Anda di halaman 1dari 3

Konsep merdeka belajar yang digulirkan mas Mentri pendidikan Nadhim Makarim sebenarnya

bukan hal baru bagi pesantren. Hanya saja motif merdeka belajar mas menteri dan “merdeka
belajar” ala pesantren sangat berbeda. Jika mas Mentri berakar pada filosofi pembangunan
kapasitas SDM untuk bisa memenuhi kebutuhan pasar kerja, jasa dan peluang usaha (untuk
bekerja). Maka pendidikan “merdeka belajar” di pesantren ditekankan pada pembentukan
karakter muslim (yang shaleh/shalihah) dan memiliki kemandirian dalam mengembangkan
pengabdiannya dengan memanfaatkan ilmu yang diperoleh dari pesantren (kiai) di masyarakat
luas. Bukan untuk mencari pekerjaan.

Karena perbedaan tujuan dan filosofis pendidikannya inilah yang membuat sekolah dan
pesantren itu jauh berbeda, baik dari segi proses atau hasil akhirnya. Sekolah yang lahir sebagai
tuntutan proses modernisasi dan industrialisasi, mensyaratkan kompetensi yang semakin tinggi
levelnya harus semakin mengerucut keahliannya. Atau semakin spesifik dan “tertutup”. Ini
sangat berbeda dengan pesantren yang justru menuntut para santri yang awalnya belajar aspek-
aspek yang kelihatannya sangat spesifik tetapi menyimpan ajaran yang sangat terbuka. Karena
ketika “lulus” dari pesantren dia harus membuktikan sekaligus “mempraktekkan” kalau ilmu dan
dirinya sudah “menyegoro” atau begitu luasnya sehingga bisa mengayomi semua makhluk Allah
SWT (punya kesadaran kemanusiaan sekaligus lingkungan).

Jika di sekolah umum, kita awalnya dikenalkan dengan ketrampilan umum membaca dan
menulis untuk kemudian masuk pada rumpun pelajaran yang lebih spesifik seperti Bahasa dan
budaya, IPS, IPA dan Agama (sebagai pengetahuan). Kemudian masuk pendidikan tinggi,
semakin dipilah menjadi lebih spesifik lagi. Ada rumpun bahasa dan budaya yang terbagi lagi
jadi kajian sastra dan linguistik, kemudian sejarah dan sebagainya. Sedangkan di rumpun IPS ada
sosiologi, antropologi, politik, dan komunikasi misalnya. Selanjutnya di kelompok IPA, malah
lebih parah lagi pembagiannya mulai dari teknik, kedokteran, sains, dan pertanian misalnya,
dimana semuanya memiliki kajian yang lebih spesifik lagi di dalamnya. Sementara dalam
rumpun ilmu agama dipilah menjadi syariah, tarbiyah, adab, Ushuluddin dan dakwah. Prinsipnya
pendidikan sekolah itu mengarah pada pendalaman dan penguasaan pengetahuan yang lebih
spesifik. Karena itulah seringkali proses pendidikan dan belajarnya menjadi kaku dan membuat
“stress” anak didik sejak awal. Bayangkan sejak kecil atau sekolah dasar, anak-anak dijejali
dengan hafalan pengetahuan dan keterampilan teknis. Celakanya lagi prosesnya dilakukan
dengan menempatkan anak didiknya sebatas sebagai objek dan bukan sebagai subjek. Karena itu
semua proses diukur dengan standart “material” yang sama. Padahal potensi subjek (anak didik)
dan lingkungannya itu tidak ada yang sama. Dari aspek ini saja kita tidak menemukan spirit
“merdeka belajar” tersebut di dalam sistem pendidikan Nasional kita. Proses ini berlangsung
sampai sekolah pasca sarjana level S3 atau pendidikan spesialis kalau di kedokteran. Karena
itulah sekolah menjadi seperti “pabrik” atau industri yang melahirkan “produk” atau objek
“berwujud” manusia. Dimana semakin “spesialis” akan semakin mahal biaya pendidikannya.
Apalagi jika diiringi dengan adanya inflasi ekonomi.

Akibatnya sekolah sangat sulit untuk bisa melahirkan “subjek” baru yang berhasil
mengembangkan potensi kemanusiaannya untuk menjadi lebih “manusiawi”. Karena struktur
dan kultur yang ada tidak mendukung untuk itu. Seperti mahalnya “modal” atau biaya untuk
sekolah, maka ketika lulus pikiran mereka hanya bagaimana mengembalikan modal dan bahkan
bagaimana cara mengambil laba atau keuntungan. Karena itu tak perlu heran jika pertanyaan
pertama yang muncul di kalangan masyarakat saat ini adalah “Apa pekerjaannya setelah lulus
sekolah di jurusan ini?”. Inilah yang kemudian dikenal dengan “kapitalisasi pengetahuan”.
Padahal ilmu (semua ilmu) itu hakekatnya adalah “ayat-ayat” Allah (bersumber dari Allah).
Sementara itu Allah melarang keras kita menjual ayat-ayat Nya. Apalagi untuk kepentingan
pribadi dan atau duniawi.

Sedangkan di pesantren tradisional, begitu orang tua datang ke kiai untuk memasrahkan anaknya,
mereka tidak membebani kiai dengan pertanyaan besok mau kalau sudah lulus dari pesantren
mau kerja jadi apa? Tetapi sebaliknya para wali santri biasanya cuman berujar “Pak Kiai mohon
anak saya dididik agar menjadi anak yang Shaleh atau Shalihah.” Konsep shaleh sendiri menurut
para ulama cukup sederhana, yakni pribadi atau karakter seorang muslim yang bisa
menempatkan dirinya sesuai peran yang disandangnya. Kalau diamanahi peran sebagai seorang
ayah atau seorang ibu ya harus menjalankan sesuai ajaran Allah (Bagaimana semaksimal
mungkin menjadi orang tua yang baik dalam mendidik anak-anak dan menjaga keluarga nya agar
tetap “beriman” kepada Allah) yang mereka dapat dari kiai di pesantren. Karena itulah, ilmu
yang dipelajari di pesantren, semuanya mengarah pada tujuan pembentukan pribadi atau karakter
muslim (subjek) yang shaleh tersebut. Makanya spirit keilmuan nya selalu terbuka dan mengarah
pada kepemilikan universal. Bukan kepemilikan pribadi (hak paten) yang kemudian dijual
dengan harga yang mahal. Maka dari itu, para kiai dan guru ngaji hampir semuanya
“menggratiskan” ilmunya sampai saat ini. Kalaupun ada yang memasang tarif, itu biasanya
karena sudah terkontaminasi para ustadz seleb yang memang “membisniskan agama”.
(Meskipun hal ini “lumrah” di zaman akhir, tetapi tetap saja tidak bisa dibenarkan secara
(hakekat) agama).

Akhirnya “merdeka belajar” di pesantren sangatlah jauh berbeda dengan semangat merdeka
belajar di sekolah yang sedang digagas mas Mentri. Meskipun demikian ihktiar mas Mentri ini
harus diapresiasi sebagai langkah untuk memperbaiki sistem pendidikan Nasional yang selama
ini kurang memberi ruang kebebasan bagi para siswa atau peserta didik untuk bisa menentukan
dirinya harus menjadi subjek seperti apa. Alih-alih menjadi subjek, selama ini mereka justru
diperlakukan sebagai objek dan diperdayai serta dieksploitasi secara ekonomi. Bukan hanya itu,
sistem pendidikan orde baru dengan ideologi pembangunan/development lismenya (yang masih
kuat pengaruhnya hingga saat ini) bahkan telah “berhasil” membunuh sisi-sisi kesadaran kritis
kemanusiaan bangsa ini. Perusakan lingkungan dan pelanggaran HAM terjadi dimana-mana
tanpa ada proses keadilan bagi para korban. Semua “kemungkaran” ini umumnya dilakukan oleh
orang yang “terdidik” dan di depan mata orang-orang “terdidik”, yang hanya bisa diam tak
berdaya. Karena sistem pendidikan kita sekali lagi hanya melahirkan manusia yang siap menjadi
“objek” dan tidak siap menjadi “subjek” (menjadi agen perubahan menuju masyarakat yang
berkeadilan dan berkemanusiaan). Karena itu, jika nanti tidak ada perubahan mendasar dalam
sistem pendidikan kita setelah spirit “merdeka belajar” ini ditetapkan. Maka tak perlu kaget, jika
di masa depan, kita akan melihat generasi “mie instan” akan semakin banyak di negeri ini.
#SeriPaijo. [HW]

Anda mungkin juga menyukai