Buku Pemeriksaan Neurologi Bedah Saraf Solo Final
Buku Pemeriksaan Neurologi Bedah Saraf Solo Final
NEUROLOGI
BEDAH
SARAF
dr. Ferry Wijanarko, Sp.BS
dr. Heriyanto
dr. Peter Yus an Atmaja
I. PEMERIKSAN KESADARAN
Kesadaran dapat didefinisikan sebagai keadaan yang mencerminkan
pengintegrasian impuls eferen dan aferen. Dalam menilai kesadaran harus dibedakan
antara tingkat kesadaran dan isi kesadaran. Tingkat kesadaran menunjukkan
kewaspadaan dan reaksi seseorang dalam menanggapi rangsangan dari luar yang
ditangkap oleh panca indera. Sedangkan isi kesadaran berhubungan dengan fungsi
kortikal seperti membaca, menulis, berbahasa, intelektual, dan lain-lain.
Tingkat kesadaran yang menurun biasanya diikuti dengan gangguan isi kesadaran.
Sedangkan gangguan isi kesadaran tidak selalu diikuti dengan penurunan tingkat
kesadaran. Penurunan tingkat kesadaran di ukur dengan Glasgow Coma Scale (GCS).
Pada pasien dengan penurunan kesadaran, GCS dinilai setelah Airway, Breathing, dan
Circulation stabil.
1
Mengetahui lokasi nyeri (Bila dirangsang nyeri 5
dengan menekan saraf supraorbital, bila pasien
mengangkat tangannya sampai melewati dagu
untuk menepis rangsang artinya ia tahu lokasi
nyeri)
Respon menghindar 4
Reaksi fleksi/dekortikasi (dengan rangsangan 3
nyeri timbul fleksi sendi siku atau pergelangan
tangan)
Reaksi ekstensi/decerebrasi (dengan 2
rangsangan nyeri timbul ekstensi pada sendi
siku disertai fleksi spastik pergelangan tangan)
Tidak ada reaksi 1
Pemeriksaan GCS didasarkan pada pemeriksaan respon mata, verbal, dan motorik.
Cara penilaiannya adalah dengan menjumlahkan nilai dari ketiga aspek tersebut di
atas. Rentang nilainya adalah 3 sampai dengan 15 (normal). Pelaporan nilai GCS juga
dapat dilakukan dengan cara menyebutkan nilai dari masing-masing komponen,
missal E4, V5, M6, artinya skor respon pasien membuka mata 4, verbal 5, dan motorik
6. Pada kondisi tertentu dimana pasien mengalami afasia atau terintubasi, maka
respon verbal dinilai sebagai Vx.
Kaku Kuduk
Cara memeriksa kaku kuduk : penderita tidur terlentang tanpa bantal (alas kepala
harus disingkirkan), digerakkan kepala ke samping kiri / kanan terlebih dahulu, apakah
ada tahanan. Bila terdapat proses di daerah servikal seperti penyakit sendi servikal
atau adanya parkinson, hal ini tidak dapat dilakukan penilaian terhadap pemeriksaan
kaku kuduk. Bila tidak ada tahanan ke arah samping kiri dan kanan, leher difleksikan
sampai menyentuh dagu. Pada saat memeriksa kaku kuduk kita sekaligus melakukan
2
pemeriksaan Brudzinki I (tanda leher) dengan melihat gerakan fleksi pada kedua kaki
penderita.
Pemeriksaan Brudzinki III (tanda pipi), yaitu penekanan pada pipi kedua sisi tepat
bawah os zygomaticus. Bila terjadi gerakan fleksi reflektorik pada kedua siku dan
gerakan reflektorik dari kedua lengan, maka hal ini menandakan tes yang positif.
Pemeriksaan Kernig, yang penting pertama kali adalah pada posisi awal, fleksikan
tungkai atas pada sudut 90 derajat terhadap badan dan fleksikan tungkai bawah
90 derajat terhadap tungkai atas, baru setelah posisi ini, kita ekstensikan (gerakkan
ke atas) tungkai bawah pada sendi lutut. Pada kondisi normal penderita bisa
ekstensi lebih dari 135 derajat. Tes yang positif ditunjukkan dengan penderita
mengeluh nyeri atau ada tahanan atau terdapat fleksi pada tungkai kontralateral
pada ekstensi dengan sudut kurang dari 135 derajat. Pada penderita tidak sadar,
3
kernig positif responnya hanya berupa tahanan saja. Pada penderita hemiplegi,
periksa pada bagian yang lumpuh dan responnya dilihat pada sisi yang sehat.
Untuk membedakan kaku kuduk positif karena tanda rangsangan meningeal positif
dengan pura-pura (kasus psikiatri), tempatkan kepala penderita dengan leher
menggantung di pinggir tempat tidur. Pada meningeal sign positif tetap kaku,
sedangkan pada kasus psikiatri maka akan terjadi perubahan posisi leher.
4
Pola-pola deficit visual field
5
Perlu diperhatikan, terkadang untuk fiksasi mata penderita saat dilakukan
pemeriksaan mengalami kesulitan. Untuk mengatasi hal ini dapat
digunakan 2 cara, yaitu:
1) Tempatkan kedua tangan kita pada kedudukan 2 kuadran terluar yang
masih dalam jangkauan penglihatan, misalnya tangan kiri pemeriksa
ditempatkan pada sisi temporal 100°, dan bersamaan tangan kanan
ditempatkan pada sisi nasal 60°, lalu kita tanyakan kepada penderita
berapa tangan yang dapat dilihat, normalnya secara bersamaan
penderita dapat melihat kedua tangan pemeriksa, dan seterusnya kita
sempitkan sudutnya.
2) Pemeriksa membelakangi penderita dan secara mendadak
menempatkan tangan pemeriksa pada masing-masing kuadran,
misalnya ke temporal dengan sudut yang berubah-ubah, kemudian
ditanyakan kepada penderita apakah penderita dapat melihat tangan
kiri atau tidak, periksa masing-masing mata secara bergantian.
Pemeriksaan konfrontasi ini merupakan pemeriksaan yang paling
sederhana dan kasar, bilamana dicurigai adanya gangguan visual field
dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan yang lebih akurat seperti
kampimeter, atau Humphrey perimeter.
c. Pemeriksaan warna
Menggunakan tes ishihara atau menggunakan benang wool berwarna
(sebagai contoh: penderita disuruh mengambil benang wool merah pada
kumpulan benang wool berwarna).
d. Pemeriksaan funduskopi
Pada pemeriksaan ini dapat ditentukan secara kasar adanya:
1) Miopia, hipermetropia, atau emetropia.
2) Juga dapat dilihat kondisi retina (adanya perdarahan, dan sebagainya)
3) Papil nervus optikus
Cara pemeriksaan : mata yang tidak diperiksa ditutup dengan tangan
penderita. Penderita disuruh melihat jauh ke depan. Tangan kiri
pemeriksa melakukan fiksasi dahi penderita, sedangkan oftalmoskop
dipegang dengan tangan kanan, kemudian dilakukan penyinaran 15
derajat dari nasal.
6
2) Pemeriksaan gerakan bola mata
Diperiksa masing-masing mata secara bergantian. Gerakan ke lateral
untuk m. rectus lateralis (N. VI), gerakan ke nasal inferior untuk m. obliqus
superior (N. IV), sedangkan untuk N. III diperiksa gerakan ke atas agak
lateral untuk m. rectus superior, gerakan atas agak ke medial untuk m.
obliqus inferior, gerakan bawah agak lateral untuk m. rectus inferior.
3) Pemeriksaan celah mata (ada tidaknya ptosis)
4) Pemeriksaan exophthalmos
Dibandingkan kedua bola mata dari arah samping.
5) Pemeriksaan pupil
Terdiri dari pemeriksaan:
1. Bentuk, lebar, dan perbedaan lebar
Bilamana ada anisokor, untuk membedakan anisokornya karena
Horner sindroma atau kelainan pada N. III (para simpatik), bila dikenai
cahaya pada pupil tersebut, pada Horner miosisnya bertambah,
sedangkan bila kondisi dibuat gelap, pada kelainan N. III pupil yang
berdilatasi makin lebar.
2. Reaksi cahaya langsung dan konsensuil
Pada saat melakukan pemeriksaan refleks cahaya langsung, mata yang
tidak diperiksa harus ditutup. Mata yang diperiksa dilakukan
penyinaran dengan senter dari arah lateral ke medial.
3. Reaksi akomodasi dan konvergensi
Penderita melihat jauh ke arah jari tangan kita, kemudian jari
pemeriksa mendadak didekatkan ke hidung penderita dan penderita
disuruh mengikuti gerakan jari pemeriksa. Kita lakukan pengamatan
pada kedua mata apakah saling mendekat ke medial (konvergensi
positif) dan kita lihat juga apakah terdapat pengecilan pada pupil
(miosis) menunjukkan reaksi akomodasi positif.
7
Temuan pupil pada pasien dengan penurunan kesadaran dan
penyebabnya
8
a. Refleks masseter / jaw reflex / mandibular reflex
Menemparkan jari telunjuk ke tengah dagu, dalam kondisi relaks dan mulut
setengah terbuka, diketuk dengan hammer reflex, responnya adalah
penutupan mulut karena kontraksi dari m. masseter dan m. temporalis.
Refleks ini afferennya melalui radix mesencephalic sedangkan efferennya
melalui bagian motorik n. trigeminus. Pusat refleksnya berada di pons.
Normal responnya adalah veru slight atau absent, kadang-kadang dapat
dibangkitkan jaw clonus.
Modifikasi jaw reflex yang dikenal sebagai zygomatic reflex yaitu perkusi
pada zygoma mengakibatkan deviasi ipsilateral mandibular. Respon ini
dapat dibangkitkan hanya bila ada lesi supranuklear.
1. Refleks kornea
Cara pemeriksaan: disuruh melirik ke kontralateral, kemudian
dilakukan usapan kornea dari limbus ke konjungtiva dengan
menggunakan ujung kapas bebas. Ada 2 macam refleks kornea
langsung dan konsensual. Buku De Jong membagi rangsangan pada
refleks kornea menjadi 2 bagian, yaitu bagian atas kornea yang dilayani
oleh N. V-1 dan bagian bawah kornea dilayani oleh N. V-2 pada
beberapa orang.
2. Head retraction reflex
Mencondongkan kepala sedikit ke depan, kemudian melakukan
pengetukan pada bibir atas di bawah hidung. Jika refleks positif,
responnya dengan cepat kepala secara involunter ke belakang. Refleks
ini pada orang normal negatif, positif pada lesi bilateral supracervical
dari traktus kortikospinalis. Pusat refleksnya pada bagian cervical atas
spinal cord, afferent dan efferennya melalui N. V.
3. Nasal, sneeze, or sternutatory reflex
Penggelitikan pada mukosa hidung, responnya berupa bersin-bersin.
9
e. M. orbicularis oris : gerakan mendekatkan dan menekankan kedua
bibir
f. M. zygomaticus : gerakan senyum
g. M. risorius : gerakan menyeringai / meringis
h. M. buccinators : gerakan meniup
i. M. mentalis : gerakan menarik ujung dagu ke atas
j. M. platysma : menarik bibir ke bawah dan sudut mulut ke bawah,
atau dengan menurunkan / menaikkan rahang bawah disertai
dengan mengerutkan kulit leher.
2) Sensorik daerah telinga luar, bercampur baur dengan inervasi N.IX / X
dan aurikulais magnus
3) Sensorik khusus, terdiri dari :
a. Lakrimasi
Untuk memeriksa sekresi air mata digunakan tes Schimmer. Pada
tes ini digunakan kertas lakmus warna merah ukuran 5x50 mm.
salah satu ujung kertas dilipat dann dselipkan pada conjungtival sac
didekat sudut mata medial kiri dan kanan, dibiarkan 5 menit
dengan mata terpejam. Normal, air mata dari conjungtival sac akan
membasahi kertas lakmus (warna berubah biru karena air mata
bersifat basa) sepanjang 20-30mm dalam waktu 5 menit. Jika
perembesan pada ertas lakmus kurang dari 20 mm atau tidak ada
sama sekali, hal ini menunjukkan berkurangnya produksi air mata.
Pemeriksaan pada penderita dengan conjungtivitis, hasil nya tidak
akurat.
b. Refleks stapedius
Dilakukan pemeriksaan dengan memasangkan stetoskop pada
telinga penderita, kemudian dilakukan pengetukan lembut
diafragma stetoskop atau dengan menggetarkan garputala
frekuensi 256 Hz di dekat stetoskop. Hiperakusis diketahui dengan
adanya perasaan lebih keras/nyeri. Tes ini disebut sebagai stethoscope
loudness balance test.
c. Pengecapan 2/3 anterior lidah
Diperiksa dengan menggunakan cairan Bronstein, terdiri dari 4% glukosa
untuk rasa manis, 1% asal sitrat untuk rasa asam. 2,5% sodium klorida
untuk rasa asin, dan 0,075% quinine HCL untuk rasa pahit. Penderita
menjulurkan lidah selama pemeriksaan dilakukan, dikeringkan dahulu,
kemudian dengan menggunakan lidi kapas (cotton applicator), bahan
tersebut disentuhkan pada 2/3 depan lidah. Rasa manis diperiksa pada
ujung lidah, asin, dan asam pada pinggir lidah, dan paling akhir rasa pahit
di bagian belakang lidah untuk N.IX. penderita menunjukkan pada kertas
yang bertuliskan manis, asam, asin, pahit, tentang apa yang dirasakan.
10
Tiap kali setelah pemeriksaan, penderita kumur-kumur dahulu dengan
air hangat kuku, lidah dikeringkan lagi, dan baru dilanjutkan
pemeriksaan dengan bahan lain.
11
3. Nistagmus : dengan Hallpike manuver
4. Tes kalori : untuk rangsangan dingin dengam menggunakkan suhu 30
derajat celcius, sedangkan untuk suhu hangat dengan suhu 42 derajar
celcius. Responnya terhadap rasangkan dingin timbul nystagmus (fase
cepatnya) ke sisi kontralateral dari rangsangan, sedangkan pada
rangsangan denga air hangat menimbulkan nystagmus searah dengan
rangsangan (COWS=cold opposite, warm same side). Bila secara
bersamaan kedua telinga diberi rangsangan dingin, akan timbul
nystagmus kearah bawah, sedangkan bila diberi rangsangan air hangat
secara bersamaan pada kedua telinga akan timbul nystagmus ke atas.
Perlu diperhatikan : pada tes kalori untuk orang sehat dengan vertigo
jangan menggunakan air es, bisa menyebabkan muntah-muntah
hebat. Rangsangan air es digunakan untuk tes kalori penderita koma,
bila postif akan timbuh gerakan mata ke sisi rangsangan kornea pada
mata tidak ada nystagmus (yaitu gerakan mata secara cepat untuk
koreksi), sedangkan dengan rangsangan air hangat akan timbul
gerakan mata ke sisi kontralateral rangsangan.
12
dugaan hiperaktivitas reflex ini atau adanya stenosis aretri carotis
maka tekanan sinus atau arteri dilakukan dengan hati-hati dan hanya
satu sisi saja.
4) Sensorik khusus : pengecapan 1/3 belakang lidah
5) Suara (serak/parau), ini murni n.vagus
6) Menelan
Kesukaran menelan air atau cair dibandingkan dengan menelah
padat (gangguan esofagus)
7) Detak jantung dan bising usus
13
pada penyakit sendi dan negative pada gangguan saraf ischiadikus, bilamana tes ini
positif maka tes provokasi terhadap n. ischiadikus tidak valid penilainnya.
