Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

BAROTRAUMA PADA TELINGA

HALAMAN JUDUL

Disusun oleh:
Aneke Desiana

031052210022

Pembimbing:
dr. Yurnita Ariffin, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT THT

PERIODE 15 MEI – 17 JUNI 2023

RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARJO

UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT DENGAN JUDUL

“BAROTRAUMA PADA TELINGA”

Telah diterima dan disetujui oleh dokter pembimbing sebagai salah satu

syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit THT

RS TNI Angkatan Laut Dr. Mintohardjo

Disusun oleh:
Aneke Desiana

03105221022

Jakarta, 28 Mei 2023

Penulis

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkah dan kasih sayang-Nya maka tugas pembuatan referat yang berjudul
“BAROTRAUMA PADA TELINGA” ini dapat diselesaikan dengan baik dan
tepat pada waktunya.

Pada kesempatan ini saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya


kepada dr.Yurnita Ariffin, Sp.THT-KL selaku dokter pembimbing atas segenap
waktu, tenaga dan pikiran yang telah diberikan dalam membimbing dan
mengarahkan saya sehingga saya dapat menyelesaikan referat ini.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh rekan-rekan


kepaniteraan klinik Ilmu THT RS Angkatan Laut dr. Mintohardjo periode 15 Mei
– 17 Juni 2023 atas kebersamaan dan kerjasama yang terjalin selama ini. Tidak
lupa juga kepada kedua orangtua dan keluarga atas dukungan moril dan materil
yang telah diberikan terus menerus.

Saya menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh
karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan referat ini. Besar harapan saya, agar kiranya penyajian referat ini
dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Jakarta, 28 Mei 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................ii
KATA PENGANTAR..............................................................................................iii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................7
2.1 Anatomi Tuba Eustachius........................................................................7
2.2 Fisiologi Tuba Eustachius.......................................................................9
2.3 Definisi Barotrauma Pada Telinga........................................................11
2.4 Epidemiologi Barotrauma Pada Telinga................................................11
2.5 Etiologi dan Faktor Risiko Barotrauma Pada Telinga...........................12
2.6 Patofisiologi Barotrauma Pada Telinga.................................................14
2.7 Diagnosis Barotrauma Pada Telinga.....................................................18
2.8 Tatalaksana Barotrauma Pada Telinga..................................................19
2.9 Komplikasi Barotrauma Pada Telinga...................................................20
2.10 Pencegahan Barotrauma Pada Telinga..................................................20
2.11 Prognosis Barotrauma Pada Telinga......................................................20
BAB III KESIMPULAN..........................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................22

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Tuba Eustachius..................................................................................7


Gambar 2. Pars Oseus Dan Pars Kartilaginus Tuba Eustachius..........................................8
Gambar 3. Perlekatan M. Tensor Veli Paltini Pada Dinding Tuba Eustachius...................9
Gambar 4. Model Labu Yang Dianalogikan Sebagai Tuba Eustachius-Kavum
Timpani-Mastoid.............................................................................................11

v
BAB I
PENDAHULUAN

Perubahan tekanan udara dalam rongga udara fisiologis tubuh dengan


tekanan disekitarnya menyebabkan kerusakan jaringan tubuh yang disebut
barotrauma. (1)
Barotrauma dapat terjadi pada bagian tubuh yang berongga,
antara lain paru-paru, sinus-sinus paranasalis, dan telinga. (2)
Namun,
barotrauma paling sering terjadi di telinga tengah, yang terutama disebabkan
oleh rumitnya fungsi tuba eustachius. Barotrauma telinga tengah terjadi ketika
tuba eustachius tidak dapat dibuka untuk menyeimbangkan tekanan udara, yang
biasanya terjadi saat seseorang bergerak dari atau ke lingkungan bertekanan
tinggi, seperti menyelam atau menggunakan pesawat. Jika saluran tuba
eustachius tidak terbuka dan udara tidak dapat masuk ke dalam rongga udara
untuk menyamakan tekanan, maka gendang telinga akan membengkak dan
tekanan di luar akan mendorong gendang telinga kedalam sehingga
menyebabkan rasa sakit.(3)
Barotrauma paling sering terjadi pada telinga tengah. Gejala barotrauma
termasuk clogging pada telinga, nyeri pada telinga, penurunan pendengaran,
pusing, tinnitus, dan perdarahan dari telinga. Barotrauma bersifat sementara,
tetapi bila sering atau berulang-ulang dapat menjadi permanen.(3)
Dalam berbagai literatur dilaporkan bahwa insiden dan prevalensi
barotrauma telinga berkisar antara 4,1 – 82%. Barotrauma terjadi pada banyak
penyelam di dunia termasuk di Indonesia. Insiden barotrauma cukup banyak di
Indonesia terutama pada penyelam tradisional. Data yang di kumpulkan
Departemen Kesehatan RI dari 10 provinsi ditemukan sebanyak 93,9%, dari
1.028 penyelam tradisional mengalami penyakit dengan gejala klinis akibat
penyelaman, dimana 39,7% diantaranya mengalami gangguan pendengaran
ringan sampai ketulian.(3) Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui
terkait dengan barotrauma telinga tengah yang meliputi definisi, epidemiologi,
penyebab dan faktor risiko, diagnosis, hingga tatalaksana dan juga pencegahan
yang dapat dilakukan.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tuba Eustachius


Tuba eustachius atau tuba auditorius merupakan saluran yang
menghubungkan kavum timpani dengan nasofaring. Dari orifisium nasofaringeal
tuba Eustachius berjalan kearah latero-postero-superior menuju orifisium
timpanal. Dengan demikian orifisium timpanal lebih tinggi 2-2,5 cm
dibandingkan level orifisium nasofaringeal dengan membentuk sudut 40°-45°
dengan bidang horizontal. Panjang tuba Eustachius pada orang dewasa sekitar
31-38 mm. Tuba Eustachius pada bayi dan anak relatif lebih lebar, pendek dan
horizontal dengan membentuk sudut 10° dengan bidang horizontal. Keadaan
seperti ini dapat memudahkan terjadinya penjalaran radang atau infeksi dari
nasofaring ke kavum timpani pada bayi. (4)

Gambar 1. Anatomi Tuba Eustachius

Tuba eustachius terdiri dari dua bagian yaitu pars oseus dan pars
kartilaginus.

7
 Pars oseus (protimpanum)
Merupakan sepertiga posterior panjang tuba Eustachius (11-14 mm)
yang bermuara ke kavum timpani di dinding anterior, dan bagian ini
selalu terbuka. Secara histologis sebagian ujung pars kartilageneus
masuk kedalam pars osseus, sehingga hubungan kedua bagian
tersebut tidak membentuk mekanisme persendian. (4)
 Pars kartilaginus
Bagian ini merupakan dua pertiga anterior panjang tuba Eustachius
yang terdiri dari membran dan kartilago, berbentuk terompet dengan
panjang 20-25 mm. Bagian medial berupa tulang rawan yang
melengkung dan bagian latero inferior berupa membrane dimana
melekat otot tensor veli palatini. Bagian tulang rawan terdiri dari 3
sampai 4 segmen yang dapat menggeser satu sama lain sehingga
dapat bergerak melingkar mengikuti gerakan menelan. Pars
kartilaginus lebih banyak dalam keadaan tertutup akibat tekanan
otot dan jaringan lemak (Ostman fatty pad’s) di lateral membran dan
baru terbuka jika membran tertarik ke lateral oleh kontraksi otot
tensor veli palatini pada waktu mengunyah atau menelan. (4)

Gambar 2. Pars Oseus Dan Pars Kartilaginus Tuba Eustachius

Mukosa yang melapisi lumen dari tuba eustachius terdiri dari epitel torak
bersilia yang sama dengan traktus respiratorius bagian atas yang bermodifikasi,

8
hanya ujung faringeal saja yang betul-betul merupakan saluran nafas atas.(4)
Sel Goblet dan sel bersilia banyak terdapat di mukosa pars kartilagineus,
sedangkan pada pars osseus sel goblet dan bersilia hanya terdapat pada mukosa
di dasar lumennya saja. Kelenjar mukus dan sel Goblet ini meghasilkan sekresi
yang akan membentuk suatu mucous blanket yang bersama sel bersilia
membentuk suatu mucociliary transportation system. (4)
Ada 3 otot yang memegang peranan penting dalam mekanisme pembukaan
tuba secara aktif yaitu m. tensor veli palatini, m. levator veli palatini, dan m.
salpingofaringeus. Namun otot-otot yang berhubungan dengan tuba eustachius
pada dasarnya ada 4 yaitu selain 3 otot diatas juga ada m. tensor timpanum.
Muskulus tensor veli palatini melekat pada fossa scaphoidea os sphenoid dan
bagian lateral membran pars kartilagineus. Tendon otot ini melingkari bagian
lateral humulus pterigoideus kemudian ke medial melekat pada bagian posterior
palatum durum. Kontraksi otot ini terjadi saat menelan, mengunyah atau
menguap. Pada keadaan ini membran pars kartilagineus di tarik ke lateral oleh
m. tensor veli palatini sehingga lumen tuba eustachius terbuka. Otot ini
diinervasi oleh cabang mandibula saraf trigeminus. (4)

Gambar 3. Perlekatan M. Tensor Veli Paltini Pada Dinding Tuba


Eustachius

2.2 Fisiologi Tuba Eustachius


Terdapat tiga fungsi tuba eustachius dalam memelihara fungsi telinga
9
tengah yaitu fungsi ventilasi, fungsi drainase, dan fungsi proteksi
A. Fungsi ventilasi
Fungsi ini adalah dimana tuba eustachius mempertahankan tekanan udara
(1 atm) di dalam cavum timpani sama dengan tekanan udara luar atau sama
dengan tekanan atmosfer. Dalam keadaan normal, telinga tengah merupakan
suatu ruang tertutup dan penuh berisi udara. Mukosa telinga tengah secara
perlahan-lahan akan mengabsorbsi udara dan nitrogen dari telinga tengah
sehingga akhirnya tekanan udara dalam telinga tengah akan menurun. Pada
orang dewasa, kecepatan absorbsi udara ini sekitar 1 ml/24 jam. Dengan
terbukanya tuba Eustachius secara periodik maka udara akan masuk untuk
menyeimbangkan lagi tekanan di telinga tengah. (4)
Pembukaan lumen tuba Eustachius dapat terjadi baik secara aktif dan
pasif. Pembukaan secara aktif terjadi oleh kontraksi muskulus tensor veli palatini
pada saat menelan, menguap atau mengunyah. Pada orang dewasa gerakan
menelan dapat terjadi beberapa kali dalam 1 menit dan dalam keadaan tidur
terjadi sekali dalam 5 menit. Pembukaan secara pasif terjadi jika tekanan
didalam kavum timpani lebih tinggi dari pada tekanan atmosfer. (4)
B. Fungsi drainase
Mukosa kavum timpani dan tuba Eustachius memiliki sel-sel yang
menghasilakn sekret. Tuba eustachius mengalirkan secret ini dari kavum timpani
kearah nasofaring dengan suatu transpor mukosiliar. Fungsi drainase secret oleh
tuba eustachius dipengaruhi oleh aktivitas sel-sel bersilia, grafitasi, gradasi
tekanan udara sepanjang tuba eustachius dan viskositas sekret itu sendiri. (4)
C. Fungsi proteksi
Pada keadaan normal tuba eustachius selalu dalam keadaan
tertutup sewaktu istirahat. Dengan demikian dapat menghalangi sekret
dan kuman dari nasofaring masuk kedalam kavum timpani. Beberapa literatur
menganalogikan fungsi proteksi dari tuba eustachius, kavum timpani dan
sel-sel mastoid sebagai labu erlenmeyer dengan leher yang panjang
dan sempit. Mulut labu diumpamakan sebagai orifisium nasofaring, leher labu
sebagai ismus tuba Eustachius, dan bulbus labu sebagai kavum timpani dan
mastoid. (4)
Bila sedikit cairan dimasukkan di leher labu maka cairan tersebut akan

10
terhenti di leher labu sebagai akibat adanya tekanan pasitif dalam bejana tersebut.
Cairan nasofaring dapat masuk ke tuba eustachius bila diberi suatu tekanan positif
kuat. Bersin sewaktu hidung buntu, menangis, menelan sambil menutup hidung,
menyelam atau lepas landasnya pesawat terbang dapat meningkatkan tekanan
nasofaring yang dapat menyebabkan kegagalan dari fungsi proteksi tuba. (4)

Gambar 4. Model Labu Yang Dianalogikan Sebagai Tuba Eustachius-


Kavum Timpani-Mastoid

2.3 Definisi Barotrauma Pada Telinga


Barotrauma adalah keadaan dengan terjadinya perubahan tekanan yang
tiba-tiba di luar telinga sewaktu di pesawat terbang atau menyelam, yang
menyebabkan tuba gagal untuk membuka. Apabila perbedaan tekanan terjadi
melebihi 90 cmHg, maka otot yang normal aktivitasnya tidak mampu
membuka tuba, dimana pada keadaan ini terjadi tekanan negatif di rongga
telinga tengah sehingga cairan keluar dari pembuluh darah kapiler mukosa dan
kadang-kadang disertai dengan ruptur pembuluh darah, sehingga cairan di
telinga tengah dan rongga mastoid bercampur darah.(5)
National Institute of Health (NIH) mendefinisikan barotrauma telinga
atau otic barotrauma sebagai cedera jaringan pada telinga akibat pemerataan
tekanan yang tidak adekuat antara ruang tubuh dan lingkungan luar dimana
barotrauma telinga tengah merupakan komplikasi paling umum dari
penyelaman dan perawatan klinis hiperbarik oksigen. (6)

11
2.4 Epidemiologi Barotrauma Pada Telinga
Umumnya, kebanyakan orang pernah mengalami perubahan tekanan saat
menyelam ke dasar kolam yang dalam, ketika menjadi penumpang pesawat
terbang, atau menjadi penumpang di dalam mobil saat berkendara melalui
berbagai perubahan ketinggian. Barotrauma telinga tengah tetap menjadi
komplikasi paling umum dari penyelaman SCUBA, penyelaman komersial, dan
perawatan oksigen hiperbarik klinis. Ada variabilitas yang signifikan dalam
kejadian dan prevalensi barotrauma telinga yang dilaporkan dalam literatur,
mulai dari 4,1 – 82%.(6)
Laporan bervariasi dalam hal perbedaan yang signifikan secara statistik
mengenai jenis kelamin, usia, alergi, jenis penyelaman, suhu air, musim, riwayat
merokok, deviasi septum, dan riwayat otitis media sebelumnya. Riwayat kanker
kepala dan leher serta pengobatan radiasi telah dikaitkan dengan insiden yang
lebih tinggi, mungkin akibat kerusakan jaringan lunak akibat radiasi dari tuba
eustachius atau faring. (6)
Di Indonesia kasus barotrauma sering ditemukan terutama pada penyelam baik
yang profesional maupun wisatawan, termasuk nelayan tradisional yang mencari tiram
atau kerang di laut dan pekerja bidang minyak dan gas. Menurut penelitian yang
dilakukan pada penyelam yang ada di Kecamatan Balaesang Tanjung Kabupaten
Donggala Provinsi Sulawesi Tengah, didapatkan bahwa angka kejadian barotrauma
telinga tengah pada penyelam dengan frekuensi penyelaman ≥4 hari/minggu adalah
38,13%.(7)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kartono di Kecamatan Karimun Jawa,
menunjukan bahwa dari 148 responden, 53,4% responden mengalami barotrauma.
Gejala yang sering dirasakan adalah kelelahan (77,0%), pusing (59,5%), dan nyeri sendi
(53,4%.) Komplikasi barotrauma yang paling banyak terjadi adalah gangguan
pendengaran (43,2%).(7)

2.5 Etiologi dan Faktor Risiko Barotrauma Pada Telinga


Etiologi yang mendasari barotrauma adalah perbedaan tekanan antara
ruang telinga tengah dan lingkungan eksternal. Apabila tekanan melebihi
90mmHg, tuba eustachius tidak dapat terbuka. Sesuai hukum boyle, peningkatan
tekanan ambien menghasilkan penurunan volume gas yang proporsional di ruang
tubuh. Peningkatan tekanan ambien ini dapat terjadi ketika seseorang melakukan

12
penyelaman, berada di pesawat terbang, ruang hiperbarik atau karena trauma
benda tumpul.(8)
Adapun faktor risiko yang dapat menyebabkan barotrauma pada telinga
meliputi faktor individu, faktor lingkungan, dan karakteristik pekerjaan.

A. Faktor individu
o Umur
Berdasarkan hasil penelitian Navisah, diketahui bahwa barotrauma lebih
banyak terjadi pada responden dengan usia lebih ≥ 35 tahun. Pada
dasarnya tidak ada batasan umur yang tegas dalam kesehatan penyelaman
asalkan
memenuhi persyaratan kesehatan fisik dan kemampuan penyelaman. Hal
ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan Avongsa, pada usia diatas
35 tahun fungsi organ-organ tubuh akan mulai menurun sehingga
kemampuan
seseorang untuk dapat melakukan teknik penyelaman dan teknik ekualisasi
mulai berkurang.(9)
o Masa kerja
Masa kerja dapat memengaruhi kinerja baik positif maupun negatif.
Pengaruh positif akan dirasakan oleh seseorang apabila dengan semakin
lamanya masa kerja maka semakin bertambah pengalaman seseorang
dalam melaksanakan pekerjaannya dalam hal ini menyelam. Sebaliknya,
masa kerja akan memberikan dampak negatif apabila dengan semakin
lamanya masa kerja maka akan timbul kebiasaan buruk pada tenaga kerja.
(9)

B. Faktor lingkungan
o Kedalaman menyelam
Menurut USN Navy Diving, kedalaman menyelam maksimum yang
diperbolehkan untuk jenis penyelaman SCUBA adalah 47 meter dengan
waktu menyelam tidak lebih dari 10 menit. Peselam pemula dibatasi untuk
tidak melebihi kedalaman 18 meter / 60 feet. Kedalaman menyelam

13
berbeda tergantung dengan tujuan penyelaman. Setiap penurunan
kedalaman penyelaman 10 meter, risiko penyelam mengalami gangguan
pendengaran sebesar 0,55 kali. Semakin bertambah kedalaman menyelam
maka tekanan udara yang diterima semakin besar. Peningkatan tekanan
lingkungan menyebabkan rongga udara dalam telinga tengah dan dalam
tuba eustachius menjadi tertekan. Hal ini cenderung menyebabkan
penciutan pada tuba eustachius sehingga gagal untuk membuka. Jika tuba
eustachius tersumbat, maka tekanan udara di dalam telinga tengah berbeda
dengan tekanan udara diluar gendang telinga, hal ini dapat menyebabkan
barotrauma. (9)

C. Karakteristik pekerjaan
o Lama menyelam
Lama menyelam setiap individu berbeda tergantung pada kemampuan
penyelamannya di dalam air. Semakin lama seseorang menyelam artinya
semakin sering individu tersebut untuk menyamakan tekanan, maka
semakin besar pula kemungkinan gagal dalam menyamakan tekanan
tersebut. Sehingga setiap kegiatan penyelaman harus terdapat rencana
penyelaman terutama terkait dengan durasi atau lama penyelaman.
Berdasarkan penelitian Navisah, sebanyak 90% barotrauma telinga terjadi
pada penyelam dengan lama menyelam >2-4 jam.(9)
o Frekuensi menyelam
Semakin sering frekuensi penyelam yang dilakukan akan semakin
berbahaya bagi kesehatan para penyelam. Semakin sering menerima
tekanan maka semakin banyak usaha yang diperlukan untuk menyamakan
tekanan (ekualisasi) dalam rongga telinga dengan tekanan air disekitarnya.
Namun frekuensi menyelam yang lebih banyak apabila diiringi dengan
teknik ekualisasi yang benar, maka akan lebih kecil kemungkinan terjadi
trauma tekanan yang berulang pada membran timpani. Keberhasilan dalam
melakukan ekualisasi dapat mencegah terjadinya barotrauma telinga. (9)
o Waktu istirahat
Istirahat di permukaan perlu dilakukan agar udara tidak terjebak dalam
jangka waktu yang lama dan membran timpani tidak mengalami kompresi

14
secara terus menerus. Menurut PADI, seharusnya pada penyelaman yang
dilakukan berulang-ulang, waktu istirahat di permukaan setidaknya selama
10 menit. Istirahat beberapa waktu di antara penyelaman juga bermanfaat
agar nitrogen yang terserap bisa keluar dari tubuh. (9)

2.6 Patofisiologi Barotrauma Pada Telinga


Trauma akibat perubahan tekanan, secara umum dijelaskan melalui
Hukum Boyle. Hukum boyle menyatakan bahwa volume gas berbanding
terbalik dengan tekanan atau P1xV1 = P2xV2. Hukum Boyle yang mengatakan
bahwa volume gas berbanding terbalik dengan tekanannya, maka pada saat
tekanan di sekitar tubuh menurun/meninggi, terjadi perbedaan tekanan antara
di rongga tubuh dengan di luar, sehingga terjadi penekanan/penghisapan
terhadap mukosa dinding rongga dengan segala akibatnya.(10)
Berdasarkan Hukum Boyle diatas dapat dijelaskan bahwa suatu penurunan
atau peningkatan pada tekanan lingkungan akan memperbesar atau menekan
(secara berurutan) suatu volume gas dalam ruang tertutup. Bila gas terdapat
dalam struktur yang lentur, maka struktur tersebut dapat rusak karena ekspansi
ataupun kompresi. Barotrauma dapat terjadi bilamana ruang-ruang berisi gas
dalam tubuh (telinga tengah, paru-paru) menjadi ruang tertutup dengan menjadi
buntunya jaras-jaras ventilasi normal. (10)
Seperti yang dijelaskan di atas, maka tekanan yang meningkat di telinga
tengah perlu diatasi untuk menyeimbangkan tekanan, sedangkan tekanan yang
menurun biasanya dapat diseimbangkan secara pasif. Dengan menurunnya
tekanan lingkungan, udara dalam telinga tengah akan mengembang dan secara
pasif akan keluar melalui tuba eustachius. Dengan meningkatnya tekanan
lingkungan, udara dalam telinga tengah dan dalam tuba
eustachius menjadi tertekan. Hal ini cenderung menyebabkan penciutan tuba
eustachius. (10)
Jika perbedaan tekanan antara rongga telinga tengah dan lingkungan
sekitar menjadi terlalu besar (sekitar 90 sampai 100cmHg), maka bagian
kartilaginosa dari tuba eustachius akan semakin menciut. Jika tidak ditambahkan
udara melalui tuba eustachius untuk memulihkan volume telinga tengah, maka
struktur-struktur dalam telinga tengah dan jaringan didekatnya akan rusak
dengan makin bertambahnya perbedaan. Terjadi rangkaian kerusakan yang dapat
15
dipekirakan dengan berlanjutnya keaadan vakum relatif dalam rongga telinga
tengah. (10)
Mula-mula membrana timpani tertarik kedalam. Retraksi menyebabkan
pecahnya pembuluh-pembuluh darah kecil sehingga tampak gambaran injeksi
dan bula hemoragik pada gendang telinga tengah juga mukosa telinga tengah
juga akan berdilatasi dan pecah menimbulkan hemotimpanum. Kadang-kadang
tekanan yang tinggi diluar dapat menyebabkan ruptur membrana timpani. (10)
Barotrauma pada telinga tengah dapat terjadi saat menyelam ataupun saat
terbang. Perubahan tekanan pada kedalaman 17 kaki pertama di bawah air setara
dengan perubahan tekanan pada ketinggian 18.000 kaki pertama diatas bumi.
Dengan demikian, perubahan tekanan lingkungan terjadi lebih cepat pada saat
menyelam dibandingkan dengan saat terbang. Hal ini dapat menjelaskan relatif
tingginya insidens barotrauma pada telinga tengah pada saat menyelam.(10)
A. Saat menyelam
 Barotrauma waktu turun (descent)
Barotrauma waktu turun lebih sering terjadi daripada waktu
naik. Saat penyelam turun, tubuhnya mendapat penambahan tekanan
dari luar. Penambahan tekanan ini normalnya tidak akan
menimbulkan barotrauma selama proses equalisasi berjalan lancar.
Rongga-rongga fisiologis tubuh umumnya mempunyai dinding yang
keras (tulang), sehingga tidak mungkin kolaps. Kegagalan equalisasi
menyebabkan tekanan udara dalam ronggarongga fisiologis menjadi
relatif negatif terhadap tekanan sekelilingnya. Hal ini akan
menimbulkan distorsi atau kerusakan jaringan lunak pada rongga,
dan dapat terjadi kongesti vaskuler, oedema mukosa disertai
transudasi cairan tubuh dan bahkan perdarahan kedalam rongga-
rongga fisiologis tubuh.(11)
 Barotrauma waktu naik (ascent)
Sebaliknya, waktu penyelam naik ke permukaan, penyelam
mengalami penurunan tekanan di sekelilingnya. Sesuai hukum Boyle
penurunan tekanan mengakibatkan pengembangan (expansion) udara
dalam rongga-rongga fisiologis tubuh. Volume udara
yang mengembang, normalnya dapat dikeluarkan lewat rongga-

16
rongga fisiologis tubuh sehingga tekanan antara rongga-rongga
tubuh dengan tekanan sekelilingnya tetap seimbang. Namun bila ada
obstruksi, udara yang mengembang tadi akan terperangkap dan
meningkatkan tekanan dalam rongga-rongga fisiologis tubuh.
Barotrauma semacam ini umumnya menimbulkan nyeri mendadak
akibat kenaikan tekanan dalam rongga dan ada bahaya emboli vena.
(11)

B. Saat penerbangan
Pada saat pesawat mulai naik, akan terjadi perubahan tekanan udara yang
tiba-tiba, dimana akan timbul tekanan positif pada rongga telinga tengah dan
negatif pada bagian luar membran timpani. Hal ini akan menimbulkan penonjolan
keluar dari membrane timpani (bulging), sedangkan saat pesawat akan mendarat
akan terjadi keadaan yang sebaliknya akan timbul tekanan negatif pada liang
telinga tengah dengan tekanan positif pada bagian luar telinga akibatnya terjadi
retraksi-penarikan ke arah dalam. Di sinilah sangat dibutuhkan fungsi normal tuba
eusthacius untuk dapat mengalirkan udara yang terperangkap di telinga tengah
keluar melalui nasofaring.(10)
Berdasarkan letak anatomisnya, barotrauma telinga dapat dibedakan
menjadi :
 Barotrauma telinga luar : barotrauma pada telinga luar dapat terjadi
bila telinga bagian luar mengalami obstruksi, sehingga volume gas
tertutup yang ada akan dikompresi atau dikurangi selama proses
turun ke dalam air. Hal ini dapat terjadi pada pemakaian tudung
yang ketat, wax pada liang telinga, pertumbuhan tulang atau
eksostosis atau menggunakan penutup telinga. (11)
 Barotrauma telinga tengah : Barotrauma pada telinga tengah
merupakan barotrauma yang paling umum. Membran Timpani
merupakan pembatas antara saluran telinga luar dan ruang telinga
tengah. Pada saat penyelam turun, tekanan air meningkat diluar
gendang telinga, untuk menyeimbangkan tekanan ini, maka tekanan
udara harus mencapai bagian dalam dari gendang telinga, melalui
tuba
eustachi. Ketika tabung eustachi ditutupi oleh mukosa, maka telinga

17
tengah akan berisiko terjadi barotrauma. Masalah yang paling sering
dialami ketika penerbangan dan menyelam adalah kegagalan dalam
menyamakan tekanan antara telinga tengah dan tekanan lingkungan.
Persamaan tekanan terjadi pada tuba eustachius. Kerusakan terjadi
tergantung pada tingkat dan kecepatan dari perubahan tekanan
lingkungan. Pada tekanann yang lebih tinggi tba eustachius mungkin
tertutup oleh tekanan negatif dari telinga tengah. (11)
 Barotrauma telinga dalam : terjadi bila pada saat penyelam naik ke
permukaan dengan cepat sehingga tekanan pada membran timpani
diteruskan pada oval dan round window sehingga meningkatkan
tekanan telinga dalam. Ruptur oval dan round window dapat terjadi
dan mengakibatkan gangguan telingah dalam. (11)

2.7 Diagnosis Barotrauma Pada Telinga


Gejala klinis pada barotrauma tergantung pada daerah telinga yang
mengalami gangguan, yaitu sebagai berikut :
a. Telinga luar
 Penonjolan membran timpani
 Perdarahan, swelling, dan hematom pada kulit yang melapisi
saluran telinga bagian luar. (11)
b. Telinga tengah
Manifestasi klinis pada barotrauma telinga tengah berupa kurang dengar,
rasa nyeri dalam telinga, autofoni, perasaan ada air dalam telinga dan kadang-
kadang disertai tinitus dan vertigo. Selain itu, pasien juga perlu ditanyakan
terkait riwayat pajanan terhadap perubahan tekanan ambien atau trauma. Namun
pada beberapa pasien terkadang tidak menunjukkan gejala apapun
(asimtomatik). Setelah pasien memiliki tanda dan gejala barotrauma telinga,
selanjutnya dilakukan evaluasi lebih lanjut melalui pemeriksaan otoskopi untuk
menentukan dan mengklasifikasikan tingkat cedera. Pemeriksaan ini penting
karena akan membantu penegakkan diagnosis dan pengobatan yang akan
diberikan. Saat ini, ada tiga metode untuk mengevaluasi dan menilai barotrauma
telinga tengah yaitu sistem penilaian Teed, Modified Teed, dan O'Neill. Sistem
klasifikasi ini lebih sering digunakan pada komunitas bawah laut dan hiperbarik,

18
sistem ini tidak sering digunakan oleh ahli THT. Salah satu metode untuk
mengklasifikasikan tingkat cedera pada barotrauma telinga adalah Teed Grading.
Teed Grading mengevaluasi potensi trauma terhadap membran timpani yang
dievaluasi satu kali oleh pemeriksa. Berikut klasifikasinya: (11)
 Grade 0: Membran timpani normal
 Grade 1: Retraksi TM dengan kemerahan di sepanjang manubrium malleus
 Grade 2: Sama seperti Grade 1 ditambah retraksi TM dengan kemerahan di
seluruh TM
 Grade 3: Sama seperti grade 2 ditambah adanya cairan di timpanum atau
hemotympanum
 Grade 4: Perforasi membran timpani

c. Telinga dalam
 Gangguan keseimbangan
 Tinnitus
 Berkurangnya ketajaman pendengaran
 Vertigo
 Mual dan muntah (11)

2.8 Tatalaksana Barotrauma Pada Telinga

Pengobatan konservatif barotrauma telinga biasanya cukup, yaitu dengan


memberikan dekongestan lokal atau melakukan manuver Valsava, selama tidak ada
infeksi saluran pernapasan atas. Jika cairan atau cairan bercampur darah tetap
berada di telinga tengah selama beberapa minggu, dianjurkan untuk melakukan
miringotomi dan menggunakan selang ventilasi jika diperlukan. Prosedur
miringotomi ini secara klasik dilakukan di bagian anterior dan inferior membran
timpani untuk menghindari potensi kerusakan pada struktur telinga tengah,
terutama bila dilakukan secara darurat dalam kasus yang ekstrim. Komplikasi yang
dapat terjadi terkait dengan prosedur ini yaitu infeksi, perdarahan, gangguan
pendengaran dan perforasi kronis

19
Saat ini diketahui ada 4 cara menyeimbangkan tekanan di rongga telinga tengah
yaitu: (5,8)
(1) dengan menggerakkan rahang ke kiri dan ke kanan,
(2) meniup perlahan dengan lubang hidung tertutup (teknik Valsava)
(3) menelan ludah (metode Toynbee)
(4) menguap
Usaha preventif terhadap barotrauma dapat dilakukan dengan selalu
mengunyah permen karet atau melakukan perasat Valsalva, terutama sewaktu
pesawat terbang mulai turun untuk mendarat. Beberapa studi mengatakan bahwa
pra-pengobatan dengan pseudoefedrin dapat menurunkan risiko barotrauma selama
perjalanan udara pada orang dewasa. Selain itu penggunaan pseudoefedrin sebelum
menyelam dapat menurunkan insiden dan keparahan barotrauma telinga tengah
pada penyelam. Namun penggunaan obat-obatan tersebut perlu diperhatikan terkait
efek samping yang ditimbulkan.(5,8)

2.9 Komplikasi Barotrauma Pada Telinga


Komplikasi yang dapat terjadi akibat dari barotrauma telinga yaitu efusi
serosa, efusi serosanguinosa, perdarahan pada telinga tengah, perforasi membran
timpani dan barotrauma telinga dalam (inner ear barotrauma). Selain itu dapat
terjadi gangguan pendengaran yang bersifat sementara sampai kronis, infeksi
telinga tengah, nyeri kronis, serta gangguan kestabilan gaya berjalan (gangguan
keseimbangan) dan kelumpuhan saraf.(8)

2.10 Pencegahan Barotrauma Pada Telinga


Menghindari terbang adalah rekomendasi yang bijaksana dalam kasus
infeksi saluran pernafasan atas dan infeksi telinga. Jika perjalanan dianggap
tidak dapat dihindari maka langkah-langkah untuk membuka tuba Eustachio
dapat dilakukan secara teratur seperti menguap, menelan, mengunyah dan
melakukan manuver Valsava pada penerbangan dan khususnya saat turun.
Terdapat penelitian sebelumnya yang mengevaluasi tentang efektivitas
dekongestan oral dan topikal, belum ada uji coba terkontrol secara acak yang
kuat. Hanya pseudoefedrin oral untuk pencegahan otic barotrauma pada orang
dewasa. Untuk para penyelam juga dihimbau untuk mempelajari tehnik
20
menyelam secara benar sebelum melakukan penyelaman untuk mengurangi
resiko barotrauma.(12)

