Anda di halaman 1dari 10

BIOMA, Juni 2012 ISSN: 1410-8801

Vol. 14, No. 1, Hal. 7-16

Etnoekologi Masyarakat Samin Kudus Jawa Tengah

Jumari1), Dede Setiadi2), Y.Purwanto3) dan Edi Guhardja2)


1) Laboratorium Ekologi dan Biosistematik Jurusan Biologi FSM Undip
email: jumari_bot07@yahoo.com
2)
Dept. Biologi FMIPA IPB
3)
Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI

Abstrak

Penelitian Etnoekologi Masyarakat Samin di Kudus telah dilaksanakan pada bulan Maret 2011 hingga
Agustus 2011. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan mendokumentasi pengetahuan lokal Masyarakat
Samin Kudus mengenai pandangan masyarakat terhadap lingkungannya. Lokasi penelitian di desa Larikrejo dan
desa Kaliyoso, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus. Teknik pengambilan data dilakukan dengan pengamatan
langsung di lapangan, wawancara terbuka (open ended), wawancara terstruktur dan semi terstruktur terhadap
informan kunci; dan kelompok diskusi terfokus (Focus Group discussion, FGD). Pengelolaan sumberdaya lokal di
lingkungan masyarakat samin digambarkan secara diskribtif fenomenologi. Pengetahuan tradisional masyarakat
tentang lingkungannya tergambar pada bentuk penggunaan lahan dan sistem pengelolaannya. Satuan lingkungan
dan aktifitas produksi masyarakat berupa sawah, pekarangan, tegalan, rawa, embung dan sungai. Interaksi
masyarakat Samin dengan lingkungannya sangat kuat, ibarat manusia dengan sandang pangan, atau ibarat hidup
dengan penghidupannya. Pandangan masyarakat Samin terhadap kepentingan lahan mengalami perubahan seiring
dengan perubahan kondisi lingkungan dan tingkat pengetahuan mereka.

Kata kunci : Etnoekologi, samin, fenomenologi

Abstract
The study of the ethnoecology of Samin Society in Kudus been conducted in March 2011 to August 2011.
The aim of this study was to review and document local knowledge of of Samin Society about their views of the
environment. The location is Larikrejo and Kaliyoso villages, Undaan District, Regency of Kudus. Data collection
techniques with direct field observation, open interviews (open ended), structured interviews with key informants,
and focus group discussions (FGD). Results of research on local resource management in communities samin
illustrated on describtif phenomenology. Theirs traditional knowledge about the environment is reflected in the form
of land use management systems. Environmental unit and production activities such as: rice fields, yards, dry field,
swamps, embung and rivers. Samin community interaction with the environment is very strong, like wong (humans)
with sandang pangan (food and clothing), or like living with a livelihood. Society's view of land interests change
with the change of environmental conditions and their knowledge level.

Key word: Ethoecology, local knowledge, Samin Society, view of invironment, environmental unit

PENDAHULUAN manusia harus melakukan penyesuaian diri


Dalam kehidupan manusia senantiasa terhadap lingkungan agar dapat bertahan hidup
terjadi hubungan timbal balik antara sistem sosial (Hutterer & Rambo, 1985). Hubungan sistem
dengan sistem biofisik (ekosistem) (Rambo, 1983; sosial dan biofisik tersebut sangat dinamis setiap
Parson, 1985; Marten 2001). Kedua sistem waktu. Perubahan sistem sosial masyarakat secara
berubah sesuai dengan dinamika internal masing- otomatis akan mengakibatkan perubahan sistem
masing, namun tetap mempertahankan integritas biofisik (Rambo, 1983).
sebagai sistem terpisah. Latar belakang sosial Studi etnoekologi bertujuan untuk mengkaji
budaya dapat mempengaruhi perilaku manusia pengetahuan lokal pengenai interaksi antara
dalam memperlakukan alam lingkungannya. masyarakat lokal dengan lingkungannya. Pada
Sebaliknya karena pengaruh lingkungan biofisik, saat ini pengetahuan tersebut mengalami
Jumari, Dede Setiadi, Y Purwanto dan Edi Guhardja