Cara memeriksa Contra Patricks sogn : fleksi pada sendi lutut, kemudian kerjakan
endorotasi serta adduksi, lalu tekan tungkai tersebut sejenak pada lutut, tes positif
bisa terasa nyeri pada daerah sakroiliaka.
14
9. Chin test manuver
Fleksi pasif pada leher sehingga dagu mengenai dada, akan terjadi tarikan pada
akar saraf terutama torakal bawah dan lumbal atas dan akan terasa nyeri.
10. Viets & Naffziger test
Penderita dalam posisi tegak dilakukan oenekanan pada vena jugularis dengan
tangan (Viets), tekanan dipertahankan sampai penderita mengeluh kepala
terasa berat atau minimal 2 menit; atau penekanan dengan menggunakan
manset sfigmomanometer dengan tekanan sebesar sebesar 40 mmHg selama
10 menit (Naffziger) akan nyeri radikular pada akar saraf yang sakit.
11. Valsava test
Dapat dilakukan pada waktu penderita duduk, pederita disuruh mengejan,
responnya positif bila terdapat nyeri sepanjang saraf ischiadikus.
12. Door bell sign
Perkusi dengan hammer pada daerah lumbal bawah akan menyebabkan nyeri
pada paha dan tungkai ( biasanya dirasakan nyeri pada daerah betis,tes ini
diibaratkan kalua kita menelan tombol bell, maka terjadi bunyi bell di tempat
yang jauh ).
13. Bonnet’s phenomenon
Dilakukan seperti pada tes Lasseque dengan disertai adduksi dan rotasi internal
pada tungkai akan nyeri sepanjang saraf ischiadikus.
14. Spurling’s sign
Modifikasi tes Lasseque dengan fleksi paha sampai pada sudut mendekati nyeri,
kemudian dilanjutkan dengan flesi pada leher, akan timbul nyeri sepanjang
ischiadikus.
15. O’Connel’s test
Kedua pana difleksikan secara bersama- sama seperti tes Lasseque sampai pada
sudut timbul rasa nyeri. Kemudia tungkai yang normal (tidak sakit) diturunkan
ke tempat tidur maka terjadi eksaserbasi nyeri yang kadang-kadang disertai
parestesia.
16. Kemp test
Penderita posisi berdiri, diminta untuk melakukan gerakan laterofleksi tulang
punggung (dalam ekstensi), positif bila terasa nyeri radikuler di sisi tubuh
laterofleksi
Pada penderita HNP gerakan rotasi masih tetap dapat dilakukan dengan baik.
Apa beda Lasseque positif pada penderita HNP dengan meningeal sign positif ?
Pada penderita HNP, tes lasseque positif pada satu sisi saja, sedangkan pada
rangsangan meningeal positif pada kedua sisi.
15
V. PEMERIKSAAN MOTORIK
Meliputi :
1. Observasi
Kita lakukan observasi penderita, adakah kelemahan pada saat berjalan (missal
drop foot, yakni gaya berjalan steppage gait, dan lain – lain), membuka kancing
baju, menaiki tempat tidur dan sebagainya, atau asimetri pada wajah, tubuh, dan
ekstremitas.
2. Palpasi otot ( atropi / hipertrofi,nyeri / kontraktrur, dan konsistensi)
Konsitensi otot normal adalah kenyal. Pada kelumpuhan tipe LMN konsistensinya
lembek dan kendor sedangkan pada tipe UMN konsistensinya cukup kenyal dan
lebih tegang. Pada distropia tampak hipertrofi, relief otot menghilang, dan
konsistensinya empuk.
3. Perkusi ( normal,myotonic,mioderma)
Normal tampak cekung 1 – 2 detik. Pada myotonic tampak cekung untuk beberapa
detik (biasanya pada tenar dan lidah ) karena kontraksi berlangsung lebih lama.
Sedangkan pada mioderma terjadi penimbulan sejenak (ini dapat dijumpai pada
orang sehat, mixidema, atau gizi buruk)
4. Tonus (hipotoni,hipertoni)
Pemeriksaan tonus otot dapat dilakukan pada otot manapun juga seperti leher,
tangan, dan sebagainya, yang sering dilakukan pemeriksaan tonus biseps / triceps
untuk ekstremitas atas, dan tonus kuadriseps / hamstring untuk ekstremitas
bawah.
