Anda di halaman 1dari 5

Nama : Ela Fitriani

Nim : 12011049

Kelas/Prodi : 6B PIAUD

Mata Kuliah : Pendidikan Karakter

SINOPSIS 3

LANDASAN PENDIDIKAN KARAKTER

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara ideologis, pembangunan karakter merupakan upaya mengejawantahkan


ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara normatif, pembangunan
karakter bangsa merupakan wujud nyata langkah mencapai tujuan negara, yaitu melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan
umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Secara historis, pembangunan karakter
bangsa merupakan sebuah dinamika inti proses kebangsaan yang terjadi tanpa henti dalam
kurun sejarah, baik pada zaman penjajahan maupun pada zaman kemerdekaan. Secara
sosiokultural, pembangunan karakter bangsa merupakan suatu keharusan dari suatu bangsa
yang multikultural.

Pembangunan karakter bangsa merupakan gagasan besar yang dicetuskan para pendiri
bangsa karena sebagai bangsa yang terdiri atasberbagai suku bangsa dengan nuansa
kedaerahan yang kental, bangsa Indonesia membutuhkan kesamaan pandangan tentang
budaya dan karakter yang holistik sebagai bangsa. Hal itu sangat penting karena menyangkut
kesamaan pemahaman, pandangan, dan gerak langkah untuk mewujudkan kesejahteraan dan
kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

B. Ringkasan Materi

Pendidikan karakter adalah suatu sistem pendidikan yang bertujuan untuk menanamkan nilai-
nilai karakter tertentu kepada peserta didik yang di dalamnya terdapat komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, serta tindakan untuk melakukan nilai-nilai tersebut.
Konsep karakter dapat mengekspresikan berbagai atribut, termasuk kehadiran atau kurangnya
kebajikan seperti empati, keberanian, ketabahan, kejujuran, dan kesetiaan, atau perilaku atau
kebiasaan yang baik; atribut ini juga merupakan bagian dari soft skill seseorang. Pendidikan
karakter bukanlah sekedar mengajarkan mana yang benar dan salah pada anak didik saja,
namun menanamkan habituation (pembiasaan) pada anak mengenai nilai-nilai baiak agar
anak dapat mengetahui, merasakan dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.

1. Landasan Psikologi

Pendidikan karakter saat ini tidaklah muncul begitu saja dan tidak juga muncul hanya
sekedar untuk menanggapi kondisi moral anak bangsa yang cenderung berorientasi material
ketimbang nilai. Namun, pendidikan karakter telah ada seiring dengan terbangunnya
peradaban dan perkembangan psikologi. Menurut Gable dan Haidt di sinilah pentingnya
psikologi positif untuk membawa bagaimana kualitas dari karakter positif cenderung bertahan
dan lebih baik.

Menurut Gardner dan Mihaly Csikszentmihalyi, dalam hubungannya dengan


pembangunan karakter, seseorang yang ingin menghasilkan pekerjaan yang baik, perlu
memahami tiga dasar yang menyertainya, yaitu (1) mission, (2) standards and (3) identity.
Maksudnya adalah ada tiga hal yang sangat mendasar dalam membangun kerja yang baik,
yakni misi yang merupakan ciri profesi yang menegaskan di mana mereka terlibat, standar
yang merupakan praktik terbaik dari suatu profesi yang dibangun, sedangkan identitas adalah
nilai-nilai dan identitas personal.

Pertama, setiap bidang pekerjaan memiliki misi tertentu dalam menghasilkan suatu
pekerjaan yang berkualitas tinggi. Misalnya, misi seorang guru atau dosen adalah untuk
mendidik dan mengarahkan peserta didik guna mencapai keberhasilan dalam pendidikannya,
bukan untuk memanfaatkan peserta didik dalam mencari keuntungan pribadi.

Kedua, standar pekerjaan yang dibangun harus mempertimbangkan etika dan moral.
Misalnya, seorang guru atau dosen harus memiliki moral yang tinggi dalam setiap pergaulan,
memperlakukan peserta didik secara adil dan bijaksana, dan menjaga etika.

Ketiga, berhubungan dengan latar belakang, ciri, dan nilai-nilai yang berhubungan
dengan pekerjaan dan merupakan pengertian holistik dari identitas. Kadang-kadang hasil
pekerjaan yang baik dapat dilihat dan diidentifikasikan dari hasil kerjanya. Artinya, seseorang
yang telah menghasilkan pekerjaan yang baik dapat dikenang dan diukur dari kualitas yang
dihasilkan. Elemen penting dari identitas adalah moral, di mana orang bisa menentukan
dalam batas mana yang boleh dilakukan dan mengapa batas-batas itu tidak bisa dilakukan.

2. Landasan Moral

Pendidikan kewarganegaraan sebagai perwujudan atau boleh dikatakan sebagai


pengganti mata pelajaran atau kuliah pendidikan moral pancasila seolah-olah kehilangan jati
diri pancasila dan pendidikan moralnya. Konsekuensinya, ditengah derasnya arus globalisasi
informasi dan komunikasi dimana akses informasi dan pengetahuan menjadi semakin mudah,
sehingga penurunan moral pun tidak dapat dihindarkan. Dalam pelaksanakan pendidikan ini,
tidak jarang terjadi praktik-praktik kecurangan yang mengiringi setiap penyelenggaraan ujian
nasional, mulai dari pembocoran soal ujian, penyewaan jasa joki hingga sampai pada
penyontekan massal. Untuk memperdalam pembahasan tentang pendidikan karakter,
walaupun tidak terlepas dari pandangan pro dan kontra, perlu dijabarkan landasan moral
pendidikan karakter.

