Anda di halaman 1dari 6

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam memandang hubungan antara suami dan istri bukan hanya
sekedar kebutuhan semata, tetapi lebih dari itu Islam telah telah mengatur
dengan jelas bagaimana sebuah hubungan agar harmonis dan tetap
berlandaskan pada tujuan hubungan tersebut, yakni hubungan yang dibangun
atas dasar cinta kepada Allah SWT.
Oleh karena itu untuk mewujudkan keluarga yang diliputi oleh
ketenangan, diselimuti cinta kasih dan jalinan yang diberkahi, Islam telah
mengajarkan kepada Sang Nabi bagaimana jalinan antara suami dan istri ini
bias sejalan, dapat seia dan sekata.
Maka, melalui makalah ini insya Allah penulis akan mengupas
beberapa yang berkaitan tentang kewajiban seorang suami. Hak yang
didasarkan pada kesadaran bukan sekedar kebutuhan, dan kewajiban yang
didasari pada kasih saying dan bukan hanya menjalankan tugas belaka. Dan
Islam telah menjadikan hubungan antara suami istri ini begitu indah dalam
rumah tangga.

B. Rumusan Masalah
1. Apa kewajiban suami terhadap suami?
2. Bagaimana kewajiban suami mencampuri istri?
2

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kewajiban Suami Terhadap Istri


Dalam kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami terhadap isteri
dijelaskan secara rinci sebagai berikut:1
1. Suami memberikan nafkah lahir dan batin terhadap istri.
a. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan 
tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting
diputuskan oleh suami istri bersama.
b. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
c. Suami wajib member pendidikan agama kepada istrinya dan memberi
kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi
agama dan bangsa.
d. Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung:
1) Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.
2) Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi
istri dan anak.
3) Biaya pendidikan bagi anak.
2. Suami memberikan tempat kediaman terhadap istri.
a. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-
anaknya, atau bekas istri yang masih dalam ‘iddah.
b. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama
dalam ikatan perkawinan, atau dalam ‘iddah talak atau iddah wafat.
c. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-
anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan
tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai penyimpan harta

1
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers,
2013), hlm. 150-151
3

kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah


tangga.
d. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan
kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat
tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun
sarana penunjang lainnya.
3. Kewajiban suami yang beristri lebih dari seorang.
a. Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban
memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri
secara berimbang menurut istri, kecuali jika ada perjanjian
pernikahan.
b. Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan
istrinya dalam satu tempat kediaman.
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan kewajiban suami
terhadap istri yaitu: memenuhi nafkah istri lahir batin dan tempat kediaman
yang layak terhadap istri.

B. Kewajiban Suami Mencampuri Istri


Wajib hukumnya bagi seorang suami untuk mencampuri istrinya,
minimal sekali pada masa sucinya. Jika tidak dilakukan, maka telah berbuat
maksiat kepada Allah. Sebagaimana Allah Swt, berfirman:

artinya: “apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat
yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian.” (al-Baqarah: 222).2
Jumhur Ulama berpendapat untuk mewajibkan suami menyampuri
istrinya jika tidak ada halangan. Sementara Imam Syafi’i mengatakan: tidak
ada kewajiban bagi seorang suami untuk mencampuri isterinya, karena
merupakan haknya suami. Sedangkan Imam Ahmad menetapkan dengan batas
maksimal empat bulan karena Allah telah menetapkan bagi seseorang untuk

2
Syaikh Kamil Muhammad ’Uwaidah, Fiqh Wanita (Edisi Lengkap),
(Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 1998), hlm. 416.
4

tidak memberikan makan kepada budaknya. Umar menetapkan batasan waktu


selama lima atau enam bulan untuk suami tidak mencampuri istri.3
Umar telah menetapkan, disunnahkannya hubungan badan yang
dilakukan oleh suami terhadap istrinya merupakan sedekah yang oleh Allah
diberikan pahala atasnya. Disunnahkan bagi seorang suami untuk senantiasa
bercanda, memberikan cumbu rayu, saling menampakkan kelembutan dan
memberikan ciuman serta sabar menunggu sampai sang istri menyelesaikan
keperluannya.4
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan suami wajib
mencampuri istri apabila istri sedang suci bahkan kalau istri yang meminta
untuk dicampuri. Karena, suami istri kalau bercinta dan bermesraan itu adalah
ibadah dan membuat hubungan suami istri menjadi sakinah mawadah
warohmah dan kebahagiaan lahir batin.

3
Ibid., hlm. 416-417.
4
Ibid., hlm. 418.
5

BAB III
PENUTUP

Simpulan
Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya dan
kewajiban suami terhadap istri yaitu: memenuhi nafkah istri lahir batin dan
tempat kediaman yang layak terhadap istri.
suami wajib mencampuri istri apabila istri sedang suci bahkan kalau
istri yang meminta untuk dicampuri. Karena, suami istri kalau bercinta dan
bermesraan itu adalah ibadah dan membuat hubungan suami istri menjadi
sakinah mawadah warohmah dan kebahagiaan lahir batin.
6

DAFTAR PUSTAKA

’Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad. 1998. Fiqh Wanita (Edisi Lengkap).


Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.
Rofiq, Ahmad. 2013. Hukum Perdata Islam Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai