Anda di halaman 1dari 8

PRITHA HARNUM NARESWARY

2201110296
NADIA RAHMADANI
2201110285
HUBUNGAN INTERNASIONAL (B)
Dosen Pengampu: Irwan Iskandar, S.IP, M.A

Kehidupan manusia dan konflik saling terkait erat. Begitu juga dalam
hubungan internasional. Salah satu pola interaksi yang muncul di antara para aktor
dalam sistem global adalah konflik. Bangsa-bangsa di dunia, terbelenggu oleh
tatanan internasional yang penuh dengan kekerasan. Hal ini diakibatkan oleh
kebiasaan suatu negara untuk bertahan dalam sistem tersebut, yang cenderung
membangun kapasitas diri sebagai sarana kesiapan dan pencegahan serangan.
Penyelesaian konflik dicari oleh pihak-pihak yang bersengketa, dan sebagai
hasilnya, banyak jenis konflik yang muncul di dunia, termasuk konflik antar
negara dan perselisihan internal/dalam negeri, telah menemukan jalan keluarnya
terang dan didukung oleh perdamaian di antara pihak-pihak yang bersengketa. Di
dunia ini, ada banyak perang yang sedang berlangsung atau baru saja dimulai.
Konflik Papua memiliki sejarah yang panjang dan proses yang terus
berlangsung. Selama lebih dari 50 tahun, konflik ini telah memakan banyak
korban jiwa baik dari pihak sipil, TNI/Polri, maupun OPM. Konflik Papua juga
telah berubah dalam hal bagaimana konflik ini diperjuangkan, dengan penggunaan
kekerasan oleh OPM untuk mencapai kemerdekaan digantikan oleh non-
kekerasan melalui penggunaan komunikasi internasional dan media. Melalui para
eksekutifnya, OPM mulai berpartisipasi dalam persidangan dan konferensi
internasional dalam upaya untuk menarik perhatian pada skala global
Transformasi konflik terjadi dalam kaitannya dengan penyebab konflik, tidak
hanya dalam bentuk perjuangan OPM.Oleh karena itu, mengelola konflik ini
sangat penting untuk mencegah jatuhnya korban lebih lanjut, menurut
Wallensteen (2002), ada tiga faktor - tindakan, ketidaksesuaian, dan aktor - yang
mendukung terjadinya konflik. Konflik ditandai dengan adanya tindakan, namun
tidak semua contoh tidak adanya tindakan menunjukkan bahwa konflik telah
berakhir. Gencatan senjata, misalnya, hanya mencegah tindakan tambahan untuk
sementara waktu karena kekerasan masih dapat meletus kapan saja. Akibatnya,
komponen ketidakcocokan dari definisi konflik memberikan penjelasan yang
lebih menyeluruh.
Tindakan-tindakan yang menyebabkan konflik dipicu oleh adanya
ketidakcocokan antara dua pihak atau lebih yang berlomba-lomba untuk
mendapatkan sumber daya. Ketika pihak-pihak ini memodifikasi tuntutan mereka
dan kelangkaan sumber daya yang diperebutkan menghilang, maka negosiasi
antara pihak-pihak yang bertikai merupakan salah satu metode untuk
menyelesaikan perselisihan. Mengutip definisi Las, negosiasi adalah proses
komunikasi dua pihak atau lebih yang digunakan untuk memajukan kepentingan
dan menyelesaikan konflik demi memajukan tujuan bersama. Pendekatan
distributif dan pendekatan integratif merupakan dua jenis pendekatan yang dapat
digunakan dalam negosiasi. Dengan menggunakan permainan zero-sum di mana
salah satu pihak harus mengorbankan kepentingannya, tawar-menawar distributif
dapat mengurangi konflik. Di sisi lain, tujuan negosiasi integratif adalah
menemukan solusi yang menyeimbangkan kepentingan semua pihak. Setiap
pihak mempertimbangkan kepentingan pihak lain selain berbicara untuk membela
kepentingannya sendiri. Dalam mencapai sebuah pemerintah telah melakukan
berbagai upaya untuk mengakhiri perang di Papua. Namun, inisiatif-inisiatif
pemerintah ini belum mampu menciptakan prosedur penyelesaian sengketa yang
sempurna. Selain itu, negosiasi digunakan sebagai salah satu metode untuk
menyelesaikan sengketa. Tindakan terbaik adalah dengan melakukan negosiasi,
yang akan memungkinkan adanya komunikasi antara pemerintah Indonesia dan
masyarakat Papua.
Penyebab utama konflik di Papua adalah strategi militer yang
menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan perbedaan. Untuk menciptakan
metode untuk mencari tahu dan mengkomunikasikan perasaan di antara pihak-
pihak yang berlawanan. Karena komunikasi merupakan hal yang mendasar dalam
semua situasi hubungan antarmanusia, baik dalam kerja sama, persaingan, atau
bahkan dalam lingkungan yang tidak bersahabat. Oleh karena itu, untuk
menemukan solusi atas perselisihan, sangat penting untuk menilai keinginan
semua pihak yang terlibat, para pemain yang terkait, dan proses negosiasi itu
sendiri.
Ada beberapa aktor yang terlibat dalam negosiasi konflik papua ,sebagai berikut:
1. Pemerintah Pusat dan Daerah
Pemerintah pusat  mencari solusi untuk mengatasi konflik di Papua dengan
merumuskan kebijakan yang tepat. Salah satu upaya pemerintah untuk meredam
konflik tersebut adalah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 45 Tahun
1999 tentang Pembentukan Provinsi Iria Jaya Tengah Provinsi Iria Jaya Barat
Kabupaten Paniai Kabupaten Mimika. , Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong
membagi Provinsi Irian Jaya menjadi Provinsi Irian Jaya Timur, Tengah dan
Barat. Pemekaran Papua melalui pembentukan provinsi baru dianggap gagal total
karena banyak ditentang oleh masyarakat Papua (Wospakrik, 2016). Pemerintah
juga memberlakukan UU 21 tentang Otonomi Khusus Papua (Otsus Papua) pada
tahun 2001, yang memberikan pemerintahan provinsi yang lebih luas dan
memberdayakan masyarakat Papua untuk mengatur dan mengatur diri mereka
sendiri. Ternyata pengenalan otsu tidak membawa manfaat nyata bagi masyarakat
Papua. Selain itu, kebijakan mengenai pembentukan provinsi baru Tanah Papua,
pembentukan Daerah Otonom (DOB) baru, eksploitasi perusahaan tambang,
migrasi, dan kebijakan pemerintah lainnya dinilai belum berdampak material
terhadap kesejahteraan masyarakat papua.
2. Kelompok Kriminal Bersenjata/Organisasi Papua Merdeka
(KKB/OPM)
Kelompok ini merupakan kelompok gerilya yang menyebar ke beberapa
wilayah di bagian hutan Papua dan masih aktif hingga saat ini. Pada 1980-an,
pemerintah Indonesia menjuluki kelompok TPN sebagai Liar Precautions
Movement (GPL) dan Security Disturbing Movement (GPK). Presiden Jokowi
lebih sering disebut sebagai "Kelompok Kriminal Bersenjata" (KKB). Mereka
dipersalahkan atas beberapa konflik di Papua, di mana mereka dianiaya oleh
tentara. Operasi militer pemberantasan OPM menggunakan dan menggunakan
kekuatan bersenjata tidak akan mengurangi pengaruh kelompok ini dalam konflik
di Papua. OPM melanjutkan perjuangannya untuk kemerdekaan Papua dan
perjuangan OPM berkembang tidak hanya melalui cara-cara kekerasan tetapi juga
tanpa kekerasan melalui dialog dan media internasional. Meski tidak mencegah
penggunaan senjata, namun tetap menjadi pilihan untuk pertahanan diri. OPM,
melalui eksekutif luar negerinya, mulai menghadiri pertemuan dan konferensi
internasional untuk menarik perhatian internasional.
3. Kepala Suku /Tokoh Agama
Para pemimpin informal seperti kepala suku dan tokoh agama sangat penting
perannya dalam memelihara kebersamaan yang damai di dalam
masyarakat Papua. Para kepala suku masih didengarkan dan dihormati
dengan baik di antara akar rumput (orang Papua asli). Kepemimpinan yang
kharismatik dari para kepala suku ini memberikan kekuasaan untuk
mempengaruhi dan menggerakkan masyarakat mereka. Sama halnya dengan
tokoh agama. Oleh karena pengaruhmerekayang sangat besar dalam komunitas
adatdan agama, maka mereka sangat diperlukan dalam proses negosiasi.
Peran mereka adalah sebagai fasilitator dalam proses negosiasi konflik.
Selain itu mereka juga dapat membantu mengalirkan dan menyebarluaskan
informasi tertentu termasuk indoktrinasi dari pihak-pihak yang berkepentingan
atau para pengusaha konflik dalam rangka membangun opini publik.
4. Masyarakat Sipil
Masyarakat sipil adalah mereka yang merasakan dampak dari konflik
yang terjadi. Dampak yang terjadi ini menyebabkan adanya memoria
dantrauma berkepanjangan. Tidak hern juga kalau mereka sering tidak menerima
kebijakan pusat. Oleh karena itu, masyarakatjuga memiliki peran penting dalam
proses negosiasi.Dengan terlibat dalam proses negosiasi, dapat diketahui apa
yang menjadi keinginan dari masyarakat dalam upaya menyelesaikan
konflik Papua.
5. Aktor Eksternal
Salah satu tuntuan dari negosiasi adalah terkait dengan keberadaan
Freeport di tanah Papua yang sering menjadi salah satu penyebab konflik.
Oleh karena itu, keterlibatan Freeport dalam proses negosiasi memiliki
peran yang penting sebagai salah satu pihak yang memberikan keputusan
terhadap penyelesaian konflik.
Penetapan Status Teroris terhadap KKB/OPM dalam Konflik di Papua
Sejarah pengaturan hukum di Indonesia mengenai tindak pidana teroris diatur
dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun
2002 pada saat setelah terjadi Bom Bali 1 tanggal 12 Oktober 2002. Ketentuan
tersebut digunakan untuk menjerat para pelaku dimana ketentuan dalam
KUHPidana tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menjerat para pelaku teroris
dan memberikan perlindungan hukum terhadap korban. Perpu Nomor 1 Tahun
2002 tersebut kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-
Undang, dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang (selanjutnya
disebut UU Pemberantasan Terorisme).
Menurut Pasal 1 butir butir 2 UU Pemberantasan Terorisme, “Terorisme
adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang
menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat
menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/ atau menimbulkan kerusakan atau
kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas public,
atau fasilitas internasional dengan motif idiologi, politik atau gangguan
keamanan”.
Berdasarkan pengertian tersebut, unsur-unsur tindak pidana terorisme adalah:
a) perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan; b) menimbulkan suasana teror
atau rasa takut; c) secara meluas; d) dapat menimbulkan korban yang bersifat
masal, dan/ atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran; e) terhadap objek vital
yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas public atau fasilitas internasional; f)
dilakukan dengan motif idiologi, politik atau gangguan keamanan.
Perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan dapat dilihat langsung di dalam
bunyi Pasal 1 butir 3 dan butir 4 yang berbunyi, “Kekerasan adalah setiap
perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana
secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa dan
kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya”.
Menurut Pasal 1 butir 7, “Objek vital yang strategis adalah kawasan, tempat,
lokasi, bangunan atau instalasi yang: a) menyangkut hajat hidup orang banyak,
harkat dan martabat bangsa; b) merupakan sumber pendapatan Negara yang
mempunyai nilai politik, ekonomi, social dan budaha; atau c) menyangkut
pertahanan dan keamanan yang sangat tinggi”.
Ketiga motif ini yang kemudian membuat menjadi rancu dengan tindak pidana
politik, terlebih di dalam Pasal 5 UU Pemberantasan Terorisme disebutkan,
“Tindak pidana terorisme yang diatur dalam undang-undang ini harus dianggap
bukan tindak pidana politik, dan dapat diekstradisi atau dimintakan bantuan
timbal balik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Tindak pidana politik diartikan sangat luas ke dalam beberapa bentuk, yaitu:
a) kejahatan terhadap Negara/ kemanan Negara; b) kejahatan terhadap system
politik; c) kejahatan terhadap system kekuasaan; d) kejahatan terhadap nilai-nilai
dasar atau hak-hak dasar dalam bernegara; e) kejahatan yang mengandung unsur
politik; f) kejahatan untuk meraih/ mempertahankan/ menjatuhkan kekuasaan; g)
kejahatan terhadap lembaga-lembaga politik; h) kejahatan oleh Negara; dan i)
kejahatan penyalahgunaan kekuasaan (Rahadian & Jaya, 2014).
Rio Armanda Agustian lebih konkrit menyebutkan dalam penelitiannya,
bahwa salah satu tindak pidana politik adalah yang tertuang di dalam Bab I Buku
Kedua KUHP pidana, Bab tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara yang
tertuang di dalam Pasal 104 sampai dengan Pasal 129 KUHPidana (Agustian,
2011).
Tindak pidana politik yang tercantum di dalam Bab I Buku Kedua
KUHPidana antara lain: a) makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden; b) makar
terhadap wilayah Negara; c) makar untuk menggulingkan kekuasaan; d)
pemberontakan; e) permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana tersebut di
atas; f) kontak dengan Negara asing untuk bermusuhan/ perang; g) kontak dengan
orang/ badan di luar Indonesia untuk penggulingan pemerintahan; h)
mengumumkan/ menyerahkan rahasia Negara; i) memasuki bangunan/ wilayah
militer terlarang; j) membuat/ mengumpulkan dan sebagainya gambar-gambar
atau petunjuk-petunjuk yang berhubungan dengan militer; k) membahayakan
kenetralan Negara; dan l) membantu musuh.
Di dalam penjelasan umum UU Pemberantasan Terorisme disebutkan, bahwa
tindak pidana terorisme pada dasarnya bersifat transnasional dan terorganisasi
karena memiliki kekhasan yang bersifat klandestein yaitu rahasia, diam-diam atau
gerakan bawah tanah, lintas Negara yag didukung oleh pendayagunaan teknologi
modern di bidang komunikasi, informatika, transportasi dan persenjataan modern
sehingga memerlukan kerjasama di tingkat internasional untuk
menanggulanginya, sedangkan tindak pidana politik dilakukan secara terang-
terangan.
Organisasi terorisme pada umumnya memiliki karakteristik antara lain: a)
dimotivasi oleh idiologi yang keras; b) melakukan intimidasi yang memaksa; c)
melakukan pembunuhan dan penghancuran secara sistematis sebagai sarana untuk
tujuan tertentu; d) target teror dipilih, sekalipun dalam menentukan target
dilakukan secara rahasia namun tujuan pelaksanaannya adalah untuk mendapatkan
publisitas; e) korban bukan tujuan melainkan sarana untuk menciptakan ketakutan
bagi banyak orang; dan f) walau eksplisit namun pesan dari teror cukup jelas
(Sanur, 2016).
Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu kelompok pemberontak dapat
diakui sebagai belligerent diantaranya yaitu: a) pemberontakan telah terorganisasi
dalam satu kekuasaan yang benar-benar bertanggungjawab atas tindakan dari para
bawahannya dan memiliki organisasi pemerintahannya sendiri; b) pemberontak
mengontrol dengan efektif dan secara de facto atas beberapa wilayah; c)
pemberontak memiliki tanda pengenal atau seragam yang jelas serta menunjukkan
identitasnya; d) pemberontak memperoleh dukungan dari rakyat di wilayah yang
didudukinya; dan e) pemberontak harus menaati hukum dan kebiasaan perang
yang berlaku (Pailalah, 2017).
Penetapan KKB/ KSB/ OPM dalam konflik bersenjata di Papua sebagai
kelompok teroris tidak tepat karena latar belakang sejarah adanya kekerasan yang
dilakukan oleh KKB/ KSB/ OPM, serta pemenuhan unsur-unsur yang termuat
dalam UU Pemberantasan Terorisme tidak tepat.
Walaupun motif yang dilakukan KKB/ KSB/ OPM adalah motif politik,
namun tujuan dilakukannya kekerasan atau ancaman kekerasan tersebut bukan
untuk menimbulkan suasana teror atau ketakutan, melainkan untuk melepaskan
diri dari Indonesia, sehingga lebih tepat jika KKB/ KSB/ OPM merupakan pelaku
tindak pidana politik sebagaimana diatur di dalam Bab I Buku Kedua KUHP
pidana.
Selain itu, penetapan status teroris tersebut bukanlah solusi untuk mengatasi
konflik di Papua karena penetapan status tersebut tidak hanya memiliki
konsekuensi terhadap kualifikasi tindak pidana yang dilakukan, akan tetapi juga
terkait dengan model penegakan hukum yang dilakukan terhadap KKB/ KSB/
OPM.
Konsekuensi Penetapan Status Teroris Terhadap KKB/OPM Dalam
Konflik Menurut Hukum Pidana Indonesia
Penuntutan pidana terhadap KKB/KSB/OPM sehubungan dengan
kekerasan/pelanggaran hukum lainnya harus dilakukan oleh Kepolisian Negara
sebagai pihak yang berwenang melakukan proses peradilan sesuai dengan tugas
kepolisian yang disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang tersebut. Nomor 2
Tahun 2002 tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kepolisian Negara
Indonesia yang merupakan salah satu kewajiban pemerintah negara dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
pengayoman, pengayoman, dan pelayanan sosial.
Status teroris KKB/KSB/OPM pemerintah menimbulkan masalah baru baik
dalam hukum pidana substantif maupun formil. Instrumen hukum pidana
substantif bukan lagi hukum pidana, melainkan undang-undang pemberantasan
terorisme. Adapun penanggulangannya, kejahatan politik seperti makar dan
hasutan kebencian (separatisme) dan terorisme berbeda. Polri dan TNI
berpartisipasi dalam perang melawan separatisme, yang terjadi terutama pada saat
berlangsungnya Operasi Militer Di Luar Perang (OMSP), seperti yang sering
terjadi di masa lalu. Polri, TNI, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT) terlibat dalam status terornya.
Secara teori, menurut Clark McCauly, ada dua model penanganan terorisme,
yaitu pendekatan model peradilan pidana dan pendekatan model militer. Dalam
pendekatan model peradilan pidana, terorisme dipandang sebagai salah satu jenis
pelanggaran hukum dan upaya penanggulangannya dilakukan melalui lembaga
penegak hukum. Pendekatan lain yaitu model perang melihat teroris sebagai
ancaman terhadap kedaulatan negara sedemikian rupa sehingga penggunaan
sarana militer digunakan untuk melawan teroris tersebut (Fitri, 2018).
Di Indonesia, BNPT diberdayakan dengan Keputusan Presiden No. 46 Tahun
2010 untuk menyusun dan merumuskan kebijakan dan strategi serta bertindak
sebagai Koordinator Penanggulangan Terorisme. Secara politis, BNPT memiliki
tiga departemen: Pencegahan, Perlindungan dan Radikalisasi; di bidang
implementasi dan peningkatan kapasitas dan di bidang kerja sama internasional.
Dalam menjalankan tugasnya, BNPT semakin menekankan pada penanggulangan
terorisme secara terpadu dan menyeluruh, terutama dengan mengedepankan
pendekatan preventif (flexible approach).
Polisi menjadi Satuan Khusus (Densus) 88, satuan khusus antiteror yang
memiliki kewenangan khusus untuk memerangi berbagai jenis dan bentuk
terorisme. TNI sendiri memiliki TNI AD/Grup 5 Anti Teror Anti Teror
(Dengultor), Satuan 81 Kopassus TNI AD, Detasemen Jalamangkara (Denjaka)
Korps Marinir TNI AL, Satuan Bravo (Denbravo) TNI AU dan Satuan BINTerror
AU. Badan intelijen negara juga memegang peranan yang sangat penting dalam
penanggulangan terorisme di Indonesia, karena aksi terorisme dapat dicegah atau
diberantas dengan bantuan badan intelijen negara dan sumber intelijen (Sanur,
2016). Lembaga-lembaga ini bekerja sama untuk memberantas terorisme di
Indonesia. Dalam melakukannya, mereka tidak hanya melakukan pendekatan
keras untuk menegakkan aturan dan lembaga penegak hukum, tetapi juga
melakukan pendekatan lunak kepada masyarakat Indonesia dengan mencegah ide-
ide radikal sebagai sumber terorisme. Gerakan Teroris di Indonesia (Oktiana,
2018).
Tentunya dilihat dari bentuk dan tindakan KKB/KSB/OPM selama ini, akan
ada tindakan penegakan hukum lebih lanjut ketika aparat penegak hukum yang
bekerja melawan pelaku kekerasan/konflik bersenjata di Papua perlu mereduksi
seluruh kekuasaan pemerintah. Oleh karena itu, terlalu berlebihan jika pemerintah
memberikan status teroris kepada KKB/KSB/OPM, karena cakupan kejahatan
yang dilakukan tidak berdimensi transnasional, karena kelompok teroris selama
ini telah mengganggu stabilitas keamanan nasional Indonesia.
Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai