Anda di halaman 1dari 9

BAB V

PEMBAHASAN

Bab ini membahas tentang hasil penelitian yaitu tentang “faktor - faktor

yang berhubungan dengan kejadian diare pada bayi”, yang dilakukan pada

tanggal 08-20 November 2021 di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Pematang

Duku Kecamatan Bengkalis, dengan melibatkan 68 responden. Adapun

pembahasan dari hasil penelitian dapat dilihat sebagai berikut:

1. Karakteristik Responden

a. Umur

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diketahui untuk

kategori umur ibu paling banyak adalah kelompok umur dewasa awal

(26-35) tahun dengan jumlah 59 responden (86,8%). Rentang umur

ibu dalam penelitian ini termasuk dalam kategori dewasa awal. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Depkes RI (2011) yaitu kategori umur

adalah sebagai berikut : masa dewasa awal yaitu 26- 35 tahun, masa

dewasa akhir yaitu 36- 45 tahun, masa lansia awal yaitu 46- 55 tahun

dan masa lansia akhir yaitu 56 - 65 tahun.

Dewasa awal adalah masa peralihan dari masa remaja.

Berbagai masalah juga muncul dengan bertambahnya umur pada masa

dewasa awal. Dewasa awal adalah masa peralihan dari ketergantungan

menjadi lebih mandiri, baik dari segi ekonomi, kebebasan menentukan

diri sendiri, dan pandangan tentang masa depan sudah lebih realistis

(Depkes, 2011).

56
57

Menurut asumsi peneliti, umur responden dalam rentang umur

dewasa awal, dimana pada masa ini tuntutan menjadi lebih berat

dimana seseorang akan memikul tanggung jawab yang lebih berat,

jika seseorang yang tidak mampu menghadapinya akan menjadi

tekanan pada diri sendiri. Selain itu, responden dalam rentang umur

dewasa awal belum cukup mempunyai pengalaman dalam mengatasi

masalah yang berkaitan dengan penyakit pada bayinya.

b. Pendidikan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diketahui tingkat

pendidikan pada responden berpendidikan SLTA sebanyak 21 orang

(30,9%). Menurut Undang Undang SISDIKNAS no. 20 tahun,

pendidikan adalah sebagai usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran sedemikian

rupa supaya peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya

secara aktif. Proses pembelajaran dapat berupa pengendalian diri,

kecerdasan, keterampilan dalam bermasyarakat, kekuatan spiritual

keagamaan, kepribadian serta akhlak mulia.

Pendidikan adalah salah satu proses perubahan tingkah laku,

pendidikan merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi

perilaku dan mendewasakan seseorang, sehingga dapat memilih dan

membuat keputusan dengan lebih tepat. Dengan pendidikan seseorang

maka semakin mudah menerima informasi dan ide-ide baru, termasuk

menerima kondisi dan keadaan yang sedang terjadi (Notoatmodjo,

2014).
58

Menurut asumsi peneliti pendidikan SLTA termasuk kategori

pendidikan menengah, pendidikan responden ibu dengan kategori

pendidikan menengah. Semakin tinggi pendidikan responden akan

membuat seseorang lebih mudah dalam mencari informasi yang

berkaitan dengan kondisi penyakit yang diderita oleh bayinya.

c. Pekerjaan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa

sebagian responden tidak bekerja sebanyak 32 orang (47,1%).

Pekerjaan yaitu sebuah aktifitas antar manusia untuk saling memenuhi

kebutuhan dengan tujuan tertentu, dalam hal ini pendapatan atau

penghasilan. Penghasilan tersebut yang nantinya akan digunakan

sebagai pemenuhan kebutuhan, baik ekonomi, psikis maupun biologis.

Pekerjaan dalam arti luas adalah aktivitas utama yang dilakukan oleh

manusia. Dalam arti sempit, istilah pekerjaan digunakan untuk suatu

tugas atau kerja yang menghasilkan uang bagi seseorang (Ubay,

2014).

Menurut Gunawan (2017), pekerjaan berpengaruh pada fungsi

ekonomis keluarga. Berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga

secara ekonomi, dan tempat untuk mengembangkan kemampuan

individu dalam meningkatkan penghasilan untuk memenuhi

kebutuhan keluarga.

Menurut asumsi peneliti, seseorang yang memiliki pekerjaan

mapan dengan penghasilan yang baik akan lebih mampu memenuhi

kebutuhan pengobatan pada bagi bayinya yang menderita diare.


59

Keluarga akan berupaya agar anak mendapatkan pengobatan karena

keluarga mampu secara finansial untuk memenuhi kebutuhan

pengobatan pada bayinya.

2. Hubungan pemberian ASI ekslusif dengan kejadian diare pada bayi

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 46

responden yang tidak memberikan ASI eksklusif, dan diketahui ada

hubungan yang signifikan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian

diare pada bayi p value =0,000.

Menurut Kemenkes (2013) ASI eksklusif adalah pemberian hanya

ASI saja tanpa memberikan cairan atau makanan padat lainnya kecuali

vitamin, mineral, obat dalam bentuk tetes dan sirup 19 maupun bersama

air putih pada bayi usia 0-6 bulan. Idealnya bayi yang diberi ASI eksklusif

tidak terkena diare karena ASI merupakan makanan alami yang ideal bagi

bayi dan sesuai dengan kondisi sistem pencernaan bayi yang belum matur.

Pemberian ASI Ekslusif adalah pemberian ASI sedini mungkin

setelah persalinan, diberikan tanpa jadwal dan tidak diberi makanan lain,

walaupun hanya air putih sampai bayi berumur 6 bulan. Kemudian setelah

6 bulan, bayi dikenalkan dengan makanan lain dan tetap diberi ASI sampai

berumur dua tahun. Bayi yang baru lahir tidak memiliki sistem kekebalan

tubuh yang baik seperti orang dewasa. Tubuh bayi belum mampu untuk

melawan bakteri atau virus penyebab penyakit. Pada umumnya, tubuh bayi

dilindungi oleh antibodi yang diterima melalui air susu ibu. Bayi yang

diberi ASI secara penuh mempunyai daya lindung 4 kali lebih besar

terhadap diare dari pada pemberian ASI yang disertai dengan susu
60

formula. Hal ini dikarenakan ASI mengandung zat antibodi yang bisa

meningkatkan sistem pertahanan tubuh anak. Pemberian ASI secara

eksklusif mampu melindungi bayi dari berbagai macam penyakit infeksi.

Namun, sebagian besar ibu yang menjadi responden tidak memberikan

ASI secara eksklusif pada anaknya dengan alasan bekerja atau karena ASI

tidak keluar (Haryono, 2014).

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Bayu,

dkk (2019) tentang hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian

diare pada bayi usia 6-12 bulan di Puskesmas Denpasar Barat II diketahui

bahwa terdapat hubungan pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian diare

pada bayi dimana nilai p=0,000 (<0,05). Pemberian ASI eksklusif pada

bayi sampai usia 6 bulan menunjukkan bayi lebih sedikit terpapar

gangguan gastrointestinal dan mengurangi kejadian gangguan

pertumbuhan. Definisi ASI eksklusif itu sendiri menurut WHO yaitu

pemberian khusus ASI saja tanpa cairan atau makanan padat apapun

kecuali vitamin, mineral, atau obat dalam bentuk tetes atau sirup sampai

usia 6 bulan.

Menurut asumsi peneliti pada penelitian ini, perilaku pemberian

ASI eksklusif sebagian besar ibu tidak memberikan ASI eksklusif

dikarenakan ibu bayi kurang pengetahuan tentang manfaat dari ASI

eksklusif, dimana ibu kurang informasi dari manfaat ASI eksklusif adalah

salah satu tindakan pencegahan kematian bayi. Pemberian ASI sampai 6

bulan merupakan strategi efektif untuk meningkatkan ketahanan hidup

serta ASI eksklusif merupakan cara yang sempura untuk memberikan


61

makanan terbaik untuk bayi pada masa enam bulan pertama kehidupan

untuk pertumbuhan dan perkembangan yang sehat

3. Hubungan hygienitas penggunaan botol susu dengan kejadian diare

pada bayi

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 36

responden yang penggunaan botol susu yang tidak hygiene,, dan diketahui

ada hubungan yang signifikan antara hygienitas penggunaan botol susu

dengan kejadian diare pada bayi p value =0,001.

Botol susu yang tidak steril amat berbahaya sebab mudah

terkontaminasi dan menjadi media berkembangbiaknya mikroorganisme

yang bersifat patogen seperti bakteri, virus dan parasit yang dapat

menyebabkan penyakit salah satunya diare. Terhitung 1,87 milyar anak

meninggal dalam dehidrasi saat diare, oleh karena itu faktor risiko harus

dicegah (Batubara, 2017).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Harris, dkk, (2017) terdapat hubungan bermakna antara higienitas botol

susu dengan kejadian diare di wilayah Puskesmas Kelayan Timur dengan

nilai p=0,014 dan OR=3,5 sehingga dapat disimpulkan bahwa hygienitas

penggunaan susu botol berisiko sebesar 3,5 kali menyebabkan kejadian

diare.