degradasi dan banyak ditinggalkan oleh penduduk ilmu multi disiplin yang mengkaji hubungan
karena tergerus oleh kemajuan teknologi dan timbal balik antara aspek pola pikir dan aspek
berbagai aktivitas manusia yang cenderung praktis suatu etnik terhadap sumberdaya alam
mengabaikan kelestarian lingkungan. Oleh karena mereka berikut pengaruhnya dalam suatu proses
itu sangat mendesak untuk dilakukan produksi. Kajiannya bertumpu pada bagaimana
pendokumentasian dan pengkajian pengetahuan pemanfaatan alam oleh kelompok masyarakat
masyarakat tradisional termasuk pada Masyarakat (ethnic) sesuai ragam kepercayaan, pengetahuan,
Samin. tujuan dan bagaimana pandangan kelompok etnis
Masyarakat Samin adalah masyarakat bersangkutan dalam pemanfaatannya (Toledo,
tradisional di Jawa yang keberadaanya semakin 1992).
terpinggirkan. Mereka mengharapkan keberadaan Etnoekologi masyarakat lokal mencakup
atau “kemerdekaan” mereka diakui agar dapat keseluruhan pengetahuan ekologi masyarakat lokal
menjalankan sistem kehidupan sesuai ajaran yang yang menganalisis semua aspek pengetahuan lokal
mereka yakini. Profesi utama dan mereka adalah masyarakat tentang lingkungannya meliputi
petani, maka ketergantungan terhadap sumberdaya persepsi dan konsepsi masyarakat lokal terhadap
alam sangat tinggi. Keterbatasan lahan dan lingkungannya (corpus) beserta strategi adaptasi
kondisi biofisik yang kurang menguntungkan dan sistem produksi serta pengelolaan sumberdaya
menyebabkan mereka semakin sulit untuk alam yang terdapat di dalamnya (praxis).
bertahan. Kondisi tersebut tidak menyurutkan Pengetahuan ini juga menganalisis pengaruh
semangat mereka untuk bertahan hidup. Mereka persepsi lokal tentang lingkungan serta pengaruh
adalah masyarakat mandiri ditengah keterasingan semua aktifitas manusia terhadap lingkungannya
(Widodo, 2008; Rosyid, 2008), mereka bisa (Toledo, 1992; Purwanto, 2007).
bertahan hidup karena mampu beradaptasi dengan Kearifan ekologi dalam konteks sejumlah
kondisi lingkungannya. Menurut Berkes dan Folke pengetahuan yang berkaitan dengan kegiatan
(1998) masyarakat yang sering dihadapkan pada aktifitas masyarakat lokal dapat menggambarkan
tantangan akan mempunyai banyak pengetahuan pola adaptasi yang memainkan peranan penting
lokal dibanding masyarakat yang jarang dalam keberhasilan pertanian mereka (Amsikan,
menghadapi masa-masa kritis. 2006). Penggalian pengetahuan ekologi
Studi etnoekologi merupakan bidang studi masyarakat lokal, khususnya di kalangan
yang kehadirannya relatif baru, sehingga masyarakat Samin diharapkan mempunyai
terminologinya masih menjadi perdebatan diantara implikasi positif dan strategis terhadap
para ahli. Paradigma baru tentang sustainability pemeliharaan lingkungan dan sumberdaya
dalam ilmu ekologi mendorong munculnya bidang alamnya untuk menunjang kelangsungan hidup
studi etnoekologi ini. Menurut Toledo (1992) mereka.
bidang ilmu etnoekologi berkembang dari 4 bidang Tujuan penelitian ini adalah untuk
ilmu yaitu: etnobiologi, agro-ekologi, etnosain dan mengungkapkan sistem pengetahuan lokal
geografi lingkungan. Studi etnoekologi masyarakat Samin berkaitan interaksinya dengan
berkembang tidak hanya mempelajari interaksi lingkungan, antara lain meliputi: persepsi tentang
antara suatu bentuk kehidupan dengan kehidupan alam semesta dan lingkungannya, pengetahuan
lainnya, dan lingkungannya, tetapi bersifat tata ruang dan kekayaan hayati yang ada di
menganalisis secara holistik sampai pada analisis dalamnya, pemanfaatan dan pengelolaannya; dan
tentang sistem pengetahuan masyarakat lokal perubahan persepsi kepentingan lahan.
dalam mengelola lingkungannnya berikut strategi
adaptasi dan sistem produksi yang dikembangkan BAHAN DAN METODE
di lingkungannya tersebut (Purwanto, 2007). Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2011
Istilah etnoekologi dicetuskan oleh Harold hingga Agustus 2011. Lokasi penelitian desa
Conklin pada tahun 1954 ketika mempelajari Larikrejo dan dan dusun Kaliyoso, desa
masyarakat Hanunoo di Philipina. Secara istilah Karangrowo, Kecamatan Undaan Kabupaten
Etnoekologi dapat didefinisikan sebagai suatu Kudus Jawa Tengah. Daerah tersebut dipilih
Etnoekologi Masyarakat Samin

