Anda di halaman 1dari 22

BAB II

EDUKASI POLITIK

Pengertian Politik

Istilah politik berasal dari kata Yunani polis yang secara harafiah berarti

Negara kota (city state). Pada jaman Yunani kuno, politik berkisar pada urusan

pemerintahan Negara yang masih sangat sederhana (kota), sehingga sistem

pemerintahan menyentuh segala aspek Negara, kota, dan masyarakat. 1 Menurut

Kamus Umum Bahasa Indonesia, politik berarti ilmu mengenai sistem

pemerintahan (dasar-dasar pemerintahan) atau mengenai urusan dan kebijakan-

kebijakan tertentu dalam suatu Negara.2 Berdasarkan penjelasan tersebut maka

dapat ditarik satu tema utama dari istilah politik yakni mengenai sistem

pemerintahan.

Pada perkembangnya selanjutnya istilah politik mengalami arti yang

meluas. Para ahli membagi makna politik ke dalam dua dimensi, yakni politik

sebagai ilmu (political science) dan politik sebagai filsafat (political philosophy).

Namun walaupun kedua dimensi politik itu mempunyai pengertian yang berbeda,

tetapi pada dasarnya bagian-bagian tersebut tidak dapat dipisahkan karena sama-

sama berangkat dari sistem pemerintahan. Di sisi lain, politik sebagai filsafat

menyangkut alat kontrol dalam sebuah sistem pemerintahan yang mengacu pada

1
A. G. Pringgodo, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta: Kansius, 1977), hal. 896.
2
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus umum..., hal. 763.
persoalan fundamental, hakikat dan tujuan-tujuan ideal negara, fungsi yang benar

dari pemerintah, dan batas-batas kekuasaannya yang tidak hanya pada individu,

tetapi juga terhadap keluarga, lembaga-lembaga keagamaan dan institusi lainnya3.

Pengertian Secara Umum

Pengertian politik semakin meluas dan tidak mungkin memperoleh makna

tunggal, bahkan kehadirannya dalam khasanah ilmu pengetahuan di bidang ilmu-

ilmu sosial telah menimbulkan perbedaan di kalangan ahli-ahli politik. Miriam

Budiarjo misalnya mengatakan bahwa politik sebagai ilmu merupakan ilmu yang

masih muda dan baru berkembang pada akhir abad ke 19. Tinjauan ini belum

dalam bentuk yang sistematis, pada beberapa pusat kebudayaan di Asia, seperti di

India dan Cina, telah ditemukan tulisan-tulisan mengenai politik.4

Proses yang tidak begitu jauh waktunya dari kemunculan pemikiran politik

di India dan cina, usaha yang lebih serius juga terjadi di Yunani, yakni sekitar

tahun 450 sM. Pemikiran awal yang masih terfokus pada pembahasan-

pembahasan mengenai soal-soal kenegaraan di Yunani itu, lama-kelamaan

berkembang dengan cakupan yang meluas, termasuk persoalan keadilan dan

hukum. Perkembangan politik itu menjadi satu arus yang besar yang

mempengaruhi pemikiran-pemikiran politik dunia kemudian hari, bahkan

sebagian ahli memperlihatkan hubungan yang tidak mungkin dilepaskan antara

3
David Melling, Jejak Langkah Pemikiran Plato, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002),
h. 163-164.
4
Joseph Losco dan Leonard Wiliams, Political theory: Kajian Klasik dan Kontemporer,
Vol. 1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 19-22.
proses perkembangan pemikiran politik yang terjadi di Yunani itu dengan

perkembangan pemikiran politik kemudian hari. Sabine misalnya, yang banyak

melakukan penelitian sejarah politik menuliskan:

“Cita-cita politik modern, misalnya kebebasan, pemerintahan yang


berundang-undang dasar, dan kepatuhan terhadap hukum atau setidak-
tidaknya batasan dari cita-cita itu, sebagian besar mulai dikenal pada
waktu sarjana Junani mulai memusatkan perhatiannya terhadap lembaga-
lembaga politik yang terdapat dalam negara-kota.”5

Pemikir politik lain, William Ebenstein juga mengakui, bahwa untuk

sebagian besar Yunani berhasil di dalam pembangunan suatu sistem politik yang

didasarkan pada persetujuan (consent) masyarakat, secara khusus di Atena.

Menurut Ebestein, pemikir-pemikir jenius Yunani yang sangat spekulatif itulah

yang pertama kali berhasil menerapkan pemikiran yang sistematis dan penelitian

yang kritis terhadap ide-ide dan lembaga-lembaga politik6

Mengakui keberhasilan para pemikir Yunani itu, Ebenstein justru melihat

peranan masyarakat Yahudi yang memberikan kontribusi pada pembangunan

masyarakat yang tertib. Dengan tegas ia menyimpulkan bahwa orang-orang

Yahudi adalah yang pertama dan pioner dalam memikirkan persoalan-persoalan

masyarakat yang tertata. Berbagai perkembangan dan kemungkinan-kemungkinan

perubahan yang selalu terbuka dalam semua waktu, kontribusi masyarakat Yahudi

yang bercampur baur dengan legenda, mitos, teologi dan hal lain yang serba non-

rasional ternyata mengalami pembiakan yang lebih sistematis dan rasional justru

5
George Sabine, Teori-teori Politik (Jakarta: Binacipta, 1977), h. 7.
6
William Ebenstein, Political Science, dalam Enclylopedia Americana, (New York:
Americana Corporation, 1972), h. 309.
di Yunani. Pemikiran-pemikiran Yunani kuno yang berpusat pada negara kota,

terutama di kota kecil Atena itu, tentu tidak berhenti dan sangat mungkin

mengalami perubahan di tempat lain. Perubahan itu tidak hanya menyangkut

perkembangan negara yang semakin besar dan kompleks, tetapi juga menyangkut

pengertian-pengertian dasarnya.7

Sejarah Perkembangan Politik

Permasalahan yang dewasa ini cukup mengusik para filsuf politik ialah

memburuknya hubungan antara filsafat politik harus mampu memaparkan

pernyataan-pernyataan normatif yang terkait dengan politik yang baik. Filsafat

politik harus menelusuri kembali sampai pada suatu hakikat kekuasaan, hukum,

demokrasi, sekaligus filsafat politik dituntut memahami pembaharuan yang

berkembang dewasa ini seperti transformasi negara, demokrasi, kewarganegaraan,

kekerasaan politik, kecenderungan pada primordialisme.8 Tuntutan-tuntutan

tersebut mencerminkan betapa semakin sulitnya hubungan antara filsafat politik

dan politik itu sendiri.

Politik adalah bidang di mana moral dan kriteria kesanggupan manusia

lain tidak mempunyai tempat. Hanya satu hanya mungkin yaitu pemahaman

strategi liku-liku politik sebagai praksis sejarah. yang pemikirannya terletak pada

kemampuan membawa perubahan sejarah. Sejauh konsepsi filsafat politik

7
Ibid, h. 311.
8
Primordialisme adalah sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal
yang dibawah sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat , kepercayaan, maupun segala
sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya.
didasarkan pada politik-rill, filsafat tidak mampu memberi petunjuk melawan arah

sejarah. Filsafat politik akan hanyut dalam sejarah. Lalu yang menjadi ukuran

sejarah adalah efektivitas, bukan refleksi kitris. Akhirnya, akan ditunjukan bahwa

bukan rakyat yang memerintah melalui Sang Pangeran (atau melalui Partai), tetapi

kelompok masyarakat yang paling terorganisir dan efektif (elite birokrasi, elit

kapitalis, militer, atau kombinasinya) yang akan memegang kendali kekuasaan.9

Sistem Politik

Demokrasi

Definisi demokrasi yang berasal kata demos (rakyat) dan cratos

(pemerintahan) memiliki esensi pada perkataan rakyat dan kenyataan bahwa

rakyat yang mengatur. Kewenangan di dalamnya akan berangkat dari bawah dan

bukan dari orang atau figur yang berada di atas. Meskipun di dalam prosesnya

rakyat secara menyeluruh tidak dapat mengatur secara langsung, rakyat dapat

melakukannya melalui representasi yang mereka tentukan melalui pilihan sendiri.

Itu berarti kekuasaan tertinggi berada pada tangan rakyat.10

Demokrasi akan menjadi suatu sistem yang membuka debat dan diskusi

untuk merumuskan suatu pendapat bersama. Istilah musyawarah merupakan

hubungan yang sangat dekat dan tidak terpisahkan dengan demokrasi, dalam

prosesnya musyawarah tidak menutup diri bagi pemilihan suara terbanyak

9
S.E Finer, Comparative Government, (New York: Basic, 1971), h. 34.
10
Reo M. Christenson, Ideologis and Modern Politics, (New York: Harper dan Row
Publisher, 1981), h. 175.
sebagai jalan keluar yang sangat realistis dan beralasan, berhubung persetujuan di

dalam suatu kelompok atau masyarakat besar tidak selamanya mulus, mudah dan

dapat di tempuh. Dalam kerangka ini demokrasi harus memikirkan suatu

pengaturan dasar (konstitusi) menyangkut hak-hak minoritas, agar mereka tidak

diperlukan sebagai musuh di luar sistem.

Prinsip lain yang paling mendasar dalam demokrasi adalah pengakuan

terhadap kesetaraan (equality). Kesetaraan bukan berarti semua orang identik

namun dalam hal-hal yang paling fundamental dan tertentu, tiap orang harus

mengakui dan menghormati kesetaraan mereka. Prinsip kesetaraan inilah yang

paling membedahkan demokrasi dari sistem-sitem lainnya. Bagi penganut

demokrasi, seseorang dilahirkan bukan untuk menjadi tunduk terhadap kehendak

dan wewenang orang lain. Tiap manusia dilahirkan bebas dengan kekuatan,

kemampuan dan sekaligus kekurangannya untuk menatur hidupnya.

Kecenderungan menjadi anarki itulah yang menjadi sasaran serangan

kalangan anti demokrasi. Bahkan lebih jauh dari itu, mereka juga menyatakan

bahwa nilai-nilai demokrasi telah kehilangan relevansinya dan lembaga-

lembaganya telah lumpuh total, melihat adanya ketegangan antara penekanan

pada kesetaraan (equality) di dalam pengharapan demokrasi dengan keinginan

untuk memelihara kebebasan dan kepelbagaian individual. Mereka sangat

menguatirkan perluasan dari kebebasan di dalam demokrasi yang justru dapat


menyebabkan erosi kebebasan personal melalui pembatasan-pembatasan sah yang

mengesankan pada sifat dan perilaku personal.11

Aristokrasi

Aristokrasi (Yunani: aristos, berarti the best, terbaik; dan cratos yang

memerintah), Aristokrasi berasal dari masa Mycenaean, Yunani sekitar tahun

1400-1200 sM. Yang sangat berbasis pada militer dan pada masa Homeric tahun

1000-800 sM. Yang terdiri dari keturunan kelas pemilik tanah dapat masuk,

terutama yang kaya dapat masuk kedalamnya. Sparta di Yunani kuno merupakan

negara kota yang paling aristokratis sistemnya.

Prinsip yang mendasari aristokrasi adalah kesadaran tentang adanya

kecakapan yang berbeda dan keyakinan bahwa tidak semua orang dapat

memerintah. Berangkat dari pemahaman itu, proses yang terjadi pada suatu negara

tidak akan tergantung pada sistem, tetapi pada kecakapan, kejujuran, kapasitas

atau kemampuan pada pemimpin. Dengan demikian, aristokrasi sangat percaya

dan mengantungkan diri pada figur dan bukan pada sistem.12

Argumentasi pembenaran bagi aristokrasi tidak terlepas dari pandangan

tentang kekayaan (wealth) seseorang sebagai sesuatu yang bernilai lebih dan

bermakna lain dari yang biasa. Alasan yang bernada apologis terhadap sistem

aristokrasi adalah ungkapan bahwa orang kaya dapat diharapkan lebih

11
C.B. Macpherson, The Real World of Democrazy, (Oxford: Clarendon Press, 1966), h.
58.
12
Paul Shorey, Aristocracy, dalam Encyclopedia Americana, vol. 2, h. 285.
bertanggung jawab dibanding kelompok lain, karena merekalah yang lebih banyak

kehilangan jika terjadi kesalahan dalam memerintah atau terjadi malapetaka

nasional. Dengan berangkat dari struktur psikologi ekonomis ini, kalangan

pembela aristokrasi yakin, bahwa semakin kaya akan semakin membuat orang

semakin hati-hati dan bertanggungjawab.

Beberapa faktor yang menjadi titik lemah sistem aristokrasi sangat

disadari penganut aristokrasi. Persoalan yang paling mendasar adalah

kecenderungan manusia yang rakus, bernafsu dan mementingkan diri sendiri.

Aristoteles, seorang yang cukup kuat mendukung sistem aristokrasi, dengan yakin

menyatakan bahwa apabila pementingan diri terjadi di dalam sistem aristokrasi

maka yang muncul adalah oligarki. Oligarki (dari oligoi, berarti beberapa atau

segelintir; dan arche, berarti memerintah), disebabkan kepercayaan pada

kecakapan, itikad baik manusia dan faktor psikologis berupa kekayaan yang akan

membuatnya hati-hati, waspada, tidak korupsi lagi (karena sudah kaya) dan

bertangung jawab, sama sekali lupa pada kekuasaan yang cenderung korup (hal

yang sudah sangat terkenal dari Lord Acton: power tends to corrupt) dan hakikat

manusia yang telah jatuh ke dalam dosa.13

Pada tingkatan yang ideal, obsesi penganut aristokrasi sangat positif, sebab

muatan cita-cita mereka adanya seorang atau sekelompok kecil manusia yang

memiliki kecakapan, panggilan dan moralitas yang baik untuk memerinta. Dengan

itu, diharapkan aparatus pemerintahan yang dapat dipercaya. terampil dan

13
Arsitoteles, The Politics, (trans: T.A. Sinclair), h. 25.
bermoral. Dalam tataran ideal ini, tidak seorang pun yang akan menolak kehendak

untuk membangun tatanan kehidupan negara yang baik dan terhormat.14

Monarki

Monarki (Yunani: monarchia, dari kata monos, artinya tunggal dan kata

aeche, artinya memerintah), merupakan sistem yang sangat tua dalam ketataan

kenegaraan di dunia. Bentuk pemerintahan ini telah muncul sebelum masyarakat

melek huruf dan tradisi catatan sejarah belum di mulai. Karena itu, tradisi

pemerintahan monarki itu justru dipelajari dari mitologi dan cerita-cerita rakyat

pada berbagai bangsa di dunia. Jadi, dapat dikatakan bahwa pada masyarakat

primitif hanya bentuk pemerintahan monarkis yang sebenarnya dikenal dan

dipraktikkan.

Dalam bentuk monarki yang murni, pada diri seorang raja atau pengusaha,

supremasi kekuasaan dan kewenangan dalam pembuatan undang-undang

(perkataan raja adalah hukum), pengaturan administrasi dan kekuasaan pengadilan

dan karenanya ia sangat berkuasa mutlak (absolutist monarchy). Pada diri seorang

(raja), seluruh proses kehidupan masyarakat digantungkan. Karena itu, rakyat dan

hanya akan senantiasa berdoa, melakukan ritus-ritus keagamaan dan berharap,

supaya mereka memiliki raja yang bijaksana, adil, sehat dan menyejahterakan.

Sistem pengaturan pergantian (suksesi) raja pada monarki adalah berdasarkan

keturunan.

14
Ibid, h. 27
Dalam tradisi Yunani, penguasa tunggal monarki yang memerintah dengan

sah (legitimate) sangat dibedakan dengan penguasa tunggal yang tidak sah

(illegitimate). Bagi mereka penguasa yang tidak sah adalah diktator atau raja

yang lalim, penguasa yang mengatur kepentingannya semata dan sama sekali

tidak memerintah bagi tujuan-tujuan suatu pemerintahan. 15 Secara historis, sistem

dan tradisi monarki merupakan realitas yang sangat dekat dengan gereja. Bahkan

dalam perkembangan berikutnya, monarki itu dikaitkan dengan gereja, khususnya

pada masa kepausan di abad ke-13. Hal itu tidak terlepas dari kekuasaan paus yan

sangat merasaksa, terutama pada masa Paus Gelasius I di abad ke-15 yang

mengeluarkan ajaran “dua pedang” (two swords) yang pada hakikatnya adalah

ambisi untuk membuat para penguasa tunduk kepada para imam. Dengan itu,

kekuasaan sepenuhnya, baik di gereja maupun di negara, berada di tangan Paus.

Pembaharuan yang terjadi di dalam gereja menjadi awal keruntuhan sistem

monarki. Reformasi yang dipelopori Martin Luther pada abad ke-16 langsung atau

tidak langsung memberikan pengaruh tersendiri dalam tatanan kehidupan

masyarakat. Bahkan Reformasi itu sendiri merupakan peristiwa politik sebab

menimbulkan implikasi-implikasi politis yang terlihat dari perubahan peta dan

tatanan politik di Eropa saat itu. Sistem monarki mengalami kehancuran ketika

revolusi Inggris pada tahun 1688 dan revolusi Perancis pada tahun 1789

menggoncang fondasi-fondasi dari sistem tersebut.16 Dalam terminologi modern


15
Ebenstein, Monarchy, dalam Encyclopedia Americana, vol. 2, h. 336.
16
Gambaran penghacuran monarki itu terlihat dalam dialog antara utusan raja yang
hendak membubarkan dewan rakyat dengan juru bicara dewan, Mirabeau yang mengatakan:
“dites a votre maitre, que nous sommnes ici par la volonte de la peuple et que nous ne cederons
pas usquo la liberte de la nation soit etabli et affirmi sur des fondements solides” (katakanlah
kepada tuanmu bahwa kami tidak akan berhenti ada di sini oleh karena kemauan rakyat dan
bahwa kami tidak akan berhenti sampai kemerdekaan bangsa telah ditegakan dan dikokohkan
dikenal dengan monarki konstitusional (contitutional monarchy) atau monarki

terbatas, yang membedakannya dengan monarki absolut atau monarki otokratis.

Etika Politik

Pengertian terhadap etika politik dapat dijelaskan, yakni suatu penelitian

kritis terhadap moralitas anggota masyarakat dan moralitas yang terkandung pada

setiap proses pengambilan keputusan, pelaksanaaan dan pertanggungjawabannya

pada suatu masyarakat atau negara. Singkatnya, etika politik akan senantiasa

Cakupan etika politik itu juga perlu jelas. Merumuskan pembahasan etika politik

itu menyangkut persoalan hukum, kekuasaan dan penilaian kritis terhadap

legitimasi-legitimasi yang diajukan. Dengan demikian, etika politik juga berfungsi

untuk melakukan penelitian terhadap sistem yang ada.

Perdebatan tentang ruang batas yang perlu dimasuki etika politik juga

tetap berlanjut, etika politik tidak dapat memasuki wilayah praktis. Etika politik,

tidak bertugas untuk menggurui politik atau langsung mempertanyakan legitimasi

moral pelbagai keputusan. Dalam kehidupan dan perkembangan suatu

masyarakat, nilai-nilai yang baik dan positif merupakan keharusan untuk

dilembagakan. Nilai-nilai demokrasi misalnya harus dilembagakan, baik di dalam

konstitusi maupun perangkat-perangkat yang menjalankan hal tersebut.17

atas landasan-landasan yang kuat). T.B. Simatupang, Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos,
(Jakarta: Suara Pembaruan dan Pustaka Sinar Harapan, 1991), h. 61.
17
Franz Magnis Suseno, Etika Politik, (Jakarta: Gramedia, 1991), h. 6.
Adanya perangkat-perangkat demokratis di dalam suatu negara, misalnya

pelembagaan pemilihan umum, adanya parlemen dan perangkat pengadilan,

belum menjadi jaminan terselenggaranya nilai-nilai demokratis di masyarakat.

Merealisasikan nilai-nilai demokrasi itu akan semakin dipertanyakan, ketika

lembaga dan perangkat nilai-nilai tersebut sama sekali tidak ada. Hal yang sama

akan menimpa proses dan upaya di bidang etika politik jika persoalan-persoalan

praktis ditinggalkan begitu saja. Singkatnya, etika politik, baik sebagai filsafat,

ilmu, moral dan norma-norma kehidupan, tidak akan bermakna sama sekali jika

tidak keluar di dalam sistem, lembaga dan perangkat-perangkat kenegaraan, bukan

saja dituduh sebagai milik para filsuf semata, melainkan juga ilmu yang telah

kehilangan makna sebelum dimulai.18

Tinjauan Umum Politik

Persoalan Keadilan

Dalam konsepsi keadilan Aristoteles menekankan, hak individu (ius atau

right) merupakan basis dari suatu asosiasi politik dan hak itu dijadikan sebagai

kriteria untuk mengambil keputusan yang disebut adil. Hubungan negara dengan

keadilan sangat jelas durumuskan Konsepnya tentang keadilan itu tampak ideal,

namun sesungguhnya Aristoteles mengalami kontradiksi pada dirinya sendiri. Hal

itu tampak pada pembelaan terhadap sistem yang tetap mempertahankan adanya

perbudakan dengan segala pembatasan hak yang didasarkan pada kodrat alam.
18
J. Verkuyl: Etika Kristen, Ras, Bangsa, Gereja dan Negara, Jilid II/3, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1982), h. 71.
Namun, jika sudah dalam bentuk hukum, peningkatan kehidupan yang dialami

seorang budak tidak otomatis melepaskannya dari perbudakan. Suatu konsepsi

keadilan yang tidak memungkinkan semua orang memiliki hak kebebasan,

memang sulit untuk dikatakan sebagai konsep keadilan. 19

Persoalan Pluralitas

Persolan kemajemukan (pluralitas) adalah salah satu yang mendapat

perhatian Aristoteles. Menurutnya, penyatuan yang terlalu besar atau berlebihan di

dalam suatu negara merupakan hal buruk. Kemajemukan adalah hakikat alamiah

yang tidak tertolak dan karena mesti dibuka ruang untuk pertumbuhannya secara

alamiah juga. Suatu negara yang secara progresif semakin mengarah pada

kesatuan adalah tanda-tanda menuju malapetaka, menuju berhentinya negara itu

sebagai negara. Hakikat manusia yang diciptakan berbeda merupakan keberadaan

yang ingin dipertahankan Aristoteles di dalam suatu negara. Persatuan atau

kesatuan sangat dibedakan Aristoteles dengan kebersamaan atau kolektivitas.

Persatuan atau kesatuan itu memang dapat dan cenderung mengarah pada

keseragaman (uniformitas) yang mengikis keberadaan khas atau jati diri

individu.20

Hukum dan apparatus

19
Aristoteles, Politics, (London: Penguin Books), h. 25
20
Ibid, h. 128
Supremasi hukum di dalam suatu negara dapat dikatakan sangat

diidealkan, hukum yang mengatur (mengorganisasikan) rakyat menjadi bagian

yang tidak terpisahkan di dalam setiap bagian pemikiran politiknya. Itulah

sebabnya ia juga mengusulkan perlunya undang-undang suatu negara mengatur

berbagai hal, termasuk proses-proses pengambilan keputusan. Berhubung

konsepsi politiknya yang sangat tegas menekankan aspek hukum pada

pemerintahan suatu negara.

Suatu pemerintahan hendak didasarkan pada persetujuan (consent), maka

pilihan rakyat harus diterima dan dijalankan. Untuk memperoleh jaminan

penyelenggaraan pemilihan oleh rakyat itu, Aspek lain yang memiliki bobot

pemikiran yang cemerlang mengenai apparatus negara adalah persolan periodisasi

atau masa kerja (tenure). Dengan tegas Aristoteles menyatakan bahwa setiap

jabatan pada pemerintahan cukup satu periode.21

Negara

Konsep pembagian kekuasaan (authority delegation) di dalam

pemerintahan merupakan pemikiran yang berasal dari Aristoteles. Meskipun

belum tegas dirumuskan, kekuasaan pemerintahan di dalam politik Aristoteles

terbagi ke dalam tiga bagian. Badan pertama disebut badan deliberative, yakni

badan yang memikirkan dan memiliki wewenang dalam kehidupan bangsa.


21
Ibid, h. 65
Sesungguhnya pusat kekuasaan berada di badan ini, sebab ia memiliki wewenang

untuk menyatakan perang dan damai, membuat dan membatalkan aliansi,

hukuman mati, membuang dan menyita barang-barang, memilih dan mengawasi

aparatur negara. Badan kedua adalah executive yang terdiri dari aparatur negara

dengan strukturnya, yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Badan ketiga

disebut judicial system, yakni lembaga peradilan yang berfungsi dalam penegakan

hukum dan keadilan. Ditinjau dari perspektif Kristen, nilai-nilai yang

dikembangkan Aristoteles dalam konsep politik sangat positif. Nilai-nilai

kemanusiaan, demokrasi dan perlunya kecakapan dalam kepemimpinan negara

dan berbagai hal lain dari pemikiran Aristoteles, sangat jelas memiliki kesamaan

dan kesadaran yang sulit dipisah dengan nilai kekristenan.22

Dimensi dan Muatan Politik Agama

Agama sebagai suatu yang memberi pengaruh di dalam kehidupan

manusia merupakan kenyataan yang tidak terabaikan. Secara mendasar

berorientasi keagamaan dan karena itu berangsur-angsur, tetapi sangat nyata,

menyajikan pemecahan-pemecahan keagamaan juga terhadap sejumlah masalah

sosial politik. Namun, untuk menangkap inti dari makna dan pengaruh keagamaan

terhadap pelbagai proses dan perkembangan kehidupan. Menurut Burnet Edward

Tylor yaitu, penelitan yang lebih awal secara sistematis terhadap aspek dan

22
Jean Jacques Rousseau, The Social Contract, (London: Penguin Books, 1968), h. 59
pengaruh agama menunjukan indikasi pengaruh yang luas kepada jiwa dan

kerohanian pada manusia23

Meski belum tegas dan eksplisit, rumusan yang disampaikan Tylor, jika

didalami akan memberi cakrawala menyangkut keadaan awal manusia dalam

hubungannya dengan agama. Artinya, adanya kepercayaan itu sendiri telah

merupakan makna luas terhadap segala kehidupan manusia, yang mau tidak mau

akan menunjuk pada peranan yang menentukan dalam kehidupan itu sendiri.

Harus dipahami, bahwa pengkajian yang dilakukan Tylor adalah pada culture

sphere, yakni suatu suasana atau keadaan yang terbentuk dari ciri-ciri yang satu

sama lain sangat erat berkaitan. Hal itu kemudian disusun dalam pola tertentu

seperti ritual yang terpusat pada perayaan ulang tahun, kepercayaan dan praktik-

praktik yang secara kolektif membentuk agama atau seperti regim politis modern,

komunisme dan fasisme.24

Etika Politik Kenabian

Keterlibatan gerakan kenabian (prophetic movement) dalam bidang politik

merupakan persoalan yang masih berkelanjutan. Pada satu sisi, sebagian ahli

dengan berpegang pada kenyataan faktual mengatakan bahwa gerakan kenabian

sangat berorientasi politis. Mereka akan menentang sistem, struktur dan


23
Donal Eugene Smith, Agama dan Modernisasi Politik, (Jakarta: Rajawali, 1985), h. 6.
24
Burnett Edward Tylor (1823-1917) adalah pelopor bidang social agama. Bukunya,
Researches Into Early History of Mankind, merupakan karya sismatis pertama yang menegaskan
hubungan di antara ciri-ciri kebudayaan. Pengikut ortodoks Darwin dank arena itu asumsi yang
dikembangkannya sangat bercorak Darwinian. Tylor sangat fanatic berpegang pada sejarah
progress. Kerangka pendekatan dan kesimpulan-kesimpulan penelitiannya akan menjadi alat
bantu dan isnpirasi untuk mengkaji komunitas Israel sebagai satuan agama atau politik bangsa.
pemerintahan melalui pengajuan konsepsi ideal mengenai tatanan sosial baru

secara radikal.

Banyaknya fakta yang memperlihatkan keterlibatan nabi-nabi dalam

berbagai bidang politik, baik langsung maupun tidak langsung, menimbulkan

kecenderungan untuk mendefinisikan gerakan politik itu sebagai karakteristik

agama kenabian, tanpa mempersoalkan pilihan posisi yang diambil nabi-nabi

tersebut. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa gerakan kenabian memiliki

cakupan yang luas. Gerakan ini tidak dapat direduksi pada suatu bidang dan

situasi tertentu. Jika kelahirannya merupakan fenomena keagamaan hal itu

menegaskan bahwa gerakan kenabian merupakan upaya pemenuhan perintah

Tuhan. Dalam konteks tersebut gerakan kenabian tidak tergantung situasi ,

kondisi atau konteks tertentu. Dengan demikian, ciri kemerdekaan, kemandirian

dan kebebasan merupakan ciri utama kenabian, gerakan ini tidak terikat pada

kepentingan sempit umat atau pengikutnya. 25

Di dalam realitas kekuasaan yang cenderung memperbesar diri dan

mengabdi hanya pada kepentingan penguasa sendiri. Hal itu tidak salah, sebab,

tidak perlu ada keberatan dan larangan pada dirinya untuk menjadi gerakan politik

sejauh ditujukan pada proklamasi Tuhan dan kehendak-Nya bagi kesejatian

kehidupan manusia. Kenabian tidak perlu memperdulikan suatu bentuk politik

atau sosial dikarenakan mengedepankan subtansi yang menggenggam teguh cara

dan prinsip-prinsip yang ditetapkan Tuhan sendiri26


25
Theodore E Long, Prophecy, Charisma and Politics, (New York: Paragon House, 1968),
h. 3.
26
Ibid, hal 4-5.
Ciri revolusi kerakyatan juga jelas di dalam gerakan kenabian. Bukan

revolusi istana atau kaum elite yang hanya merupakan pertukaran kulit dan baju

tanpa perubahan subtansi dan makna. Perubahan yang dilakukan kaum elite sering

kali tidak mampu menghapus racun korupsi dan taring penindasan dari dalam diri

mereka sendiri. Bagi gerakan kenabian, perlawanan rakyat sangat bermakna

teologis. Sebab, Tuhan sendiri menggerakan Israel yang menjadi budak di Mesir

untuk hengkang dari kekuasaan Firaun yang di dalam diri salomo yang jaya

tersebut, revolusi kerakyatan muncul. Tuhan sendiri yang membangkitkan

gerakan-gerakan perlawanan rakyat (I Raj, 11-14).27

Konsepsi Aliran Politik Kristen

Sikap terhadap politik dalam khazana kekristenan di bagi di dalam dua

bagian yang terdiri atas meyakini dan berperan aktiv dalam bidang politik serta

bagian lain yang melakukan penolakan. Penolakan dapat terjadi disebabkan

kecenderungan umum untuk menjauhkan diri dari dunia dan otomatis tidak mau

mencampuri urusan politik Dunia yang kotor atau politik yang kotor menjadi

alasan bagi orang-orang Kristen untuk menolak terlibat pada dunia politik. Aliran

monastisme dan mistisisme serta aliran yang melakukan gerakan politik atau aktif

di dalam bidang politik, yaitu Social Gospel (Injil Social).28

27
R. C. Sproul, Now, That’s a God Question!, (Ilinois: Tyndale House Publisher, 1996), h.
556.
28
Walter Rauschenbush, Christianizing the Social Order, (New York: The Macmillan
Company), h.3.
Monastisme

Gerakan monastisme mulai menguat pada abad ke-4 dan langsung

memiliki pengaruh yang kuat dan meluas. Aliran ini tenggelam di dalam semangat

pengharapan apokaliptik, terutama pada masa-masa persekusi (penganiayaan)

orang-orang Kristen. Mereka mencoba membangun suatu “dunia” tersendiri di

tengah-tengah proses yang berat dan pahit yang dialami pengikut atau saksi-saksi

Kristus.

Ketika penderitaan orang Kristen perdana mulai berakhir bahkan mulai

memperoleh ruang yang cukup menentukan, aliran monastisme juga belum begitu

kuat pengaruhnya. Gerakan itu mulai mencuat justru pada saat orang-orang

Kristen telah cukup kuat dan menentukan dalam dunia politik. Hal yang membuat

pengaruh monastisme menguat adalah perilaku dan sikap orang Kristen yang

mulai akomodatif, kompromistis dan konformis terhadap dunia. Bagi kalangan

monastisme, sikap itu bahkan dilihat cenderung mengkhianati perintah-perintah

Tuhan.29

Dari perspektif perubahan sosial, munculnya monastisme tidak terlepas

dari perkembangan dan perubahan yang timpang dalam tatanan kehidupan dunia,

sosial dan manusia. Bagi monastisme, gereja telah begitu duniawi dan

perangainya sulit dibedakan dengan kelakuan orang-orang non Kristen. Moral

ganda berupa perilaku korup, mengisap dan menindas membuat kalangan

monastisme menyatakan reaksi yang keras. “Kota Dunia” itu tidak dapat lagi

ditemukan di dalam kesulitan sosial, budaya dan politik. Pilihan dan ketaatan pada
29
Choo L. Yeow, Theologi and Politik, Vol 1, (Singapore: Atsea, 1993), h. 191
Tuan yang satu adalah Kristus Tuhan, dengan sendirinya meniadakan atau

mengabaikan sama sekali otoritas yang lain, baik itu keluarga, oranisasi maupun

negara. Gerakan ini sangat anti politik, terutama terhadap kaidah-kaidah

berbangsa dan bernegara. 30

Mistisisme

Mistisisme memiliki kedekatan dengan monastisme, termasuk dalam sikap

politik. Mistisisme lebih dahulu muncul dari monastisme, pengorganisasian yang

lebih rapi tidak segera dilakukan. Formulasi ajaran dan prinsip-prisip mistisisme

juga tidak segera dilakukan dan baru tersusun jauh kemudian hari.31

Berangkat dari pemahaman aliran Mistisisme ini sangat menghargai hal-

hal yang dapat dilihat dengan kasat mata adalah sementara. Untuk mencapai cita-

cita tertinggi adalah menyatu dengan Tuhan, mereka harus melakukan pelepasan

terhadap materi-materi dunia. Mereka menyebut penyatuan dengan Tuhan itu

sebagai pencapaian kasih rohani dan itu harus dengan syarat menanggalkan dari

diri sendiri segala hal yang bersifat sementara.

Kaum mistisisme melihat figur Yesus secara keseluruhan dan utuh menuju

sorga atau Tuhan dan bukan menjadi pengikut Yesus yang berjuang di tengah-

tengah realitas dunia. Dunia sebagai arena pelayanan yang didalamnya politik

menjadi salah satu realitas yang menentukan tidak mungkin masuk dalam

30
Ibid, h. 192
31
Meister Eckhart, A Modern Translation, (New York: Harper dan Bros, 1941), h. 79
khazanah mistisisme. Aliran mistisisme tidak perduli pada korban-korban yang

tidak berdaya, mistisime dapat dikatakan apolitik dan juga asosial.32

Edukasi Politik

Setiap langkah perubahan paradigma sesunguhnya merupakan instrumen

Anugerah Tuhan bagi setiap orang percaya untuk tetap konsisten pada imannya

dan lahir dari wawasan dunia Kristen yang dewasa. Proses edukasi merupakan

suatu elemen yang baik di mata Allah, sebab hal itu merupakan ekspresi dari natur

Allah. Proses edukasi yang jujur memberikan dampak positif dan kreatif dalam

diri orang percaya dalam menghadapi perubahan paradigma.33

Mentalitas edukasi politik adalah mentalitas yang rendah hati dan terbuka

pada budaya transormatif, Mentalitas ini mempunyai komitmen pribadi untuk

melaksanakan proses pembelajaran seumur hidup dan bersifat progresif secara

terorganisir serta sistematis. Edukasi politik Kristen merupakan sebuah sistem

berpikir dan bertindak politis yang seimbang oleh setiap individu, di mana

Kemuliaan Allah selalu menjadi tujuan utama yang didasarkan atas naungan

Kedaulatan Allah sebagai otoritas pembimbing dan pengatur serta menjadi

pedoman bagi berbagai bentuk kekuasaan di dunia yang didorong oleh dedikasi

yang tinggi dalam menjalankan tugas politis sehingga muncul keterbebanan dalam

32
DR. Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003),
h.63.
33
Robert P. Borrong, Etika Politik Kristen, (Sekolah Tinggi Teologi Jakarta 2006), h.2.
menolong orang lain yang mengalami kesusahan karena perasaan simpati dan

empati atas dasar kasih yang sejati bagi problematika sosial.34

34
Ibid, h. 3.

Anda mungkin juga menyukai