Menurut asumsi peneliti, ibu bayi yang tidak hygine dalam

penggunaan botol susu bias dikarenakan kondisi ibu yang sendiri dalam

merawat bayinya, sehingga semua hal yang dilakukan terburu-buru.

Sebaiknya ibu harus melakukan perilaku yang benar dalam menjaga


62

higienitas botol susu balita seperti cara penggunaan botol susu yang benar,

cara mencuci botol susu yang benar, menggunakan sikat khusus dalam

membersihkan botol susu, cara mensterilkan botol susu yang benar seperti

merebus botol 5-10 menit, menyimpan botol susu dalam wadah tertutup

dan rapat, dan cara penyimpanan dan pemberian kembali susu yang masih

tersisa setelah dikonsumsi balita, sehingga kita bisa mencegah bakteri dan

virus tidak berkembang biak.

4. Hubungan kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare pada

bayi

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 43

responden yang kebiasaan mencuci tangan tidak bersih, dan diketahui ada

hubungan yang signifikan antara kebiasaan mencuci tangan dengan

kejadian diare pada bayi p value =0,003.

Perilaku mencuci tangan adalah kegiatan yang dilakukan

seseorang dalam membersihkan bagian telapak, punggung tangan dan

jari agar bersih dari kotoran dan membunuh kuman penyebab penyakit

yang merugikan kesehatan manusia serta membuat tangan menjadi harum

baunya. Perilaku cuci tangan pakai sabun termasuk tindakan kesehatan

yang paling murah dan efektif dibandingkan dengan tindakan dan cara

lainnya dalam mengurangi resiko penularan berbagai penyakit salah

satunya diare.

Perilaku mencuci tangan individu dapat terjadi karena proses

kematangan dan interaksi individu dengan lingkungan. Cara ini

berpengaruh besar terhadap perilaku manusia. Perubahan perilaku karena


63

proses interaksi antara individu dengan lingkungan melalui suatu proses

belajar. Perubahan perilaku perlu motivasi kuat. Motivasi adalah suatu

dorongan yang menggerakkan seseorang untuk berperilaku, beraktivitas

dalam penyampaian tujuan, dan kebutuhan merupakan faktor yang sangat

berpengaruh terhadap laju dorongan tersebut. Perubahan perilaku mencuci

tangan dengan sabun pada individu dapat tercapai dengan memberi

motivasi yang kuat, sehingga timbul dari kesadarannya sendiri, tercipta

perilaku mencuci tangan. Perilaku mencuci tangan dengan air saja tidak

cukup. Terlebih bila mencuci tangan tidak di bawah air mengalir. Mencuci

tangan pakai sabun terbukti efektif dalam membunuh kuman yang

menempel di tangan. Gerakan nasional cuci tangan pakai sabun dilakukan

sebagai bagian dari kebijakan pemerintah untuk mengendalikan risiko

diare (Kemenkes, 2013).

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Rifai, dkk

(2016), ada hubungan antara kebiasaan cuci tangan ibu dengan kejadian

diare anak : studi kasus di Kutai Kartanegara dengan nilai p=0,002.

Perilaku tidak mencuci tangan sebelum makan, mencuci tangan tidak

benar, tidak menggunakan sabun dan air mengalir, serta tidak menggosok

pangkal jari/sela jari dan punggung tangan, pada saat akan memberi makan

pada balita sehingga kebiasaan tersebut dapat mengakibatkan kejadian

diare pada bayi.

Menurut asumsi peneliti, kebiasaan mencuci tangan merupakan

aktivitas sehari-hari yang sering kita lakukan, dimana ibu bayi dalam

mencuci tangan tidak bersih dikarenakan tidak tahu manfaat dari cuci
64

tangan yang bersih, ibu bayi tidak mengetahui resiko penularan penyakit

diare bisa dari kurang bersihnya mencuci tangan setiap memegang bayi

dan memberikan susu pada bayi, disamping itu sebagian besar ibu bayi

tidak bekerja, sehingga ibu bayi kurang mendapatkan informasi mengenai

diare.

Anda mungkin juga menyukai