2.11 Prognosis Barotrauma Pada Telinga


Ketidaknyamanan telinga, nyeri dan sekuel barotrauma seperti edema atau
membrane tymphani hemoragik, otitis serosa atau hemoragik dan ruptur
membran timpani biasanya menetap dari waktu ke waktu setelah fungsi tuba
Eustachian pulih kembali.Gangguan ossikular dapat menyebabkan gangguan
pendengaran konduktif yang persisten. Gangguan pendengaran, vertigo dan
sensorineural dapat terjadi akibat kerusakan pada telinga dalam. Tinnitus pulsasi
mungkin merupakan konsekuensi lain tetapi biasanya hilang dengan reabsorpsi
edema dan efusi serosa. Namun, tinnitus yang konstan tidak selalu bisa hilang
dan mungkin bisa menjadi permanen. Intervensi bedah dengan tympanoplasty
atau penambalan pada jendela bulat atau oval mungkin diperlukan pada
barotrauma yang parah. Barotrauma ringan dikelola secara konservatif. Tidak
ada bukti yang meyakinkan bahwa kortikosteroid, dekongestan atau antihistamin
mempercepat pemulihan dari barotrauma.(7,8)

BAB III
KESIMPULAN

Barotrauma adalah keadaan dengan terjadinya perubahan tekanan yang


tiba-tiba di luar telinga yang menyebabkan tuba gagal untuk membuka. Apabila
perbedaan tekanan terjadi melebihi 90 cmHg, maka otot yang normal aktivitasnya
tidak mampu membuka tuba, dimana pada keadaan ini terjadi tekanan negatif di
rongga telinga tengah sehingga cairan keluar dari pembuluh darah kapiler mukosa
dan kadang-kadang disertai dengan ruptur pembuluh darah, sehingga cairan di
telinga tengah dan rongga mastoid bercampur darah. Etiologi yang mendasari
barotrauma adalah perbedaan tekanan antara ruang telinga tengah dan lingkungan
eksternal. Apabila tekanan melebihi 90mmHg, tuba eustachius tidak dapat
terbuka. Sesuai hukum boyle, peningkatan tekanan ambien menghasilkan
penurunan volume gas yang proporsional di ruang tubuh. Peningkatan tekanan
ambien ini dapat terjadi ketika seseorang melakukan penyelaman, berada di
pesawat terbang, ruang hiperbarik atau karena trauma benda tumpul. Pengobatan

21
konservatif barotrauma telinga biasanya cukup, yaitu dengan memberikan
dekongestan lokal atau melakukan manuver Valsava, selama tidak ada infeksi
saluran pernapasan atas. Jika cairan atau cairan bercampur darah tetap berada di
telinga tengah selama beberapa minggu, dianjurkan untuk melakukan miringotomi
dan menggunakan selang ventilasi jika diperlukan. Prosedur miringotomi ini
secara klasik dilakukan di bagian anterior dan inferior membran timpani untuk
menghindari potensi kerusakan pada struktur telinga tengah, terutama bila
dilakukan secara darurat dalam kasus yang ekstrem.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Tocino I, Westcott JL. Barotrauma. Radiol Clin North Am. 1996;34(1):59–81.

2. Walangitan AC, Palandeng OI, Runtuwene J. Gambaran Gangguan


Pendengaran pada Penyelam. J Biomedik JBM. 2021;13(2):192–8.

3. Martinus I, Hadisaputro S, Munasik M. Berbagai Faktor yang Berpengaruh


terhadap Barotrauma Telinga Tengah pada Penyelam Tradisional (Studi di
Wilayah Balaesang Tanjung Kabupaten Donggala). Semarang: Universitas
Diponegoro; 2019.

4. Jusri RK, Harmadji S. Anatomi Dan Fisiologi Tuba Eustachius. Surabaya:


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga; 2022. p. 23–8.

5. Bashiruddin J, Bramantyo B, Soepardi AE, et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan


Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI;
2012.

6. NIH. Middle Ear Barotrauma [Internet]. 2022 [cited 2023 May 30]. Available
from: https://www.nidcd.nih.gov/glossary/barotrauma

7. Kartono SA. Prevalensi Dan Faktor Risiko Kejadian Penyakit Dekomprasi Dan
Barotrauma Pada Nelayan Penyelam Di Kecamatan Karimunjawa Kabupaten
Jepara Tahun 2007 [Internet]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2007.
Available from: http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/35860

8. Sumandari A. Barotrauma Telinga Tengah (Middle Ear Barotrauma). J Syntax


Fusion. 2022;2(1):12–8.

9. Navisah SF, Ma’rufi I, Sujoso ADP. Faktor Risiko Barotrauma Telinga pada
Nelayan Penyelam di Dusun Watu Ulo Desa Sumberejo Kecamatan Ambulu
Kabupaten Jember. J Ilmu Kesehat Masy. 2017;12(1):1–15.

10. Fyntanaki O, Alevitsovitis G, Angelakis L, et al. Acute Barotitis Media in


Flight: Pathophysiology, Symptoms, Prevention, Treatment. Balk Mil Med
Rev. 2013;16(1):50–5.

11. Zurimi S, Rasako H, Nendisa MM, et al. Modul Penatalaksanaan Barotrauma.


Maluku: Poltekkes Kemenkeu Maluku; 2022.

12. Ronson LI. Common Diving Related Ear Barotrauma And Its Management.
New Jersey: Semantic Scholar; 2018.

23

Anda mungkin juga menyukai