Referat THT Final
Referat THT Final
HALAMAN JUDUL
Disusun oleh:
Aneke Desiana
031052210022
Pembimbing:
dr. Yurnita Ariffin, Sp.THT-KL
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN
Telah diterima dan disetujui oleh dokter pembimbing sebagai salah satu
Disusun oleh:
Aneke Desiana
03105221022
Penulis
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkah dan kasih sayang-Nya maka tugas pembuatan referat yang berjudul
“BAROTRAUMA PADA TELINGA” ini dapat diselesaikan dengan baik dan
tepat pada waktunya.
Saya menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh
karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan referat ini. Besar harapan saya, agar kiranya penyajian referat ini
dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................ii
KATA PENGANTAR..............................................................................................iii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................7
2.1 Anatomi Tuba Eustachius........................................................................7
2.2 Fisiologi Tuba Eustachius.......................................................................9
2.3 Definisi Barotrauma Pada Telinga........................................................11
2.4 Epidemiologi Barotrauma Pada Telinga................................................11
2.5 Etiologi dan Faktor Risiko Barotrauma Pada Telinga...........................12
2.6 Patofisiologi Barotrauma Pada Telinga.................................................14
2.7 Diagnosis Barotrauma Pada Telinga.....................................................18
2.8 Tatalaksana Barotrauma Pada Telinga..................................................19
2.9 Komplikasi Barotrauma Pada Telinga...................................................20
2.10 Pencegahan Barotrauma Pada Telinga..................................................20
2.11 Prognosis Barotrauma Pada Telinga......................................................20
BAB III KESIMPULAN..........................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................22
iv
DAFTAR GAMBAR
v
BAB I
PENDAHULUAN
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tuba eustachius terdiri dari dua bagian yaitu pars oseus dan pars
kartilaginus.
7
Pars oseus (protimpanum)
Merupakan sepertiga posterior panjang tuba Eustachius (11-14 mm)
yang bermuara ke kavum timpani di dinding anterior, dan bagian ini
selalu terbuka. Secara histologis sebagian ujung pars kartilageneus
masuk kedalam pars osseus, sehingga hubungan kedua bagian
tersebut tidak membentuk mekanisme persendian. (4)
Pars kartilaginus
Bagian ini merupakan dua pertiga anterior panjang tuba Eustachius
yang terdiri dari membran dan kartilago, berbentuk terompet dengan
panjang 20-25 mm. Bagian medial berupa tulang rawan yang
melengkung dan bagian latero inferior berupa membrane dimana
melekat otot tensor veli palatini. Bagian tulang rawan terdiri dari 3
sampai 4 segmen yang dapat menggeser satu sama lain sehingga
dapat bergerak melingkar mengikuti gerakan menelan. Pars
kartilaginus lebih banyak dalam keadaan tertutup akibat tekanan
otot dan jaringan lemak (Ostman fatty pad’s) di lateral membran dan
baru terbuka jika membran tertarik ke lateral oleh kontraksi otot
tensor veli palatini pada waktu mengunyah atau menelan. (4)
Mukosa yang melapisi lumen dari tuba eustachius terdiri dari epitel torak
bersilia yang sama dengan traktus respiratorius bagian atas yang bermodifikasi,
8
hanya ujung faringeal saja yang betul-betul merupakan saluran nafas atas.(4)
Sel Goblet dan sel bersilia banyak terdapat di mukosa pars kartilagineus,
sedangkan pada pars osseus sel goblet dan bersilia hanya terdapat pada mukosa
di dasar lumennya saja. Kelenjar mukus dan sel Goblet ini meghasilkan sekresi
yang akan membentuk suatu mucous blanket yang bersama sel bersilia
membentuk suatu mucociliary transportation system. (4)
Ada 3 otot yang memegang peranan penting dalam mekanisme pembukaan
tuba secara aktif yaitu m. tensor veli palatini, m. levator veli palatini, dan m.
salpingofaringeus. Namun otot-otot yang berhubungan dengan tuba eustachius
pada dasarnya ada 4 yaitu selain 3 otot diatas juga ada m. tensor timpanum.
Muskulus tensor veli palatini melekat pada fossa scaphoidea os sphenoid dan
bagian lateral membran pars kartilagineus. Tendon otot ini melingkari bagian
lateral humulus pterigoideus kemudian ke medial melekat pada bagian posterior
palatum durum. Kontraksi otot ini terjadi saat menelan, mengunyah atau
menguap. Pada keadaan ini membran pars kartilagineus di tarik ke lateral oleh
m. tensor veli palatini sehingga lumen tuba eustachius terbuka. Otot ini
diinervasi oleh cabang mandibula saraf trigeminus. (4)
10
terhenti di leher labu sebagai akibat adanya tekanan pasitif dalam bejana tersebut.
Cairan nasofaring dapat masuk ke tuba eustachius bila diberi suatu tekanan positif
kuat. Bersin sewaktu hidung buntu, menangis, menelan sambil menutup hidung,
menyelam atau lepas landasnya pesawat terbang dapat meningkatkan tekanan
nasofaring yang dapat menyebabkan kegagalan dari fungsi proteksi tuba. (4)
11
2.4 Epidemiologi Barotrauma Pada Telinga
Umumnya, kebanyakan orang pernah mengalami perubahan tekanan saat
menyelam ke dasar kolam yang dalam, ketika menjadi penumpang pesawat
terbang, atau menjadi penumpang di dalam mobil saat berkendara melalui
berbagai perubahan ketinggian. Barotrauma telinga tengah tetap menjadi
komplikasi paling umum dari penyelaman SCUBA, penyelaman komersial, dan
perawatan oksigen hiperbarik klinis. Ada variabilitas yang signifikan dalam
kejadian dan prevalensi barotrauma telinga yang dilaporkan dalam literatur,
mulai dari 4,1 – 82%.(6)
Laporan bervariasi dalam hal perbedaan yang signifikan secara statistik
mengenai jenis kelamin, usia, alergi, jenis penyelaman, suhu air, musim, riwayat
merokok, deviasi septum, dan riwayat otitis media sebelumnya. Riwayat kanker
kepala dan leher serta pengobatan radiasi telah dikaitkan dengan insiden yang
lebih tinggi, mungkin akibat kerusakan jaringan lunak akibat radiasi dari tuba
eustachius atau faring. (6)
Di Indonesia kasus barotrauma sering ditemukan terutama pada penyelam baik
yang profesional maupun wisatawan, termasuk nelayan tradisional yang mencari tiram
atau kerang di laut dan pekerja bidang minyak dan gas. Menurut penelitian yang
dilakukan pada penyelam yang ada di Kecamatan Balaesang Tanjung Kabupaten
Donggala Provinsi Sulawesi Tengah, didapatkan bahwa angka kejadian barotrauma
telinga tengah pada penyelam dengan frekuensi penyelaman ≥4 hari/minggu adalah
38,13%.(7)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kartono di Kecamatan Karimun Jawa,
menunjukan bahwa dari 148 responden, 53,4% responden mengalami barotrauma.
Gejala yang sering dirasakan adalah kelelahan (77,0%), pusing (59,5%), dan nyeri sendi
(53,4%.) Komplikasi barotrauma yang paling banyak terjadi adalah gangguan
pendengaran (43,2%).(7)
12
penyelaman, berada di pesawat terbang, ruang hiperbarik atau karena trauma
benda tumpul.(8)
Adapun faktor risiko yang dapat menyebabkan barotrauma pada telinga
meliputi faktor individu, faktor lingkungan, dan karakteristik pekerjaan.
A. Faktor individu
o Umur
Berdasarkan hasil penelitian Navisah, diketahui bahwa barotrauma lebih
banyak terjadi pada responden dengan usia lebih ≥ 35 tahun. Pada
dasarnya tidak ada batasan umur yang tegas dalam kesehatan penyelaman
asalkan
memenuhi persyaratan kesehatan fisik dan kemampuan penyelaman. Hal
ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan Avongsa, pada usia diatas
35 tahun fungsi organ-organ tubuh akan mulai menurun sehingga
kemampuan
seseorang untuk dapat melakukan teknik penyelaman dan teknik ekualisasi
mulai berkurang.(9)
o Masa kerja
Masa kerja dapat memengaruhi kinerja baik positif maupun negatif.
Pengaruh positif akan dirasakan oleh seseorang apabila dengan semakin
lamanya masa kerja maka semakin bertambah pengalaman seseorang
dalam melaksanakan pekerjaannya dalam hal ini menyelam. Sebaliknya,
masa kerja akan memberikan dampak negatif apabila dengan semakin
lamanya masa kerja maka akan timbul kebiasaan buruk pada tenaga kerja.
(9)
B. Faktor lingkungan
o Kedalaman menyelam
Menurut USN Navy Diving, kedalaman menyelam maksimum yang
diperbolehkan untuk jenis penyelaman SCUBA adalah 47 meter dengan
waktu menyelam tidak lebih dari 10 menit. Peselam pemula dibatasi untuk
tidak melebihi kedalaman 18 meter / 60 feet. Kedalaman menyelam
13
berbeda tergantung dengan tujuan penyelaman. Setiap penurunan
kedalaman penyelaman 10 meter, risiko penyelam mengalami gangguan
pendengaran sebesar 0,55 kali. Semakin bertambah kedalaman menyelam
maka tekanan udara yang diterima semakin besar. Peningkatan tekanan
lingkungan menyebabkan rongga udara dalam telinga tengah dan dalam
tuba eustachius menjadi tertekan. Hal ini cenderung menyebabkan
penciutan pada tuba eustachius sehingga gagal untuk membuka. Jika tuba
eustachius tersumbat, maka tekanan udara di dalam telinga tengah berbeda
dengan tekanan udara diluar gendang telinga, hal ini dapat menyebabkan
barotrauma. (9)
C. Karakteristik pekerjaan
o Lama menyelam
Lama menyelam setiap individu berbeda tergantung pada kemampuan
penyelamannya di dalam air. Semakin lama seseorang menyelam artinya
semakin sering individu tersebut untuk menyamakan tekanan, maka
semakin besar pula kemungkinan gagal dalam menyamakan tekanan
tersebut. Sehingga setiap kegiatan penyelaman harus terdapat rencana
penyelaman terutama terkait dengan durasi atau lama penyelaman.
Berdasarkan penelitian Navisah, sebanyak 90% barotrauma telinga terjadi
pada penyelam dengan lama menyelam >2-4 jam.(9)
o Frekuensi menyelam
Semakin sering frekuensi penyelam yang dilakukan akan semakin
berbahaya bagi kesehatan para penyelam. Semakin sering menerima
tekanan maka semakin banyak usaha yang diperlukan untuk menyamakan
tekanan (ekualisasi) dalam rongga telinga dengan tekanan air disekitarnya.
Namun frekuensi menyelam yang lebih banyak apabila diiringi dengan
teknik ekualisasi yang benar, maka akan lebih kecil kemungkinan terjadi
trauma tekanan yang berulang pada membran timpani. Keberhasilan dalam
melakukan ekualisasi dapat mencegah terjadinya barotrauma telinga. (9)
o Waktu istirahat
Istirahat di permukaan perlu dilakukan agar udara tidak terjebak dalam
jangka waktu yang lama dan membran timpani tidak mengalami kompresi
14
secara terus menerus. Menurut PADI, seharusnya pada penyelaman yang
dilakukan berulang-ulang, waktu istirahat di permukaan setidaknya selama
10 menit. Istirahat beberapa waktu di antara penyelaman juga bermanfaat
agar nitrogen yang terserap bisa keluar dari tubuh. (9)
16
rongga fisiologis tubuh sehingga tekanan antara rongga-rongga
tubuh dengan tekanan sekelilingnya tetap seimbang. Namun bila ada
obstruksi, udara yang mengembang tadi akan terperangkap dan
meningkatkan tekanan dalam rongga-rongga fisiologis tubuh.
Barotrauma semacam ini umumnya menimbulkan nyeri mendadak
akibat kenaikan tekanan dalam rongga dan ada bahaya emboli vena.
(11)
B. Saat penerbangan
Pada saat pesawat mulai naik, akan terjadi perubahan tekanan udara yang
tiba-tiba, dimana akan timbul tekanan positif pada rongga telinga tengah dan
negatif pada bagian luar membran timpani. Hal ini akan menimbulkan penonjolan
keluar dari membrane timpani (bulging), sedangkan saat pesawat akan mendarat
akan terjadi keadaan yang sebaliknya akan timbul tekanan negatif pada liang
telinga tengah dengan tekanan positif pada bagian luar telinga akibatnya terjadi
retraksi-penarikan ke arah dalam. Di sinilah sangat dibutuhkan fungsi normal tuba
eusthacius untuk dapat mengalirkan udara yang terperangkap di telinga tengah
keluar melalui nasofaring.(10)
Berdasarkan letak anatomisnya, barotrauma telinga dapat dibedakan
menjadi :
Barotrauma telinga luar : barotrauma pada telinga luar dapat terjadi
bila telinga bagian luar mengalami obstruksi, sehingga volume gas
tertutup yang ada akan dikompresi atau dikurangi selama proses
turun ke dalam air. Hal ini dapat terjadi pada pemakaian tudung
yang ketat, wax pada liang telinga, pertumbuhan tulang atau
eksostosis atau menggunakan penutup telinga. (11)
Barotrauma telinga tengah : Barotrauma pada telinga tengah
merupakan barotrauma yang paling umum. Membran Timpani
merupakan pembatas antara saluran telinga luar dan ruang telinga
tengah. Pada saat penyelam turun, tekanan air meningkat diluar
gendang telinga, untuk menyeimbangkan tekanan ini, maka tekanan
udara harus mencapai bagian dalam dari gendang telinga, melalui
tuba
eustachi. Ketika tabung eustachi ditutupi oleh mukosa, maka telinga
17
tengah akan berisiko terjadi barotrauma. Masalah yang paling sering
dialami ketika penerbangan dan menyelam adalah kegagalan dalam
menyamakan tekanan antara telinga tengah dan tekanan lingkungan.
