Anda di halaman 1dari 40

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG..................................................................................................................................................................10
B. RUMUSAN MASALAH............................................................................................................................................................29
C. TUJUAN PENELITAN...............................................................................................................................................................30
D. MANFAAT PENELITIAN...........................................................................................................................................................32
A. MANFAAT TEORITIS………………………………………………………………………………………………………………………..

B. MANFAAT PRAKTIS ………………………………………………………………………………………………………………………..

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


A. KAJIAN TEORI...............................................................................................................................................................................34
RESILIENSI.........................................................................................................................................................................................36
BUDAYA SEKOLAH............................................................................................................................................................................36
MOTIVASI BELAAJR...........................................................................................................................................................................36
PRESTASI BELAJAR.............................................................................................................................................................................36
B. TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................................................................................................36
C. KERANGKA BERPIKIR.....................................................................................................................................................................36
D. HIPOTESIS.....................................................................................................................................................................................36
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
VARIABEL PENELITIAN.......................................................................................................................................................................36
METODE PENELITIAN........................................................................................................................................................................36
TEKNIK PENGUMPULAN DATA..........................................................................................................................................................36
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Potensi atau prestasi belajar peserta didik adalah hal yang paling utama
yang menjadi perhatian dalam dunia pendidikan. Keberhasilan pendidikan
juga tidak dapat dipisahkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi proses
pendidikan itu sendiri. Prestasi merupakan hasil penilaian pendidikan atas
perkembangan dan kemajuan peserta didik dalam belajar. Prestasi
menunjukkan hasil dari pelaksanaan kegiatan belajar peserta didik yang
diikuti di sekolah dan diukur melalui penguasaan materi yang telah
diajarkan guru serta nilai-nilai yang terkandung dalam kurikulum yang
sudah ditetapkan. M. Ngalim Purwanto (1988) menyatakan prestasi belajar
merupakan hasil penilaian yang dilakukan untuk memperoleh data atau
informasi sampai dimana penguasaan atau pencapaian belajar peserta didik
terhadap bahan pelajaran yang dipelajarinya selama jangka waktu tertentu
yang dinyatakan dalam bentuk angka. Sedangkan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2001), prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan
atau ketrampilan yang dikembangkan melalui mata pelajaran, lazimnya
ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru.
Dalam mencapai prestasi belajar, peserta didik sering dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang terjadi disekitar kehidupan, baik yang datang dari
kondisi internal peserta didik itu sendiri maupun lingkungan dimana
individu tersebut berada. Beberapa ahli ((M. Ngalim Purwanto : 1990,
Muhibbin Syah
:2006, dan Noeh:1993) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar seseorang yaitu faktor yang datang dari diri
individu sendiri disebut faktor internal seperti minat, motivasi, bakat,
intelegensi, tingkat religiusitas dan spiritualitas peserta didik sedangkan
faktor yang datang dari luar individu atau lingkungan sosial disebut sebagai
faktor eksternal seperti keluarga (termasuk status sosial ekonomi orang
tua), lingkungan sekitar (dukungan sosial masyarakat), sarana dan prasarana
sekolah.
Masalah :
Tekanan yang terjadi dalam kehidupan merupakan proses yang tidak
lepas dialami oleh semua individu, salah satunya adalah tekanan akibat
kemiskinan, namun yang membedakan antara individu yang satu dengan
lainnya adalah pada keberhasilan individu dalam beradaptasi dengan
tekanan-tekanan yang ada. Bagi individu yang mampu beradaptasi dengan
baik, mereka akan menghasilkan perfoma-perfoma positif dalam
hidupnya, sebaliknya bagi individu yang kurang mampu beradaptasi
mereka akan tetap berada dalam kondisi tidak menyenangkan tersebut.
Istilah yang menggambarkan kualitas pribadi yang memungkinkan
individu dan komunitasnya untuk tumbuh walaupun berada dalam
ketidakberuntungan disebut resiliensi (Connor:2006). Resiliensi menurut
Richardson, dkk dalam Henderson dan Milstein (2003) merupakan proses
mengatasi masalah seperti gangguan, kekacauan, tekanan, atau tantangan
hidup, yang pada akhirnya membekali individu dengan perlindungan
tambahan dan kemampuan untuk mengatasi masalah sebagai hasil dari
situasi yang dihadapi.
Resiliensi tidak hanya dimiliki oleh seseorang atau sekelompok
orang, melainkan setiap orang, termasuk remaja. Remaja yang resilien
dicirikan sebagai individu yang memiliki kompetensi secara sosial,
dengan ketrampilan-ketrampilan hidup seperti: pemecahan masalah,
berpikir kritis, kemampuan mengambil inisiatif, kesadaran akan tujuan
dan prediksi masa depan yang positif bagi dirinya sendiri. Mereka
memiliki minat-minat khusus, tujuan-tujuan yang terarah, dan motivasi
untuk berprestasi di sekolah dan dalam kehidupan (Henderson &
Milstein, 2003). Umumnya, mereka yang memiliki resiliensi ini terdorong
untuk mengatasi keterbatasan mereka. Setiap keterbatasan yang
dimiliknya menantang
kemampuan anak untuk menghadapi, mengatasi, belajar, serta
mengubahnya (Gortberg,1999).
Sementara dalam konteks yang terkait dengan pendidikan, Linquanti
(dalam Howard 1999) memberikan definisi resiliensi sebagai kualitas
dalam diri anak yang walaupun dihadapkan dengan kejadian-kejadian
yang tidak menyenangkan dalam hidup tidak mengalami kegagalan dalam
hal kehidupan akademisnya. Mendukung pernyataan tersebut, Nears
(2007) juga menyebutkan bahwa anak yang tidak dapat mengatasi
tantangan yang ada dengan efektif akan lebih tidak menyenangi sekolah
dan lebih jarang berpartisipasi dalam kegiatan di kelas.
Untuk dapat mengkategorikan anak sebagai anak yang resilien
sebelumnya harus terdapat dua kriteria yang harus dipenuhi (Ibeagha dkk,
2004). Pertama, terdapat sebuah keadaan yang merupakan ancaman atau
sifatnya berbahaya bagi individu tersebut seperti cacat, kekerasan,
kemiskinan, bencana alam, perceraian, dan sebagainya. Kedua, individu
memiliki kemampuan untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan tidak
menyenangkan tersebut dengan baik.
Thoresen and Eagleston (Roberson, 1985, hlm. 5) menyatakan bahwa
anak atau remaja yang menghadapi seperangkat tuntutan tanpa
kemampuan yang memadai akan meresponnya dengan cara yang
berbahaya atau maladaptif. Dalam area kognitif, ketidakseimbangan
antara tuntutan dengan kemampuan ini dapat mengakibatkan perasaan
rendah diri dan selalu merasa gagal. Hurlock (1980, hlm. 213)
mengungkapkan sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari
waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada
pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru. Pada masa remaja,
Peserta didik berpotensi untuk mengalami masalah-masalah emosional
dan berperilaku dalam bentuk yang beragam. Peserta didik mungkin
menjadi suka menentang atau mungkin menunjukkan (a) kemurungan, (b)
marah, (c) sensitif, (d) agresif,
(e) ambivalensi, (f) kesulitan konsentrasi, (g) kurang berpartisipasi, (h)
meningkat dalam hal melakukan aktivitas beresiko, atau (i) kelelahan.
Perilaku-perilaku yang dapat mengarah pada berbagai bentuk dalam
adegan sekolah (Stanley, 2006, hlm. 40).

