Anda di halaman 1dari 39

PEMERIKSAAN

NEUROLOGI

BEDAH
SARAF
dr. Ferry Wijanarko, Sp.BS
dr. Heriyanto
dr. Peter Yus an Atmaja

KSM Bedah Saraf RSUD dr. Moewardi Solo


*Terbatas untuk kalangan sendiri
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Dr. Untung Alifianto, dr., Sp.BS


Hanis Setyono, dr., Sp.BS
Geizar Arsika Ramadhana, dr., Sp.BS
DAFTAR ISI
Pemeriksaan Kesadaran ………………………………………………………………………………………………… 1
Pemeriksaan Tanda Meningeal (Meningeal Sign) ………………………………………………………….. 2
Pemeriksaan Saraf Kranial …………………………………………………………………………………………….. 4
Tes provokasi Nervus Ischiadicus…………………………………………………………………………………. 13
Pemeriksaan Motorik ………………………………………………………………………………………………….. 16
Pemeriksaan Sensorik …………………………………………………………………………………………………. 20
Pemeriksaan Refleks Fisiologis ……………………………………………………………………………………. 21
Pemeriksaan Refleks Patologis ……………………………………………………………………………………. 23
Pemeriksaan Serebelum ……………………………………………………………………………………………… 25
Pemeriksaan Fungsi Luhur ……………………………………………………..…………………………………... 26
Lain-lain …………………………..…………………………………………………………………………………………. 28
Daftar Pustaka …………………………………………………………………………………………………………….. 36
PEMERIKSAAN NEUROLOGI
Edisi Pertama Tahun 2021
Diedit kembali oleh Ferry Wijanarko, dr., Sp.BS

I. PEMERIKSAN KESADARAN
Kesadaran dapat didefinisikan sebagai keadaan yang mencerminkan
pengintegrasian impuls eferen dan aferen. Dalam menilai kesadaran harus dibedakan
antara tingkat kesadaran dan isi kesadaran. Tingkat kesadaran menunjukkan
kewaspadaan dan reaksi seseorang dalam menanggapi rangsangan dari luar yang
ditangkap oleh panca indera. Sedangkan isi kesadaran berhubungan dengan fungsi
kortikal seperti membaca, menulis, berbahasa, intelektual, dan lain-lain.
Tingkat kesadaran yang menurun biasanya diikuti dengan gangguan isi kesadaran.
Sedangkan gangguan isi kesadaran tidak selalu diikuti dengan penurunan tingkat
kesadaran. Penurunan tingkat kesadaran di ukur dengan Glasgow Coma Scale (GCS).
Pada pasien dengan penurunan kesadaran, GCS dinilai setelah Airway, Breathing, dan
Circulation stabil.

Pemeriksaan Glasgow Coma Scale (GCS)


Komponen GCS Parameter Respon Pasien Skor GCS
Membuka mata spontan 4
Membuka mata terhadap suara (meminta 3
pasien membuka mata)
Respon Membuka
Membuka mata dengan rangsang nyeri 2
Mata
(menekan saraf supraorbital atau kuku jari)
Tidak ada respon (pasien tidak membuka mata 1
dengan rangsang nyeri)
Baik dan tidak disorientasi (dapat menjawab 5
dengan kalimat yang baik dan tahu dimana ia
berada, tahu waktu, dan hari)
Kacau/bingung (dapat mengucapkan kata-kata, 4
namun ada disorientasi waktu dan tempat)
Respon Verbal
Tidak tepat (dapat mengucapkan kata-kata, 3
namun tidak berupa kalimat atau tidak tepat)
Mengerang (tidak mengucapkan kata, hanya 2
mengerang)
Tidak ada jawaban 1
Menuruti perintah (meminta pasien 6
Respon Motorik
mengangkat tangan misalnya)

1
Mengetahui lokasi nyeri (Bila dirangsang nyeri 5
dengan menekan saraf supraorbital, bila pasien
mengangkat tangannya sampai melewati dagu
untuk menepis rangsang artinya ia tahu lokasi
nyeri)
Respon menghindar 4
Reaksi fleksi/dekortikasi (dengan rangsangan 3
nyeri timbul fleksi sendi siku atau pergelangan
tangan)
Reaksi ekstensi/decerebrasi (dengan 2
rangsangan nyeri timbul ekstensi pada sendi
siku disertai fleksi spastik pergelangan tangan)
Tidak ada reaksi 1

Pemeriksaan GCS didasarkan pada pemeriksaan respon mata, verbal, dan motorik.
Cara penilaiannya adalah dengan menjumlahkan nilai dari ketiga aspek tersebut di
atas. Rentang nilainya adalah 3 sampai dengan 15 (normal). Pelaporan nilai GCS juga
dapat dilakukan dengan cara menyebutkan nilai dari masing-masing komponen,
missal E4, V5, M6, artinya skor respon pasien membuka mata 4, verbal 5, dan motorik
6. Pada kondisi tertentu dimana pasien mengalami afasia atau terintubasi, maka
respon verbal dinilai sebagai Vx.

GCS dapat diklasifikasikan sebagai :


• GCS 14-15 : Cedera Otak Berat
• GCS 9-13 : Cedera Otak Sedang
• GCS < 8 : Cedera Otak Berat

II. PEMERIKSAAN MENINGEAL SIGN


Meliputi pemeriksaan :
1. Kaku kuduk
2. Brudzinki I sampai dengan IV
3. Kernig

Kaku Kuduk
Cara memeriksa kaku kuduk : penderita tidur terlentang tanpa bantal (alas kepala
harus disingkirkan), digerakkan kepala ke samping kiri / kanan terlebih dahulu, apakah
ada tahanan. Bila terdapat proses di daerah servikal seperti penyakit sendi servikal
atau adanya parkinson, hal ini tidak dapat dilakukan penilaian terhadap pemeriksaan
kaku kuduk. Bila tidak ada tahanan ke arah samping kiri dan kanan, leher difleksikan
sampai menyentuh dagu. Pada saat memeriksa kaku kuduk kita sekaligus melakukan

2
pemeriksaan Brudzinki I (tanda leher) dengan melihat gerakan fleksi pada kedua kaki
penderita.

Pemeriksaan kaku kuduk pada pasien yang ditemukan nuchal rigidity

Pemeriksaan Brudzinki II (tanda tungkai kontralateral) yaitu pasien berbaring


terlentang. Tungkai yang akan di rangsang difleksikan pada sendi lutut, kemudian
tungkai atas difleksikan pada sendi panggul. Jika timbul gerakan reflektorik berupa
fleksi tungkai kontralateral pada sendi lutut dan panggul, hal ini menandakan tes yang
positif.

Pemeriksaan Brudzinki III (tanda pipi), yaitu penekanan pada pipi kedua sisi tepat
bawah os zygomaticus. Bila terjadi gerakan fleksi reflektorik pada kedua siku dan
gerakan reflektorik dari kedua lengan, maka hal ini menandakan tes yang positif.

Pemeriksaan Brudzinki IV (tanda symphysis pubis) yaitu penekanan pada symphysis


pubis. Bila timbul gerakan fleksi reflektorik pada kedua tungkai pada sendi lutut dan
panggul, hal ini menandakan tes yang positif.

Pemeriksaan Kernig, yang penting pertama kali adalah pada posisi awal, fleksikan
tungkai atas pada sudut 90 derajat terhadap badan dan fleksikan tungkai bawah
90 derajat terhadap tungkai atas, baru setelah posisi ini, kita ekstensikan (gerakkan
ke atas) tungkai bawah pada sendi lutut. Pada kondisi normal penderita bisa
ekstensi lebih dari 135 derajat. Tes yang positif ditunjukkan dengan penderita
mengeluh nyeri atau ada tahanan atau terdapat fleksi pada tungkai kontralateral
pada ekstensi dengan sudut kurang dari 135 derajat. Pada penderita tidak sadar,

3
kernig positif responnya hanya berupa tahanan saja. Pada penderita hemiplegi,
periksa pada bagian yang lumpuh dan responnya dilihat pada sisi yang sehat.

Untuk membedakan kaku kuduk positif karena tanda rangsangan meningeal positif
dengan pura-pura (kasus psikiatri), tempatkan kepala penderita dengan leher
menggantung di pinggir tempat tidur. Pada meningeal sign positif tetap kaku,
sedangkan pada kasus psikiatri maka akan terjadi perubahan posisi leher.

III. PEMERIKSAAN SARAF KRANIALIS


Meliputi saraf otak I s.d XII, yaitu :
1. Pemeriksaan N. Olfactorius (N. I)
Terdiri dari pemeriksaan bau
Syarat : jalan nafas harus tidak ada hambatan, tidak ada atrofi, dan penderita
harus dalam kondisi sadar baik (GCS 456). Bahan yang digunakan dikenal oleh
penderita, tidak iritatif seperti amoniak (karena dapat merangsang nervus
trigeminus dan menikbulkan sekresi kelenjar, menyebabkan hidung buntu
yang mengganggu pemeriksaan) dan tidak menimbulkan sensasi isis seperti
mentol karena bisa menyebakan salah persepsi. Biasanya digunakan
tembakau, kopi, vanilli, teh atau jeruk. Cara memeriksanya : diperiksa masing-
masing hidung, penderita disuruh menutup mata.

2. Pemeriksaan N. Opticus (N. II)


Terdiri dari pemeriksaan :
a. Pemeriksaan tajam penglihatan (visual acquity)
Menggunakan Snellen Eye Chart (6 meter) untuk penglihatan jauh
(distance vision) dan Rosenbaum Pocjed Eye/Chart untuk penglihatan
dekat (near vision). Biasanya untuk penderita neurologi menggunakan
jari-jari tangan (normalnya dapat dilihat dalam jarak 60 meter), lambaian
tangan (normalnya dapat dilihat pada jarak tak terhingga) dan bila tidak
dapat melihat sama sekali berarti buta total.
b. Pemeriksaan lapang pandang (visual field)
Yang paling sederhana dengan tes konfrontasi; normalnya untuk
penglihatan atas (superior= 60°), penglihatan bawah (inferior= 75°),
penglihatan temporal (= 100°) dan penglihatan nasal (=60°).
Cara memeriksa : penderita duduk dalam posisi pada level yang sama
dengan pemeriksa dalam jarak kurang lebih 1 meter. Diperiksa masing-
masing mata secara bergantian, mata yang tidak diperiksa ditutup dengan
tangan penderita. Sedangkan pada saat pemeriksaan mata penderita
difiksasi dengan menyuruh melihat ke arah hidung pemeriksa, baru
pemeriksa memeriksa secara cermat masing-masing kuadran dengan
menggunakan ujung ball point yang berwarna dan sebagainya.

4
Pola-pola deficit visual field

Cara pemeriksaan lapang pandang

5
Perlu diperhatikan, terkadang untuk fiksasi mata penderita saat dilakukan
pemeriksaan mengalami kesulitan. Untuk mengatasi hal ini dapat
digunakan 2 cara, yaitu:
1) Tempatkan kedua tangan kita pada kedudukan 2 kuadran terluar yang
masih dalam jangkauan penglihatan, misalnya tangan kiri pemeriksa
ditempatkan pada sisi temporal 100°, dan bersamaan tangan kanan
ditempatkan pada sisi nasal 60°, lalu kita tanyakan kepada penderita
berapa tangan yang dapat dilihat, normalnya secara bersamaan
penderita dapat melihat kedua tangan pemeriksa, dan seterusnya kita
sempitkan sudutnya.
2) Pemeriksa membelakangi penderita dan secara mendadak
menempatkan tangan pemeriksa pada masing-masing kuadran,
misalnya ke temporal dengan sudut yang berubah-ubah, kemudian
ditanyakan kepada penderita apakah penderita dapat melihat tangan
kiri atau tidak, periksa masing-masing mata secara bergantian.
Pemeriksaan konfrontasi ini merupakan pemeriksaan yang paling
sederhana dan kasar, bilamana dicurigai adanya gangguan visual field
dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan yang lebih akurat seperti
kampimeter, atau Humphrey perimeter.

c. Pemeriksaan warna
Menggunakan tes ishihara atau menggunakan benang wool berwarna
(sebagai contoh: penderita disuruh mengambil benang wool merah pada
kumpulan benang wool berwarna).

d. Pemeriksaan funduskopi
Pada pemeriksaan ini dapat ditentukan secara kasar adanya:
1) Miopia, hipermetropia, atau emetropia.
2) Juga dapat dilihat kondisi retina (adanya perdarahan, dan sebagainya)
3) Papil nervus optikus
Cara pemeriksaan : mata yang tidak diperiksa ditutup dengan tangan
penderita. Penderita disuruh melihat jauh ke depan. Tangan kiri
pemeriksa melakukan fiksasi dahi penderita, sedangkan oftalmoskop
dipegang dengan tangan kanan, kemudian dilakukan penyinaran 15
derajat dari nasal.

3. Pemeriksaan N. Oculomotorius, Trochlearis, dan Abdusens (N. III, IV, VI)


Terdiri dari pemeriksaan:
1) Pemeriksaan kedudukan bola mata saat diam
Dilihat apakah bola mata terletak di tengah, bergeser ke lateral, dan
sebagainya.

6
2) Pemeriksaan gerakan bola mata
Diperiksa masing-masing mata secara bergantian. Gerakan ke lateral
untuk m. rectus lateralis (N. VI), gerakan ke nasal inferior untuk m. obliqus
superior (N. IV), sedangkan untuk N. III diperiksa gerakan ke atas agak
lateral untuk m. rectus superior, gerakan atas agak ke medial untuk m.
obliqus inferior, gerakan bawah agak lateral untuk m. rectus inferior.
3) Pemeriksaan celah mata (ada tidaknya ptosis)
4) Pemeriksaan exophthalmos
Dibandingkan kedua bola mata dari arah samping.
5) Pemeriksaan pupil
Terdiri dari pemeriksaan:
1. Bentuk, lebar, dan perbedaan lebar
Bilamana ada anisokor, untuk membedakan anisokornya karena
Horner sindroma atau kelainan pada N. III (para simpatik), bila dikenai
cahaya pada pupil tersebut, pada Horner miosisnya bertambah,
sedangkan bila kondisi dibuat gelap, pada kelainan N. III pupil yang
berdilatasi makin lebar.
2. Reaksi cahaya langsung dan konsensuil
Pada saat melakukan pemeriksaan refleks cahaya langsung, mata yang
tidak diperiksa harus ditutup. Mata yang diperiksa dilakukan
penyinaran dengan senter dari arah lateral ke medial.
3. Reaksi akomodasi dan konvergensi
Penderita melihat jauh ke arah jari tangan kita, kemudian jari
pemeriksa mendadak didekatkan ke hidung penderita dan penderita
disuruh mengikuti gerakan jari pemeriksa. Kita lakukan pengamatan
pada kedua mata apakah saling mendekat ke medial (konvergensi
positif) dan kita lihat juga apakah terdapat pengecilan pada pupil
(miosis) menunjukkan reaksi akomodasi positif.

7
Temuan pupil pada pasien dengan penurunan kesadaran dan
penyebabnya

4. Pemeriksaan N. Trigeminus (N. V)


Terdiri dari pemeriksaan:
1) Sensorik (utama)
a. Distribusi perifer, yaitu nervus V1, V2, dan V3
b. Distribusi segmental (onion shape)
2) Motorik
Ada beberapa cara pemeriksaan, yaitu:
a. Merapatkan gigi: kita raba M. Masseter dan M. Temporalis, kita
bandingkan kiri dan kanan.
b. Buka mulut (aktivitas dari M. Pterygoideus externus). Penilaian: bila
ada parese, rahang mengalami deviasi ke sisi otot yang lesi.
c. Penderita menggerakkan rahang dari sisi ke sisi melawan tahanan.
Pada parese/paralisis n. trigeminus satu sisi, dia dapat menggerakkan
rahang ke sisi parese/paralisis tapi tidak dapat menggerakkan ke sisi
yang sehat.
d. Menonjolkan rahang dan menariknya, terjadi deviasi ke sisi
parese/paralisis.
e. Menggigit tongue spatel kayu dengan gigi geraham. Penilaiannya
dengan membandingkan kedalaman bekas gigitan kiri / kanan.
3) Refleks
Terdiri dari :

8
a. Refleks masseter / jaw reflex / mandibular reflex
Menemparkan jari telunjuk ke tengah dagu, dalam kondisi relaks dan mulut
setengah terbuka, diketuk dengan hammer reflex, responnya adalah
penutupan mulut karena kontraksi dari m. masseter dan m. temporalis.
Refleks ini afferennya melalui radix mesencephalic sedangkan efferennya
melalui bagian motorik n. trigeminus. Pusat refleksnya berada di pons.
Normal responnya adalah veru slight atau absent, kadang-kadang dapat
dibangkitkan jaw clonus.
Modifikasi jaw reflex yang dikenal sebagai zygomatic reflex yaitu perkusi
pada zygoma mengakibatkan deviasi ipsilateral mandibular. Respon ini
dapat dibangkitkan hanya bila ada lesi supranuklear.
1. Refleks kornea
Cara pemeriksaan: disuruh melirik ke kontralateral, kemudian
dilakukan usapan kornea dari limbus ke konjungtiva dengan
menggunakan ujung kapas bebas. Ada 2 macam refleks kornea
langsung dan konsensual. Buku De Jong membagi rangsangan pada
refleks kornea menjadi 2 bagian, yaitu bagian atas kornea yang dilayani
oleh N. V-1 dan bagian bawah kornea dilayani oleh N. V-2 pada
beberapa orang.
2. Head retraction reflex
Mencondongkan kepala sedikit ke depan, kemudian melakukan
pengetukan pada bibir atas di bawah hidung. Jika refleks positif,
responnya dengan cepat kepala secara involunter ke belakang. Refleks
ini pada orang normal negatif, positif pada lesi bilateral supracervical
dari traktus kortikospinalis. Pusat refleksnya pada bagian cervical atas
spinal cord, afferent dan efferennya melalui N. V.
3. Nasal, sneeze, or sternutatory reflex
Penggelitikan pada mukosa hidung, responnya berupa bersin-bersin.

5. Pemeriksaan N. Facialis (N. VII)


1) Motorik, terdiri dari kondisi diam dan bergerak.
Pada kondisi diam dibandingkan apakah terdapat asimetri pada lipatan
dahi, sudut mata, lipatan nasolabial, dan sudut mulut.
Pada kondisi bergerak:
a. M. frontalis : gerakan mengangkat alis
b. M. korugator supersili : gerakan mengerutkan dahi (menghasilkan
vertical wrinkles pada dahi = muka masam)
c. M. nasalis : gerakan melebarkan cuping hidung diikuti dengan
gerakan kompresi transversal dari hidung
d. M. orbicularis okuli : gerakan menutup mata

9
e. M. orbicularis oris : gerakan mendekatkan dan menekankan kedua
bibir
f. M. zygomaticus : gerakan senyum
g. M. risorius : gerakan menyeringai / meringis
h. M. buccinators : gerakan meniup
i. M. mentalis : gerakan menarik ujung dagu ke atas
j. M. platysma : menarik bibir ke bawah dan sudut mulut ke bawah,
atau dengan menurunkan / menaikkan rahang bawah disertai
dengan mengerutkan kulit leher.
2) Sensorik daerah telinga luar, bercampur baur dengan inervasi N.IX / X
dan aurikulais magnus
3) Sensorik khusus, terdiri dari :
a. Lakrimasi
Untuk memeriksa sekresi air mata digunakan tes Schimmer. Pada
tes ini digunakan kertas lakmus warna merah ukuran 5x50 mm.
salah satu ujung kertas dilipat dann dselipkan pada conjungtival sac
didekat sudut mata medial kiri dan kanan, dibiarkan 5 menit
dengan mata terpejam. Normal, air mata dari conjungtival sac akan
membasahi kertas lakmus (warna berubah biru karena air mata
bersifat basa) sepanjang 20-30mm dalam waktu 5 menit. Jika
perembesan pada ertas lakmus kurang dari 20 mm atau tidak ada
sama sekali, hal ini menunjukkan berkurangnya produksi air mata.
Pemeriksaan pada penderita dengan conjungtivitis, hasil nya tidak
akurat.
b. Refleks stapedius
Dilakukan pemeriksaan dengan memasangkan stetoskop pada
telinga penderita, kemudian dilakukan pengetukan lembut
diafragma stetoskop atau dengan menggetarkan garputala
frekuensi 256 Hz di dekat stetoskop. Hiperakusis diketahui dengan
adanya perasaan lebih keras/nyeri. Tes ini disebut sebagai stethoscope
loudness balance test.
c. Pengecapan 2/3 anterior lidah
Diperiksa dengan menggunakan cairan Bronstein, terdiri dari 4% glukosa
untuk rasa manis, 1% asal sitrat untuk rasa asam. 2,5% sodium klorida
untuk rasa asin, dan 0,075% quinine HCL untuk rasa pahit. Penderita
menjulurkan lidah selama pemeriksaan dilakukan, dikeringkan dahulu,
kemudian dengan menggunakan lidi kapas (cotton applicator), bahan
tersebut disentuhkan pada 2/3 depan lidah. Rasa manis diperiksa pada
ujung lidah, asin, dan asam pada pinggir lidah, dan paling akhir rasa pahit
di bagian belakang lidah untuk N.IX. penderita menunjukkan pada kertas
yang bertuliskan manis, asam, asin, pahit, tentang apa yang dirasakan.

10
Tiap kali setelah pemeriksaan, penderita kumur-kumur dahulu dengan
air hangat kuku, lidah dikeringkan lagi, dan baru dilanjutkan
pemeriksaan dengan bahan lain.

6. Pemeriksaan N. Acusticus/Vestibulocochlearis (N.VIII)


Terdiri dari pemeriksaan pendengaran dan keseimbangan.
Pemeriksaan pendengaran untuk menilai ada tidaknya tuli konduksi atau
persepsi, meliputi :
• Suara bisik
• Dengan arloji
• Garputala

1) WEBER, dengan menempatkan garputala pada vertex, normalnya tidak


ada lateralisasi, bila ada lateralisasi kea rah telinga yang sakit berarti
adanya tuli konduksi, dan sebaliknya bila ada lateralisasi kea rah
telinga sehat berarti ada tuli presepsi. Garputala yang dugunakan
fekensi 64 samapi 2048 Hz.
2) RINNE, dengan menempatkan garputala pada planum mastoid
penderita sampai penderita tidak mendengar lagi, kemudian
memindahkannya ke positif, kemungkinannya adalah penderita
normal, atau mengalami tuli presepsi. Bila penderita tidak mendengar
berarti Rinnee negative, pada penderira ini mengalami tuli konduksi.
Garputala yang digunakan frekuensi 128,256,512 Hz.
3) SCHWABACH, dengan membandingkan garputala yang ditempatkan
pada planum mastoid penderta sampai penderita tidak mendengar
lagi, kemudian dipindahkan ke planum mastoid pemeriksa (dianggap
normal) bila pemeriksan tidak mendengar lagi, kemungkinannya
normal atau tuli presepsi, kalau pemeriksanya masih mendengar
penderita mengalami tuli konduksi. Pemeriksaan ini dapat juga
dilakukan dengan menempatkan garputala pada telinga penderita
sampai penderita tidak mendengar lagi, kemudian dipindahkan
ketelinga pemeriksa. Bila pemeriksa tidak mendengar lagi,
kemungkinannya adalah penderita normal atau mengalami tuli
konduksi. Bila pemeriksa masih mendengar kemungkinan penderita
mengalami tuli presepsi. Garputala yang digunakan frekuensi 128, 256,
512 Hz.

Pemeriksaan keseimbangan meliputi :


1. Vertigo : dengan Hallpike manuver
2. Tinnitus : penderita mengeluh telinganya berdenging

11
3. Nistagmus : dengan Hallpike manuver
4. Tes kalori : untuk rangsangan dingin dengam menggunakkan suhu 30
derajat celcius, sedangkan untuk suhu hangat dengan suhu 42 derajar
celcius. Responnya terhadap rasangkan dingin timbul nystagmus (fase
cepatnya) ke sisi kontralateral dari rangsangan, sedangkan pada
rangsangan denga air hangat menimbulkan nystagmus searah dengan
rangsangan (COWS=cold opposite, warm same side). Bila secara
bersamaan kedua telinga diberi rangsangan dingin, akan timbul
nystagmus kearah bawah, sedangkan bila diberi rangsangan air hangat
secara bersamaan pada kedua telinga akan timbul nystagmus ke atas.
Perlu diperhatikan : pada tes kalori untuk orang sehat dengan vertigo
jangan menggunakan air es, bisa menyebabkan muntah-muntah
hebat. Rangsangan air es digunakan untuk tes kalori penderita koma,
bila postif akan timbuh gerakan mata ke sisi rangsangan kornea pada
mata tidak ada nystagmus (yaitu gerakan mata secara cepat untuk
koreksi), sedangkan dengan rangsangan air hangat akan timbul
gerakan mata ke sisi kontralateral rangsangan.

7. Pemeriksaan N. Glossopharyngeus/Vagus (N. IX/X)


Terdiri dari :
1) Inspeksi oropharing dalam keadaan istirahat
Dilihat kedudukan uvula dan arkus faring,, simetris atau tidak
2) Inspeksi orofaring saat berfonasi
Dilihat keadaan uvula dan arkus faring, simetrsi atau tidak saat berfonasi
dengan menyuruh penderita mengucapkan “aaa” ada atau tidaknya
Vernet Rideau Phenomenon (ini murni N.IX) yaitu gerakan seperti tirai,
karena pada saat mengucapkan “aaa” dinding faring yang sehat
terangkat sedangkan yang lumpuh tertinggal.

3) Refleks yang terdiri dari :


a. Reflex muntah / batuk/ reflex faring dengan menekan dinding
belakang faring
b. Reflex oculo-cardiac dengan menekan bola mata, responnya adalah
bradikardi, tapi tidak lebih dari 5-8 perlambatannya
c. Reflex carotico-cardiac dengan penekanan atau masase pada sinus
karotikus, pada kondisi normal tidak menyebabkan perubahan fungsi
otonom, tapi pada individu rentan biasanya pada aterosklerosis atau
hipertensi menyebabkan perlambatan heart rate, turunnya tekanan
darah, turunnya cardiac output, dan vasodilatasi perifer. Pada kondisi
patologis, menimbulkan vertigo, pucat, hilangnya kesdaran (Carotid
Sinus Syncope) dan kadang-kadang kejang. Oleh karenanya pada

12
dugaan hiperaktivitas reflex ini atau adanya stenosis aretri carotis
maka tekanan sinus atau arteri dilakukan dengan hati-hati dan hanya
satu sisi saja.
4) Sensorik khusus : pengecapan 1/3 belakang lidah
5) Suara (serak/parau), ini murni n.vagus
6) Menelan
Kesukaran menelan air atau cair dibandingkan dengan menelah
padat (gangguan esofagus)
7) Detak jantung dan bising usus

8. Pemeriksaan N. Accesorius (N. XI)


Pemeriksaan kekuatan otot trapezius (penderita disuruh mengangkat
bahu dan tangan pemeriksa menahannya) dan sternokleidomastoideus
(penderita disuruh memalingkan kepala kea rah kanan untuk memeriksa
sternomastoideus kiri dengan tangan pemeriksa menahannya dan
sebaliknya)

9. Pemeriksaan N. Hypoglossus (N. XII)


Pemeriksaan otot lidah dalam keadaan :
1. Diam : bilamana terdapat parese/paralyse sisi kiri, maka lidah akan
deviasi ke kanan yaotu ke sisi sehat karena pada lidah yang
parese/paralyse tonusnya menurun atau tidak mempunyai tonus.
2. Bergerak : yaitu dengan menjulurkan lidah, pada parese/paralyse kiri,
maka lidah akan deviasi ke kiri karena pada sisi lesi tidak ada kontraksi
(disini bukan tonus yang berpengaruh tapi kekuatan kontraksi)
Cara memeriksa : penderita disuruh menekankan lidah pada sisi
bagian dalam pipi, sedangkan pemeriksa menahannya dengan jari
tangan pada sisi luarnya, kekuatan lidah menekan pada pipi tersebut
dibandingkan kiri dan kanan.
Kelumpuhan N. XII dapat berupa kelumpuhan sentral atau perifer, untuk
membedakannya sebagai berikut :
I. Kelumpuhan sentral : tidak ada astroi, fasikulasi, bila ada kelumpuhan
di sentral kiri, makan akan terjadi kelumpuhan pada N.XII sisi kanan,
dan bila dijulurkan lidah akan menjulur ke kanan
II. Kelumpuhan perifer : didapatkan atrofi, fasikulasi pada sisi yang
lumpuh, bila lidah dijulurkan akan deviasi ke sisi lumpuh

IV. PEMERIKSAAN PROVOKSI N. ISCHIADICUS


Sebelum melakukan tes provokasi N. Ischiadicus, kita lakukan tes untuk menilai
adanya kelainan pada sendi sakroiliaka, anatara lain : Patricks sign (=FABERE sign:
flexion, abduction, external rotation, extention), Contra Patrics sign. Tes ini positif

13
pada penyakit sendi dan negative pada gangguan saraf ischiadikus, bilamana tes ini
positif maka tes provokasi terhadap n. ischiadikus tidak valid penilainnya.

Cara memeriksa Patricks sign : penderita dalam keadaan berbaring, melolus


eksternal (lateral) tungkai yang dieriksa diletakkan pada patella tungkai yang lain,
dilakukan penekanan lutut kebawah, positif bila terasa nyeri pada sendi sakroiliaka.

Cara memeriksa Contra Patricks sogn : fleksi pada sendi lutut, kemudian kerjakan
endorotasi serta adduksi, lalu tekan tungkai tersebut sejenak pada lutut, tes positif
bisa terasa nyeri pada daerah sakroiliaka.

Pemeriksaan provokasi N. Ischiadikus ada 16 yaitu :


1. Laseque sign (straight leg raising test = SLRT)
Tungkai penderita diangkat secara perlahan tanpa fleksi di lutut, positif bila
pada sudut kurang dari 60 derajat terasa sakit menjalar mulai dari bokong
sampai ujung kaki
2. Crossed Lasseque
Fleksi pada sendi paha yang tidak sakit dengan lutut tetap ekstensi, posititf bila
terasa nyeri pada punggung menjalar kesisi yang sakit
3. Reversed Lasseque
Penderita posisi terlungkup (prnasi), kemudian fleksikan lutut maksimal, positif
bila terasa nyeri pada punggung menjalar ke sisi yang sakit
4. Sicard sign
Dilakukan seperti pada tes Lasseque dengan disertai dorsofleki ibu jari kaki ,
positf bila terasa nyeri sepanjang saraf ischiadikus
5. Bragards sign
Dilakukan seperti pada tes Lasseque dengan disertai dorsofleksi kaki, positif bila
terasa nyeri sepanjang saraf ischiadikus
6. Minors sign
Penderita pada posisi duduk diminta untu berdiri. Pada saat berdiri penderita
memfleksikan tungkai yang sakit, sambal satu tangannya memegang pinggang
yang sakit
7. Neris sign
Penderita berdiri lurus, bila diminta membungkuk kedepan, tungkai yang sakit
akan ditekuk
8. Sciatic tension test
Dilakukan seperti pada tes Lasseque, setelah timbul rasa nyeri dilakukan fleksi
pada sendi lutut kira-kira 20 derajat, kemudian dilakukan lagi fleksi pada sendi
paha hingga timbul rasa nyeri lagi. Penekanan pada fossa poplitea pada saat ini
akan mengakibatkan timbulnya rasa nyeri yang hebat ada daerah sepanjang
perjalanan saraf ischiadikus

14
9. Chin test manuver
Fleksi pasif pada leher sehingga dagu mengenai dada, akan terjadi tarikan pada
akar saraf terutama torakal bawah dan lumbal atas dan akan terasa nyeri.
10. Viets & Naffziger test
Penderita dalam posisi tegak dilakukan oenekanan pada vena jugularis dengan
tangan (Viets), tekanan dipertahankan sampai penderita mengeluh kepala
terasa berat atau minimal 2 menit; atau penekanan dengan menggunakan
manset sfigmomanometer dengan tekanan sebesar sebesar 40 mmHg selama
10 menit (Naffziger) akan nyeri radikular pada akar saraf yang sakit.
11. Valsava test
Dapat dilakukan pada waktu penderita duduk, pederita disuruh mengejan,
responnya positif bila terdapat nyeri sepanjang saraf ischiadikus.
12. Door bell sign
Perkusi dengan hammer pada daerah lumbal bawah akan menyebabkan nyeri
pada paha dan tungkai ( biasanya dirasakan nyeri pada daerah betis,tes ini
diibaratkan kalua kita menelan tombol bell, maka terjadi bunyi bell di tempat
yang jauh ).
13. Bonnet’s phenomenon
Dilakukan seperti pada tes Lasseque dengan disertai adduksi dan rotasi internal
pada tungkai akan nyeri sepanjang saraf ischiadikus.
14. Spurling’s sign
Modifikasi tes Lasseque dengan fleksi paha sampai pada sudut mendekati nyeri,
kemudian dilanjutkan dengan flesi pada leher, akan timbul nyeri sepanjang
ischiadikus.
15. O’Connel’s test
Kedua pana difleksikan secara bersama- sama seperti tes Lasseque sampai pada
sudut timbul rasa nyeri. Kemudia tungkai yang normal (tidak sakit) diturunkan
ke tempat tidur maka terjadi eksaserbasi nyeri yang kadang-kadang disertai
parestesia.
16. Kemp test
Penderita posisi berdiri, diminta untuk melakukan gerakan laterofleksi tulang
punggung (dalam ekstensi), positif bila terasa nyeri radikuler di sisi tubuh
laterofleksi
Pada penderita HNP gerakan rotasi masih tetap dapat dilakukan dengan baik.
Apa beda Lasseque positif pada penderita HNP dengan meningeal sign positif ?
Pada penderita HNP, tes lasseque positif pada satu sisi saja, sedangkan pada
rangsangan meningeal positif pada kedua sisi.

15
V. PEMERIKSAAN MOTORIK
Meliputi :
1. Observasi
Kita lakukan observasi penderita, adakah kelemahan pada saat berjalan (missal
drop foot, yakni gaya berjalan steppage gait, dan lain – lain), membuka kancing
baju, menaiki tempat tidur dan sebagainya, atau asimetri pada wajah, tubuh, dan
ekstremitas.
2. Palpasi otot ( atropi / hipertrofi,nyeri / kontraktrur, dan konsistensi)
Konsitensi otot normal adalah kenyal. Pada kelumpuhan tipe LMN konsistensinya
lembek dan kendor sedangkan pada tipe UMN konsistensinya cukup kenyal dan
lebih tegang. Pada distropia tampak hipertrofi, relief otot menghilang, dan
konsistensinya empuk.
3. Perkusi ( normal,myotonic,mioderma)
Normal tampak cekung 1 – 2 detik. Pada myotonic tampak cekung untuk beberapa
detik (biasanya pada tenar dan lidah ) karena kontraksi berlangsung lebih lama.
Sedangkan pada mioderma terjadi penimbulan sejenak (ini dapat dijumpai pada
orang sehat, mixidema, atau gizi buruk)
4. Tonus (hipotoni,hipertoni)
Pemeriksaan tonus otot dapat dilakukan pada otot manapun juga seperti leher,
tangan, dan sebagainya, yang sering dilakukan pemeriksaan tonus biseps / triceps
untuk ekstremitas atas, dan tonus kuadriseps / hamstring untuk ekstremitas
bawah.
Cara memeriksa : yang terpenting penderita harus relax, untuk mendapatkan
kondisi tersebut dapat dikerjakan dengan mengajak penderita berbincang –
bincang sambal dilakukan pemeriksaan tonus. Hasil pemeriksaan tonus berupa
normal, hipotoni, hipertoni.

Pada hipotoni :
a. Saat dipalpasi : kendor ,anggota gerak dapat dogoyang- goyangkan dengan
mudah, dan tahanan otot tidak terasa. Pada tonus normal dapat dirasakan
adanya tahanan ringan. Penilaian dengan membandingkan kiri / kanan.
b. Secara aktif :otot yang hipotoni sukar mempertahankan sikap bebas.
c. Reflex tendon menurun atau absen

Dapat dijumpai pada :


a. Penyakit LMN : poliomyelitis anterior akuta, siringomyeli,polyneuritis, lesi saraf
perifer, DMP.
b. Kelainan serebelum
c. Chorea minor
d. Spinal shock : dapat terjadi beberapa hari s.d 3 minggu, hal ini karena neuron
medua spinalis terlepas dari pengaruh neuron supraspinal sehingga tidak

16
berdaya dalam melakukan fungsinya, seolah – olah kacau dan tidak dapat
berbuat apa- apa karena belum terbiasa berdiri sendiri.
Pada hipertoni dibedakan 2, yaitu :
a. Spastik ( ada 2 yaitu : fenomena pisau lipat / clask knife dan lead pipe )
b. Rigid ( cogwheel phenomenon)
Pada fenomena pisau lipat tahanan dirasakan pada saat awal gerakan,
sedangkan pada lead pipe terdapat tahanan yang terus menerus sepanjang
gerakan. Pada rigiditas terdapat tahanan yang dapat dirasakan seperti roda
gigi.
Spastik : manifestasi hilangnya pengaruh inhibisa terhadap gamma
motorneuron, lebih sering terjadi pada otot ekstensor daripada fleksor.
Tonus otot dapat meningkat fisiologis karena : ketegaangan mental & suhu
dingin.
Otot badan mendapatkan inervasi kortikal secara bilateral, sehingga
peningkatan tonus tidak jelas.
5. Kekuatan otot
Periksa masing – masing otot, yang sering dikerjakan untuk ekstremitas atas,
antara lain :
a. M. deltoid (C5,C6), inervasi n. axilaris
b. M. biseps brakii (C5,C6), inervasi n. muskulokutaneus
c. M. triceps (C6,C7,C8), inervasi n. radialis
d. M. brakhioradialis (C5,C6), inervasi n. radialis
e. M. pronator teres (C6,C7), inervasi n. medianus
f. M. fleksor karpi radialis (C6,C7), inervasi n. medianus
g. M. fleksor karpi ulnaris (C7,C8,Th1), inervasi n. ulnaris

Sedangkan untuk ekstremitas bawah, antara lain :


a. M iliopsoas (L2,L3), inervasi oleh n femoralis
b. M kuadrisep femoris, terdiri dari m. rectus femoris, m vastus medialis & m.
vastus lateralis (L2,L3,L4), inervasi oleh n. femoralis
c. M hamstring terdiri dari m. semimembranous, m. semitendineus, dan m
biseps femoris kaput brevis dan kaput longus (L4,L5,S1,S2), inervasi oleh n
ischiadicus
d. M gluteus medius (L5,S1), inervasi oleh n. gluteus inferior
e. M gluteus maksimus (L5,S1), inervasi oleh n gluteus superior
f. M tibialis anterior (L4,L5), inervasi oleh n peroneus profundus
g. M gastrocnemius (L5,S1), inervasi oleh n. tibialis posterior
Perhatikan, untuk pmeriksaan m. gastrocnemius, posisi penderita berbaring
lurus dengan tungkai bawah posisi lurus, penderita diminta melakukan
gerakan plantarfleksi seperti menginjak pegas dengan tangan pemeriksa
menahan pada bagian plantar kaki penderita. Bilamana pada posisi tersebut

17
tungkai bawah difleksikan pada sendi lutut, maka yang akan diperiksa buka
m. gastrocnemius akan tetapi m. soleus (L5,S1), inervasinya oleh n. tibialis
posterior juga.
Disamping otot ekstremitas bawah dan atas, juga dappat kekuatan otot
tubuh, yang sering diperiksa adalah otot perut (Bevor’s sign + kelemahan
pada otot rectus abdominalis setinggi segemen torakal IX)
Untuk penilaian kekuatan otot yaitu :
5 Bila dapat melawan tahan kita (normal)
4 Bila dapat melawan tahanan ringan
3 Bila dapat melakukan gerakan melawan gravitasi, tapi
tidak dapat melawan tahanan ringan
2 Bila dapat melakukan gerakan kesamping, tidak dapat
melakukan gerakan melawan gaya gravitasi
1 Bila hanya kontraksi saja (lebih jelas untuk dapat
memperlihatkan adanya, kontraksi, dengan
memberikan rangsangan seperti cubitan pada otot
yang diperiksa)
0 Bila tidak ada gerakana sama sekali (plegi)

6. Penilaian gerakan sekutu abnormal. (gambar dapat dilihat pada buku Priguna )
Gerakan sekutu adalah gerakan involunter & reflektorik yang selalu timbul pada
setiap gerakan vollunter. Dalam keadaan patologik, karena :
a. Lesi pada trkatus ekstrapiramidal : gerakan sekutu lenyap / hilang
b. Lesi pada traktus pyramidal : gerakan sekutu justru timbul yang pada orang
sehat tidak ada.
c. Lesi pada serebelum : gerakan sekutu tidak hilang, tapi sinkronisasinya dengan
gerakan volunteer hilang, sehingga gerakan volunteer menjadi janggal

Berikut ini adalah pemeriksaan gerakan sekutu abnormal (test ini dapat digunakan
untuk mengetahui ada/tidaknya parese ringan :
a. Meremas tangan : (gerakan sekutu pada jari – jari kontralateral yang bersifat
identic)
Bagian tangan penderita yang sehat disuruh meremas tangan pemeriksa,maka
akan tampak gerakan sekutu yaitu tangan penderita yang parese ikut meremas.
b. Tanda ibu jari wartenberg
Bila tidak ada parese UMN, maka ibu jari akan ikut menekuk apabila jari tangan
lainnya melakukan penarikan sekuat – kuatnya. Bilaman ibu jari itu tidak ikut
meneku, melainkan tinggal pasif lurus saja, maka tangan yang bersangkutan
harus dianggap sudah memperlihatkan tanda gangguan di susunan pyramidal
kontralateralnya
c. Aduksi lengan (tanda sterling)

18
Pasien disuruh mengaduksi lengan yang sehat melawan tahanan yang dilakukan
oleh pemeriksa. Tanda sterling berupa ikut berakduksinya lengan yang paretic
pada waktu pasien melaksanakan perintah tersebut diatas.
d. Aduksi kaki (tanda tungkai raimiste)
Tanda ini adalah homolog dengan tanda sterling. Pasien diperiksa dalam posisi
berbaring dengan kedua tungkainya beraduksi. Kemudian pasien disuruh
mengaduksikan tungkai yang sehatnya melawan tahanan yang dilakukan
pemeriksa. Tanda raimiste positif kalua tungkai lainnya ikut beraduksi pada
waktu pasien melaksanakan perintah tersebut diatas.
e. Suruh mengepal dibandingkan kedua tangan (tanda radialis strumpell)
Tangan yang sehat dapat mengepal tanpa melakukan dorsofleksi di sendi
pergelangan. Tetapi dengan adanya lesi di susunan pyramidal, tangan pada sisi
kontralateral dapat mengepal hanya dengan melakukan dorsofleksi secara
reflektorik. Tanda ini harus diungkapkan dengan pemeriksaan kedua tangan
secara simultan dan banding sehingga perbedaannya menonjol.
f. Tanda pronator strumpell
lengan yang sehat dapat melakukan fleksi maksimal di sendi siku sehingga
tangan tiba di bahu dengan telapak tangan menghadap ke bahu. Tetapi lengan
yang paretic UMN ringan sekali tidak dapat melakukan gerakan tersebut,
melainkan mempronasikan lengan bawahnya, sehingga lengan menghadap ke
bahu tidak dengan telapak tangannya tetapi dengan dorsum manusnya.
g. Dari posisi berdiri ke jongkok (respon fleksi lengan)
Jika orang sehat melakukan gerakan untuk berjongkok, maka kedua lengannya
bersikap lurus. Pasien dengan hemiparesis UMN yang ringan sekali akan
memfleksikan lengan yang paretiknya sewaktu ia melakukan gerakan untuk
berjongkok.
h. Dari posisi berdiri ke membungkuk (lengan kedepan atau kaki fleksi)
Orang sehat yang disuruh membungkuk kana melaksanakan perintah itu
dengan gerakan sekutu pada elngan yang berupa fleksi ringan di sendi siku.
Tetapi pasien dengan hemiparesis UMN ringan, melakukan gerakan yang
diperintahkan itu dengan meluruskan lengan yang paretic atau memfleksikan
tungkai yang paretic di sendi siku.
i. Dari posisi tidur suruh bangun (tanda fleksi paha-badan Babinski)
Orang sehat yang berbaring terlentang dengan kedua tangannya ditempatkan
di atas perutnya dapat mengangkat badannya untuk duduk tanpa mengangkat
tungkainya. Terapi orang hemiparetik ringan melakukan gerakan tersebut
selalu dengan mengangkat tungkainya. Terapi orang hemiparetik ringan
melakukan gerakan tersebut selalu dengan mengangkat tungkai yang paretic
juga.
j. Dari posisi tidur kaki menggantung disuruh bangun (tanda ekstensi paha –
badan)

19
Orang sehat yang duduk di tepi tempat tidur dengan kedua tungkainya
digantung, dapat merebahkan badannya di tempat tidur dengan kedua
tungkainya tetap di gantung. Tetapi orang hemiparetik UMN ringan dapat
melaksanakan gerakan tersebut hanya dengan mengangkat tungkai yang
paretiknya, sehingga tungkai yang paretic dan badan menjadi lurus.

VI. PEMERIKSAAN SENSORIK


Pemeriksaan ini sangat subyektif dan memerlukan kerjasama yang baik dengan
pasien meliputi :
1. Eksteroseptik / protopatik (nyeri / suhu / raba halus / kasar )
Untuk nyeri digunakan jarum bundle, cara memegangnya seperti memegang
pensil. Untuk panas, digunakan air dengan suhu 40 – 45 0C, sedangkan untuk suhu
dingin dengan air dingin bersuhu 10-15 0C. untuk raba halus, dengan ujung –ujung
bebas kapas. Reseptor untuk panas adalah Ruffini (berbentuk sisi), dingin adalah
Kraus (berbentuk bunga mawar yang kuncup), rab halus adalah Merkel, raba kasar
adalah Meisner.
Caram pemeriksaan mulai dari daerah yang mengalami gangguan sensibilitas ke
daerah normal, dan sebaliknya, titik temu keduanya merupakan batas
kelainannya.
2. Proprioseptik (gerak/ posisi, getar dan tekan)
Untuk gerak dan posisi dapat dilakukan pemeriksaan pada jari-jari tangan maupun
kaki, dengan memegang sisi lateral jari pasien yang diperiksa, kemudian
digerakkan ke atas atau ke bawah. Yang penting adalah tangan kita tidak
menyentuh jari-jari pasien lainnya saat kita memegang jari asien pada sisi
lateralnya. Sebelumnya pasien diberikan contoh dan saat diperiksa mata pasien
ditutup atau diberi penghalang untuk meyakinkan bahwa penderita tidak melihat
jari-jari yang diperiksa.
Untuk pemeriksaan getar menggunakan garpu tala dengan frekuensi 128 Hz,
dengan meletakkan kaki garpu tala yang telah digetarkan pada anggota gerak
penderita ( biasanya pada malleolus medial, bias juga pada tempat – tempat lain),
untuk pemeriksaan tekan, dilakukan dengan melakukan penekanan pada betis,
sternum dll. Reseptor untuk proprioseptik adalah Pachini.
3. Enteroseptik (nyeri rujukan / referred pain)
Cara memeriksanya: pada daerah yang terasa nyeri dilakukan penekanan, gerakan
aktif/pasif & gerakan isometric. Bilaman penderita tidak merasakan nyeri ditempat
yang dilakukan manipulasi tersebut, maka nyeri rujukan (+)
4. Kombinasi
a. Stereognosis
Diberikan beberapa benda missal kubus, segitiga, bola kemudian ditanyakan
kepada penderita bntuk benda yang ada ditangannya
b. Barognosis

20
Pada tangan penderita diminta untuk membandingkan berat misalnya karet
dengan besi berat yang mana.
c. Graphestesia
Dilakukan goresan pada tangan penderita, penderita diminta untuk
menyebutkan apa yang digoreskan misalnya angka 3,7,dsb. Apabila pasien tidak
dapat mengenal angka tersebut bias jadi mungkin angka tersebut dengan
menulis angka yang lebih besar atau dengan goresan yang tepat.
d. Two point tactile discrimination
Dilakukan penusukan pada 2 tempat pada saat yang sama dengan
menggunakan alat Gordon holmes atau dengan menggunakan 2 jarum bundle.
Normalnya, untuk sitmulasi di lidah 1 mm, ujung jari tangan 2-7 mm, dorsum
manus 20-30 mm, telapak tangan 8-12 mm, dada, lengan bawah dan tungkai 40
mm, punggung, lenganatas dan paha 70-75 mm dan jari kaki 3-8 mm.
e. Sensory Extinction
Pada saat yang bersamaan, pada sisi tubuh yang sepadan, misalnya pada betis
kiri dan kanan kita berikan rangsangan dengan jarum bundel, kemudian kita
tanyakan kepada pasien, bagian mana yang dia rasakan. Kalau pasien hanya
merasakan satu sisi tubuh saja maka pasien tersebut sensory extinction positif.
f. Loss of Body Image
Cara memeriksanya : kita tanyakan tangannya ada berapa, kakinya atau
telinganya ada berapa dan seterusnya, pada pasien dengan loss of body image
akan menjawab satu sisi saja, jadi dia akan menjawab ada satau saja bukan dua.
Karena pada pasein tersebut neglect/pengabaian, yaitu pengabaian pada salah
satu sis tubuhnya, dia tidak merasa memiliki sisi tubuh yang diabaikan.

VII. PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS


Meliputi :
1. Refleks superfisial (dinding perut, cremaster, gluteal)
Refleks dinding perut : goresan dinding perut dengan jarum bundel daerah
epigastric, supra umbilical, umbilical, infra umbilical dari lateral ke medial (ke
arah umbilicus). Afferen dan efferent sama :
a. N. Intercostalis T 5-7 (epigastric)
b. N. Intercostalis T 7-9 (supraumbilical)
c. N. Intercostalis T 9-11 (umbilical)
d. N. Intercostalis T 11-L1 (infraumbilical)
Refleks cremaster, goresan dengan jarum bundel pada sisi medial paha dari atas
ke bawah atas dapat dilakukan pemijatan dengan tangan pada daerah tersebut,
responnya positif bila terdapat kontraksi testis (elevasi/terangkatnya testis) sisi
ipsilateral.
Afferen : N. Ilioinguinalis (L1-2)
Efferen : N. Genitofemoralis

21
Refleks gluteal dengan menggorekan jarum bundel daerah gluteus dan
jawabannya adalah gerakan refraktorik/kontraksi dari m. Gluteus.
Afferen : N. Lumbalis posterior (L4-S1)
Efferen : N. Gluteus inferior
Ada beberapa reflex superfisial lain seperti interscapula, dan lain-lain.
2. Reflek tendon/periosteum
Pada penderita sadar (GCS 456), suruh penderita dalam kondisi relaks.
Responnya :
0 Bila tidak ada gerakan sendi dan kontraksi
+1 Bila terdapat kontraksi saja
+2 Bila selain kontraksi juga ada gerakan sendi
+3 Responnya sama dengan +2 hanya lebih kuat
kontraksinya dan ada perluasan
+4 Sama dengan +3 ditambah ada klonus

a. Refleks Biceps (BPR)


Posisikan lengan sehingga sendi siku membentuk sudut >90 derajat,
tempatkan 2 jari pemeriksa (jari 2 dan 3) pada tendon m. biceps sebagai
alas untuk mengetok dengan hammer reflex (karena tendon m. biceps
tidak langsung melekat pada tulang). Kemudian ketok dengan gentle
dibandingkan sisi kira dan kanan. Responnya : gerakan fleksi lengan bawah
pada sendi siku.
Afferen dan efferent : N. Musculocutaneus (C5-6)
b. Refleks Triceps (TPR)
Posisikan lengan seperti memeriksa BPR, sedikit pronasi, bedanya disini
sudutnya 90 derajat, ketoklah tendon m. Triceps tanpa memakai alas
tangan (karena tendonnya langsung menempek pada tulang),
dibandingkan kiri dan kanan. Responnya : gerakan ekstensi lengan bawah
pada sendi siku. Afferen dan efferent : N. Radialis (C6,7,8)
c. Refleks Periosto-radialis
Posisikan lengan setengah fleksi dan sedikit pronasi, kemudian lakukan
ketokan pada processus styloideus radii. Responnya : fleksi lengan bawah
di sendi siku dan supinasi karena kontraksi m. Brachioradialis.
d. Refleks Periosto-ulnaris
Posisisikan lengan setengah fleksi dan antara pronasi-supinasi, dilakukan
ketukan pada periosteum processus styloideus ulnae. Responnya : pronasi
tangan akibat kontraksi m. Pronator quadratus. Afferent dan efferent : N.
Ulnae (C8-T1)
e. Refleks Patella (KPR)
Dilakukan pemeriksaaan kedua patella secara bersamaan, dengan
memposisikan kedua lutut dengan tangan kiri pemeriksa atau dengan

22
mengganjal menggunakan bantal, sedangkan tangan kanan pemeriksa
melakukan pengetukan dengan hammer reflex. Responnya : ektensi
tungkai bawah karena kontraksi m. Quadriceps femoris. Afferent dan
efferent : N. femoralis (L2,3,4)
f. Refleks Achilles (APR)
Posisikan kaki penderita yang akan dieperiksan di atas tulang kerung kaki
kontralateral, sambil melakukan dorsofleksi ringan pada jari-jari kaki
penderita yang ditahan dengan tangan kiri pemeriksa. Dilakukan ketukan
pada tendon achilles. Responnya : plantar fleksi kaki karena kontraksi m.
Gastrocnemius. Afferent dan efferent : N. Tibialis (L5-S1)
g. Klonus lutut
Pegang os. Patella dan kita gerakan ke arah proksimal, kemudian dilakukan
pendorangan os. Patella kea rah dital secara cepat, responnya berupa
kontraksi reflektorik m. Quadriceps femoris selama stimulus berlangsung.
h. Klonus kaki
Posisikan tungkai bawh fleksi dan dalam kondisi relaks tangan kiri
pemeriksa memegang pada fossa poplitea, kemudia kita lakukan gerakan
dorsofleksi secara mendadak dengan tangan kanan pemeriksa. Responnya
: kontraksi reflektorik otot betis selama stimulus berlangsung.
Bagaimana cara membedakan klonus (true klonus) dengan klonus
palsu/pseudo clonus (kasus psikiatri)? Pada true clonus dapat dihentikan
dengan fleksi plantar kaki atau ibu jari kaki sedangkan pada pseudo klonus
tidak dapat. Di samping itu, pada pseudo clonus, klonus yang muncul sulit
dipertahankan dan irregular.

VIII. PEMERIKSAAN REFLEKS PATOLOGIS


1. Babinski
Penggoresan telapak kaki bagian lateral dari arah posterior ke anterior,
responnya : ekstensi (dorsofleksi) ibu jari kaki dan pengembangan (fanning)
jari-jari kaki.
2. Chaddock
Penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral, sekitar malleolus lateral dari
posterior ke anterior. Responnya : seperti Babinski.
3. Oppenheim
Pengurutan crista anterior tibiae dari proksimal ke disktal. Responnya : seperti
Babinski.
4. Gordon
Penekanan betis secara keras, dengan posisi tungkai bawah difleksikan pada
sendi lutut. Responnya : seperti Babinski.
5. Schaeffer

23
Melakukan pemencetan pada tendon achilles secara keras. Responnya :
seperti Babinski.
6. Gonda
Penekanan (plantar fleksi) maksimal jari kaki ke-empat. Responnya seperti
Babinski.
7. Stransky
Penekukan ke lateral secara maksimal jari kaki ke-lima. Responnya: seperti
Babinski.
8. Rossolimo
Pengetukan pada telapak kaki bagian atas. Responnya : fleksi jari-jari kaki pada
sendi Interphalangealnya.
9. Mendel-Bechterew
Pengetukan dorsum pedua pada daerah os. Cuboideum (lurus dengan jari ke-
empat ke arah proksimal di depan talus).
10. Hoffman
Goresan pada kuku jari tengah (jari III) pasien. responnya fleksi ibu jari tangan
diikuti jari-jari lainnya.
11. Trommner
Colekan pada ujung jari tengah (jari III) pasien. responnya : seperti Hoffman.
12. Leri
Posisikan tengan pasien dengan sikap lengan diluruskan bagian volar/ventral
menghadap ke atas, kemudian dilakukan fleksi maksimal tangan pada
pergelangan tangan. Responnya : normal kalau terjadi fleksi di sendi siku.
13. Meyer
Fleksikan maksimal jari tengah pasien ke arah telapak tangan. Responnya :
normal kalau terjadi oposisi ibu jari.

Juga beberapa reflex primitive/regresi (tapi tidak termasuk dalam kisi-kisi ujian
board), antara lain :
1. Sucking reflex
Sentuhan pada bibir. Responnya : gerakan bibir, lidah, dan rahang seolah-olah
menyusu.
2. Snout reflex
Ketuka pada bibir atas. Responnya : kontraksi otot-otot sekitar bibir/bawah
hidung (menyungur).
3. Grasp reflex
Penekanan/penempatan jari si pemeriksan pada telapak tangan pasien.
responnya : tangan pasien mengepal.
4. Palmo-mental reflex

24
Goresan ujung pena/ibu jari tangan pemeriksa terhadap kulit telapak tangan
bagian tenar pasien. responnya : kontraksi otot mentalis dan orbicularis oris
ipsilateral.

IX. PEMERIKSAAN SEREBELUM


Syaratnya untuk melakukan pemeriksaan serebelum selain kesadarannya harus
baik GCS 456, harus tidak adda parase sebab kalau ada parase maka hasil
pemeriksaannya menjadi tidak valid. Pemeriksaan serebelum meliputi :
1. Pemeriksaan koordinasi terdiri dari :
a. Asinergia/disinergia : menyuruh pasien menggambar lingkaran, mengambil
gelas dari meja untuk diminum, penderita tidak mampu melakukannya.
Semua tes untuk mengetahui adanya dismetria dapat digunakan untuk
mengevaluasi asinergia/disinergia.
b. Diadokinesia : gerakan bolak balik, bila tidak dapat melakukan dinamakan
disdiadokinesia.
c. Metria : kemampuan untuk mengukur ketepatan gerakan, kalau tidak dapat
melakukan dinamakan dismetria, sebagai contoh tes telunjuk hidung.
d. Test memelihara sikap:
1) Rebound phenomenon
2) Test lengan lurus
Caranya kedua lengan diluruskan setinggi bahu, kemudia mata penderita
dipejamkan, lengan yang satu diturunkan selanjutnya penderita disuruh
mengembalikan lengan yang diturunkan oleh pemeriksa ke posisi semula.
Pada orang normal dapat melakukan gerakan tersebut dengan baik
sedangkan pada penderita dengan kelaianan serebelum tidak dapat
melakukannya. Untuk memelihara sikap orang sehat tidak perlu bantuan
mata, tapi pada lesi serebelum perlu bantuan mata.
e. Bicara : disatria dan scanning speach

2. Keseimbangan, terdiri dari :


a. Sikap duduk : dilihat terdapatnya trunkal ataxia yakni tubuh yang bergoyang-
goyang yang akhirnya jatuh ke sisi lesi pada saat penderita dalam posisi
duduk.
b. Sikap berdiri :
1) Wide base/broad base stance (=beridi dengan kaki melebar)
2) Modifikasi Romberg : jatuh ke sisi lesi
3) Dekomposisi sikap
a) Berdiri satu kaki
b) Dari duduk ke berdiri pada orang normal dapat melakukan urut-urutan
gerakan dari duduk ke berdiri yaitu dengan membungkukkan

25
badannya baru berdiri, tetapi pada penderita dengan kelainan
serebelum langsung dari duduk ke berdiri sehingga mudah jatuh.
c) Membungkuk jauh ke depan : orang normal dapat melakukannya
tanpa jatuh, pada penderita dengan lesi serebelum akan jatuh.
c. Berjalan/gait : (penderita tidak dapat melakukan gerakan dengan baik dan jatuh
ke sisi lesi)
1) Tandem walking : berjalan lurus ke depan dengan satu kaki ditempatkan di
edpan jari-jari kaki lainnya.
2) Berjalan memutari kursi atau meja
3) Berjalan maju mundur
4) Lari di tempat

3. Tonus : pendular (dilakukan pengetukan patella dengan hammer reflex dengan


tangan kanan pada posisi lutut menggantung, sambil penderita melakukan jendrasik
manuver pada kedua tangan, atau tanga penderita disuruh meremas kuat tangan
kiri pemeriksa, reposnnya berupa gerakan seperti bandul lonceng/pendular.
4. Tremor : terminal tremor yaitu timbulnya tremor justru saat akan mencapai (
mendekati) terget. Misalnya menyuruh ujung jarinya didaratkan ke ujung
hidungnya, pada saat ujung jarinya mendekati ujung hidungnya timbul tremor.

X. PEMERIKSAAN FUNGSI LUHUR


Meliputi:
a. Aphasia e. Akalkulia
b. Alexia f. Disorientasi kiri-kanan (right-left
c. Apraksia disorientation)
d. Agraphia g. Finger agnosia

Pemeriksaan fungsi luhur dapat dikerjakan kalau penderita dalam kondisi kesadaran
penuh.
a. APHASIA
Periksa 6 modalitas Bahasa, yaitu bicara spontan, pemahaman, pengulangan,
penamaan, membaca, dan menulis. Dari sini dapat dibedakan berbagai jenis
aphasia, yaitu aphasia motorik, sensorik, konduksi, transkortikalis, transkortikalis,
anomik, dan global.
Berikut secara singkat keenam jenis aphasia tersebut:
1. Aphasia motorik (=Broca): pemahaman auditorik baik, bicara spontan tak lancer
(non fluen), modalitas Bahasa lainnya terganggu. Lesi di bagian posterior girus
frontalis inferior / area Broca’s (area 44; 45 Broadmann) kiri.
2. Aphasia sensorik (=Wernicke): pemahaman sangat terganggu, bicara spontan
lancer (fluen), tapi kata-katanya tidak dapat dimengerti / neologisme,
modalitas bahasa lainnya terganggu. Lesi di region temporalis superior kiri

26
sebagai area asosiasi auditorik (area 2 Broadnman), kadang meluas ke region
parietalis inferior kiri.
3. Aphasia konduksi: pengulangannya sangat terganggu, pemahaman baik, bicara
lancer kadang agak ragu, modalitas bahasa lainnya kadang terganggu. Lesi di
fasikulus arkuatus (jaras yang menghubungkan antara daerah temporal paling
belajang dengan korteks asosiasi lobus frontalis kiri). Dibedakan menjadi dua,
yaitu bila lebih ke frontal maka kemampuan bicara kurang lancer, dan bila lebih
ke posterior maka kemampuan bicaranya lancer.
4. Aphasia transkortikalis: kemampuan pengulangannya relatif baik, bicara
spontan lancer (fluen) tapi kata-katanya tidak dapat dimengeri / neologisme,
sedangkan modalitas bahasa lainnya terganggu. Lesi di sekitar daerah perisylvii.
Dibedakan menjadi dua, yaitu trankortikalis motorik dan trankortikalis sensotik.
5. Aphasia anomik (=aphasia amnestik, nominal): penamaan jelek, modalitas
bahasa lainnya baik. Merupakan aphasia yang ringan, ditandai kesulitan dalam
menemukan kata, mungkin merupakan sisa gejala dari salah satu jenis aphasia
yang sudah membaik. Lesi di girus angularis kiri.
6. Aphasia global: semua modalitas bahasa terganggu / jelek. Lesi di daerah
sylvian dann sekitarnya hemisphere kiri dengan luas lesi sekitar 3,9 cm s.d. 5,8
cm, setara dengan 5 slices pada CT scan.

b. ALEXIA
Penderita tidak buta huruf. Penderita disuruh membaca, pada alexia penderita
tidak dapat membaca.

c. APRAKSIA
Apraksia adalah ketidakmampuan penderita untuk melaksanakan gerakan sesuai
yang diperintahkan, sedangkan melaksanakan gerakan atas kemauan sendiri tidak
memiliki gangguan.
Syaratnya tidak ada gangguan motorik, sensorik, dan serebelum. Untuk kelainan
di hemisphere dominan (kiri) dikenal apraksia ideomotorik dan ideasional.
Sedangkan pada kelainan di hemisphere non dominan (kanan) dikenal apraksia
berpakaian (dressing apraxia) dan apraksia konstruksional. Kedua jenis apraksia
yang terakhir ini berkaitan dengan gangguan visuospasial.
Cara memeriksa: penderita diminta untuk mengambil air di gelas, kemudian
disuruh meminumnya. Pada apraksia ideamotor penderita dapat melakukan
sebagian, sedangkan pada apraksia ideasional penderita sulit melakukannya.
Untuk apraksia berpakaian, penderita kesulitan untuk berpakaian, sedangkan
untuk apraksia konstruksional, penderita kesulitan untuk menyusun balok-balok.

d. AGRAPHIA

27
Penderita tidak dapat menulis. Caranya, meminta penderita menulis namanya,
kota kelahirannya, dan sebagainya

e. AKALKULIA
Penderita tidak dapat melakukan perhitungan aritmatika sederhana, seperti
pengurangan 7 dari seratus, dan seterusnya. Atau penjumlahan sederhana, di
mana sebelumnya penderita dapat melakukan demgan mudah

f. Right – Left Disorientation


Cara memeriksa: kita sentuh telinga kiri, kiri kanan, atau telinga kanan dan
seterusnya, kemudian kita tanyakan kepada penderita, yang kita sentuh tersebut
sisi kiri atau kanan. Pada penderita dengan right-left disorientation (disorientasi
kiri-kanan) akan mengalami kebingungan antara sisi kiri dan kanan (kesulitan
membedakan sisi kiri dan kanan).

g. Finger agnosia
Penderita tidak dapat mengenali baik jari-jarinya sendiri maupun jari-jari
pemeriksa, biasanya tiga jari, yaitu jadi ke-2, 3, dan 4. Cara memeriksanya:
penderita diminta menyebut jari-jari penderita atau pemeriksa (biasanya
digunakan jari 2,3, dan 4).

XI. LAIN-LAIN
Beberapa hal yang juga perlu diketahui (bukan termasuk dalam kisi-kisi ujuan board),
sebagai berikut :
1. Pemeriksaan untuk menentukan tinggi lesi :
a. Motorik (terdapatnya kelemahan)
b. Sensorik
c. ANS/Autonomic Nervous System yaitu : perpirasi, bladder, bowel
d. Refleks yang menurun
e. Sign/tanda missal : Bevor’s sign (+) berarti tinggi lesi Thorakal X (umbilicus),
caranya : penderita posisi berbaring, dengan kedua tangan ditempatkan di
belakang kepala dan penderita di suruh bangkit seperti gerakan sit up. Kita
perhatikan umbilivus penderita, bila terangkat ke atas berarti Bevor’s sign (+),
bila tetap di tengan berarti (-).
f. Nyeri tekan : nyeri ketok, nyeri tarik sumbu, nyeri tekan sumbu.
g. Radicular pain : Lhennitte’s sign
h. Sindroma-sindroma

2. Refleksi meningkat dilihat dari :


a. Perluasan
b. Intensitas

28
c. Refleks patologis (+)
d. Klonus

3. Larutan untuk perspirasi terdiri dari :


a. Alkohol 300 cc
b. Iodium 5 g
c. Oil Rinii 30 cc
Bila tidak ada Iodium, penggantinya :
a. FeCl3 + Tannic acid berwarna coklat susu
b. Alkohol + Cobalt berwarna merah

4. Langkah melakukan tes perspirasi sebagai berikur :


a. Persiapan ½ jam sebelum tes diberi 1 g parasetamol + minum banyak
b. Tubuh dibersihkan dulu dengan diseka air
c. Kemudian dibersihkan dengan alkohol
d. Dilakukan perspirasi tes
e. Tunggu kering
f. Taburi amylum
g. Pasang tungkup perspirasi tes ( di dalamnya terdapat dop lampu 300 watt @75
watt sebanyak 4 buah) selama kurang lebih ½ jam. Perspirasi (+) berwarna ungu,
negative (-) berarti tidak ada keringat, warnanya tetap putih (warna amylum)

5. Cara membedakan sindroma Horner sentral dan perifer sebagai berikut :


a. Horner sentral (preganglioner yakitu thalamus s/d ganglion servikalis superior)
i. Diberi cocain 4% : terjadi dilatasi pupil karena cocain menghambat reuptake
katekolamin endogen (pada Horner sentral serabut post ganglionnya masih
utuh sehingga masih bisa memproduksi katekolamin) dengan cara memblok
MAO (Monoamin oksidase) yakni enzim yang merusak epinefrin dan
norepinefrin. Dapat juga diberikan hidroksi amphetamine (=paredrine) maka
terjadi dilatasi pupil karena merangsang pelepasan norepinefrin dari presinap.
ii. Diberi ephedrin 1/1000: tidak terjadi dilatasi
b. Horner perifer (postganglioner yaitu setelah ganglion cervicalis superior)
i. Dengan cocain 4% : tidak terjadi dilatasi pupil
ii. Dengan ephedrine 1/1000 terjadi dilatasi pupil karena pada horner perifer
hubungan dengan serabut sentralnya terputus, sehingga terdapat
hipersensitivitas denervasi akibatnya dengan pemberian larutan serendah itu
sudah dapat membangkitkan midriasis. Sedangkan pada orang sehat, larutan
ephedrine 1/1000 tidak bereaksi apa-apa pada pupil.
Kebalikan sindroma Horner adalah sindroma Claude-Bernard yakni karena lesi
iritatif saraf simpatis bagian cervical dan kepala.

29
6. Cara membedakan winging scapula karena m. Trapezius & m. Serratus anterior,
yakni pada saat lengan diluruskan:
a. bila karena m. trapezius (n. asesorius/N. XI): scapula akan jatuh
b. bila karena m. serratus anterior (n. thoracalis longus): scapula akan menjauh dari
garis tengah

7. Cara membedakan drop hand karena lesi UMN & LMN yakni disuruh memegang
benda menggunakan tangan yang menjulai/drop hand:
a. Pada lesi UMN: dapat langsung memegang dengan mendorsofleksikan tangan
terlebih dahulu
b. Pada lesi LMN: dapat memegang dengan mengangkat seluruh lengan bawahnya
terlebih dahulu

8. Membedakan kelumpuhan organik dengan malingering, dengan menggunakan


Hoover sign yaitu: kedua tangan pemeriksa diletakkan pada masing-masing kaki
penderita dengan menahan pada bagian tumitnya, kemudian penderita diminta
untuk mengangkat kedua kakinya bersama-sama. Bila terdapat tahanan pada
tangan pemeriksa berarti Hoover sign (+) menunjukkan kelainan organik, bila sama
sekali tidak didapatkan tahanan berarti (-) menunjukkan psikogenik / malingering.

9. Pemeriksaan untuk mengetahui adanya parese ringan, sehagai herikut: (gambar


dapat dilihat pada buku Priguna)
a. Tanda pronasi Stumpell
Cara memeriksa: penderita disuruh melakukan gerakan fleksi lengan bawah di
sendi siku secara volunter dengan bagian volar menghadap ke atas, bila terdapat
parese UMN pada lengan tersebut, maka akan terjadi pronasi lengan bawah
sehingga bagian volar menghadap ke bawah, sehingga telapak tangan tidak
menghadap ke bahu melainkan dorsum manuslah yang menghadap ke bahu.
Pada orang normal tanpa adanya parese dapat merekukkan lengannya di siku
sehingga telapak tangan atau jari-jari tangan yang mengepal berhadapan dengan
bahu.
b. Tes sikap tangan sembahyang
Cara memeriksa: penderita disuruh mengangkat kedua lengannya sarnpai di atas
kepaianya, kemudian jari jari tangannya disuruh saling menyentuh satu dengan
lainnya secara sepadan kiri/kanan. Pada orang normal dapat melakukan gerakan
tersebut dengan baik. Tapi pada penderita dengan parese ringan UMN tidak
dapat melakukannya karena tangan yang paretik akan berpronasi sehingga jari-
jari kedua tangan tidak dapat bersentuhan secara sepadan.
c. Tes lengan jatuh
Cara memeriksa: pemeriksa mengangkat secara pasif lengan bawah penderita ke
atas bahunya, kemudian menjatuhkannya. Pada lengan orang sehat maka lengan

30
akan jatuh dalam posisi antara pronasi dan supinasi. Tapi pada penderita dengan
parese UMN akan jatuh dalam sikap pronasi.
d. Tes menggoyang-goyangkan lengan
Cara memeriksa: penderita diminta duduk untuk meluruskan kedua lengannya
ke depan dengan telapak tangan terbuka ke atas, kemudian pemeriksa
menggoyang-goyangkan kedua lengan tersebut ke atas/bawah. Pada orang sehat
dapat mempertahankan posisi tersebut. Tapi pada penderita dengan parese
UMN terlihat setelah beberapa goyangan lengan tersebut, maka lengan yang
parese akan berubah posisi dari sikap lengan lurus ke depan menjadi pronasi.
e. Tes deviasi lengan
Cara memeriksa: penderita diminta untuk meluruskan kedua lengannya secara
horizontal ke depan dengan telapak tangan terbuka ke atas, dengan kedua mata
tertutup. Pada orang sehat dapat mempertahankan posisi tersebut. Tapi pada
penderita dengan parese UMN ringan maka lengan yang parese akan berpronasi
dapat dilihat jelas pronasi pada digiti quinti dan turun. Atau dilakukan modifikasi
dengan menyuruh penderita untuk menaikkan/menurunkan lengannya secara
perlahan & kita amati terdapatnya pronasi atau turunnya lengan yang parese
f. Posisi kaki miring ke samping
Cara memeriksa: pemeriksa melihat posisi kedua kaki penderita yang berbaring
terlentang dengan kedua tungkainya lurus dalam keadaan awas-waspada. Pada
orang sehat kedua tungkainya tampak simetris. Tapi pada orang dengan parese
UMN akan terlihat asimetri sikap kedua kaki tersebut, pada sisi yang parese, kaki
bersikap jauh lebih miring ke lateral dibandingkan sisi tubuh yang sehat. Apabila
pemeriksa memperbaiki sikap eksorotasi kaki tersebut sehingga kedua kaki
bersikap simetrik kembali, maka kaki yang parese akan kembali lagi ke posisi
eksorotasi yang diperiihatkan semula (miring ke lateral).

g. Tanda tungkai Barte


Cara memeriksa: penderita disuruh berbaring telungkup, lalu kedua tungkai
bawahnya ditekuk pada sendi lutut sehingga membentuk sudut 90' dengan
tungkai atas. Pada parese UMN maka tungkai yang parese akan jatuh dengan
segera, namun bila paresenya sangat ringan sekali mungkin tidak tampak pada
pemeriksaan tersebut, maka dapat diperjelas dengan menekukkan kedua tungkai
bawah tersebut sehingga membentuk sudut 45' pada bidang landasannya. Posisi
kedua tungkai penderita tersebut dipertahankan dengan bantuan kedua tangan
pemeriksa Pada saat bantuan tangan pemeriksa dilepaskan maka tungkai yang
paretik akan segera jatuh. Sedangkan pada orang sehat dapat mempertahankan
posisi di atas dengan baik.
Dasar pemeriksaan ini: otot ekstensor tungkai yang paretik lebih kuat
dibandingkan otot fleksornya
h. Tes lutut jatuh Wartenberg

31
Cara memeriksa: penderita disuruh berbaring terlentang dengan kedua tungkai
diluruskan, dengan menempatkan sehelai kertas sebagai landasan licin di bawah
kedua kakinya (tumitnya). Kernudian penderita diminta untuk menekukkan
lututnya. Pada tungkai yang sehat dapat melakukan gerakan tersebut dengan
baik, sedangkan pada tungkai yang parese UMN tidak dapat mempertahankan
tertekuknya lutut tersebut sehingga lutut jatuh & kaki meluncur di atas kertas
landasan.
i. Dan gerakan sekutu abnormal seperti disebutkan di atas pada bagian
pemeriksaan motorik.

10. Tanda Rosenbach: tremor halus pada kelopak mata yang tampak kalau kedua mata
ditutup, sering terlihat pada hipertiroid dan histeri.

11. Flapping tremor/asteriksi/liver flap: dijumpai pada kegagalan hepar, ginjal,


insufisiensi pulmonal dan sindroma malabsorpsi

12. Beda beberapa jenis tremor, sebagai berikut:


a. Tremor Parkinson: kasar 2-7 kali/detik
b. Tremor essensial & tremor fisiologis: halus 8-12 kali/detik
c. Tremor serebelar: kasar 3-5 kali/detik, dibagi 2 yaitu:
(i) Tremor rubral karena lesi pada dentatorubral: dapat timbul saat istirahat
tapi paling jelas saat lengan/tangan memelihara suatu sikap tertentu
(ii) Tremor serebelopetal & serebelum bersifat terminal yakni lebih jelas &
hebat pada akhir gerakan tangkas intensional

13. Akatisia (kegelisahan motoris): penderita menggoyang-goyangkan tungkai &


kakinya terus menerus baik waktu duduk/berdiri sambil mulutnya melakukan
gerakan mengunyah terus menerus
14. Tardive diskinesia: gerakan involunter akibat pengaruh obat mayor tranquilizer atau
anti hipertensi golongan alkaloid rauwolfia seperti reserpin, serapes, serpasil, juga
pada orang tua lanjut tanpa obat. Gerakannya berupa: gerakan mulut komat kamit,
mengunyah-ngunyah, rahang bawah bergoyang bolak balik ke samping secara
halus, bibir mengecap-kecap berulang-ulang, kepala bergoyang-goyang halus kian
kemari & terus menerus (titubasi).
15. Impuls raba lewat 2 jalur:
a. traktus spinothalamicus anterior: menelurkan perasaan raba umurn yakni
.merasa diraba tanpa mengenal tempat yang diraba.
b. traktus kuneatus & gracilis: perasaan raba yang mernpunyai sifat lokalisasi &
diskriminasi yakni merasa diraba pada daerah tubuh & juga dapat membedakan
intensitasnya.

32
16. Kontraksi otot ada 2 macarn, yakni:
a. kontraksi isometrik: otot tidak memendek selama kontraksi.
b. kontraksi isotonik: waktu otot memendek tekanan pada otot tetap konstan.

17. Untuk nyeri dan suhu impuls berakhir di nukleus VPL (Ventro Postero Lateral)
thalamus, untuk proprioseptik berakhir di nukleus VPM (Ventro Postero Medial)
thalamus, sedangkan untuk raba berakhir di kedua nukleus tersebut.

18. Untuk membedakan pupil yang lebar & refleks cahaya negatif karena blokade
atropin dan kerusakan simpatis, sebagai berikut:
a. karena blokade atropin: tidak dapat menguncup jika ditetesi dengan.pilocarpin
(acetylcholin esterase inhibitor)
b. karena kerusakan simpatis (N. III terputus): m. Sfingter pupilae masih bisa
berkontraksi dengan penetesan pilocarpin sehingga miosis.

19. Diplopia ringan dapat diketahui dengan cara:


a. kaca merah / kaca Madox
b. menutup mata secara berselingan: penyimpangan kedua mata sewaktu mata
ditutup diukur dengan kaca prisma, pada mata yang parese terdapat
penyimpangan yang lehih besar.
Diplopia tidak selalu akibat manifestasi kelumpuhan otot okuler saja, segala proses
yang dapat mengubah posisi bola mata sesisi atau kedua sisi dapat mengakibatkan
diplopia, seperti:
a. fraktur orbita
b. hematoma bola mata
c. trauma bola mata
d. subluxatio lensa
e. edema makular
f. miastenia gravis
g. oftalmoplegi tiroid
h. polineuritis kranialis
i. multipel sclerosis
j. kelumpuhan N. III, IV dan VI

20. Strabismus ada 2 tipe, yaitu:


a. paralitik .
b. non paralitik (tidak ada diplopia): karena satu otot lebih panjang dari yang lain,
disebabkan kelainan bawaan

21. Kelemahan otot wajah ada 2 Jenis:

33
a. Volunter (lesi pada korteks piramidalis): gerakan volunter tidak dapat
dilakukan, perubahan raut wajah waktu emosi justru masih bisa (tertawa
spontan, mengerutkan dahi saat marah)
b. Involunter (lesi pada korteks frontalis): otot wajah kontra lateral masih dapat
digerakkan secara volunter, tapi tidak ikut bergerak jika tertawa/merengut

22. Tanda Bell (Bell's phenomenon)


Cara memeriksanya: penderita disuruh memejamkan mata, pada sisi yang sakit
kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata & dapat kita saksikan berputarnya
bola mata ke atas. Pada penderita Bell's palsy adanya gejaia sisa berupa sinkinesis
(gerakan yang mengikuti gerakan otot kelompok lain) menyebabkan sudut mulut
sisi yang pernah lumpuh tampak Iebih tinggi kedudukannya dibandingkan pada
sisi sehat. Perlu diperhatikan, pada orang ompong (tidak punya gigi), lipatan
nasolabialnya mendatar. Bila orang tersebut pernah menderita Bell's palsy
unilateral, lipatan nasolabialnya akan menjadi lebih nyata pada sisi sakit karena
adanya kontraksi otot fasialis, sedangkan pada sisi sehat justru mendatar.

23. Beda tuli konduksi & persepsi, sebagai berikut:


Tuli Konduksi Tuli Persepsi
Tuli untuk menangkap bunyi nada rendah, Tuli nada tinggi, seperti sisa, susah,
seperti rumah, mama, bambu, Bandung, sapu, Surabaya, Salatiga, Singkawang
Malang, Lawang, dan seterusnya dan seterusnya
Tes Schwabach: memendek Memendek
Tes Rinne : negatif Positif
Tes Weber: lateralisasi ke telinga yang tuli Ke telinga yang baik
Tinitus : bernada rendah Bernada tinggi

Gangguan penderita tanpa gangguan vestibular terutama gangguan konduksi


sedangkan gangguan pendengaran dan gangguan vestibular terutama tuli
persepsi.

24. Bila ada mata menutup satu, maka kelopak mata kita buka pada bagian mata
yang menutup:
a. bila mata tenggelam: terdapat kelainan N. III
b. bila mata tenggelam dan pupil rniosis: Horner syndrome
c. bila mata tidak tenggelam: miastenia gravis (karena kelainannya pada ototnya
saja yaitu pada myoneural junction)

25. Nystagmus perifer dan sentral


Perifer Sentral
Periode laten (2-20detik) + -

34
Lamanya < 2 menit > 2 menit
Vertigo + -
Lelah + -
Habituasi + -

26. Pemeriksaan gerakan tulang belakang dilakukan pada pasien dalam posisi berdiri,
normalnya gerakan fleksi ke depan oleh sekitar 40’-60”; ekstensi 20’-50’, fleksi ke
samping 15’-20' dan rotasi 3’-18’. Untuk gerakan rotasi lebih baik diperiksa dalam
posisi duduk karena pinggul dan pelvis lebih stabil pada posisi duduk.

35
DAFTAR PUSTAKA

Prasad K, Spillane J, Yadav R. 2013. Bickerstaff’s Neurological Examination in Clinical


Practice 7th edition. New Delhi: Wiley India
Biller J, Gruener G, Brazis P. 2011. DeMyer’s The Neurologic Examination – A Programmed
Text 6th edition. New York: McGraw-Hill
Campbell WW. 2013. DeJong’s The Neurologic Examination 7th edition. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins.
Fuller G. 2013. Neurological Examination Made Easy 5th edition. Edinburgh: Churchill
Livingstone Elsevier

36

Anda mungkin juga menyukai