karena (1) merupakan tempat tinggal/pemukiman (Larikrejo) dan 1.100,26 (Karangrowo), lahan
masyarakat samin, (2) masih terdapat tokoh Samin sawah 61,71% (Larikrejo) dan 81,75%
(Botoh) yang mempunyai kemampuan lebih (Karangrowo). tegalan 32,17% (Larikrejo) dan
tentang ajaran Samin dan lingkungan alamnya, (3) 13,58% (Karangrowo), serta sisa lahan berupa
Masyarakat Samin di dusun tersebut adalah pekarangan 6,13% di Larikrejo dan 4,65% di desa
masyarakat petani, yang masih mengandalkan Karangrowo. Berada pada ketinggian rata-rata 50
sumberdaya alam dan lingkungan di sekitarnya m di atas permukaan laut. Jenis tanah umumnya
untuk kehidupannya. alluvial coklat tua (BPS Kudus, 2010).
Alat dan bahan yang digunakan dalam Aspek Sosial budaya masyarakat Samin
penelitian ini antara lain: alat rekam, lembar Masyarakat Samin di Kabupaten Kudus
kuesioner, alat tulis, kamera, peta lokasi, GPS; terutama bermukin di Desa Larikrejo dan Desa
peralatan untuk analisis vegetasi: roll meter, tali Karangrowo, Kecamatan Undaan, kurang lebih 10
untuk petak plot. km sebelah selatan Kota Kudus, atau 7 km dari
Penelitian dilakukan melalui empat tahap: Jalan Raya Kudus-Undaan. Perkampungan
(1). deskribsi serinci mungkin kondisi ekosistem; masyarakat Samin agak terpencil karena jauh dari
inventarisasi kekayaan hayati flora fauna di setiap jalan raya. Kondisi lahan pedesaan datar dengan
unit lahan; (2) Menyusun kembali pola pikir areal persawahan yang masih luas.
(corpus) Masyarakat Samin mengenai persepsi Penganut Samin kedua desa tersebut
dan konsepsi terhadap lingkungan dan sumber berjumlah 70 KK, meliputi 240 jiwa. Mereka
daya hayati di dalamnya, dengan metode survei tinggal mengelompok dengan komunitasnya dan
partisipatif (Martin, 1996; Purwanto, 2007; masih kuat memegang prinsip ajaran. Dalam hal
Hendra, 2009), dan teknik wawancara (bebas open pendidikan sebagian besar generasi tua tidak
ended dan semi struktural (Grandstaff & mengenyam pendidikan formal, sedangkan
Grandstaff, 1987; Purwanto, 2007); (3) Mengkaji generasi mudanya sebagian besar sudah
bentuk praktek pengelolaan sumberdaya alam mengenyam pendidikan formal meskipun sedikit
hayati berikut teknologinya (praxis) (4) Untuk sekali yang sampai menamatkan SD. Mata
mengetahui perubahan persepsi kepentingan lahan pencaharian pencaharian utama mereka adalah
dilakukan dengan pendekatan Focus Discussion petani, pekerjaan sampingan antara lain pencari
Group (FDG), pengumpulan data dengan teknik ikan, tukang kayu atau tukang batu, atau buruh
Pebble Distribution Metdode (PDM)B (CIFOR bangunan.
2004; Boissierre at al., 2009) Pandangan masyarakat tentang alam semesta
Masyarakat Samin menyebut alam yang
HASIL DAN PEMBAHASAN sedang kita tempati saat ini sebagai alam donya
Aspek Biofisik (alam dunia). Sedangkan alam yang akan
Kabupaten Kudus terletak diantara empat ditempati nanti disebut alam kelanggengan. Alam
Kabupaten, sebelah utara berbatasan dengan dunia terdiri dari unsur- unsur tanah (lemah), air
Kabupaten Jepara dan Kabupaten Pati. Sebelah (banyu), api (geni) dan angin. Keempat unsur itu
timur berbatasan dengan Kabupaten Pati, sebelah harus ada dalam keadaan seimbang, agar seimbang
selatan berbatasan dengan Kabupaten Grobogan harus di tata. Mereka juga memahami adanya jagat
serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten gede dan jagad cilik . Alam raya atau alam
Demak dan Jepara. Letak Kabupaten Kudus antara semesta ini disebut sebagai jagad gede
110036’ dan 110050’ Bujur timur dan antara 6051’ (makrokosmos). Bumi yang ditempati, langit dan
dan 7016’ Lintang Selatan. matahari merupakan isi jagad gede. Sedangkan
Lokasi penelitian di Desa Larikrejo dan jagat cilik (mikrokosmos) adalah diri manusia
dusun Kaliyoso secara administratif termasuk sendiri. Dalam pandangan mereka jagad cilik dan
dalam wilayah di Kecamatan Undaan. Topografi jagad gede adalah sama. Jagad cilik itu merupakan
desa datar dengan kemiringan lahan 0-20, desa gambaran dari jagat gede.
tersebut semula merupakan rawa, sebagian lahan Dalam pandangan masyarakat bumi
sawah sering tergenang air. Luas lahan 222,26 ha melambangkan nama perempuan, dari kata ibu
Jumari, Dede Setiadi, Y Purwanto dan Edi Guhardja

sing di mimi, dipundi-pundi, (ibu yang sangat (berarti hasrat atau keinginan). Matahari berada di
dihormati) iso nukulke samubarang, senajan di atas, di langit, matahari melambangkan hasratnya
idak-idak, dipaculi,dipiloro, tetep nguripi, ora atau energi. Matahari memancarkan energi, yang
nesu, ditanduri yo bakal woh, (bisa menumbuhkan disalurkan ke bumi, bumi menyimpan benih
berbagai macam tanaman, meskipun dinjak-injak, kehidupan. Adanya sinergi antara bumi dan
dicangkuli, disakiti, tidak marah, kalau matahari menciptakan kehidupan di bumi.
ditanamami tetap memberikan hasil, tetap Kehidupan dibumi dapat terus berlangsung karena
memberikan penghidupan). Bumi memberikan adanya sinergi antara unsur bumi yang diserab
tempat perlindungan, menumbuhkan tanaman, tumbuhan yang mampu secara langsung
menyediakan air, dan menyediakan segala memanfaatkan energi matahari dalam proses
kehidupan lainnya. Karena itulah masyarakat fotosintesis sehingga dihasilkan bahan-bahan
Samin sangat menghormati bumi. Penghormatan organik yang diperlukan untuk bahan pangan
mereka terhadap bumi dengan bertani, mengolah organisme lainnya.
tanah sebaik-baiknya, memberikan pupuk, Masyarakat Samin merealisasikan
menanami, merawat dan memberikan perhatian pandangan mengenai perkawinan antara langit
setiap hari. Ibarat merawat seorang ibu yang telah dan bumi tersebut dalam bentuk perkawinan
memberikan kasih sayang dan membesarkannya. antara laki-laki dan perempuan (sikep rabi).
Bumi ibarat ibu yang selalu dihormati. Perkawinan merupakan merupakan jalan yang
Langit adalah nama atau simbol untuk mulia untuk menghasilkan keturunan guna
laki-laki. Langit dan bumi merupakan suatu melanjutkan kehidupan berikutnya. Dalam ajaran
pasangan, langit sebagai laki-laki dan bumi Samin untuk menciptakan kehidupan atau
sebagai perempuan. Langit berada di atas, dan keturunan yang baik, harus di awali dengan tata
bumi itu di bawah. Ini menjadi simbol bagi mereka cara perkawinan dengan tata cara sikep rabi
bahwa laki-laki mempunyai kekuasaan yang lebih (pernikahan cara masyarakat Samin). Pernikahan
luas dibanding kaum wanita, namun laki laki juga adalah sesuatu yang sakral, untuk menebarkan
mempunyai tugas lebih berat untuk melindungi benih kehidupan dengan cara yang baik, agar di
dan menghidupi perempuan. hasilkan keturunan yang baik pula. Dengan
generasi yang baik diharapkan akan dihasilkan
kualitas kehidupan yang lebih baik.
1 1 Pandangan masyarakat terhadap manusia dan
lingkungan
Pandangan masyarakat samin terhadap
2 lingkungannya tidak terlepas dari ajaran atau
2 falsafah hidupnya. Pola pikir mereka sederhana,
3 tindakan mereka sesuai dengan pikiran dan
A B 3 ucapannya, antara lahir dan batin sama. Kata
Samin dapat diartikan sami-sami, sama-sama, atau
Gambar 1. Skema pandangan masyarakat Samin tidak berbeda dengan lainya. Masyarakat Samin
mengenai jagad gede dan jagad cilik. A. tidak pernah menganggap mempunyai derajat yang
Jagad gede (alam semesta) (1) Langit lebih tinggi dari masyarakat lainnya, dalam arti
dan matahari (2). bumi, (3) bibit setiap manusia adalah sama, sesama hidup, sama
kehidupan; B. Jagad cilik (diri manusia), derajatnya, bahkan dengan makhluk hidup
diwujudkan dalam perkawinan lainnya.
masyarakat Samin, (1) suami/[emilik
sawah (2) istri/sawah (3) generasi
penerus.

Matahari dalam bahasa jawa adalah


Srengenge, berasal dari kata sreng/ono karep
Etnoekologi Masyarakat Samin

hama seperti tikus, wereng, walang sangit sebagai


‘musuh’ tetapi dipahami bahwa hewan tersebut
seperti manusia butuh makan untuk kelangsungan
hidupnya.
Sandang Pandangan tentang Rumah
uwn
uwong pangan Masyarakat samin menyebut rumah sebagai
mondokan, karena pada tempat itulah yang
menjadi tempat mondoknya seluruh anggota
manusia
Manusia lingkungan
Lingkunga keluarga dan tempat mondoknya sandang pangan.
Berbeda dengan pemahaman masyarakat Jawa,
yang biasa menyebut rumah dengan nama omah.
Dalam pemahaman masyarakat Samin yang
Gambar 2. Skema pandangan Masyarakat Samin
dimaksud omah adalah awak atau badan manusia.
mengenai manusia dan lingkungan
Awak iku omahing urip (badan itu yang
ketempatan hidup). Hidup di sini dapat diartikan
Masyarakat Samin membagi isi dunia ini
ruh atau nyawa. Karena itu mereka menyebut
dalam dua bentuk yaitu wong (manusia/hidup) dan
rumah bukan dengan istilah omah, tapi dengan
sandang pangan (penghidupan). Wong, dimaknai
istilah mondokan.
sebagai manusia atau diri kita ini yang diberi hidup
Mondokan, rumah atau tempat tinggal
diamanahi sebagai pengelola kehidupan dibumi.
sebagaimana masyarakat lainnya mempunyai
Sedangkan sandang pangan, merupakan
fungsi sebagai tempat berlindung bagi setiap
kelengkapan atau sumber penghidupan di bumi.
anggota keluarga, tempat melaksanakan berbagai
Segala sesuatu yang bukan manusia itu disebut
aktifitas rumah tangga, melangsungkan keturunan,
sebagai sandang pangan. Dalam pemahaman
membesarkan keturunan, tempat mewariskan
keilmuan sekarang, konsep tersebut dapat
ajaran atau norma-norma kehidupan, memasak,
diibaratkan sebagai manusia dan lingkungannya,
beristirahat, bercengkerama dan sebagainya.
atau antara sistem sosial dan sistem biofisik
Dalam konsep masyarakat Samin mondokan
(Rambo, 1985).
atau rumah juga merupakan ‘sekolah’ tempat
Pandangan tentang makhluk hidup
untuk menyampaikan ajaran, atau norma-norma
Masyarakat Samin menyebut manusia,
untuk kehidupan yang baik. Guru yang utama
hewan dan tumbuhan, sebagai ‘tri tunggal’ (satu
adalah orang tua masing masing. Orangtualah
wujud yaitu hidup, dalam tiga bentuk yakni
yang mempunyai kewajiban utama mendidik
manusia, hewan dan tumbuhan). Wujud hidup
keturunan mereka menjadi orang yang
yang pertama adalah manusia dan kedua adalah
berkelakuan baik, hingga bisa bekerja dan hidup
sandang pangan. Sandang pangan yang hidup
mandiri. Sehingga keberadaan sekolah formal
dapat dibedakan menjadi sandang pangan yang
tidak wajib bagi mereka. Saat ini sekolah formal
hidup dan bisa berjalan, bergerak, atau berpindah
yang dijalani oleh generasi mudanya lebih
tempat, wujudnya adalah hewan, dan kedua
bertujuan untuk bisa membaca dan menulis, tidak
sandang pangan yang hidup tapi tidak dapat
untuk mendapatkan ijasah untuk mencari
berjalan atau berpindah tempat wujudnya adalah
pekerjaan.
tumbuhan.
Manusia, hewan dan tumbuhan mempunyai Pandangan tentang lahan pertanian
Lahan pertanian bagi masyarakat Samin
satu kesamaan yaitu hidup. Makhluk tersebut
disebut sebagai lemah garapan. Lemah garapan
kedudukannya sama, sama-sama hidup. Bentuk
adalah lahan yang digunakan untuk aktifitas
konkrit dari ajaran ini adalah mereka menghormati
budidaya pertanian yang merupakan pekerjaan
hak hidup bagi makhluk sesama, seperti tidak
sehari hari. Bagi masyarakat samin lemah garapan
membunuh atau merusak sesama hidup,
merunjuk kepada tanah sawah. Namun dalam
menyediakan tempat hidup, memberikan pangan,
pemahaman yang lebih luas lemah penggarapan
tidak menggangap binatang pengganggu atau
ini dibedakan menjadi lemah teles (sawah) dan
Jumari, Dede Setiadi, Y Purwanto dan Edi Guhardja

lemah garing (kebon, tegalan, termasuk alas atau merupakan petani yang ulet dan bekerja keras
hutan). untuk bisa mendapatkan hasil yang baik.
Sawah, menurut pandangan masyarakat Tanah yang subur biasanya berwarna merah
samin kata ‘sawah’ berarti istri, sedang laki-laki kebiruan (abang biru), bila kering ngropyok
adalah ‘pemilik sawah’. Pekerjaan utama mereka (gembur, mudah lepas). Sedang tanah yang tidak
adalah sebagai petani mengolah tanah dan subur (lemah gering), bila kering mengkel (keras).
menanaminya hingga mendapatkan hasil untuk Tanah yang cukup air biasanya subur, bila diberi
memenuhi kebutuhan hidup mereka. Pekerjaan pupuk mudah diserab tanaman. Pada tanah
sebagai petani dijalankan sebagai manivestasi ledokan (tempat lebih rendah) biasanya lebih subur
bentuk ‘interaksi’ antara ‘sawah’ dan ‘pemilik karena mendapat aliran air yang mengandung
sawah’ antara istri dan suami. Karena itu mereka pupuk dari tempat yang lebih tinggi (nggeneng).
menganggap menjadi petani adalah pekerjaan yang Tanah kering biasanya kurang subur, bila dipupuk
mulia, maka dijalaninya dengan sepenuh jiwa. tidak ada air, pupuk tidak bisa langsung diserab
Pengetahuan tentang kesuburan tanah tanaman.
Kesuburan tanah tergantung ada atau Pengetahuan tentang tata ruang
tidaknya usaha manusia mengolahnya. Seperti Masyarakat Samin di Kudus mengenali
dalam ungkapan mereka “Subur lan orane lemah satuan lingkungan di sekitar pemukiman mereka
iku gumantung wonge, yen lemah dipaculi yo berdasarkan bentuk dan fungsinya. Pemahaman
subur, yen ora tau dipaculi yo dadi ora subur” tentang bentuk dan fungsi satuan lahan tersebut
(Subur atau tidaknya tanah itu ditentukan oleh terwujud dalam berbagai aktifitas yang dijalani
orangnya, kalau tanah dicangkuli, dirawat dengan keseharian. Satuan lingkungan mereka berupa
baik, maka tanah menjadi subur, tetapi kalau tidak pekarangan, tegalan, sawah, sungai, dan rawa..
dicangkuli tidak diolah dengan baik maka tanah
akan menjadi tidak subur). Pemahaman ini
menunjukkan bahwa masyarakat Samin

Tabel 1. Satuan lingkungan pada Masyarakat Samin di Kudus

No Satuan Fungsi Kekayaan Hayati


lingkungan
1 Rumah Fungsi sosial budaya
(Tempat tinggal, interaksi
sosial, pendidikan)
2 Pekarangan Fungsi sosial budaya Kekayaan hayati dominan adalah Jenis tanaman
Fungsi ekonomi subsisten ( budidaya, terutama jenis buah, sayur dan bumbu,
lahan budidaya untuk tanaman obat, dan tanaman kayu bakar dan bangunan.
kebutuhan sendiri) Jenis pohon dominan adalah Pring ori (Bambusa
Fungsi ekologi (Peneduh, bambos), Pisang (Musa paradisiaca, kultivar ambon,
plasma nutfah) kepok, susu), mangga (mangifera Indica) dan Meh
(Samanea saman). Jenis semak terutama didominasi
tumbuhan meliar seperti sabrang (Ipomoea
crasicaulis) dan Trembelutan (Phyllantus reticulatus)
3 Tegalan Fungsi ekonomi subsisten Lahan berupa tanggul, bantaran sungai, tidak dikelola
(Kebutuhan sendiri) intensif, jenis dominan adalah tumbuhan untuk kayu
Fungsi ekologi (Penguat Bakar al: Meh (Samanea saman) dan lamtoro
tanggul, plasma nutfah) (Leucaena glauca), serta tanaman buah terutama
Pisang (Musa paradisiaca).
4 Sawah Fungsi ekonomi (Sumber Lahan sawah ber-irigasi, dikelola intensif, pola tanam
penghasilan utama) padi-padi-palawija. Jenis padi varietas unggul IR 64,
Ciherang. Palawija : buah semangka biji , semangka
buah, blewah.
Etnoekologi Masyarakat Samin

5 Rawa Fungsi ekologi (reservoar, Jenis tumbuhan dominan terutama tanaman


plasma nutfah) kangkung air (Ipomoea aquea) untuk pakan ternak,
dan ekonomi (pakan ternak, dan terate (Nympaeae). Jenis ikan ikan seperti, lele
sumber pangan ikan) rawa, bethik (Ananas testudinetus), sepat
(Trichogaster trichopterus), wader (Rasbora
argineteria).
6 Embung Fungsi ekologi (Reservoar), Jenis ikan yang biasa di temukan antara lain: Lundu/
Fungsi ekonomi (budidaya Kuthuk (Chana striata), Bloso, lele rawa, udang,
ikan dan sumber ikan liar) Mujair (Oreochromis mossambicus), nila, bethik, ikan
sapu-sapu.

7 Sungai Fungsi ekologi (Sumber Jenis ikan banyak berkurang karena, pencarian ikan
pengairan sawah) dengan racun atau dengan setrum. Jenis ikan yang ada
Fungsi ekonomi (Sumber al: Bethik, sepat, lele, kutuk, bloso
ikan)
Kearifan lokal dalam mengelola lahan sawah
Pengelolaan lingkungan Dalam praktek pertanian meskipun sudah
Masyarakat Samin telah melaksanakan menggunakan cara modern, dalam beberapa hal
praktek mengelola lingkungan secara turun masih menyimpan kearifan lokal. Terutama
temurun. Praktek ekologi yang menggambarkan berkaitan dengan bagaimana mereka menanamkan
keterkaitan antara manusia dan lingkungannya rasa bangga menjadi petani. Masyarakat
telah lama di miliki oleh masyarakat tempaan Samin adalah bagian dari masyarakat Jawa, yang
(Walujo, 2009). Mereka telah membagi dan masih mempunyai kebanggaan yang tinggi
mengelola berbagai satuan lingkungan yang ada di berprofesi sebagai petani. Hal ini dilakukan karena
sekitar berdasarkan fungsinya untuk bertani merupakan pelaksanaan keyakinan mereka.
mempertahkan kehidupan mereka. Bagi Bertani adalah pekerjaan mulia untuk melanjutkan
Masyarakat Samin sawah merupakan satu-satunya misi kehidupan di bumi. Bertani dengan ‘jiwa’
lahan yang dikelola secara intensif. Sistem merupakan karakter masyarakat Samin yang,
pertanian telah berkembang mengikuti sistem sudah tidak banyak ditemukan pada masyarakat
pertanian modern yang seperti masyarakat umum Jawa pada umumnya.
lainnya. Penggunaan traktor, bibit unggul, pupuk Bentuk kearifan lainnya antara lain dapat
kimia, dan bahan pestisida sudah menjadi budaya diamati dalam praktek pengelolaan tanah,
dalam sistem pertanian masyarakat Samin. Hal ini memaknai kesuburan tanah, penyiapan benih,
menunjukkan bahwa mereka terbuka dengan penanggulangan terhadap hama dan mengelolaan
kemajuan pengetahuan dan teknologi. panen. Penyiapan bibit padi (wineh), merupakan
Satuan lahan lain seperti tegalan dan tahap yang penting. Jenis yang digunakan adalah
pekarangan tidak dikelola secara intensif. Lahan varitas padi unggul tetapi mereka membuat sendiri
dibiarkan apa adanya tanpa pengolahan tanah, benih padi yang akan di tanam. Kriteria memilih
pemupukan, atau perawatan khusus. Tumbuhan padi yang baik untuk bibit, antara lain: (1) pari
yang ada di pekarangan atau tegalan biasanya mapak, tanaman padi yang akan diambil untuk
dibiarkan tumbuh meliar tanpa perawatan intensif. bibit mempunyai ketinggian sama/rata, sehingga
Vegetasi dipekarangan lebih berfungsi secara akan dihasilkan bibit yang seragam. (2) Ulen
ekologis untuk kenyamanan di banding fungsi landing , tangkai padi panjang. (3)
ekomonisnya. Rawa merupakan lahan alami, yang dapuran/anakan padi lebih besar, berarti tanaman
keberadaannya makin berkurang, tanpa ada subur.
pengelolaan khusus. Embung, sungai, merupakan Dalam menanggulangi tanaman terhadap
lahan semi alami yang yang bernilai secara seranggan hama Masyarakat Samin memiliki
ekologi dan ekonomi yang belum dimanfaatan dan mempunyai kearifan tersendiri, mereka
dikelola secara optimal. menggunakan “cara halus”. Dengan memahami
bahwa hewan yang dianggap hama tersebut
Jumari, Dede Setiadi, Y Purwanto dan Edi Guhardja