Keadaan yang sifatnya berbahaya dan mengancam anak serta


memungkinkan timbulnya hasil negatif dari kejadian yang dialami disebut
sebagai faktor resiko (Mash dan Wolfe, 2005). Faktor-faktor yang
mempengaruhi anak dalam perkembangannya berasal dari empat sumber
yaitu genetik, faktor prenatal, faktor penanganan kesehatan perinatal dan
faktor dari keadaan lingkungan.
Dengan adanya faktor resiko, maka akan timbul apa yang disebut
sebagai faktor protektif. Faktor protektif adalah hal-hal yang membantu
individu bertahan dari dampak yang diakibatkan dari tekanan yang
diterima, membantu mengatasi keadaan tidak menyenangkan tersebut dan
mampu menyesuaikan diri dalam keadaan mengancam tersebut (Ibeagha
dkk, 2004). Seperti faktor resiko, faktor protektif juga berasal dari sumber
eksternal dan internal. Menurut Benard (2004) faktor protektif internal
atau asset internal individu terdiri dari empat kategori penyusun yaitu
kompetensi sosial, pemecahan masalah, otonomi dan kesadaran akan
tujuan dan masa depan. Kategori ini dimiliki individu dengan kadar yang
berbeda-beda, namun akumulasi dari keempat kategori tersebut
menentukan tingkat resiliensi individu. Sementara faktor protektif
eksternal seorang anak didapat dari keluarga, sekolah dan lingkungan
mereka sehari-hari (Howard, 1999). Faktor protektif eksternal ini lebih
bersifat mendukung faktor protektif internal yang sudah ada dalam
individu (Benard, 2004).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Gutman, Samerof dan Cole
(2003) ditemukan bahwa anak-anak yang mengalami kondisi sulit mampu
untuk mencapai tingkat yang tinggi dalam motivasi dan performansi
akademik. Sedangkan individu dengan resiliensi rendah cenderung
mempersepsi masalah sebagai suatu beban dalam hidupnya. Masalah
yang
dipandang sebagai beban akan membuat dirinya lebih mudah merasa
terancam dan cepat merasa frustasi. Sedangkan Menurut Jew, Green, dan
Kroger (1999), individu yang memiliki skor yang tinggi dalam resiliensi
cenderung menunjukkan kemampuan akademik yang baik daripada
individu yang memiliki resiliensi yang rendah. Demikian pula menurut
Grotberg (1995) bahwa terdapat berbagai faktor spesifik dalam resiliensi,
salah satunya adalah prestasi akademik. Moss dan Laurent (2001),
mengemukakan bahwa performansi akademik merupakan suatu hal yang
penting dan menjadi pertanda kesuksesan di dunia sebenarnya. Individu
yang memiliki resiliensi tinggi akan melihat tugas pendidikan sebagai
suatu tantangan bagi dirinya untuk berprestasi. Tantangan yang ada akan
mendorong anak untuk memiliki semangat yang tinggi dalam belajar.
Sedangkan bagi individu yang memiliki resiliensi rendah cenderung cepat
menjadi frustasi dalam menghadapi tugas pendidikan.
Martin dan Marsh (2006), mengatakan bahwa resiliensi
meningkatkan kemungkinan anak untuk sukses di sekolah dan berbagai
aspek lain dalam hidup mereka meskipun terdapat rintangan atau kejadian
yang tidak menyenangkan terjadi. Peserta didik yang resilien adalah
mereka yang mampu menunjukkan performa tinggi dan tetap termotivasi
dalam belajar meskipun terdapat berbagai hal yang menekan dan
menurunkan resiko akan menurunny performa mereka (Alva dalam Nears
2007).
Namun, setiap individu memiliki kondisi yang berbeda untuk mampu
bertahan dan pulih dari situasi negatif secara efektif dengan menghasilkan
performa-performa positif dalam hidupnya, salah satunya adalah memiliki
prestasi belajar yang baik , adapula individu yang gagal karena mereka
tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menyenangkan tersebut. Hal
ini disebabkan kualitas resiliensi tidak sama pada setiap orang . Kualitas
resiliensi seseorang sangat ditentukan oleh tingkat usia, taraf
perkembangan, intensitas seseorang dalam menghadapi situasi-situasi
yang tidak menyenangkan, serta seberapa besar dukungan sosial dalam
pembentukan resiliensi orang tersebut (Gortberg, 1999).

Berdasarkan hasil penelitian Karina (2014) menjelaskan bahwa di


kota Malang pada remaja pada usia 12-22 tahun yang berada pada kondisi
orang tuanya bercerai, memiliki tingkat resiliensi yang cenderung rendah
sebanyak (30,56 %) dari jumlah total subjek sebanyak 72 orang. Tingkat
resiliensi seorang remaja adalah bersifat fluktuatif, artinya tingkat
resiliensi seseoranng dapat dikategorikan tinggi maupun dikategorikan
rendah tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya yakni
antara lain faktor protektif (protective factor) dan faktor resiko (risk
factor). Perceraian orang tua merupakan salah satu yang termasuk dalam
faktor resiko, perceraian ini dapat secara langsung mampu memperbesar
tingginya potensi resiko bagi individu dan meningkatkan kemungkinan
perilaku negatif pada diri seorang remaja.
Berdasarkan latar belakang di atas , peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai PENGARUH RESILIENSI KELUARGA DAN
BUDAYA SEKOLAH TERHADAP MINAT DAN PRESTASI
BELAJAR MATEMATIKA PADA PESERTA DIDIK KELAS XI DI
KABUPATEN PURBALINGGA.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Seberapa besar resiliensi keluarga peserta didik kelas xi pada
pembelajaran matematika dilingkungan sekolah?
2. Seberapa besar budaya sekolah peserta didik kelas xi pada pembelajaran
matematika dilingkungan sekolah?
3. Seberapa besar minat belajar peserta didik kelas xi pada pembelajaran
matematika dilingkungan sekolah?
4. Seberapa besar prestasi belajar peserta didik kelas xi pada pembelajaran
matematika dilingkungan sekolah?
5. Bagaimana hubungan antara resiliensi keluarga terhadap minat belajar
peserta didik kelas xi pada pembelajaran matematika dilingkungan
sekolah?
6. Bagaimana hubungan antara resiliensi keluarga terhadap prestasi
belajar peserta didik kelas xi pada pembelajaran matematika
dilingkungan sekolah?
7. Bagaimana hubungan antara budaya sekolah terhadap minat belajar
peserta didik kelas xi pada pembelajaran matematika dilingkungan
sekolah?
8. Bagaimana hubungan antara budaya sekolah Terhadap prestasi belajar
peserta didik kelas xi pada pembelajaran matematika dilingkungan
sekolah?
9. Bagaimana hubungan antara resiliensi keluarga Terhadap budaya
sekolah peserta didik kelas xi pada pembelajaran matematika
dilingkungan sekolah?
10. Bagaimana hubungan antara minat belajar Terhadap prestasi belajar
peserta didik kelas xi pada pembelajaran matematika dilingkungan
sekolah?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan, tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui Pengaruh Resiliensi Keluarga Dan Budaya
Sekolah Terhadap Minat Dan Prestasi Belajar Matematika Pada Peserta
didik Kelas XI Di Kabupaten Purbalingga.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis
Peneliti berharap agar hasil penelitian ini dapat memberikan
konstribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang berhubungan
dengan pengaruh resiliensi keluarga dan budaya sekolah terhadap minat
dan prestasi peserta didik dalam belajar dan dapat menjadi literatur
tambahan dalam ilmu psikologi khususnya psikologi pendidikan dalam
upaya peningkatan prestasi belajar peserta didik.
Manfaat Praktis
1. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak
sekolah mengenai ada tidaknya hubungan resiliensi dengan prestasi
belajar peserta didiknya sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan
dalam mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan peningkatan
prestasi belajar peserta didik.
2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pelajaran dan motivasi bagi
para pembaca yang kehidupannya jauh lebih baik untuk lebih
meningkatkan prestasinya khususnya prestasi dalam belajar
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
KAJIAN TEORI, TINJAUAN PUSTAKA,
KERANGKA BERPIKIR, RUMUSAN
HIPOTESIS

A. Kajian Teori

Kajian teori dalam penelitian ini membahas tentang resiliensi, motivasi


belajar dan prestasi belajar matematika.
1. Resiliensi
Kemampuan resiliensi sangat dibutuhkan oleh setiap orang dalam
meng- hadapikondisi perubahan-perubahan yangterus berkembang
secara cepat dan kondisi yang tidak
menyenangkan. Desmita (2012: 199)
menyatakan bahwa resiliensi merupakan kekuatan dasar yang
dijadikan fondasi dari semua karak- ter positif dalam membangun
kekuatan emosional dan psikologi seseorang. Keberanian, ketekunan,
rasionalitas dan insight tidak akan ada apabila tanpa adanya
resiliensi. Resiliensi juga diakui sangat menentukan gaya berpikir dan
keberhasilan peserta didik dalam hidupnya, termasuk keberhasilan
dalam belajar di sekolah.
Resiliensi merupakan hal yang sangat penting yang harus
dimiliki seti- ap manusia tanpa adanya resiliensi maka keberanian,
ketekunan, rasio- nalisme, insight tidak akan pernah ada, selain itu
resiliensi sangat menentukan gaya berpikir dan keberhasilan peserta
didik dalam hidupnya, termasuk ke- berhasilan dalam belajar di
sekolah. Grotberg (dalam Desmita, 2012: 200) secara sederhana
mengartikan resiliensi sebagai “the human capacity to face,
overcome, be strengthened by, and even be transformed by
experiences of adversity”. Resiliensi merupakan kecakapan manusia untuk
menghadapi, mengatasi, diperkuat oleh, dan bahkan diubah oleh
pengalaman kesulitan.
Rirkin dan Hoopman (dalam Desmita, 2012: 200) merumuskan
definisi tentang resiliensi yang secara khusus ditujukan pada siswa
dan pendidik, yang berisikan elemen-elemen pembangunan resiliensi
di sekolah, yaitu “the capacity to spring back, rebound, successfully
adapt in the face of adversity, and develop social, academic, and
vocational competence despite exposure to severe stress or simply to
the stress that is inherent in today’s world”. Ele- men-elemen
pembangun resiliensi di sekolah, yaitu kapasitas untuk bangkit
kembali, melambung, berhasil beradaptasi dalam menghadapi
kesulitan, dan mengembangkan kompetensi sosial, akademik, dan
vokasional meskipun paparan stres berat atau hanya untuk stres yang
melekat di dunianya sekarang ini. Desmita (2012: 201)
mengemukakan bahwa pengertian dari resiliensi (daya lentur,
ketahanan) adalah kemampuan atau kapasitas insani yang dimi- liki
seseorang, kelompok atau masyarakat yang memungkinkannya untuk
menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan
dampak- dampak yang merugikan dari kondisi yang tidak
menyenangkan, atau mengu- bah kondisi kehidupan yang
menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi.
Kondisi yang tidak menyenangkan atau kondisi yang
menyengsarakan sering dihadapi oleh setiap manusia, jika seseorang
tidak berupaya untuk me- ncegah, menghadapi ataupun
meminimalkan maka dampak kondisi tersebut akan mempengaruhi
psikologi ataupun psikis orang tersebut maka dengan adanya
resiliensi (daya lentur, ketahanan) seseorang bisa terhindar dari dam-
pak kondisi yang tidak menyenangkan. Rini Hildayani, dkk. (2011:
2.2-8) mengatakan “anak resiliensi adalah anak yang mempunyai
kekuatan batin dan emosional yang luar biasa sehingga dapat
mengatasi berbagai trauma”. Trau- ma yang dialami anak bisa
disebabkan oleh berbagai hal dan jika trauma itu berkepanjangan
maka akan mengakibatkan dampak buruk terhadap perkem- bangan
anak. Anak yang resiliensi akan mempunyai kekuatan
batin dan emosional yang luar biasa sehingga dia bisa menghadapi
trauma yang mereka alami. Irwanto (dalam Rini Hildayani, dkk., 2011:
2.28) menyatakan bahwa anak merupakan organisme yang sangat
lentur, yang mampu beradaptasi dengan situasi yang paling sulit.
Anak memiliki kekuatan mental spiritual sehingga mampu
menghadapi pengalaman yang tidak menyenangkan. Keku- atan inilah
yang dikenal dengan istilah resiliensi. Dengan resiliensi yang dimi-
liki oleh anak maka dia bisa beradaptasi dalam situasi yang berbeda-
beda. Anak tidak hanya mampu beradptasi dalam situasi yang
menyenangkan tetapi juga bisa beradaptasi dalam situasi yang sulit
dan tidak menyenangkan.
Henderson & Milstein (dalam Samsunuwiyati, 2013: 229)
beranggapan bahwa remaja yang resilien dicirikan sebagai individu
yang memiliki kompe- tensi secara sosial dan mempunyai
keterampilan- keterampilan hidup seperti: pemecahan masalah,
berpikir kritis, kemampuan mengambil inisiatif, kesada- ran akan
tujuan dan prediksi masa depan yang positif bagi dirinya sendiri.
Mereka memiliki minat- minat khusus, tujuan-tujuan yang terarah,
dan motivasi untuk berprestasi di sekolah dan dalam kehidupan.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
resiliensi (da- ya lentur, ketahanan) adalah kemampuan atau kekuatan
mental spiritual yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat
untuk beradaptasi, meng- hadapi, mencegah, meminimalkan dan
bahkan menghilangkan dampak- dampak yang merugikan dari
kondisi yang tidak menyenangkan, atau meng- ubah kondisi
kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk
diatasi. Remaja yang resilien akan memiliki kompetensi secara sosial
dan keterampilan- keterampilan hidup. Mereka memiliki minat-minat
khusus, tujuan- tujuan yang terarah, dan motivasi untuk berprestasi di
sekolah dan dalam kehidupan.
Dalam resiliensi terdapat ciri-ciri yang dapat menggambarkan
karakte- ristik seseorang yang resilien. Bernard (dalam Desmita,
2012: 201) menyata- kan bahwa orang yang resilien biasanya
memiliki empat sifat-sifat umum, yaitu.
a. Social competence (kompetensi sosial)
Kemampuan untuk memunculkan respons yang positif dari orang
lain, yaitu dengan mengadakan hubungan-hubungan yang positif
dengan orang dewasa dan teman sebaya,
b. Problem-solving skills/metacognition (keterampilan pemecahan
masalah atau metakognitif)
Perencanaan yang memudahkan untuk mengendalikan diri sendiri
dan memanfaatkan akal sehatnya untuk mencari bantuan dari orang
lain.
c. Autonomy (otonomi)
Suatu kesadaran tentang identitas diri sendiri dan kemampuan untuk ber-
tindak secara independen serta melakukan pengontrolan terhadap lingku- ngan.
d. A sense of purpose and future (kesadaran akan tujuan dan masa
depan) adalah kesadaran akan tujuan-tujuan, aspirasi pendidikan,
ketekunan (persistence), pengharapan dan kesadaran akan suatu masa
depan yang cemerlang (bright).
Papalia & Olds (dalam Hildayani, 2011: 2.29) mengemukakan
bahwa beberapa penelitian menunjukkan adanya faktor yang
menurunkan pengaruh stres. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Kepribadian anak. Anak yang mempunyai kemampuan resiliensi akan
mampu beradaptasi cukup baik terhadap perubahan lingkungan,
berpikir positif, peka terhadap orang lain, dan mandiri dalam
kehidupannya. Di samping itu, anak resiliensi memiliki tingkat self-
esteem yangtinggi.
b. Keluarga. Antara anak dengan kedua orang tua memiliki
hubunganyang baik sehingga saling mendorong satu sama lain, atau
memiliki hubungan yang dekat dengan ayah atau ibu. Atau paling
tidak anak memiliki hubu- ngan yang dekat dengan saudara kandung
atau orang dewasa lain yang
memberikan perhatian dan benar-benar mengurus anak, atau pada
orang lain yang dipercayai anak.
c. Pengalaman belajar. Anak resiliensi memiliki pengalaman mengatasi
ma- salah sosial. Mereka juga bisa mendapatkan pengalaman belajar
dari me- lihat orang lain, orang tua, kakak, atau yang lainnya mengatasi
frustasi
dan situasi yang tidak menyenangkan. Mereka menghadapi tantangan,
bekerja untuk mencari pemecahan, dan belajar bahwa usaha mereka
untuk menentukan keberhasilan dalam mengatasi masalah yang
dihadapi, serta mengontrol kehidupannya.
d. Faktor-faktor resiko yang terbatas. Anak yangdihadapkan pada hanya
sa- tu faktor yang sangat berkaitan dengan penyakit psikis sering kali
dapat mengalami stres. Akan tetapi, ketika dihadapkan pada beberapa
faktor, risiko gangguan meningkat empat kali lipat atau lebih. Ketika
anak tidak dihadapkan pada berbagai segi, mereka sering kali dapat
menyusun keku- atan untuk mengatasi keadaan yang merugikan.
e. Berbagai pengalaman yang positif. Pengalaman positif yang dimiliki
mi- salnya pada olah-raga, musik, atau bersosialisasi dengan anak lain
dapat membantu mengatasi kehidupan rumah yang suram, serta
perkawinan yang sehat atau baik dapat mengganti hubungan yang
kurang baik pada kehidupan masa mudanya.
Wolins (dalam Desmita, 2012: 202), mengajukan tujuh
karakteristik internal sebagai tipe orang yang resilien secara berturut-
turut, yaitu:
initiative (inisiatif) yang terlihat dari upaya mereka melakukan
eksplo- rasi terhadap lingkungan mereka dan kemampuan individual
untuk me- ngambil peran/bertindak, independence (independen) yang
terlihat dari kemampuan seseorang menghindar atau menjauhkan diri
darikeadaan yang tidak menyenangkan dan otonomi dalam bertindak,
insight (ber- wawasan) yang terlihat dari kesadaran kritis seseorang
terhadap ke- salahan atau penyimpangan yang terjadi dalam
lingkungannya atau ba- gi orang dewasa ditunjukkan dengan
perkembangan persepsi tentang apa yang salah dan menganalisis
mengapa diasalah, relationship (hu- bungan) yang terlihat dari upaya
seseorang menjalin hubungandengan
orang lain, humor(humor) yang terlihat dari kemampuan seseorang
mengungkapkan perasaan humor di tengah situasi yang menegangkan
atau mencairkan suasana kebekuan, creativitas (kreativitas), yang
ditunjukkan melalui permainan-permainan kreatif dan pengungkapan
diri, morality (moralitas) yang ditunjukkan dengan pertimbangan
sese- orang tentang baik dan buruk, mendahulukan kepentingan orang
lain dan bertindak dengan integritas.

Indikator dalam penelitian ini merujuk pada tujuh karakteristik


internal sebagai tipe orang yang resilien menurut Wolins (dalam
Desmita, 2012: 202) secara berturut-turut yaitu initiative (inisiatif) yang
terlihat dari upaya mer- eka melakukan eksplorasi terhadap
lingkungan mereka belajar matematika dan kemampuan individual
untuk mengambil peran/bertindak dalam pem- belajaran matematika,
independence (independen) yang terlihat dari kema- mpuan seseorang
menghindar atau menjauhkan diri dari keadaan yang tidak
menyenangkan dalam pembelajaran matematika dan otonomi dalam
ber- tindak dalam pembelajaran matematika, insight (berwawasan)
yang terlihat dari kesadaran kritis seseorang terhadap kesalahan atau
penyimpangan yang terjadi dalam lingkungan belajar matematika atau
bagi orang dewasa ditun- jukkan dengan perkembangan persepsi
tentang apa yang salah dan meng- analisis mengapa diasalah,
relationship (hubungan) yang terlihat dari upaya seseorang menjalin
hubungan dengan orang lain dalam pembelajaran mate- matika,
humor (humor) yang terlihat dari kemampuan seseorang mengung-
kapkan perasaan humor di tengah situasi yang menegangkan atau
men- cairkan suasana kebekuan dalam pembelajaran matematika,
creativitas (kre- ativitas), yang ditunjukkan melalui permainan-
permainan kreatif dan peng- ungkapan diri ketika pembelajaran
matematika, morality (moralitas) yang ditunjukkan dengan
pertimbangan seseorang tentang baik dan buruk ketika bertindak
dalam pembelajaran matematika, mendahulukan kepentingan orang
lain ketika belajar matematika dan bertindak dengan integritas dalam
pembelajaran matematika.
2. Budaya Sekolah
Dalam suatu organisasi (termasuk lembaga pendidikan), budaya
diartikan sebagai berikut : Pertama, tindakan yaitu keyakinan dan tujuan
yang dianut bersama yang dimiliki oleh anggota organisasi yang potensial
membentuk perilaku mereka dan bertahan lama meskipun sudah terjadi
pergantian anggota. Dalam lembaga pendidikan misalnya, budaya ini
berupa saling menyapa, saling menghargai, toleransi dan lain sebagainya.
Kedua, norma perilaku yaitu cara yang sudah lazim digunakan dalam
sebuah organisasi yang bertahan lama karena semua anggotanya
mewariskan perilaku tersebut kepada anggota baru.
Dalam lembaga pendidikan, perilaku ini antara lain berupa semangat
untuk selalu giat belajar, selalu menjaga kebersihan, bertutur sapa santun
dan berbagai perilaku mulia lainnya (Daryanto & Mohammad Farid.
(2013)). Sama halnya dengan organisasi pada umumnya, sekolah juga
memiliki budaya tersendiri sebagai suatu jati diri yang dicitrakan sekolah
tersebut. Hal yang membedakan antara budaya organisasi dengan budaya
sekolah terdapat pada tujuan yang hendak dicapai oleh sekolah yaitu tujuan
pendidikan. Stolp dan Smith mengemukakan bahwa budaya sekolah
sebagai : “school culture can be defined as the historically transmited
pattern of meaning that include the norms, values, beliefs, ceremonies,
ritual, traditions and myths understood, maybe in varying degress, by
members of school community. This system of meaning often shapes what
people thinks and how they act” Ahmad Susanto. (2016). Jadi menurut
Stolp dan Smith budaya sekolah diartikan sebagai sejarah tentang pola
penyampaian sebuah arti yang termasuk di dalamnya adalah norma, nilai,
kepercayaan, upacara ritual, tradisi, dan mitos, mungkin itu yang
membedakan tingakatan dari anggota dalam komunikasi sekolah. Sistem ini
yang sering membentuk apa yang orang pikirkan dan bagaimana mereka
bertindak.
Budaya sekolah merupakan kepribadian organisasi yang membedakan
antara satu sekolah dengan sekolah lainnya, bagaimana seluruh anggota
organisasi sekolah berperan dalam melaksanakan tugasnya tergantung pada
keyakinan, nilai dan norma yang menjadi bagian dari budaya sekolah
tersebut (Uhar Suharsaputra; 2010).) Budaya sekolah efektif merupakan
nilai-nilai, kepercayaan, dan tindakan sebagai hasil kesepakatan bersama
yang melahirkan komitmen seluruh personel untuk melaksanakannya secara
konsekuen dan konsisten. Budaya sekolah sebagai karakteristik khas
sekolah yang dapat diidentifikasi melalui nilai yang dianutnya, sikap yang
dimilikinya, kebiasaan-kebiasaan yang ditampilkannya dan tindakan yang
ditunjukkan oleh semua personel sekolah yang membentuk satu kesatuan
khusus dari sistem sekolah (Aan Komariah & Cepi Triatna.(2010). Sebagai
lembaga pendidikan tentu saja kegiatan utama sekolah adalah merancang,
sehingga sekolah yang memiliki nilai-nilai unggul akan sangat tampak pada
keseluruhan proses pendidikan yang dilaksanakannya. Kurikulum yang
dirancang tidak hanya berisikan berbagai materi dan mata pelajaran saja,
tetapi diwarnai oleh berbagai kegiatan untuk mengembangkan nilai-nilai
yang menjadi pilar sekolah tersebut. Pelaksanaan pembelajaran tidak hanya
sekedar mengembangkan nilai keilmuannya saja, tetapi juga
menginternalisasikan nilai-nilai tersebut dalam keseluruhan proses
pembelajaran di seluruh bidang studi. Demikian pula proses penilaian juga
akan dilaksanakan dengan mengedepankan nilai-nilai yang dianut oleh
sekolah tersebut. Proses ini pada akhirnya akan menghasilkan lulusan yang
memiliki nilai-nilai yang unggul, yang mungkin akan berbeda dengan
lulusan-lulusan dari sekolah lain, sehingga sekolah betul-betul telah
mengembangkan kemandiriannya dalam pelaksanaan pendidikan yang
dilakukannya, (Muhaimin; 2012).
Pada sekolah mesti dikembangkan nilai-nilai yang relevan dengan visi
sekolah dan terutama keberpihakan terhadap proses belajar sebagai misi
utama sekolah. oleh karena itu, nilai-nilai inti (basic value) sekolah harus
diarahkan pada pemberian layanan belajar yang optimal bagi siswa
sehingga siswa dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Peter dan
Waterman menemukan nilai-nilai yang secara konsisten dilaksanakan di
sekolah-sekolah yang baik (Aan Komariah & Cepi Triatna, 2010) Menurut
Terrence Deal dan Kent Peterson bahwa budaya sekolah berkenaan dengan
nilai kebersamaan (shared values), ritual dan sinbol-simbol. Mereka
menyatakan bahwa inti permasalahan sekolah bukan pada masalah teknis
tetapi pada masalah sosial. Budaya melayani pelanggan yang menekankan
pada kualitas pelayanan sehingga dapat mengubah sikap dan perilaku
pekerja terhadap pelanggan dan menyebabkan meningkatnya kepuasaan
pelanggan dan penjualan. Apabila pekerja merasa sesuai dengan budaya
organisasi sekolah maka mereka akan cenderung mengembangkan
kedekatan emosional terhadap organisasi (Wesly Hutabarat, 2015).
Budaya sekolah merupakan sesuatu yang dibangun dari hasil
pertemuan antara nilai-nilai yang dianut oleh kepala sekolah sebagai
pemimpin dengan nilai-nilai yang dianut oleh guru-guru dan para karyawan
yang ada dalam sekolah tersebut.17 Pertemuan nilai-nilai yang dianut oleh
kepala sekolah dan guru-guru akan muncul dan menghasilkan bentuk nilai-
nilai berupa tindakan yang dilaksanakan bersama-sama sehari-harinya.
Nilai-nilai yang dikembangkan dapat berbeda antara sekolah satu dengan
sekolah lain. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh fokus sekolah dan
kondisi lingkungan dari sekolah tersebut. Salah satu nilai yang dianut
adalah nilai kedisiplinan. Kedisiplinan dalam budaya sekolah yaitu menjaga
seluruh orang-orang disekitar sekolah agar tahu mana yang penting dan
prioritas dan mana yang tidak penting dan harus ditinggalkan. Budaya
sekolah dapat membentuk seseorang patuh terhadap peraturan dan
menciptakan kebiasaan baru yang positif melalui upaya disiplin yang
ditegakkan sekolah. ini berarti bahwa budaya merupakan atribut atau
peraturan-peraturan yang dirancang sesuai dengan keinginan bersama untuk
dipatuhi. Sama halnya pada SMK Negeri 1 Karanganyar budaya di sekolah
ini seperti biasakan disiplin dalam hal tepat waktu, berpakaian seragam,
penyelesaian tugas yang bertujuan untuk mewujudkan kedisiplinan warga
sekolah sehingga akan memunculkan rasa tanggung jawab, semangat dan
berinisiatif pada tugasnya masing- masing, sehingga dapat menunjang
ketahanan sekolah untuk tercapainya target yang hendak dicapai setiap
tahunnya.
Apabila terdapat warga sekolah yang melanggar peraturan akan
dikenakan sanski pelanggaran berupa peringatan baik secara lisan maupun
tulisan, penurunan guru tetap dan pemutusan hubungan kerja. Jika sekolah
membangun dan menerapkan budaya disiplin maka sekolah akan
mempunyai budaya disiplin , sehingga akan terbiasa untuk melakukan
kedisiplinan dalam melaksanakan suatu kegiatan. Karena pada dasarnya
budaya disiplin hanya
dapat dicapai dengan berlatih dan dilakukan secara berulang-ulang sehingga
membentuk budaya yang menjadi karakter dari seorang guru. Budaya
sekolah merupakan pola dasar asumsi, sistem nilai-nilai keyakinan dan
kebiasaan-kebiasaan serta berbagai bentuk produk di sekolah yang akan
mendorong semua warga sekolah untuk bekerja sama yang didasarkan
saling percaya-mempercayai, mengundang partisipasi seluruh warga
mendorong munculnya gagasan-gagasan baru dan memberikan kesempatan
untuk terlaksananya pembaharuan di sekolah (Zamroni. ;2013).
a. Fungsi Budaya Sekolah
Budaya memiliki fungsi yang penting di dalam sekolah sebab budaya
akan memberikan dukungan terhadap identitas sekolah. sehingga budaya
sekolah yang terpelihara dengan baik mampu menampilkan perilaku iman,
takwa, kreatif dan inovatif yang harus dikembangkan terus menerus.
Menurut Peterson , kenapa budaya sekolah penting dipelihara adalah karena
beberapa alasan sebagai berikut :
1) Budaya sekolah mempengaruhi prestasi dan perilaku sekolah. artinya
bahwa budaya menjadi dasar bagi siswa dapat meraih prestasi melalui
ketenangan yang diciptakan iklim dan peluang-peluang kompetetitif yang
diciptakan program sekolah.
2) Budaya sekolah tidak tercipta dengan sendirinya, tetapi memerlukan
tangan- tangan kreatif , inovatif, dan visioner untuk menciptakan dan
menggerakkannya.
3) Budaya sekolah adalah unik walaupun mereka menggunakan komponen
yang sama tetapi tidak ada dua sekolah yang persis sama.
4) Budaya sekolah memberikan kepada semua level manajemen untuk fokus
pada tujuan sekolah dan budaya menjadi kohesi yang mengikat bersama
dalam melaksanakan misi sekolah.
5) Meskipun demikian, budaya dapat menjadi counter productive dan menjadi
suatu rintangan suksesnya bidang pendidikan dan budaya dapat bersifat
membedakan dan menekankan kelompok-kelompok tertentu di dalam
sekolah.
6) Perubahan budaya merupakan suatu proses yang lambat, seperti perubahan
cara mengajar dan struktur pengambilan keputusan. Sehingga dari
pengertian
diatas budaya sekolah berfungsi untuk mentransmisi segala bentuk perilaku
dari seluruh warga sekolah. Hampir sama dengan fungsi pendidikan, fungsi
budaya juga adalah sebagai wahana untuk proses pendewasaan dan
pembentukan kepribadian siswa. Pada dasarnya fungsi dari budaya sekolah
adalah sebagai identitas sekolah yang mempunyai kekhasan tertentu yang
membedakan dengan sekolah lainnya. Identitas tersebut dapat berupa
kurikulum, tata tertib, logo sekolah, ritual-ritual, pakaian seragam dan
sebagainya. Budaya tersebut tidak secara instan diciptakan oleh sekolah,
akan tetapi melalui berbagai proses yang tidak singkat. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh komariah yang menyebutkan bahwa pada awal
kemunculannya, budaya sekolah terbentuk atas dasar visi dan misi
seseorang yang dikembangkan sebagai adaptasi lingkungan (masyarakat)
baik internal maupun eksternal. Dari paparan diatas dapat dirumuskan
fungsi budaya sekolah sekurang-kurangnya ialah menjadi pembeda antara
sekolah satu dengan yang lain, sebagai identitas sekolah, serta dapat
menjadi standar perilaku bagi warga sekolah.