Terdapat perbedaan mendasar antara moral dan etika. Pertama, moral merupakan
karakter individu dari seseorang, sedangkan etika menekankan pada sistem sosial, di mana
moral-moral tersebut diterapkan. Kedua, ketika moral dan etika dikupas secara terpadu
(integrated), maka pembahasan dari kedua disiplin tersebut menjadi sangat tidak memadai
untuk menjadi landasan dalam kajian pendidikan karakter.

Salah seorang ilmuan psikologi ternama yang dikenal juga dengan bapak
konstruktivisme, Jean Piaget dikenal sebagai ilmuan yang mengkaji persoalan-persoalan
moral dalam hubungannya dengan perkembangan intelektualitas anak. Dia mengkaji
bagaimana anak-anak bermain permainan (game) untuk memelajari keyakinan mereka
tentang mana yang benar dan yang salah.

Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh Piaget terhadap salah satu permainan
yaitu, bermain kelereng yang menunjukkan bahwa perkembangan moral muncul dari
tindakan. Hasil observasi yang dilakukan oleh Piaget, kemudian digunakan dalam
mengembangkan teorinya mengenai moralitas anak-anak. Seperti dikatakan oleh Singer dan
Revenson bahwa, jika anda mengobservasi anak-anak di bawah umur tujuh tahun ketika
sedang bermain, anda akan melihat mereka mengelaborasi aturan-aturan mereka sendiri,
mengadaptasikan ke dalam situasi khusus, kemudian mengubah sesuai kehendak mereka,
namun mereka yakin bahwa mereka bermain sesuai dengan aturan. Aplikasi aturan-aturan
yang mengikuti tiga tahap utama tentang perkembangan moralitas anak-anak, yakni:
 Motorik atau karakter individu, umur 0-2 tahun

Sebelum anak berusia 2 tahun, permainan hanya sekedar aktivitas motorik yang bersifat
ritual semata. Dalam tahap ini, peraturan belum ada.

 Egosentrik, umur 2-7 tahun

Merupakan tahapan transisi antara perilaku individu dan perilaku sosial yang
mengikutinya. Artinya, pada saat yang sama, anak bermain dengan kawan-kawan seusianya,
tetapi masing-masing mereka berbicara dengan mainannya sendiri. Dalam tahap ini, anak-
anak mempertahankan egonya masing-masing untuk memamerkan keunggulan mainannya.

 Kerjasama, umur 7-11 tahun

Tahapan kerja sama, di mana anak-anak mulai umur 7 tahun sudah dapat
mengembangkan pengertian kerjasama.

 Kodifikasi aturan-aturan, umur 11-12 tahun dan hingga dewasa.

Tahap kodifikasi aturan, umur 11-12 tahun, sudah dapat mengikuti kodifikasi aturan yang
sesuai dan tegas. Aturan telah dipahami oleh semua pemain dan dinonton oleh masyarakat
luas. Pemahaman pada aturan yang jelas dan ketat itulah yang sering mengeliminasi mereka
untuk bertengkar atau berselisih paham. Karena ada perbedaan pendapat dan mereka
langsung kembali kepada aturan main.

Jika mereka melakukan kesalahan lebih besar dari yang lainnya, mereka juga merasa
lebih besar kesalahannya dibandingkan dengan mereka yang kecil tingkat kesalahannya.
Piaget, mendapatkan anak yang mencuri lebih banyak atau bercerita dengan kebohongan
yang lebih besar, merasa lebih bersalah atau berdosa dari pada anak yang mencuri hanya satu
benda atau bercerita dengan tingkat kebohongan yang relatif kecil.

C. Analisis

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penamaan nilai-nilai karakter yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-
nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun
kebangsaan. Pengembangan karakter bangsa dapat dilakukan melalui perkembangan karakter
individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya
tertentu, maka perkembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam
lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan.

Karakter adalah watak, tabiat, akhlak atau kepribadian seseorang, yang terbentuk dari
hasil internalisasi berbagai kebijakan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan sebagai
cara pandang, berfikir, bersikap, dan bertindak. Ada beberapa landasan yang menjadi dasar
dalam pendidika karakter diantaranya: landasan ontology, epistemologi dan aksiologi.
Konsep dalam pendidikan Islam yang merupakan pendidikan yang mengembangkan karakter
anak didik. Pendidikan akhlak adalah pendidikan yang dimaksudkan sebagai bentuk
pendidikan untuk mengembangkan sikap, watak, dan karakter anak didik. Pendidikan akhlak
terus mengalami perkembangan secara metodologis sesuai dengan tantangan dan tuntunan
zamannya. Pendidikan karakter harus ditumbuhkembangkan sejak dini dan berkelanjutan,
mulai dari lingkungan keluarga, sekolah hingga lingkungan masyarakat luas. Pendidikan
karakter harus diajarkan secara sistematis dan holistik dengan menggunakan metode knowing
the good, loving the good, dan acting the good.

D. Daftar Pustaka

Jurusan, Dosen et al. 2010. “PENDIDIKAN KARAKTER Nurdin.” : 69–89.

Najili, Hakin, Hendri Juhana, Aan Hasanah, and Bambang Samsul Arifin. 2022. “Landasan
Teori Pendidikan Karakter.” JIIP - Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan 5(7): 2099–2107.

Yaumi, Muhammad. (2014). Pendidikan Karakter: Landasan, Pilar dan Implementasi.


Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP.

Anda mungkin juga menyukai