sebenarnya tidak bermaksud mengganggu atau


merusak tanaman manusia, tetapi karena “butuh
urip lan butuh mangan” (hidup butuh makan).
Sebagai sesama hidup manusia tidak mempunyai
hak untuk membunuhnya. Cara menanggulanginya
adalah dengan menyediakan apa yang mereka
butuhkan (sajen). Bentuk makanan yang disiapkan
adalah apa yang diperoleh dari hasil ‘perenungan’
mereka. Pemberian makanan tersebut disertai
permohonan secara gaib, agar hama tersebut tidak
mendatangi tanaman penduduk lagi.
Gambar 3. Perubahan pandangan terhadap kepentingan
Dalam pengelola hasil panen berlaku tradisi
lahan bagi aktivitas masyarakat
pembagian hasil. Hasil panen dibagi untuk empat
keperluan yakni: untuk wineh, untuk sandang, Berdasarkan diagram tersebut diketahui
untuk pangan dan untuk bawon. Bagian untuk bahwa lahan pekarangan merupakan lahan yang
wineh (bibit) selalu disiapkan untuk musim tanam paling penting dalam aktivitas keseharian mereka
berikutnya. Bagian yang untuk sandang adalah karena di pekarangan tersebut terdapat rumah atau
yang untuk kebutuhan sehari hari selain untuk tempat tinggal yang merupakan ruang utama
makan, misalnya untuk membeli pupuk, untuk dalam aktivitas keseharian mereka. Rumah yang
keperluan sosial dan keperluan rumah tangga menyatu dengan pekarangan mempunyai fungsi
lainnya. Bagian yang untuk pangan untuk sosial yang paling penting dalam pandangan
kebutuhan pakan/makan keluarga. Bagian terakhir masyarakat samin. Selain itu pekarangan juga
bawon adalah bagian untuk yang membantu mempunyai fungsi ekonomi dan fungsi ekologi
pemanenan padi. sebagai tempat budidaya berbagai jenis tanaman.
Masyarakat Samin jarang mengalami krisis Perubahan yang paling mencolok adalah
pangan karena mereka selalu mempunyai perubahan kepentingan lahan rawa, sekitar 20
persediaan pangan. Mereka mempunyai strategi tahun yang lalau, rawa mempunyai nilai penting
untuk bisa bertahan hidup dengan sumberdaya yang cukup tinggi, karena pada saat itu lahan rawa
yang ada dengan menyimpan sebagian hasil. paling luas dan kaya dengan berbagai jenis ikan,
Simpanan dari hasil panen masa tanam pertama mata pencarian utama mereka saat itu adalah
sekitar 17-20 sak (sekitar 6kwintal). Sedangkan mencari ikan. Sekarang lahan rawa dianggap
setelah hasil panen musim kedua simpanan lebih kurang penting, karena sebagian besar lahannya
banyak, 27-30 sak (sekitar 10kwintal) untuk sudah berubah menjadi sawah. Sebaliknya peran
persiapan selama musim kemarau. lahan sawah, meningkat dari waktu ke waktu,
Perubahan pandangan tentang kepentingan sekarang sawah merupakan lahan utama
lahan bagi masyarakat masyarakat samin untuk menopang kehidupannya
.Pandangan mereka mengenai kepentingan sebagai petani.
lahan tersebut bagi aktivitas keseharian mereka Kepentingan lahan tegalan dulu dan
sedikit banyak mengalami perubahan terkait sekarang mengalami perubahan, dulu tegalan
dengan kondisi biofisik maupun kondisi sistem sangat penting karena merupakan lahan utama
sosial di lingkungan mereka. Berdasarkan hasil untuk mencari pakan ternak, tetapi karena
Focus Discussion Group (FDG), yang dilakukan sekarang jarang yang mempunyai ternak besar
terhadap sejumlah masyarakat Samin, dan mereka (sapi), maka nilai kepentingan berkurang,
di minta untuk memberikan skor dengan metode demikian juga untuk kepentingan ke depan.
‘kerikil’ PDM (Pebble Distribition Method) untuk Masyarakat Samin cukup terbuka dan
menilai kepentingan lahan secara relatif bagi mempunyai pengetahuan yang memadai tentang
aktivitas keseharian Masyarakat Samin, diperoleh konservasi lingkungan. Hal ini tergambar dari
hasil seperti ditampilkan pada gambar 3 pandangan mereka tentang hutan. Lahan hutan
Etnoekologi Masyarakat Samin

sebenarnya merupakan lahan yang letaknya jauh BPS Kudus, 2010. Kecamatan Undaan dalam
dari pemukiman mereka, jaraknya sekitar 5-7 km. angka. BPS Kabupaten Kudus
Masyarakat samin di Kudus menganggap bahwa Boissiere, M, Padmanaba, M. Liswanti N., Sheil
keberadaan hutan di masa yang akan penting, dan D., Basuki I., van Heis M., Wan, M. 2009.
harapan kondisi hutan bisa lebih baik, sehingga Multidisplinary Landscape Assesment
kecukupan dan ketersediaan air untuk kegiatan (MLA): Mengekplorasi Keanekaragaman
pertanian mereka tetap terjaga. Pandangan ini Hayati, Lingkungan dan Pandangan
mengisyaratkan bahwa masyarakat samin masyarakat Lokal mengenai lanskap hutan.
mempunyai pangangan yang jauh kedepan, bahwa Dalam Purwanto, Y. dan Walujo, E (Ed.).
lingkungan harus tetap terjaga, demi kehidupan. Keanekaragaman Hayati, Budaya dan Ilmu
Pengetahuan, Prosiding Seminar Nasional
KESIMPULAN Etnobotani IV. LIPI Press, Jakarta hal 33-41
Masyarakat Samin Kudus mempunyai CIFOR. 2004. Mengekploitasi keanekaragaman
pemahaman yang baik terhadap hayati, lingkungan dan pandangan
lingkungannya. Pengetahuan tradisional masyarakat lokal mengenai berbagai
tentang lingkungannya tergambar pada bentuk lanskap hutan. Metode-metode penilaian
lanskap secara multidisipliner. Cifor,
penggunaan lahan dan sistem pengelolaannya.
Bogor, Indonesia
Unit lahan bagi aktifitas produksi mereka Conklin, H.C.1954. An Etnoecologycal Approach
berupa sawah, pekarangan, tegalan, rawa, dan to Shifting Agricuture. Dalam Transaction
embung, sungai. Sawah merupakan lahan of the New York of Academy of Science II,
yang dikelola secara intensif, pekarangan (17): 133-142
tegalan tidak dikelola dengan intensif. Grandstaff, SW & Grandstaff TB. 1987. Semi
Masyarakat Samin masih mempunyai kearifan Structure Interviewing by Multidicipline
lokal dalam mengelola lingkungannya. Teams in RRA. KKU Prociding : 69 – 88.
Interaksi antara masyarakat Samin dengan Hendra, M. 2009. Etnoekologi Perladangan dan
lingkungannya dipengaruhi oleh pandangan Kearifan Botani Lokal masyarakat Dayak
hidupnya, ibarat manusia dengan sandang Benuaq di Kabupaten kutai Barat
Kalimantan Timur. Disertasi Sekolah
pangan, atau ibarat hidup dengan yang
Pascasarjana IPB (Tidak dipublikasikan)
memberi penghidupan. Pandangan tentang
Hutterer K & Rambo AT. 1985. Introduction
kepentingan lahan bagi aktivitas masyarakat dalam In Cultural values and human
mengalami perubahan seiring dengan ecology in Southeast Asia. Hutterer KL,
perubahan kondisi biofisik lingkungan dan Rambo AT & Lovelace G (eds). Michigan:
tingkat pengetahuan masyarakat. Michigan Paper on Southeas Asia Center for
South and Southeast Asian studies The
DAFTAR PUSTAKA University of Michigan
Amsikan, Y.G. 2006. Manfaat Kearifan ekologi Marten GG. 2001. Human Ecology. Basic
Terhadap pelestarian lingkungan. Suatu Consept for Sustainable Development.
studi etnoekologi di Kalangan Orang Earthscan Publication Ltd, London
Biboki. AKADEMIKA, Jurnal Kebudayaan Martin, G.J., 1996. Etnobotani. Chapman and
Vol.4. No.1 April 2006. Hall, London
Berkes,F. dan Folke, C, 1998. Linking Social and Parson, JR., 1982. Primitive Polluters. Semang
Ecological System for Resilience and Impac on The Malaysian Tropoical Rain
Sustainability dalam Berkes and Folke, Forest Ecosystem. Anthro[poplogical
C.(Ed.) Linking Social and Ecological Papers. Museum Anthropologi, University
System: Management Practices and Spcial of Michigan. No 76.
Mechanism for Buiding Resiliencies. Purwanto Y. 2007. Ethnobiologi. Ilmu
Cambride University Press, hal 1-25 interdisipliner, metodologi, aplikasi, dan
Jumari, Dede Setiadi, Y Purwanto dan Edi Guhardja

prosedurnya dalam pengembangan Walujo, E.B. 2009. Etnobotani, Menfasilitasi


Sumberdaya tumbuhan. Bahan Kuliah penghayatan, pemutakhiran pengetahuan
PascaSarjana IPB(inpress) dan kearifan lokal dengan menggunakan
Rambo T.A.1983. Conceptual Approach to Human prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan.
Ecology. Research Report No.14. East West Dalam Purwanto, Y dan Eko Baroto Walujo
Environment and Institute, Honolulu Hawai (Ed). Keanekaragaman Hayat, Budaya dan
Rosyid M. 2008. Samin Kudus: Bersahaja di ilmu Pengetahuan. Seminar Etnobotani IV/
Tengah Asketisme Lokal. Penerbit Pustaka Penerbit LIPI Press, Jakarta
Pelajar Yogyakarta Widodo S. 2008. Masyarakat Samin di tengah
Toledo V.M. 1992. What is etnoekologi ? Origin, Arus Modernisasi. (http://learning-
scop and implications of arising discipline. of.slametwidodo.com/2008/02/01/, 24
ETNOECOLOGI. Vol I. No.1. April 1992. Desember 2008)

Anda mungkin juga menyukai