3. Motivasi Belajar
a. Motivasi

Setiap tindakan terutama dalam pembelajaran yang dilakukan oleh


ma- nusia selalu dimulai dari motivasi atau niat. Menurut Kamus
Besar Ba- hasa Indonesia Pusat Bahasa mendefinisikan motivasi yaitu
sebagai dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau
tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu.
Setiap orang pastilah mempunyai tujuan yang ingin dicapai sehingga
dorongan secara sadar atau tidak sadar harus dimiliki untuk bertindak
agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Uno (2016: 3)
mengatakan “istilah motivasi berasal dari kata motif yang dapat
diartikan sebagai kekuatan yang ter- dapat dalamdiriindividu, yang
menyebabkan individutersebut bertindak atau berbuat”. Sedangkan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah motif
diartikan sebagai sebab-sebab yang menjadi
dorongan tindakan seseorang; dasar pikiran atau pendapat; sesuatu
yang jadi pokok. Sardiman (2007: 73) menyatakan bahwa motif
sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subjek untuk
melakukan aktivitas- aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan.
Alex (2003: 267) menga- takan “motif manusia merupakan dorongan,
hasrat, keinginan, dan te- naga penggerak lainnya, yang berasal dari
dalam dirinya, untuk melaku- kan sesuatu”. Woodworth (dalam Alex,
2003: 267) mengartikan motif yaitu suatu set yang dapat atau mudah
menyebabkan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu
(berbuat sesuatu) dan untuk men- capai tujuan-tujuan tertentu. Motif
tidak dapat diamati secaralangsung, tetapi dapat diinterpretasikan
dalam tingkah lakunya, berupa rangsangan, dorongan, atau
pembangkit tenaga munculnya suatu tingkah laku tertentu. Winkel
(dalam Uno, 2016: 3) mengemukakan bahwa motif adalah daya
penggerak dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas tertentu,
demi mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan pendapat-pendapat yang
dikemukakan oleh beberapa ahli diatas motif memang sangat
diperlukan dalam kehidupan karena untuk melakukan suatu aktivitas
atau kegiatan-kegiatan maka daya penggerak yang ada dalam diri
sese- orang sangat dibutuhkan agar tujuan yang diinginkan tercapai.
Motif tidak dapat terlihat secara langsung melainkan dengan adanya
perilaku yang dilakukan.
Uno (2016: 3) mengatakan bahwa motivasi merupakan
dorongan yang terdapat dalam diri seseorang untuk berusaha
mengadakan peruba- han tingkah laku yang lebih baik dalam
memenuhi kebutuhannya. Ahmadi dan Widodo (2004: 83)
berpendapat bahwa baik tidaknya dalam mencapai tujuan dapat
ditentukan dari motivasi sehingga semakinbesar motivasinya akan
semakin besar kesuksesan belajarnya. Wahosumidjo (dalam Uno,
2016: 8) mengemukakan bahwa “motivasi merupakan dorongan dan
kekuatan dalam diri seseorang untuk melakukan tujuan tertentu yang
ingin dicapainya”. Motivasiadalah suatu dorongan, kekua-
tan yang terdapat dalam diri seseorang untuk berusaha mengadakan
perubahan tingkah laku agar tujuan-tujuan yang hendak dicapai dapat
tercapai. Atkinson (dalam Uno, 2016: 8) mengemukakan bahwa
kecen- derungansukses ditentukanoleh motivasi, peluang, serta
intensif; begitu- pula dengan kecenderungan untuk gagal. Dengan
adanya motivasi yang tinggi, kepandaian membaca peluang serta
intensif maka seseorang akan berusaha untuk melakukan tindakan
sehingga keberhasilan akan tercapai. McClelland (dalam Uno, 2016:
9) berpendapat bahwa:
a motive is the redintegration by a cue of a change in an affective
situation, yang berarti motif merupakan implikasi dari hasil perti-
mbangan yang telah dipelajari (redintegration) dengan ditandai su-
atu perubahan pada situasi afektif.
Uno (2016: 9) mengemukakan bahwa motivasi adalah suatu
doro- ngan yang muncul akibat dari adanya rangsangan yang ada dari
dalam diri maupun berasal dari luar diri seseorang sehingga
mempunyai keing- inan untuk mengadakan perubahan tingkah laku
atau aktivitas tertentu menjadi lebih baik dari keadaan yang
sebelumnya. Selain itu, Uno juga mengemukakan bahwa motivasi
merupakan suatu dorongan internal dan eksternal yang ada dalam diri
seseorang untuk mengadakan perubahan tingkah laku. Indikator-
indikator yang dikemukakan oleh Uno (2016: 9) yaitu (1) adanya
hasrat dan keinginan untuk melakukan kegiatan, (2) adanya dorongan
dan kebutuhan melakukan kegiatan, (3) adanya harapan dan cita-cita,
(4) penghargaan dan penghormatan atas diri, (5) adanya lingkungan
yang baik, (6) adanya kegiatan yang menarik.
Donald (dalam Sardiman, 2007: 73) berpendapat “motivasi
yaitu perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan
munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap
adanyatujuan”.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
motivasi adalah suatu dorongan atau rangsangan yang berasal dari
dalam diri ma- upun dari luar (dorongan eksternal maupun internal)
untuk mengubah
aktivitas atau tingkah laku menjadi lebih baik sehingga tujuan yang
hen- dak dicapai dapat terpenuhi.
b. Belajar
Dalam kehidupan manusia belajar sangatlah penting. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa kata belajar diartikan
ber- usaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Uno (2016: 22)
mengatakan “belajar adalah proses perubahan perilaku atau pribadi
seseorang berda- sarkan interaksi antara individu dan lingkungannya
yang dilakukan seca- ra formal, informal, dan non formal”. Belajar
menunjukkan suatu proses perubahan perilaku atau pribadi seseorang
berdasarkan praktik atau pengalaman tertentu yang diperoleh dari
interaksi antara individu dengan lingkungannya. Uno (2016: 22)
mengatakan bahwa “belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan
individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara
keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam
interaksi dengan lingkungannya”. Good dan Brophy (dalam Uno,
2016: 15) menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses atau
interaksi yang dilakukan seseorang dalam memperoleh sesuatu yang
baru dalam bentuk perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman
itu sendiri (belajar). Slameto (2010: 2) mengartikan belajar adalah
suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil
pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Belajar yaitu sebagai proses usaha yang dilakukan individu untuk
merubah tingkah laku menjadi lebih baik dari pengalaman yang
diperolehnya melalui interaksi dengan lingkungannya. Gagne (dalam
Uno, 2016: 16) menyatakan bahwa belajar sebagai perubahan
perilaku terjadi setelah siswa mengikuti atau mengalami suatu proses
belajar mengajar, yaitu hasil belajar dalam bentuk penguasaan
kemampuan atau keterampilan tertentu. Winkel (dalam Uno, 2016:
22) menyatakanbahwa:
belajar pada manusia bisa dirumuskan sebagai suatu aktivitas men- tal
psikis yang berinteraksi aktif dengan lingkungannya, dan meng- hasilkan
perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keteram- pilan, dan sikap.

Berdasarkan pendapat Gagne dan Winkel maka dapat


disimpulkan bahwa belajar adalah suatu aktivitas mental psikis yang
berinteraksi aktif dengan lingkungannya dan setelah siswa mengikuti
atau mengalami suatu proses belajar mengajar, yaitu hasil belajar
dalam bentuk pengua- saan kemampuan, pemahaman, sikap dan
keterampilan. Uno (2016: 22) merumuskan pengertian belajar sebagai
berikut: (1) melakukan perubahan atau memodifikasi, menguatkan
kelakuan melalui pengala- man, (2) suatu proses perubahan tingkah
laku individu dengan lingku- ngannya, (3) perubahan tingkah laku
yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan, penggunaan dan
penilaian, atau mengenai sikap dan nilai- nilai pengetahuan dan
kecakapan dasar, yang terdapat dalam berbagai bidang studi, atau
lebih luas lagi dalam berbagai aspek kehidupan atau pengalaman yang
terorganisasi, (4) belajar selalu menunjukkan suatu proses perubahan
perilaku atau pribadi seseorang berdasarkan praktik atau pengalaman
tertentu.
Sardiman (2007: 20) menyatakan bahwa belajar merupakan
peru- bahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian
kegiatanmisa- lnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan
meniru dan lain sebagainya. Slameto (2010: 54) menggolongkan
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi belajar siswa menjadi dua,
yaitu faktor intern dan faktor ekstern.
1) Faktor Intern adalah faktor yang dimiliki oleh individu yang sedang
belajar. Tiga aspek yang berada dalam diri individu yang sedang be-
lajar, yaitu:
a) Faktor jasmaniah, seperti: faktor kesehatan, cacat tubuh.
b) Faktor psikologis, seperti: intelegensi, perhatian, bakat, motif, ke-
matangan, kesiapan.
c) Faktor kelelahan.
2) Faktor Eksternal

a) Faktor keluarga, meliputi: cara orang tua mendidik, relasi antar anggota
keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pe- ngertian
orang tua, latar belakang kebudayaan.
b) Faktor sekolah, meliputi: metode mengajar, kurikulum, relasi guru
dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pe-
lajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan
gedung, metode belajar, tugas rumah.
c) Faktor masyarakat, meliputi: kegiatan siswa dalam masyarakat, mass
media, teman bergaul, bentuk kehidupanmasyarakat.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
belajar adalah usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu
peruba- han tingkah laku berdasarkan interaksi antara individu dan
lingkungan- nya yang dilakukan secara formal, informal, dan non
formal.
c. Motivasi Belajar

Motivasi dalam belajar sangatlah penting. Motivasi belajar


dapat mendorong siswa untuk mengadakan perubahan tingkah laku.
Belajarti- dak akan pernah dilakukan tanpa suatu dorongan yang kuat
baik dari da- lam diri maupun dari luar individu tersebut. Uno (2016:
23) menyatakan bahwa:
motivasi dan belajar merupakan dua hal yang saling mempengaru- hi.
Belajar adalah perubahan tingkah laku secara relatif permanen dan
secara potensial terjadi sebagai hasil dari praktik atau pengua- tan
(reinforced practice) yang dilandasi tujuan untuk mencapai tujuan
tertentu.
Hakikat motivasi belajar menurut Uno (2016: 23) yaitu
“motivasi belajar adalah dorongan internal dan eksternal pada siswa-
siswa yang se- dang belajar untuk mengadakanperubahantingkah laku,
pada umum-nya dengan beberapa indikator atau unsur yang
mendukung”. Sardiman (2007: 84) mengatakan “hasil belajar akan
menjadi optimal, kalau ada
motivasi”. Sardiman (2007: 86) mengatakan “adanya usaha yang
tekun dan terutama didasari adanya motivasi, maka seseorang yang
belajar itu akan dapat melahirkan prestasi yang baik”. Dengan usaha
yang tekun dan motivasi yang tinggi maka seseorang yang sedang
belajar akan menda- patkan hasil belajar yang optimal yaitu prestasi
yang baik dan memu- askan.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
motivasi belajar adalah dorongan internal dan eksternal sehingga
mengakibatkan adanya perubahan tingkah laku untuk mencapai hasil
belajar yang opti- mal. Dengan motivasi belajar yang tinggi maka
mendorong seseorang untuk berusaha agar menguasai materi-materi
belajarnya sehingga pres- tasi akan baik.
Uno (2016: 23) berpendapat bahwa motivasi belajar dapat
timbul karena faktor intrinsik, berupa hasrat dan keinginan berhasil
dan doro- ngan kebutuhan belajar, harapan akan cita-cita. Sedangkan
faktor ekstri- nsiknya adalah adanya penghargaan, lingkungan belajar
yang kondusif, dan kegiatan belajar yang menarik. Uno (2016: 27)
menyatakan bahwa peranan motivasi dalam belajar dan pembelajaran,
antara lain dalam (a) menentukan hal-hal yang dapat dijadikan
penguat belajar, (b) memper- jelas tujuan belajar yang hendak dicapai,
(c) menentukan ragam kendali terhadap rangsangan belajar, (d)
menentukan ketekunan belajar.
Sardiman (2007: 85) menyatakan ada tiga fungsi motivasi
secara berturut-turut yaitu motivasi sebagai dorongan manusia untuk
berbuat atau sebagai motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan
dikerjakan, motivasi sebagai penentu arah perbuatan yaitu tujuan yang
akan dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan
kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya,
menyeleksi per- buatan yaitu menentukan perbuatan-perbuatan apa
yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan dengan
meninggalkan perbuatan- perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan
tersebut.
Uno (2016: 23) menyatakan indikator motivasi belajar
diklasifika- sikan secara berturut-turut sebagai berikut:
adanya hasrat dan keinginan berhasil, adanya dorongan dan kebu- tuhan
dalam belajar, adanya harapan dan cita-cita masa depan, ad- anya
penghargaan dalam belajar, adanya kegiatan yang menarik dalam
belajar, dan adanya lingkungan belajar yang kondusif, sehi-
nggamemungkinkan seseorang siswa dapat belajar denganbaik.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa


motivasi belajar adalah suatu dorongan untuk mengadakan perubahan
tingkah la- ku yang timbul karena faktor intrinsik, berupa hasrat dan
keinginanber- hasil dan dorongan kebutuhan belajar, harapan akan
cita-cita. Sedangkan faktor ekstrinsiknya adalah adanya penghargaan,
lingkungan belaj-
ar yang kondusif, dan kegiatan belajar yang menarik.
Indikator motivasi belajar dalam penelitian ini yaitu beracuan
pada klasifikasi motivasi belajar menurut Uno (2016: 23) secara
berturut-turut adalah : adanya hasrat dan keinginan berhasil dalam
belajar matematika, adanya dorongan dan kebutuhan dalam belajar
matematika, adanya harapan dan cita-cita masa depan, adanya
penghargaan dalam belajar matematika, adanya kegiatan yang
menarik dalam belajar matematika, dan adanya lingkungan belajar
yang kondusif, sehingga memungkinkan seseorang siswa dapat belajar
dengan baik.
4. Prestasi Belajar Matematika
Untuk mengetahui berhasil tidaknya seseorang dalam belajar
maka per- lu dilakukan suatu evaluasi, tujuannya untuk mengetahui
prestasi yang dipe- roleh siswa setelah proses belajar mengajar
berlangsung. Menurut Kamus BesarBahasa Indonesia Pusat Bahasa
istilah prestasi diartikan sebagai hasil yang telah dicapai (dari yang
telah dilakukan, dikerjakan, dsb). Prestasi bela- jar merupakan tujuan
pengajaran yang diharapkan semua pesertadidik.
Untuk menunjang tercapainya tujuan pengajaran tersebut perlu
adanya kegi- atan belajar mengajar yang melibatkan siswa, guru,
materi
pelajaran, metode pengajaran, kurikulum dan media pembelajaran yang
sesuai dengan kebutu- han siswa serta didukung oleh lingkungan
belajar-mengajar yangkondusif.
Muhibbin Syah (2011: 139) menyatakan ”prestasi belajar
adalah tingk- at keberhasilan siswa mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dalam sebuah program”. Prestasi belajar yang dicapai
siswa adalah sesuaikriteria yangtelah ditetapkan. Prestasi belajar ini
digunakan untuk menilai hasil pembelajaran para siswa pada akhir
jenjang pendidikan tertentu.
Menurut WJS Poerdarminta (dalam Nelly Maghfiroh, 2010:48)
berpe- ndapat, bahwa prestasi adalah hasil yang telah dicapai
(dilakukan, dikerjakan, dan lain sebagainya). Sedangkan menurut
Gagne (dalamYusniyah, 2010: 22) mengemukakan bahwa prestasi
adalah penguasaan siswa terhadap materi pelajaran tertentu yang telah
diperoleh dari hasil tes belajar yang di- nyatakan dalam bentuk skor.
Melalui proses belajar seorang siswa akan mengalami perubahan ting-
kah laku sebagai akibat dari pengalaman-pengalaman yang
diperolehnya un- tuk mencapai prestasi maksimal. Slameto (2015: 2)
mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk mempero- leh suatu perubahan tingkah
laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya
sendiri dalam interaksidengan lingkungannya.
Belajar adalah suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam
diri se- seorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang
baru berkat pengalaman dan latian (Oemar Hamalik, 2005: 21).
Sedangkan Skinner ber- pandangan bahwa belajar adalah suatu
perilaku pada saat sedang belajar maka responsnya menjadi lebih baik.
Sebaliknya bila ia tidak belajar maka respons- nya menurun.
Menurut Kamus BesarBahasa Indonesia Pusat Bahasa istilah
matema- tika mempunyai pengertian yaitu ilmu tentang bilangan,
hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan
di penyelesaian masalah mengenai bilangan. Sedangkan menurut Sri
Subarinah (2006: 1) menjelaskan matematika adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari struktur yang abstrak dan pola
hubungan yang ada didalamnya. Hakikatnya belajar matematika
adalah belajar konsep, struktur konsep, dan mancari hubungan antar
konsep dan strukturnya.

Berdasarkan pengertian yang dikemukakan para ahli, maka


definisi prestasi belajar matematika adalah tingkat penguasaan siswa
terhadap materi pelajaran matematika yang telah diperoleh dari hasil
tes belajar yang dinya- takan dalam bentuk skor. Indikator prestasi
belajar matematika dalam penelitian ini yaitu materi matematika kelas
XI semester ganjil.
B. Tinjauan Pustaka
Sebagai bahan pertimbangan peneliti mengambil hasil penelitian
yang be- rhubungan dengan variabel-variabel peneliti. Penelitian
Didik Kurniawan, Dho- riva Urwatul Wustqa (2013/2014) mengenai
pengaruh perhatian orang tua, mot- ivasi belajar, dan lingkungan
sosial terhadap prestasi belajar matematika siswa SMP dengan
populasi yaitu siswa kelas VIII SMP Negeri se-Kota Mataram pada
semester gasal tahun ajaran 2013/2014 menghasilkan penelitian yang
menun- jukkan bahwa perhatian orangtua, motivasi belajar dan
lingkungan sosial secara bersama-sama memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap prestasi belajar matematika siswa SMP dengan
sumbangan sebesar 10,6%. Secara parsialperha- tian orangtua dan
motivasi belajar memberikan pengaruh terhadap prestasi belajar
sementara lingkungan sosial tidak memberikan pengaruh terhadap
presta- si belajar. Kontribusi penelitian Didik Kurniawan dan Dhoriva
Urwatul Wustqa terhadap penelitian saya yaitu sama-sama meneliti
motivasi belajar terhadap prestasi belajar matematika pada SMP dan
jenis penelitiannya kuantitatif yang bersifat expost facto.
Penelitian oleh Ridaul Inayah, Trisno Martono, Hery Sawiji
(2011/2012) dalam penelitiannya mengenai pengaruh kompetensi
guru, motivasi belajar sis- wa, dan fasilitas belajar terhadap prestasi
belajar mata pelajaran ekonomi pada siswa kelas XI IPS SMA Negeri
1 Lasem Jawa Tengah Tahun Pelajaran 2011/ 2012 yang
menghasilkan penelitian kompetensi guru berpengaruh secara langsu-
ng positif terhadap prestasi belajar mata pelajaran ekonomi sebesar
40,9%, akan tetapi tidak memiliki pengaruh secara signifikan melalui
variabel motivasi belajar siswa. Motivasi belajar siswa berpengaruh
secara langsung positif terhadap prestasi belajar mata pelajaran
ekonomi sebesar 39,3%, dan fasilitas belajar ber- pengaruh secara
langsung positif terhadap prestasi belajar mata pelajaran ekono- mi
sebesar 28,1%, serta berpengaruh secara tidak langsung positif
terhadap prestasi belajar mata pelajaran ekonomi melalui motivasi
belajar siswa sebesar 0,149. Kontribusi terhadap penelitian saya
adalah sama-sama meneliti tentang motivasi belajar siswa.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu
pada peneli- tian ini menggunakan empat variabel yakni dua variabel
bebas dan dua variabel terikat. Variabel bebas pada penelitian ini
yaitu resiliensi keluarga dan budaya sekolah. Variabel terikat pada
penelitian ini yaitu motivasi dan prestasi belajar matematika. Subjek
pada penelitian ini yaitu siswa kelas XI SMK Negeri di Kabupaten
Purbalingga tahun pelajaran 2020/2021. Penelitian ini berjenis
penelitian kuantitatif dengan pendekatan expost facto. Analisis data
pada penelitian ini menggunakan korelasi product moment, korelasi
ganda, serta analisis regresi sederhana dan ganda.

C. Kerangka Berpikir
Resiliensi (daya lentur, ketahanan) adalah kemampuan atau
kekuatan men- tal spiritual yang dimiliki seseorang, kelompok atau
masyarakat untuk beradap- tasi, menghadapi, mencegah,
meminimalkan dan bahkan menghilangkan dam- pak-dampak yang
merugikan dari kondisi yang tidak menyenangkan, atau meng-
ubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal
yang wajar unt- uk diatasi. Dikaitkan dengan peserta didik, dimana
resiliensi ini merupakan kem- ampuan yang dimiliki oleh peserta didik
itu sendiri yang tidak mengalah ketika menghadapi tekanan dan
masalah belajar. Resiliensi akademik mengacu pada kemampuan
siswa untuk bertahan dan beradaptasi secara positif dalammeng-
hadapi tantangan akademik guna mencapai prestasi belajar yang
maksimal.
Adanya motivasi siswa dalam proses belajar motivasi belajar
dapat men- dorong siswa melakukan perubahan tingkah laku untuk
mencapai hasil belajar yang optimal. Dengan motivasi belajar yang
dimiliki, siswa memiliki motivasi untuk terus belajar. Siswa yang
memiliki motivasi belajar yang tinggi akan men- ciptakan prestasi
belajar yang tinggi pula. Sebaliknya, kemerosotan motivasi belajar
pada siswa akan menimbulkan menurunnya prestasi belajar.
Resiliensi dapat meningkatkan motivasi belajar pada seseorang.
Dengan res- iliensi yang tinggi maka siswa akan mempunyai motivasi
belajar yang tinggi. Jika resiliensi tinggi maka dalam kegiatan belajar
akan berusaha keras dan sungguh- sungguh untuk bisa mencapai
suatu hal yang diinginkan.
Resiliensi dan motivasi belajar pada siswa secara bersama-sama
dapat mem- pengaruhi prestasi belajar. Dalam kegiatan pembelajaran
resiliensi siswa sangat dibutuhkan untuk mencapai hasil belajar yang
maksimal. Motivasi belajar siswa akan tinggi apabila siswa mempunyai
resiliensi untuk untuk mencapai prestasi yang memuaskan. Sehingga
resiliensi dan motivasi belajar siswa merupakan hal penting dalam
kegiatan belajar untuk mencapai prestasi yang tinggi.
Berdasarkan kerangka berpikir diatas maka dapat digambarkan
hu- bungan antar variabel sebagai berikut.

Gambar 1.
Hubugan Antar Variabel

D. Hipotesis
Sugiyono (2016: 96) menyatakan bahwa hipotesis merupakan
jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana
rumusan masalah pe- nelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat
pertanyaan. Hipotesis yang dia- jukan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1. Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara resiliensi siswa
terha- dap prestasi belajar matematika pada siswa kelas XI SMK
Negeri 1 Karanganyar.
2. Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara budaya sekolah
terha- dap prestasi belajar matematika pada siswa kelas XI SMK
Negeri 1 Karanganyar.
3. Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara resiliensi siswa
terha- dap motivasi belajar matematika pada siswa kelas XI SMK
Negeri 1 Karanganyar.
4. Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara budaya sekolah
terha- dap motivasi belajar matematika pada siswa kelas XI SMK
Negeri 1 Karanganyar.
5. Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara resiliensi keluarga
dan budaya sekolah terhadap motivasi belajar dan prestasi belajar
matematika pada siswa kelas XI SMK Negeri 1 Karanganyar.tahun
pelajaran 2020/2021.
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

Variabel Penelitian
Variable penelitian adalah atribut suatu sifat atau nilai dari orang,
obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Sugiyono,
2007, Statistika untik penelitian, Alfabeta, Bandung).
Dalam penelitian ini menggunakan empat variable, yaitu 2
variabel terikat dan 2 variabel bebas. Variable bebas (independent
variable) atau variable X adalah variable yang dipandang sebagai
penyebab munculnya variable terikat yang diduga sebagai akibatnya.
Sedaangkan variable terikat (dependent variable) atau variable Y
adalah variable akibat yang dipradugakan, yang bervariasi mengikuti
perubahan variable – variable bebas. Umumnya merupakan kondisi
yang lain kita ungkapkan dan jelaskan (Kerlinger, 1992;58-59)/
1. Variabel Bebas (Independent) : resiliensi keluarga dan budaya
sekolah (X)
2. Variabel Tergantung (Dependent) : motivasi dan prestasi belajar
siswa (Y)
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan
pendekatan expost facto, karena dalam penelitian ini tidak dilakukan
perlakuan apapun terhadap vari- abel penelitian. Sugiyono (2016: 14)
mendefinisikan metode penelitian kua- ntitatif dapat diartikan sebagai
metode penelitian yang berlandaskan pada fils- afat positivisme,
digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, random,
pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data
bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis
yang telah ditetapkan.
1. Teknik Sampling
Sugiyono (2015: 62) mendefinisikan teknik sampling adalah
teknik pengambilan sampel. Pengambilan sampel dalam penelitian ini
dilakukan dengan teknik probability sampling. Dalam penelitan ini,
peneliti meng- gunakan teknik sampling Propotionate Random
Sampling. Teknik ini di- pakai karena subyek yang terdapat pada
setiap wilayah tidak sama, sehingga untuk mendapatkan sampel yang
representatif, pengambilan subjek dari se- tiap wilayah harus
seimbang dengan banyaknya subjek dimasing-masing wilayah. Pada
teknikPropotionate Random Sampling ini dilakukan dengan beberapa
tahap berikut.
a. Mengambil beberapa unit dari setiap populasi sesuai dengan ukuran
sam- pel yang dibutuhkan agar hasil lebih proposional dengan
menggunakan persentase yaitu jumlah populasi per wilayah dibagi
jumlah populasi keseluruhan dikalikan dengan ukuran sampel.
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑝𝑒𝑟 𝑤𝑖𝑙𝑎𝑦𝑎ℎ
=
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑎𝑛 × 𝑢𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

b. Mengambil sampel dari setiap wilayah populasi yang telah ditentukan


dengan cara random, yaitu menggunakan teknik undian dengan cara
me- nuliskan nomor subjek pada kertas kecil, satu nomor untuk setiap
objek, kemudian kertas digulung. Ambil gulungan untuk setiap sampel
yang dibutuhkan dari setiap wilayah populasi.
Sampel pada penelitian ini yaitu SMK Negeri di – Kabupaten
Purbalingga. Selanjutnya diambil dengan menggunakan tabel penentu
jumlah sampel dari populasi tertentu dengan taraf kesalahan 5%
(Sugiyono, 2015: 71). Untuk tingkat kesalahan 5% diperoleh sampel
yang berjumlah 243 siswa. Pengam- bilan sampel akan dilakukan
diseluruh SMK Negeri kelas XI di Kecamatan Karanganyar,
Kabupaten Purbalingga.
Jumlah sampel yang diambil tiap sekolah ditentukan dengan rumus
𝑛
× 𝑠 , dengan n adalah jumlah populasi siswa kelas XI di setiap SMK
𝑁

Negeri di Kecamatan Karanganyar. N adalah jumlah seluruh populasi


dan s adalah banyak sampel menurut perhitungan menggunakan tabel
penentu jumlah sampel dari populasi tertentu dengan taraf kesalahan
5%. Cara menentukan ukuran sampel dengan perhitungan
menggunakan tabel penentu jumlah sampel dari populasi tertentu
dengan taraf kesalahan 5% (Sugiyono, 2015: 73)
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini sebagai berikut.
Metode Angket
Sugiyono (2016: 199) mendefinisikan bahwa angket merupakan
teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi
seperangkat per- tanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden
untuk dijawabnya. Pada penelitian ini, metode angket digunakan untuk
memperoleh data mengenai resiliensi dan motivasi belajar. Dipandang
dari cara menjawabnya, angket dalam penelitian ini merupakan angket
tertutup dimana jumlah item dan alternatif jawaban maupun responnya
sudah ditentukan, responden tinggal memilih sesuai dengan keadaan
sebenarnya. Sedangkan jika dipandang dari jawaban yang diberikan,
angket dalam penelitian ini merupakan angket lang- sung dimana
responden menjawab atau memberi respon tentang keadaan dirinya
sendiri.
Instrumen Penelitian
Terdapat tiga instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu: instru- men untuk memperoleh data tentang resiliensi, motivasi
belajar dan prestasi belajar matematika siswa. Angket dalam
penelitian ini dengan menggunakan skala Likert. Sugiyono (2016:
134) skala pengukurandengan tipe ini, digunakan untuk mengukur
sikap, pendapat,
dan persepsiseseorang.
Angket resiliensi dan motivasi belajar terdiri dari 30 pernyataan
yang ter- diri dari pernyataan positif dan pernyataan negatif. Untuk
masing-masing alter- natif jawaban memiliki skor tertentu. Untuk
instrument resiliensi dan motivasi belajar mempunyai alternatif jawaban
Selalu, Sering, Kadang-kadang, dan Tidak pernah. Skor pernyataan
untuk alternatif jawaban pernyataan positifyaitu selalu diberi skor 4,
untuk jawaban sering diberi skor 3, kadang-kadang diberi skor 2, dan
untuk jawaban tidak pernah diberi skor 1. Sedangkan untuk Skor
pernyataan untuk alternatif jawaban pernyataan negatifyaitu selalu
diberi skor 1, untuk jawaban sering diberi skor 2, kadang-kadang
diberi skor 3, dan untuk jawaban tidak pernah diberi skor 4. Angket
b. Uji Validitas Butir Soal
Suatu instrumen dikatakan valid jika instrumen dapat
digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur (Sugiyono,
2016: 173).
Un- tuk menghitung validitas instrumen pada penelitian ini
menggunakan Product Moment Pearson.Rumus yang digunakan
sebagai berikut.
𝑛Σ𝑋𝑖𝑌𝑖−(Σ𝑋𝑖)(Σ𝑌𝑖) (Sugiyono, 2015: 228)
𝑟𝑥 =

√[[𝑛Σ𝑋2−(Σ𝑋𝑖)2][𝑛Σ𝑌2−(Σ𝑌𝑖)2]]
Keterangan:
𝑟𝑥𝑦 : Koefisien korelasi antara X dan Y
𝑛 : Jumlah responden
𝑋 : Skor butir soal
𝑌 : Skor total
Syarat minimum untuk setiap butir soal dianggap dianggap valid jika
harga rhitung> rtabel (Sugiyono, 2016:182)..
c. Uji Reliabilitas
Reliabilitas berkenaan dengan konsistensi dan stabilitas data
atau temuan. Instrumen dinyatakan reliabel adalah instrumen yang bila
digu- nakan beberapa kali untuk mengukur obyek yang sama, akan
menghasil- kandata yang sama (Sugiyono, 2016: 173). Rumus yang
digunakanuntuk mencari koefisien realibilitas menggunakan Alpha
Cronbach.
2. Tes
a. Uji Validitas
Agar perangkat tes valid m𝑖aka dilakukan validitas yaitu dengan
menggunakan rumus korelasi product moment dengan angka kasar.
Vali- ditas dengan rumus korelasi product moment dengan angkakasar
sebagai berikut.

𝑟 𝑥𝑦 𝑁 ∑ 𝑋𝑌−(∑ 𝑋)(∑ 𝑌) (Sugiyono, 2013:


=
255).
√{𝑁 ∑ 𝑋2−(∑ 𝑋)2}{𝑁 ∑ 𝑌2−(∑
𝑌)2}

Keterangan:
rxy :koefisien korelasi antara variabel X dan Y
N :banyaknya peserta tes X :jumlah skor tiap item Y :jumlah skor total
item.

Anda mungkin juga menyukai