Anda di halaman 1dari 10

PEMBAHASAN

MEDIA SOSIAL MASYARAKAT MINANGKABAU

pada saat ini, media sosial memiliki peran yang sangat penting dalam penyebaran
informasi. Hal-hal yang dianggap menarik mudah sekali menjadi viral di dunia maya, dan
dibicarakan oleh penguna media sosial (medsos).
Masyarakat Minangkabau telah memiliki suatu media untuk bersosialisasi sejak 
dahulunya. Meskipun dahulunya internet belum berkembang seperti sekarang, telah ada sesuatu
yang mewadahi untuk  penyebaran informasi secara berantai  seperti halnya medsos yang disebut
dengan lapau kopi.
Di lapau kopi inilah masyarakat  membicarakan isu-isu yang sedang hangat di lingkungannya.
Disaat masyarakat belum mengenal medsos  dan internet, lapau kopi telah menjadi media bagi
masyarakat untuk berhubungan dan berbagi informasi.

A. LAPAU
Lapau menurut bahasa Minangkabau berarti warung atau kedai yang dijadikan sebagai tempat
atau sarana untuk melakukan proses jual beli, namun hal ini berbeda dengan lapau yang terdapat
di Nagari Sawah Laweh Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan. Konteks lapau pada
masyarakat Nagari Sawah Laweh merupakan suatu tempat yang tidak hanya digunakan sebagai
tempat jaul beli akan tetapi juga sebagai media interaksi yang digunakan oleh masyarakat
setempat khususnya kaum laki-laki (Mardoni,2017). Kaum laki-laki mulai duduk di lapau dari
sore hari saat mereka menunggu waktu shalat Magrib dan saat waktu shalat Magrib mereka akan
kembali ke rumah untuk melaksanakan sholat Magrib, setelah waktu Magrib habis mereka akan
kembali duduk di lapau sampai tengah malam. Kegiatan yang dilakukan oleh kaum laki-laki
setiap malam berkumpul di lapau adalah berbincang dan membincangkan berbagai persoalan,
bermain domino dan koa bersama dengan ditemani segelas kopi dan sebatang rokok. Interaksi
yang dilakukan oleh kaum laki-laki tidak hanya sebagai kegiatan untuk menghabiskan waktu
pada malam hari, tetapi juga sebagai mempererat silaturahim antara masyarakat yang duduk di
lapau khususnya kaum laki-laki. Penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh beberapa peneliti antara lain; pertama, Damsar, dan Indrayani mengenai studi
tentang Local Wisdom Based Disaster Education In Minangkabau Society (Damsar, 2018).
Penelitian ini menjelaskan mengenai sumber belajar bagi sebuah kearifan lokal dalam
menghadapi bencana salah satunya lapau. Penelitian selanjutnya dari Yona Primadesi mengenai
“Preserving Of Information Value In Oral Traditional Of Minangkabau Society, West Sumatera,
Indonesia”(Primadesi, 2012). Penelitian ini menjelaskan bahwa masyarakat Minangkabau sangat
terkenal dengan tradisi lisan yang disebut kaba babarito yang mengekspresikan pesan dari satu ke
yang lain secara lisan. Tradisi lisan Minangkabau sangat kuat dalam banyak aspek kehidupan,
misalnya tradisi maota di lapau, yang merupakan salah satu cara bagi pria di Minangkabau untuk
berkomunikasi dan bersosialisasi. Kemudian, penelitian dari Nursyirwan Effendi mengenai
“Budaya Politik Khas Minangkabau Sebagai Alternatif Budaya Politik Di Indonesia” penelitian
ini bertujuan untuk
Lapau adalah ruang yang tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan dan karakter masyarakat
Minangkabau selain Rantau dan Surau. Dimana Lapau menjadi ranah internal sama hal nya Surau
di Minangkabau. Ranah internal disini dimaksudkan adalah hal atau ruang yang ada secara
geografis terjadi diranah Minangkabau sendiri. Sedangkan Rantau berada diranah eksternal
Minangkabau, walaupun ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa ruang Rantau itu adalah
ruang dimana berbeda dari tanah kelahiran meskipun tetap berada didalam wilayah geografis
Minangkabau sendiri.
Menurut Gusti Asnan dalam makalahnya pada ‘Kongres Kebudayaan Indonesia’ pada
Oktober 2013 lalu yang bertempat di Yogyakarta, mengenai asal mulanya Lapau: “tidak
diketahui, sejak kapan lapau mulai muncul di Minangkabau, namun bisa dikatakan lapau mulai
menjadi bagian dari sistem sosial (juga politik dan ekonomi) Minangkabau ketika aktivitas niaga
mulai marak di daerah itu. Lapau saat itu mulai menjadi ‘lembaga’ penting dalam jaringan
niaga antara daerah pantai dan pedalaman Minangkabau”.
Pada awalnya lapau ada di kota-kota pantai dan di jalan-jalan setapak yang banyak
terdapat antara kawasan pantai dengan daerah pedalaman. Lapau bisa didirikan dan dimiliki oleh
siapa saja. Lapau di kota-kota di pantai barat, umumnya didirikan oleh para pendatang [dari
daerah pedalaman]. Lapau yang berada di sepanjang jalan setapak antara daerah pantai dan
pedalaman juga didirikan oleh para pendatang, umumnya berasal dari saudagar yang sering
melalui rute tersebut. Lapau di berbagai jalan setapak ini biasanya dibangun pada kawasan-
kawasan strategis, di puncak sebuah pendakian atau di persimpangan jalan [setapak] menuju
daerah yang lain. Di samping orang yang mempunyai darah saudagar, pemilik lapau biasanya
orang yang luas pergaulannya dan tidak jarang banyak dari mereka adalah jagoan [pandeka].
Lapau dikunjungi atau disinggahi oleh siapa saja, dan berbagai kemungkinan bisa terjadi di lapau.
Fungsi utama lapau pada masa itu adalah tempat saudagar singgah atau bermalam. Lapau
di kawasan pantai bahkan menjadi tempat menginap para saudagar yang datang dari daerah
pedalaman. Di lapau ini pula kadang-kadang transaksi dengan saudagar lain mereka lakukan. Di
samping itu, di lapau ini pula mereka saling berbagi informasi, baik mengenai barang dagangan
yang dibawa, fluktuasi harga, kondisi pasar, pengalaman dalam berniaga, hingga keadaan
sosial/politik di daerah-daerah yang mereka lalui. Topik atau isu yang dibincangkan tidak
terfokus, berubah-ubah, longgar, dan tergantung pada apa yang paling aktual saat itu. Bisa saja
pada suatu kesempatan sebuah topik atau isu dibicarakan dengan sangat hangat dan serius, tetapi
bisa saja topik dan isu tersebut dengan segera dilupakan dan beralih ke topik atau isu lain.
Selain itu banyak kaba dan cerita fiksi yang dibuat penulis Minangkabau, serta karya-
karya sejarah yang dibuat oleh sejarawan asing [terutama Belanda] dan juga sejarawan nasional
[khususnya Minangkabau] menampilkan gambaran lapau sebagaimana diungkapkan di atas.
Tanpa mengabaikan tentang apa yang dideskripsikan dalam karya-karya yang lain, apa yang
dikemukakan Muhammad Radjab dalam bukunya ‘Semasa Kecil di Kampung’ adalah sebuah
gambaran dunia Lapau yang cukup mewakili dari potret lapau secara keseluruhan. Walaupun
dengan sejumlah keterbatasan, deskripsi buku tersebut menggambarkan bagaimana gambaran
fisik, siapa saja yang hadir di lapau, dan apa saja yang diceritakan/diperbincangkan di lapau,
setidaknya untuk masa yang relatif awal [pada awal abad ke-20] di sebuah nagari di pedalaman
Minangkabau.
Seiring dengan perjalanan waktu, dewasa ini keberadaan lapau sebagai tempat singgah
atau menginap para saudagar dan para pengelana mulai berubah. Akhir-akhir ini, di samping
sebagai tempat jual beli berbagai kebutuhan harian, lapau cenderung berperan tempat para lelaki
berkumpul, “menghabiskan waktu”, berbincang dan membincangkan berbagai persoalan [mulai
dari hal yang sifatnya “entertainment” hingga politik tingkat tinggi sambil merokok, minum kopi,
teh atau sambil main domino, koa [Ceki] atau remi. Walaupun Lapau telah menjadi bagian dari
masyarakat Minangkabau dan telah menjadi tempat berkumpul yang penting bagi sebagian
anggota masyarakat, dan juga sebagai sebuah tempat di mana berbagai persoalan sosial, politik,
ekonomi, dan budaya diperbincangkan, ternyata Lapau tidak termasuk sebagai salah satu
‘lembaga’ sosial-politik tradisional Minangkabau.
Pasa masa sekarang seiring dengan perkembangannya Lapau bagi masyarakat di
Minangkabau bukan sekedar tempat minum kopi dan ‘ngobrol’, lapau menjadi pusat informasi
didalam sebuah Korong/Dusun, Nagari/Desa bahkan sampai kepada tingkat Kabupaten. Setiap
kegiatan apapun yang ada dilingkup Nagari/Desa, lapau akan selalu menjadi tempat utama dalam
menginformasikan kegiatan tersebut. Karena dilapau informasi akan sangat cepat menyebar
kepada masyarakat. Lapau yang sebelumnya hanya ada dibeberapa tempat, sekarang berkembang
sangat pesat sekali. Bahkan dalam satu Korong/Dusun bisa mencapai 5-8 Lapau.
Lapau bukan Toko/Warung yang jamak dipahami orang selama ini, dimana sembako dan
kebutuhan sehari-hari dijual disana. Lapau disini lebih kepada jualan yang sifatnya minuman dan
makanan yang diproduksi oleh pemilik lapau itu sendiri. Meskipun tidak tertutup kemungkinan
Lapau juga menjual barang-barang makanan dan minuman yang sudah jadi.
Dari segi setting lapau itu sendiri, tidak seperti Toko dimana tidak ada space untuk
bercengkrama sekedar ngobrol antara pembeli dan penjual serta pembeli sesama pembeli. Di
Lapau, ruang bercengkrama antar pembeli disediakan space yang luas dimana banyak meja dan
kursi. Di beberapa Lapau meja dan kursi dibuat memanjang yang berukuran sekitar 4-5 meter dan
lebar 1 meter, begitu juga kursi nya menyesuaikan ukuran mejanya. Sangat jarang sekali ada
meja dan kursi yang berukuran kecil atau dengan ukuran persegi.
Menu yang ditawarkan di Lapau sangat beragam, dari minuman sampai ke makanan khas
Lapau tersebut. Tidak jarang Lapau akan banyak dikunjungi karena menu dan makanan khas
Lapau tersebut. Misalnya ada beberapa Lapau yang terkenal dengan ‘Katupek Gulai Paku’-nya
yang enak. Jadi Lapau itu akan ramai dikunjungi karena salah satu menunya enak. Ada juga
Lapau yang terkenal dengan minuman ‘Teh Telur’-nya yang luar biasa. Namun ada lagi Lapau
yang banyak didatangi karena tempat berkumpulnya para ‘Niniak Mamak, Alim Ulamo dan
Cadiak Pandai’.
Lapau juga menjadi tempat dimana berkumpulnya berbagai kalangan masyarakat, mulai
dari petani, pemuda, sumando (Sumenda), pegawai negeri, pemuka adat, alim ulama (Tuangku,
Labai dll), Wali Nagari, anggota DPRD, anggota Partai Politik dll. Dari berbagai Lapau tersebut
penulis akan mengklasifikasikan Lapau sesuai dengan karakter dan jenis masyarakat yang datang
ke Lapau tersebut.
1. Lapau Alim-Ulama
Lapau Alim-Ulama disini dimaksudkan adalah pengunjung yang datang ke Lapau
rata-rata berasal dari Tuangku, Labai, dan para pemuka agama yang ada didaerah tersebut.
Biasanya Lapau ini berada tidak jauh dari Surau/Mushala dan pengunjung akan ramai
datang ketika setelah waktu shalat. Terutama waktu setelah selesai sholat subuh dan
kegiatan setelah shalat subuh, sekitar pukul 6. Para tuangku biasanya ke Lapau untuk
sekedar sarapan pagi atau hanya sekedar minum Kopi atau Teh dll. Selain lokasi yang
dekat Surau, Lapau yang menjadi tujuan para tuangku ini biasanya juga soal menu
sarapan yang menarik. Dan tidak menutup kemungkinan tuangku tersebut akan
berkunjung ka Lapau yang jauh dari Suraunya.
Pembicaraan yang terjadi diantara pengunjung Lapau ini kebanyakan berkisar
tentang bagaimana perkembangan dan pembinaan yang terjadi di setiap surau-surau
mereka. Mulai dari aktifitas pendidikan mengaji, pengajian, acara rutunitas surau,
pembangunan sarana surau, bantuan dari keluarga rantau, dll. Tapi tidak tertutup
kemungkinan diantara mereka juga memperbincangkan kondisi masyarakat disekitar
tempat tinggal mereka. Mulai dari kondisi pertanian, peternakan, pemuda bahkan sampai
kepada pembicaraan politik kampung hingga politik nasional.
Pembicaraan dilapau ini mengalir begitu saja, tidak ada yang membatasi topik
pembicaraan. Biasanya topik pembicaraan berasal dari berita televisi yang sedang dilihat
pada waktu di Lapau tersebut dan pembicaraan itu dipantik dari salah seorang pengunjung
yang berada di Lapau tersebut. Tak jarang pula pemantik pembicaraan dimulai dari
pemilik Lapau itu sendiri.
2. Lapau Tangah Sawah
Lapau ini dari segi lokasi biasanya berada di tepi sawah atau di jalan yang banyak
dilalui orang ketika menuju ke sawah atau ladang mereka. Dari segi menu makanan dan
minuman yang disajikan di Lapau ini tidak jauh berbeda dengan Lapau-lapau lainnya.
Namun dibeberapa Lapau ini juga menjual pupuk atau kebutuhan pertanian lainnya.
Pengunjung biasanya datang pagi hari sebelum atau sesudah pulang dari sawah mereka.
Siang hari biasanya Lapau ini juga banyak dikunjungi ketika waktu istirahat siang datang.
Sambil menunggu teriknya matahari reda, mereka biasanya berteduh di Lapau sambil
bercengkrama dengan petani-petani lainnya. Pembicaraan mereka juga tidak terlepas dari
persoalan seputar sawah dan ladang mereka, mulai dari pembicaraan pupuk apa yang
bagus, bagaimana menanggulangi hama dll. Bahkan sampai pada kesepakatan tentang
berbagai hal yang berkaitan dengan masa tanam dan masa panen.
Pembicaraan mengenai kondisi perpolitikan baik di tingkat daerah maupun
nasional juga sering dibicarakan, biasanya pembicaraan ini insidental saja. Kalau keadaan
politik atau kebijakan pemerintah berefek terhadap kondisi pertanian dan harga bibit dan
pupuk, para petani akan sering sering membicakannya.
3. Lapau Pemuda
Lapau pemuda biasanya tempat berkumpulnya para pemuda yang secara umur
berkisar antara 17-35 tahun. Di Lapau-lapau yang ada pemuda ini biasanya dipengaruhi
oleh pemilik atau yang melayani di Lapau tersebut memiliki jiwa dan cara bergaul yang
baik dengan para pemuda tersebut. Rata-rata mereka pemilik lapau ini juga berumur
muda. Lapau pemuda juga dilengkapi dengan televisi seperti Lapau-lapau lainnya jaman
sekarang. Menu atau makanan yang dijual tentunya sesuai dengan selera anak-anak muda.
Tidak ketinggalan juga cemilan atau makanan kecil, baik yang sudah berbentuk
bungkusan maupun buatan pemilik Lapau. Seperti: goreng pisang, tahu goreng, rempeyek
kacang dll. Selain pengaruh pemilik Lapau yang bagus dalam sosialisasinya, Lapau
pemuda akan ramai dikunjungi apabila banyak permainan yang tersedia disana, misalnya
permainan Domino, Kartu Ceki, Kartu remi dan tak jarang juga permainan Play Station
[PS]. Kalau dilihat dari sisi lama masa bertahannya, Lapau pemuda ini sering pindah-
pindah. Perpindahan Lapau pemuda ini biasanya dipengaruhi oleh adanya salah seorang
pemuda yang merasa kurang nyaman dengan pelayanan atau gurauan yang ada di Lapau
tersebut. Dari kejadian itu beberapa pemuda yang juga merasakan hal yang sama akan
mengajak pemuda-pemuda lainnya untuk berpindah ke Lapau lainnya. Permasalahan
lainnya yang menyebabkan perpindahan pengunjung Lapau pemuda tersebut diantaranya,
kenaikkan harga makanan atau minuman, pemilik Lapau terlalu sombong, kualitas
makanan atau minuman menurun, seringnya tutup tanpa pemberitahuan, Lapau mulai
kotor, dll.
Pembicaraan atau pola komunikasi yang dibangun di Lapau Pemuda ini bersifat
mengalir, tanpa ada yang mengkomandoi tentang topik apa yang akan dibahas. Mengenai
kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah jarang menjadi topik pembicaraan,
karena sebagian pemuda cederung antipati terhadap segala kebijakan pemerintah tersebut.
Pembicaraan tentang kebijakan akan muncul apabila ada beberapa pemuda yang hadir di
Lapau tersebut merupakan juga salah satu orang yang terlibat langsung atau orang yang
mengerti dengan kondisi perpolitikan di daerah maupun Nasional. Misalnya salah satu
pemuda tergabung dalam salah satu pengurus partai politik tertentu, atau menjadi salah
satu tim sukses dari salah seorang calon.
4. Lapau Sumando [Sumenda]
Di Minangkabau karena memakai sistem matrilinial, ketika pernikahan terjadi
pihak laki-laki/suami biasanya menetap dirumah atau di kampung dimana istrinya
bertempat tinggal. Si suami bagi keluarga istri dan sanak kerabatnya serta warga kampung
sekitarnya disebut sebagai Sumando/sumenda. Istilah sumando berlaku juga walaupun Si
Suami sudah berada di luar daerah/rantau, tapi penyebutannya bagi warga kampung
dimana istri berasal tetap Sumando. Di Minangkabau ada istilah Lapau Sumando, dimana
rata-rata pengunjungnya adalah para sumando dikampung tersebut. Walaupun tidak
tertutup kemungkinan bahwa sumando tetap juga mengunjungi Lapau-lapau lainnya di
Minangkabau. Lapau Sumando ini ada bukan karena adanya pembedaan secara sosial,
tapi hanya bentuk dari ke hati-hatian dalam bersosialisasi dan berkomunikasi. Lapau
dimana merupakan tempat yang bebas bicara, dan Sumando merupakan orang yang
sangat dihormati dikampung tersebut, ketika bergabung dengan pengunjung Lapau-lapau
lainnya takutnya terjadi pembicaraan yang tidak pantas. Namun tidak jarang pula para
Sumando berada di Lapau-lapau lain begitu juga sebaliknya.
Lapau Sumando biasanya akan ramai dikunjungi ketika malam hari, waktu dimana
para sumando sudah pulang kerja dan bercengkrama bersama keluarga. Sumando akan
meluangkan waktu bersosialisasinya dengan mengunjungi Lapau dan para sumando
lainnya. Pembicaraan di Lapau Sumando biasanya tidak jauh beda dengan lapau-lapau
lainnya, baik itu tentang kampung sendiri, politik dan lain sebagainya.
Para Sumando biasanya dimintakan pendapat apabila ada permasalahan yang
terjadi di kampung dimana dia tinggal. Tapi para Sumando tidak ditempatkan pada orang
yang memberi keputusan, karena yang memberi keputusan tetap dilimpahkan kepada
pemuka adat, agama dan tokoh masyarakat lainnya.
5. Lapau Induk
Lapau Induk ditentukan oleh pengunjung dari berbagai kelas atau jabatan di
lingkungan tersebut. Di Lapau ini juga biasanya menjadi pusat informasi dari berbagai isu
atau peristiwa yang terjadi di lingkungan desa dimana lapau itu berada, juga tentang
informasi yang berkaitan dengan permasalahan baik ditingkat Korong sampai ke tingkat
Nasional. Pengunjung Lapau Induk biasanya dari tokoh masyarakat di daerah tersebut,
baik tokoh adat, agama maupun tokoh pemerintah.
Dari segi menu yang ditawarkan tidak jauh beda dengan lapau-lapau lainnya,
malah di kebanyakan Lapau Induk menunya lebih sedikit. Lapau induk ini biasanya buka
selama 24 jam penuh, karena lapau ini menjadi sentral informasi dari apa saja peristiwa
yang beredar di masyarakat.
Sebagai pusat informasi dalam suatu daerah, pembicaraan di Lapau induk sangat
beragam. Semua isu yang berkembang selalu menjadi perbincangan. Perkembangan isu
terbaru muncul dari setiap pengunjungnya, yang tentunya dengan berbagai latar belakang
kepentingan. Permasalahan pertanian, perikanan, adat istiadat, agama dan lain sebagainya
tidak terkecuali persoalan kebijakan politik lokal dan nasional.

B. Tapian, pincuran dan fungsinya


Orang tua kita di jaman lampau, pasti selalu ingat bahwa tiap suku di
Minangkabau bataratak, basawah, baladang, bapandam pakuburan dan batapian mandi.
Jika di suatu tempat telah memiliki 4 suku, maka sah dia disebut koto atau nagari. Tapian
mandi dapat menjelaskan berbagai hal, pertama bahwa air adalah sumber utama bagi
kehidupan untuk membersihkan diri, mandi, atau mencuci pakaian serta peralatan rumah
tangga. Tapian mandi yang dimaksud, berada pada aliran sungai (baik yang besar atau
kecil) yang mengalir di sisi sebuah kampung atau bisa pula berbentuk sebuah mata air,
yang berfungsi sebagai sumber air minum.
Kedua, tapian mandi dapat juga dilihat sebagai tempat pertemuan sosial yang
paling awal, selain dari pada lapau. Sebab pada saat tertentu, misalnya pada sore hari,
selepas bekerja seharian di ladang atau di sawah, orang berbondong-bondong ke tapian
mandi untuk bebersih diri. Pada saat itulah – walaupun tidak seperti duduk di lapau-
berbagai informasi dapat disampaikan, misalnya sawah siapa yang akan dikerjakan besok
atau lusa, atau di mana kenduri diadakan. Ketiga, tapian mandi juga melambangkan
kekebasan manusia di alam, sebab dia tidak terikat dengan sekat-sekat yang membatasi
tubuh dan dan sekat-sekat yang dapat menekan jiwa manusia (rumah = tekanan, alam =
kebebasan), sebab rumah (minangkabau) adalah tempat beradat-istiadat = rumah adat.
Kalau di Barat lain lagi (may house is may home). Rumah itu adalah hak pribadi.
Tapian mandi menurut versi pelukis Wakidi ( Alm), tahun 1965-an
Konon menurut cerita, mandi di tempat seperti itu dapat menyehatkan badan, dan
jiwa yang memungkinkan nenek moyang kita berumur panjang. Sebab mandi seperti itu,
airnya banyak mengandung mineral alami, secara tidak langsung diserap oleh kulit
mereka. Disamping tubuh menerima air alam, kulit mereka juga akan sering menyerap
cahaya matahari menyehatkan badan yang diperlukan untuk pembentukan tulang. Sebab
tidak jarang, untuk mencapai tapian mandi, harus berjalan beratus meter dari rumah
gadang, atau harus menuruni curang yang dalam, terutama jika tapian mandi itu ada di
bawah ngarai yang dalam. Kedekatan dengan alam dan kebebasan jiwa itu, sekaligus
dapat memancing rasa kedekatan mereka dengan penciptaNya. 
Damsar. (2018). Local Wisdom Based Disaster Education In Minangkabau Society. Matec Web
of Conferences

Mardani. (2017). Lapau Media Sosial Masyarakat Minangkabau. www.kemendikbud.go.id

Primadesi, Y. (2012). Preserving Of Information Value In Oral Traditional Of Minangkabau


Society, West Sumatera, Indonesia. In 5th Library International Conference, Quezon City,
Philippines.

https://palantaminang.wordpress.com/2008/05/25/sesuatu-yang-tersirat-dari-tapian-mandi/

Anda mungkin juga menyukai