Persamaan tekanan terjadi pada tuba eustachius. Kerusakan terjadi
tergantung pada tingkat dan kecepatan dari perubahan tekanan
lingkungan. Pada tekanann yang lebih tinggi tba eustachius mungkin
tertutup oleh tekanan negatif dari telinga tengah. (11)
Barotrauma telinga dalam : terjadi bila pada saat penyelam naik ke
permukaan dengan cepat sehingga tekanan pada membran timpani
diteruskan pada oval dan round window sehingga meningkatkan
tekanan telinga dalam. Ruptur oval dan round window dapat terjadi
dan mengakibatkan gangguan telingah dalam. (11)
18
sistem ini tidak sering digunakan oleh ahli THT. Salah satu metode untuk
mengklasifikasikan tingkat cedera pada barotrauma telinga adalah Teed Grading.
Teed Grading mengevaluasi potensi trauma terhadap membran timpani yang
dievaluasi satu kali oleh pemeriksa. Berikut klasifikasinya: (11)
Grade 0: Membran timpani normal
Grade 1: Retraksi TM dengan kemerahan di sepanjang manubrium malleus
Grade 2: Sama seperti Grade 1 ditambah retraksi TM dengan kemerahan di
seluruh TM
Grade 3: Sama seperti grade 2 ditambah adanya cairan di timpanum atau
hemotympanum
Grade 4: Perforasi membran timpani
c. Telinga dalam
Gangguan keseimbangan
Tinnitus
Berkurangnya ketajaman pendengaran
Vertigo
Mual dan muntah (11)
19
Saat ini diketahui ada 4 cara menyeimbangkan tekanan di rongga telinga tengah
yaitu: (5,8)
(1) dengan menggerakkan rahang ke kiri dan ke kanan,
(2) meniup perlahan dengan lubang hidung tertutup (teknik Valsava)
(3) menelan ludah (metode Toynbee)
(4) menguap
Usaha preventif terhadap barotrauma dapat dilakukan dengan selalu
mengunyah permen karet atau melakukan perasat Valsalva, terutama sewaktu
pesawat terbang mulai turun untuk mendarat. Beberapa studi mengatakan bahwa
pra-pengobatan dengan pseudoefedrin dapat menurunkan risiko barotrauma selama
perjalanan udara pada orang dewasa. Selain itu penggunaan pseudoefedrin sebelum
menyelam dapat menurunkan insiden dan keparahan barotrauma telinga tengah
pada penyelam. Namun penggunaan obat-obatan tersebut perlu diperhatikan terkait
efek samping yang ditimbulkan.(5,8)
BAB III
KESIMPULAN
21
konservatif barotrauma telinga biasanya cukup, yaitu dengan memberikan
dekongestan lokal atau melakukan manuver Valsava, selama tidak ada infeksi
saluran pernapasan atas. Jika cairan atau cairan bercampur darah tetap berada di
telinga tengah selama beberapa minggu, dianjurkan untuk melakukan miringotomi
dan menggunakan selang ventilasi jika diperlukan. Prosedur miringotomi ini
secara klasik dilakukan di bagian anterior dan inferior membran timpani untuk
menghindari potensi kerusakan pada struktur telinga tengah, terutama bila
dilakukan secara darurat dalam kasus yang ekstrem.
22
DAFTAR PUSTAKA
6. NIH. Middle Ear Barotrauma [Internet]. 2022 [cited 2023 May 30]. Available
from: https://www.nidcd.nih.gov/glossary/barotrauma
7. Kartono SA. Prevalensi Dan Faktor Risiko Kejadian Penyakit Dekomprasi Dan
Barotrauma Pada Nelayan Penyelam Di Kecamatan Karimunjawa Kabupaten
Jepara Tahun 2007 [Internet]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2007.
Available from: http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/35860
9. Navisah SF, Ma’rufi I, Sujoso ADP. Faktor Risiko Barotrauma Telinga pada
Nelayan Penyelam di Dusun Watu Ulo Desa Sumberejo Kecamatan Ambulu
Kabupaten Jember. J Ilmu Kesehat Masy. 2017;12(1):1–15.
12. Ronson LI. Common Diving Related Ear Barotrauma And Its Management.
New Jersey: Semantic Scholar; 2018.
23