Karangwangi berkembang dari sistem huma.
genetik di laboratorium ; (2) introduksi pupuk Pada masa lalu, penduduk Desa Karangwangi
an-organik, seperti Urea, TSP dll ; (3) berladang dengan menggarap hutan secara
introduksi racun hama (pestisida) ; (4) berpindah-pindah. Oleh karena itu, setiap
membangun atau memperbaiki sistem irigasi ; keluarga biasa memiliki petak ladang di
dan (5) perbaikan pola tanam padi sawah. beberapa tempat (gundukan). Tanaman padi
Pengaruh program Revolusi Hijau telah yang ditanam di ladang varietas padi lokal,
menyebabkan berbagai perubahan pada sistem seperti pare sintung dan pare jampang. Pada
usaha tani sawah di Desa Karangawangi. era 1990-an, varietas padi lokal mulai jarang
Misalnya, para petani sawah secara masal ditanam penduduk karena umur panennya
mengganti anekaragam varietas padi lokal lama 4-5 bulan. Maka, penduduk mengganti
dengan varietas padi unggul baru secara lebih varietas padi lokal dengan varietas padi baru,
homogen. Penduduk juga lebih mengintesifkan dengan umur pendek seperti padi sawah
pemanfaatan pupuk anorganik.Selain itu, para sekitar 100 hari. Pada saat bersamaan
petani juga pemanfaatan secara intensif penduduk juga biasa tanaman kacang-kacang
pestisida yang dibeli dari kota. Tidak hanya dan cabe yang lebih memberikan keuntungan
itu, pola tanam padi di sistem sawah juga ekonomi.
Iskandar, J. dan B. S. Iskandar, Vol 1, 2016 J Biodjati 7

Pada tahun 2000-an, Dinas Kehutanan belum bersertifikat ini biasa dinamakan
melakukan penghijauan pada lahan-lahan sebagai taneuh bodas atau taneuh
bekas ladang yang terbuka, tidak ditutupi pangangonan. Mengingat masa lalu lahan
vegetasi. Beberapa tanaman kayu yang tersebut sebagai tempat penggembalaan
diintroduksikan Dinas Kehutanan, yaitu kayu (pangangonan) kerbau. Ditilik dari sejarah
albasiah/jengjen (Paraserianthes falcataria ekologi, kerbau mulai tidak banyak dipelihara
(L) I Nielsen), jabon (Anthocephalos lagi penduduk pada tahun 1985/1986.
candaba), dan mahoni (Switenia mahagoni (L) Mengingat pada saat itu penggunaan bajak
Jacq). Pada perkembangannya, beberapa dengan kerbau di sawah-sawah mulai
pohon kayu penghijuan tersebut, terutama berkurang dan lahan-lahan penggembalaan di
kayu albasiah banyak diadopsi penduduk bekas ladang juga makin berkurang.
ditanam di lahan-lahan bekas ladang yang Kini, lahan-lahan kebun bekas ladang,
terbuka tidak rimbun ditumbuhi vegetasi atau pada musim hujan bulan 11, umumnya
biasa disebut tegal atau tegalan. Maka, lahan ditanami oleh anekaragam jenis tanaman
tegalan yang ditanami oleh albasiah, biasa semusim seperti suuk (Arachis hypogaea L),
disebut kebonalbasiah/jengjen. Di samping itu, jagong (Zea mays L), bonteng (Cucumis
terdapat pula lahan bekas ladang yang rimbun sativus L), kacang panjang (Vigna cylindrica
ditanami pohon-pohon bambu (awi), biasanya (L) Skeel), waluh (Cucurbita moschata (Duch)
disebut kebon awi. Tidak hanya itu, ada pula Poir), dan wijen (Sesamum orientale L).
lahan bekas huma yang ditanami pepohon Sedangkan untuk tanaman kedua kalinya
campuran kayu, seperti aren (Arenga pinnata (morekat), kebun-kebun tersebut biasa
(Wumb) Merr, kelapa (Cocos nucifera L), ditanami oleh kacang hejo (Vigna radiata),
petai(Parkia speciosa Hassk) dan mangga suuuk dan wijen (Sesamum indicum L). Pupuk
(Mangifera indica L) biasanya lahan tesebut untuk kebun biasanya menggunakan pupuk
biasanya disebut kebon kai. Sementara itu, di anorganik seperti urea, NPK dan poska, serta
masa silam pernah dikenal pula istilah sistem untuk menanggulangi hama tanaman biasa
talun, yaitu tataguna lahan yang cukup luas, pula anekaragam pestisida. Sementara itu,
banyak ditumbuhi campuran pepohonan buah- untuk kebon kai banyak lahan-lahan bekas
buahan, seperti mangga (Mangifera indica L), ladang ditanami kayu albasiah. Penananaman
durian (Durio zibethinus Murr), nangka albasiah tersebut dilakukan secara monokultur
(Artocarpus heterophyla Lmk) dan kokosan atau ditumpangsarikan dengan tanaman kayu
(Lansium domesticum Corr), serta pepohonan mahoni, ataupun dicampur dengan tanaman
tahunan atau tanaman kayu , seperti aren semusim, seperi kapolaga (Elettaria
(Arenga pinnata (Wurmb) Merr), kelapa cardmommum Maton) dan kacang-kacangan.
(Cocos nucifera L), dan bambu tali Benih albasiah selain dibeli dari toko, KUD
(Gigantochloa apus (Bl. Ex Schultf) Kurz) , dan pedagang benih albasiah yang datang ke
yang diperuntuk kepentingan jangka panjang desa membawa mobil, beberapa penduduk
disebut talun. Tapi, istilah talun tersebut kini juga membuat perbenihan sendiri dengan
kurang dikenal lagi oleh generasi muda. mengumpulkan biji-biji albasiah dari jatuhan
Mereka lebih mengenalnya dengan istilah pohon-pohon albasiah tua umur 7-8 tahun.
kebon kai, kebon awi, kebon albasiah dari Umur kayu albasiah siap dipanen
pada menyebutnya sebagai istilah talun. biasanya antara 5-7 tahun, namun juga
Pada tahun 2013, pemerintah Desa tergantung dari kebutuhan penduduk sendiri.
Karangwangi melaksankan program sertifikasi Misalnya, apabila pemilik kebun albasiah
lahan-lahan bekas ladang. Oleh karena itu, mempunyai kebutuhan mendesak, maka pohon
dewasa ini lahan-lahan bekas ladang ataupun albasiah umur 3-5 tahun sudah dipanen.
kebun-kebun di Desa Karangwangi sebagian Sistem panen albasiah dikenal 3 cara yaitu
telah berubah statusnya menjadi lahan milik panen borongan, panen palet dan panen untuk
dengan disertai sertifikat. Tapi, masih tercatat dijadikan bahan. Panen borongan yaitu
pula lahan-lahan bekas ladang yang jauh dari biasanya sebelum kayu albasiah ditebangi,
permukiman belum bersatus pemilikan dengan pemborong datang ke pemilik kebun albasiah
sertifikat. Lahan-lahan bekas ladang yang dan melakukan kesepakatan harga jual kayu.
Iskandar, J. dan B. S. Iskandar, Vol 1, 2016 J Biodjati 8

Maka, ketika panen kayu tiba, pemborong kunir (Curcuma domestica Val), dan sereh
langsung menebang seluruh pohon-pohon (Cymbopogon citratus). Pada lahan
albasiah dan hasil tebangan tersebut langsung pekarangan selain memiliki keanekaan jenis
diangkut dengan mobil. Pemilik kebun bisa tanaman tinggi, juga beberapa jenisnya
dirugikan apabila harga kayu naik pada saat memiliki variasi (cultivar) tinggi. Misalnya,
penebangan, dibandingkan dengan kesepakan untuk tanaman pisang dikenal sedikitnya 12
harga sebelum pemanenan kayu.Namun, juga variasi pisang, yaitu cau kapas, cau kosta, cau
sebaliknya pemborong dapat rugi, apabila nangka, cau raja bulu, cau saba / jimluk /
harga kayu turun pada saat penebangan, jibeuh, cau ambon, cau angleng, cau galek,
dibandingkan harga pada saat perjanjian cau raja cere, cau beureum/gember, cau kapok
sebelum pemanenan kayu. Cara panen kedua dan cau muli. Sedangkan untuk tanaman
cara palet, yaitu tebangan kayu albasiah dijual kelapa, dikenal 4 variasi kelapa (kalapa), yaitu
kepada pembeli perkubik. Ukuran baku yaitu kalapa puyuh, kalapa gading, kalapa beureum
kayu albasiah dipotong dengan ukuran panjang / merah, dan kalapa hejo.
130-160cm. Panen cara ini, petani Beberapa ternak peliharaan seperti ayam
mengaharuskan menyewa penebang kayu kampung dan domba juga merupakan bagian
(nyenso), terutama bila petani tidak memiliki terintegrasi dari sistem pekarangan. Ayam
gergaji mesin (chainsaw-senso) sendiri. Cara kampung di Desa Karangwangi tercatat
panen ketiga yaitu pemilik kebun albasiah memiliki beberapa variasi (ras), seperti ayam
menebang sendiri pohon-pohon albasiah dan lisung, ayam tukung, ayam kate dan ayam
hasilnya dijual dalam bentuk jadi dan siap aduan. Secara tradisional ayam ataupun
pakai untuk bahan bangunan.Secara umum domba biasanya dipelihara penduduk dengan
pemanfatan kayu albasiah oleh penduduk Desa dibuat kandang-kandang di sekitar
Karangwangi dapat dibagi menjadi 2 kategori, pekarangan, di bagian pingggir atau belakang
yakni untuk dijual dan untuk memenuhi rumah. Pada siang hari biasanya ayam di lepas
kebutuhan sendiri. Untuk kebutuhan sendiri bebas berkeliaran di pekarangan. Sedangkan
dalam keluarga biasa digunakan untuk bahan domba biasanya diberi pakan rumput dalam
usuk bangunan, papan, kusen, dan bahan meja, kandang atau kadang-kadang digembalakan di
kursi dan lemari. kebon atau sawah yang sedang diberakan.
Berbeda dengan sistem huma, kebun,
Pengelolaan pekarangan (buruan) dan sawah, sistem pekarangan tidak dikelola
Lahan di sekitar rumah yang biasa secara intensif. Pada sistem pekarangan,
ditanami oleh campuran tanaman tahunan dan berbagai tanaman pekarangan jarang diberi
semusim atau pekarangan, biasa lebih dikenal pupuk an-organik. Pupuk di sistem pekarangan
oleh penduduk di Desa Karangawangi sebagai biasanya berupa pupuk kandang, berupa
buruan. Pada lahan pekarangan biasa ditanami kotoran ternak atau sisa-sisa sampah organik
oleh aneka ragam jenis tanaman semusim dan dari dapur dan sumber lainnya. Demikian pula,
tahunan. Berberapa jenis tanaman yang pada sistem pekarangan jarang digunakan
dominan di pekarangan Karangwangi antara pestisida. Pasalnya, di sistem pekarangan
lain, peuteuy selong (Leucaena leucocephala), jarang diserang hama secara besar-besaran.
peuteuy (Parkia speciosa Hassk) , jambu batu Aneka ragam hasil dapat dipanen dari
(Psidium guajava L), sawo (Manilkara achras pekarangan, berupa hasil buah-buahan, bumbu
(Mill) Fosberg), mangga (Manggifera indica masak dan rempah-rempahan, bahan obat-
L), jeruk nipis (Citrus aurantifolia (Christin obatan tradisional, bahan upacara adat, bahan
and Panz), jeruk purut (Citrus hysterix Dc), industri rumah tang, dan bahan bangunan serta
nenas (Ananas comosus (L) Merr), kelapa kayu bakar. Misalnya, buah-buahan yang
(Cocos nucifera L), singkong (Manihot dihasilkan dari pekarangan, seperti pisang dan
esculenta Crantz), surawung (Ocimum sawo. Jenis-jenis tanaman bahan bumbu masak
basilicum L), kapolaga (Elettaria dan rempah-rempahan, antara lain cengek,
cardmommum Maton), laja (Languas cikur, jahe, jeruk nipis, surawung, laja, dan
galanga), jahe (Zingiber officinale Roxb), sereh. Berbagi bahan obat tradisional dari
cengek (Capsicum frutescens L), koneng / pekarangan, seperti kibeling (Sericocalyx
Iskandar, J. dan B. S. Iskandar, Vol 1, 2016 J Biodjati 9

crispus (L) Bremek), jahe (Zingiber officinale peneliti, seperti Iskandar (1992, 1998;
Roscoe), laja (Alpina galanga (L) Willd), Ahimsa-Putra (1997) dan Lahajir (2001).
panglay (Zingiber cassumunar Roxb) dan Penelitian etnoekologi pada dasarnya
jeruk nipis (Citrus aurantifolia (Christin and bertujuan melukiskan lingkungan sebagaimana
Panz). Sedangkan jenis-jenis tanaman upacara lingkungan tersebut dilihat oleh masyarakat
adat di sistem pekrangan, tercatat antara lokal yang diteliti, dengan diasumsikan bahwa
lainbunga mawar (Rosa hybrida Hort), sirih lingkungan efektif mempengaruhi terhadap
(Piper betelL), pinang (Areca catechu L), manusia, dengan mempunyi sifat kultural.
kelapa (Cocos nucifera L) dan pisang (Musa Artinya, lingkungan merupakan lingkungan
paradisiacaL). fisik yang telah diinterpretasikan, ditafsirkan,
Panen jenis-jenis tanaman di pekarangan lewat perangkat pengetahuan dan sistem niai
biasanya dilakukan tidak serempak, tapi dapat tertentu. Sistem pengetahuan masyarakat lokal
sepanjang waktu. Pasalnya, masa berbunga mengenai lingkungannya, antara lain terwujud
dan berbuah jenis-jenis tanaman dapat dalam berbentuk klasifikasi, kategorisasi dan
berbeda-beda sepanjang tahun. Bahkan, untuk taksonomi unsur-unsur lingkungan (cf. Milton,
jenis-jenis tanaman lalabdan bumbu masak, 1996; Ahimsa-Putra, 1997; Fowler, 2000).
seperti daun singkong, daun surawung,daun Pada masa silam, hingga 1990-an,
papaya, dan sereh dapat dilakukan setiap penduduk lokal Desa Karangwangi masih
waktu. mempraktikan sistem huma di lahan hutan.
Pasalnya, pada saat itu masih tersedia kawasan
PEMBAHASAN hutan cukupluas untuk berladang. Mereka
dalam berladang dilandasi kuat oleh sistem
Berdasarkan sejarah ekologi, di masa kepercayaan dan pengetahuan lokal, seperti
silam hingga abad ke 18,penduduk di kawasan pengetahun ekologi tradisional (TEK-
pinggiran (pasisian) Jawa Barat dan Banten Traditional Ecological Knowledge). Pada saat
dominan mempraktikan sistem ladang (huma). itu, pengelolaan sistem huma oleh para petani
Sementara itu, sistem sawah mulai dengan memanfaatkan secara maksimal
diintroduksikan di kawasan Jawa Barat dari berbagai sumber daya interal atau lokal.
Jawa Tengah kira-kira tahun 1750, yaitu Misalnya, mereka dalam mengelola sistem
diawali dari Sumedang dan Tasikmalaya huma memanfatkan anekaragam benih padi
(Geertz, 1963). Kini, sistem huma di beberapa dan benih kacang-kacangan lokal, pupuk
kawasan Jawa Barat dan Banten hampir organik, dan pestisida alami. Dengan kata lain,
punah, kecuali masih sangat dominan para peladang mengelola sistem huma dengan
dipraktikan pada masyarakat Kasepuhan di menerapkan sistem pertanian organik (organic
kawasan Gunung Halimun, Cisolok, Sukabumi farming) dan memaksimalkan sumber daya
selatan dan masyarakat Baduy Baduy, Banten alam lokal dan tidak tergantung atau
Selatan (Iskandar 1992, 1998, 2012). Namun meminimalkan berbagai asupan dari luar atau
demikian, kini sistem huma masih dipraktikan pasar atau LEISA (Low External Input
secara terbatas di beberapa kawasan di Jawa Agriculture and Sustainable Agriculture)
Barat, seperti di Desa Karangwangi, (Reijntjes, et al. 1992). Secara tradisi,
Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur, Jawa sejatinya hasil padi huma pantang dijual dan
Barat. gabah disimpan di lumbung-lumbung padi
Pada paper ini didiskusikan tentang (leuit), tapi anekaragam hasi non-padi, seperti
perkembangan sistem ladang (huma) menjadi kacang suuk dapat dijual untuk menghasilan
beberapa tipe agroekosistem lainnya, seperti uang.
macam-macam sistem kebun (kebon), sawah, Seiring dengan tambah padatnya jumlah
dan pekarangan (buruan) dengan pendekatan penduduk, kian berkurangnya kawasan hutan,
etnoekologi. Sejatinya pendekatan etnoekologi makin derasnya penetrasi ekonomi pasar
ini diperkenalkan oleh Conklin (1954) serta masuk ke kawasan pedesaan serta kebijakan
didukung oleh Frakle (1962). Sementara itu, pemerintah memberi disinsentif (melarang)
studi dengan pendekatan etnoekologi ini berladang, namun sebaliknya memberi insentif
Indonesia telah dilakukan oleh beberapa pada sistem sawah, antara lewat program
Iskandar, J. dan B. S. Iskandar, Vol 1, 2016 J Biodjati 10

Revolusi Hijau. Konsekuensinya, sistem ekonomi (cf. Iskandar dan Ellen, 1999).
huma kian berkurang dan sebaliknya sawah Namun, alih fungsi sistem agroforestri
bertambah di Desa Karangwangi. Meskipun tradisional, seperti kebun kayu-kayuan (kebon
sistem huma seperti di berbagai kawasan kai) dan kebun kayu-kayuan dan buah-buahan
lainnya di Jawa Barat, kian terdesak, namun (talun) yang sangat beranekargam ditanami
sistem huma masih cukup memegang peran tanaman, dengan diubah menjadi kebun
bagi sumbangsih pendatan ekonomi bagi monokultur, homogen albasiah (homogenisasi
masyarkat pedesaan (cf. Kosuke, et al. 2013). albsiah) agak kurang menguntungkan.
Selain itu, dari sistem huma tersebut dapat Pasalnya, homogenisasai tersebut dapat
berkembang menjadi beberapa tipe menghilangkan anekaragam plasma nutfah,
agroekosistem seperti sawah, kebon dan seperti buah-buahan lokal, rentan terhadap
pekarangan. Sistem kebon kai (kebon kayu- hama dan penyakit, serta rentan terhadap
kayuan) ataupun ‘talun’ (istilah masa silam perubahan sistem pasar (fluktuasi harga jual).
untuk kebun kayu-kayuan dan buah-buahan) Sementara itu, dampak Revolusi Hijau, yang
dan sistem pekarangan biasa ditanami diadopsi pada sistem sawah juga sistem huma,
campuran anekaragam tanaman semusim dan selain meningkatkan produksi padi secara
tahunan, sehingga tipe agroekosistem tersebut makro. Tapi, program tersebut telah
dapat dikatgorikan sebagai sistem agroforestri menyebabkan kepunahan anekaragam varietas
tradisional (cf. Soemarwoto dan Soemarwoto, padi lokal, membuat ketergantungan penduduk
1984; Christanty, et al. 1986; Iskandar dan desa pada berbagai asupan dari luar, timbulnya
Iskandar, 2011; Iskandar, et al. 2016). Sistem pencemaran lingkungan oleh pestisida, dan
agroforestri tradisional pekarangan (buruan) sering timbulnya ledakan hama.
dan kebon kai dan buah-buahan (talun) Berdasarkan studi ini dapat disimpulkan
memiliki fungsi penting bagi ekologi dan bahwa hasil studi telah memberikan informasi
sosial ekonomi budaya masyarkat. Pasalnya, berharga yang dapat membantu kita untuk bisa
dari sistem agroforestri tradisional tersebut lebih memahami perilaku penduduk pedesaan,
dapat dihasilkan anekaragam produksi khususnya penduduk Desa Karangwangi
tanaman untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam mengelola berbagai tipe agroekosistem
sehari-hari keluarga (ekonomi subsisten), di desanya. Seyogianya berbagai pengetahuan
seperti buah-buahan, bumbu masak dan ekologi tradisional (TEK) penduduk yang
rempah-rempah, lalab/sayur, obat-obatan positif dan kearifan ekologi penduduk,tidak
tradisional, upacara adat, bahan kerajinan, diabaikan atau bahkan dicoba untuk
bahan kayu bakar dan bangunan. Sementara dimusnahkan, namun seyogianya dapat
itu, secara ekologi dapat berfungsi untuk diintegrasikan dengan pengetahuan ilmiah
melindungi tanah dari bahaya erosi, habitat barat untuk dapat digunakan dalam
satwa liar, sumber plasma nutfah, pembangunan sistem pertanian yang
menghasilkan oksigen dan menyerap gas berkelanjutan, bersifat dapat menggiatkan dan
pencemar seperti CO2, serta adaptif terhadap meningkatkan ekonomi (economically viable),
perubahan anomali iklim, seperti kekeringan ramah terhadap lingkungan (ecologically
dan banjir (cf. Iskandar, 2007; Iskandar dan sound) serta berkeadilan sosial bagi
Iskandar, 2011; Van Noordwijk, et al. 2015). masyarakat pedesaan (socially justy).
Seiring dengan introduksi albasiah dan
pesatnya perkembangan ekonomi pasar, UCAPAN TERIMA KASIH
beberapa lahan tegalan termasuk kebun kayu-
kayuan (kebon kai), kebun bambu (kebon awi) Penelitian merupakan bagian dari
dan kebun campuran kayu-kayuan dan buah- program Academic Ledership Grant (ALG)
buahan (talun) dialihfungsikan menjadi kebun Prof. Johan Iskandar dengan didanai oleh DIP
albasiah/jengjen. Bagi lahan tegalan yang Unpad. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terbuka ataupun sistem huma, ditanami pohon- terima kasih pada rektor Unpad, Bpk. Tri
pohon albasiah/jengjen tersebut dapat Hanggono Achmad yang telah mendanai
menguntungkan. Pasalnya, dapat membantu penelitian ini, sehingga penelitian telah
kesuburan tanah dan memberikan keuntungan berjalan dengan lancar. Pada kesempatan ini,
Iskandar, J. dan B. S. Iskandar, Vol 1, 2016 J Biodjati 11

penulis juga mengucapkan terima kasih pada dissertation (tidak dipublikasikan).


Kepala Desa dan Staf Desa Karangwangi, University of Kent at Canterbury.
berserta para informan yang telah menerima Iskandar, J. 2007. Responses to Environmental
penulis dengan sangat ramah dan mendukung Stress in the Baduy Swidden System,
penelitian di lapangan. South Banten, Java. In Ellen, R. (ed),
Modern Crises and Traditional Strategies:
DAFTAR PUSTAKA Local knowledge in island Southeast Asia.
Berghahn Books, New York-Oxford,
Ahimsa-Putra, H.S. 1997.Sungai dan Ciliwung Pp.112-132.
Sebuah Kajian Etnoekologi.Prisma Iskandar, J. 2012a. Etnobiologi dan
(1):51-72. Pembangunan Berkelanjutan. AIPI
Albuquerque, U.P., L.V.F.C. da Cunha, R.F. Bandung, Puslitbang KPK LPPM dan
P.de Lucena, R.R.N. Alves (eds), 2014. MK63 Foundation, Bandung.
Methods and Techniques in Iskandar, J. 2012b. Ekologi Perladangan
Ethnobiology. Spriner Science-Business Orang Baduy: Pengelolaan Hutan
Media, New York. Berbasis Adat Berkelanjutan. P.T.
Christanty, L., Abdoellah, O.S., G.G. Marten Alumni, Bandung.
and J.Iskandar, 1986. Traditional Iskandar, J. and Ellen, R. F. 2000. The
agroforestry in West Java: the pekarangan contribution of Paraserianthes (Albizia)
(homegarden) and kebun-talun (annual- falcataria to Sustainable Swidden
perennial rotation) cropping system. In Management Practices Among the Baduy
Marten, G.G (ed), Traditional agriculture of West Java. Human Ecology 28, (1):1-
in Southeast Asia: a Human Ecology 17.
Perspective. East-West Environment and Iskandar, J. dan B. S. Iskandar, 2011.
Policy Institute University Hawaii, USA, Agroekosistem orang Sunda. PT. Kiblat
Westview Press, Boulder. Buku Utama, Bandung
Conklin, H. 1954. An ethnoecological Iskandar, J., B.S. Iskandar, R.Partasasmita,
approach to shifting agriculture, dalam 2016. Responses to environmental and
Transaction of the New York Academic of socio-economic changes in the
Sciences, Seri II, 17 (2):133-142. Karangwangi traditional agroforestry
Fowler, C.S. 2000. Ethnoecology An system, South Cianjur, West Java.
Introduction. In Minnis, P.E. (ed), Biodiversitas 17 (1):332-341.
Ethnobotany A reader. The University of Johnson, A. 1974. Ethnoecology and planting
Oklahoma Press, Pp. 13-16. practices in a swidden agricultural system.
Fox, J.J. 1991. Managing the ecology of rice American Ethnologist 1:87-101.
production in Indonesia. In Hardjono, J. Kosuke, M., S.S. Mugniesyah, A.S. Herianto
(ed), Indonesia: Resources, Ecology, and and T. Hiroshi.2013. Talun-Huma,
Environment. Oxford University Press, Swidden Agriculture, and Rural Economy
Oxford New York, Pp.61-84. in West Java, Indonesia.Southeast Asian
Frake, Ch. O. 1962. Cultural Ecology and Studies 2 (2) : 351-381.
Ethnography. American Anthropology, 64 Lahajir.2001. Etnoekologi Perladangan Orang
(1): 53-59. Dayak Tunjung Linggang. Galang Press,
Geertz, C. 1963. Agricultural Involution: The Yogyakarta.
Processes of Ecological Change in Lovelace, G.W. 1984. Cultural Beliefs and
Indonesia. University of California Press, Management of Agroecosystems. In
Berkeley and Los Angeles.. Rambo, A.T and P.E. Sajise (eds), An
Iskandar, J. 1992. Ekologi Perladangan di Introduction to Human Ecology Research
Indonesia: Studi Kasus Dari Daerah on Agricultural Systems in Southeast Asia.
Banten Selatan, Jawa Barat. Djambatan, East-West Environment and Policy
Jakarta. Institute, Hawaii, Pp. 194-205.
Iskandar, J. 1998. Swidden as a form of Milton, K. 1996. Environmentalism and
cultural Identity: the Baduy case. Ph.D Cultural Theory: Exploring the role of
Iskandar, J. dan B. S. Iskandar, Vol 1, 2016 J Biodjati 12

anthropology in environmental discourse. Soemarwoto, O. and I.Soemarwoto. 1984. The


Routledge, London and New York. Javanese Rural Ecosystem. In Rambo,
Mustapa, H. 1985 (1913).Adat istiadat Sunda A.T and P.E. Sajise (eds), An Introduction
(Bab adat-adat Oerang Priangan Djeung to Human Ecology Research on
Oerang Lian ti eta). Diterjemahkan oleh Agricultural Systems in Southeast
Sastrawijaya, M. Penerbit Alumni, Asia.East-West Environment and Policy
Bandung. Institute, Hawaii, Pp.254-287.
Newing, H., C.M. Eagle, R.K. Puri and C.W. Toledo, V.M, 2002. Ethnoecology: a
Watson. 2011. Conducting Research in conceptual framework for the study of
Conservation: Social science methods and indigenous knowledge of nature. In Stepp,
practice. Routledge, London and Newy J.R, Wyndham, F.S and Zarger, R.K (eds),
York. Ethnobiology and Biocultural. The
Rambo, A. T and P. E. Sajise, 1984. International Society of Ethnobiology,
Introduction: Human Ecology Research Georgia.
on Tropical Agriculture in Southeast Asia. Van Noordwijk, M., P.A. Minang and K.
In Rambo, A.T and P. E.Sajise (eds) An Hiriah, 2015. Swidden Transitions.
Introduction to Human Ecology Research Bunch, R. 2015. Learning From Migratory
on Agricultural Systems in Southesat Asia. Agriculture Around the World. In Cairns,
East-West Center, Hawaii, Pp.1-24. M.F. (ed), Shifting cultivation and
Reijntjes, C, Haverkort, B. and Waters-Bayer, environmental change: Indigenous
1992.Farming for the future: An People, Agriculture and Forest
introduction to Low-External-Input and Conservation. Routhledge, London and
Sustainable Agriculture. The MacMillan New York. Pp. 261-280.
Press Ltd, London and Basingstoke.

Anda mungkin juga menyukai