Cara memeriksa : yang terpenting penderita harus relax, untuk mendapatkan
kondisi tersebut dapat dikerjakan dengan mengajak penderita berbincang –
bincang sambal dilakukan pemeriksaan tonus. Hasil pemeriksaan tonus berupa
normal, hipotoni, hipertoni.
Pada hipotoni :
a. Saat dipalpasi : kendor ,anggota gerak dapat dogoyang- goyangkan dengan
mudah, dan tahanan otot tidak terasa. Pada tonus normal dapat dirasakan
adanya tahanan ringan. Penilaian dengan membandingkan kiri / kanan.
b. Secara aktif :otot yang hipotoni sukar mempertahankan sikap bebas.
c. Reflex tendon menurun atau absen
16
berdaya dalam melakukan fungsinya, seolah – olah kacau dan tidak dapat
berbuat apa- apa karena belum terbiasa berdiri sendiri.
Pada hipertoni dibedakan 2, yaitu :
a. Spastik ( ada 2 yaitu : fenomena pisau lipat / clask knife dan lead pipe )
b. Rigid ( cogwheel phenomenon)
Pada fenomena pisau lipat tahanan dirasakan pada saat awal gerakan,
sedangkan pada lead pipe terdapat tahanan yang terus menerus sepanjang
gerakan. Pada rigiditas terdapat tahanan yang dapat dirasakan seperti roda
gigi.
Spastik : manifestasi hilangnya pengaruh inhibisa terhadap gamma
motorneuron, lebih sering terjadi pada otot ekstensor daripada fleksor.
Tonus otot dapat meningkat fisiologis karena : ketegaangan mental & suhu
dingin.
Otot badan mendapatkan inervasi kortikal secara bilateral, sehingga
peningkatan tonus tidak jelas.
5. Kekuatan otot
Periksa masing – masing otot, yang sering dikerjakan untuk ekstremitas atas,
antara lain :
a. M. deltoid (C5,C6), inervasi n. axilaris
b. M. biseps brakii (C5,C6), inervasi n. muskulokutaneus
c. M. triceps (C6,C7,C8), inervasi n. radialis
d. M. brakhioradialis (C5,C6), inervasi n. radialis
e. M. pronator teres (C6,C7), inervasi n. medianus
f. M. fleksor karpi radialis (C6,C7), inervasi n. medianus
g. M. fleksor karpi ulnaris (C7,C8,Th1), inervasi n. ulnaris
17
tungkai bawah difleksikan pada sendi lutut, maka yang akan diperiksa buka
m. gastrocnemius akan tetapi m. soleus (L5,S1), inervasinya oleh n. tibialis
posterior juga.
Disamping otot ekstremitas bawah dan atas, juga dappat kekuatan otot
tubuh, yang sering diperiksa adalah otot perut (Bevor’s sign + kelemahan
pada otot rectus abdominalis setinggi segemen torakal IX)
Untuk penilaian kekuatan otot yaitu :
5 Bila dapat melawan tahan kita (normal)
4 Bila dapat melawan tahanan ringan
3 Bila dapat melakukan gerakan melawan gravitasi, tapi
tidak dapat melawan tahanan ringan
2 Bila dapat melakukan gerakan kesamping, tidak dapat
melakukan gerakan melawan gaya gravitasi
1 Bila hanya kontraksi saja (lebih jelas untuk dapat
memperlihatkan adanya, kontraksi, dengan
memberikan rangsangan seperti cubitan pada otot
yang diperiksa)
0 Bila tidak ada gerakana sama sekali (plegi)
6. Penilaian gerakan sekutu abnormal. (gambar dapat dilihat pada buku Priguna )
Gerakan sekutu adalah gerakan involunter & reflektorik yang selalu timbul pada
setiap gerakan vollunter. Dalam keadaan patologik, karena :
a. Lesi pada trkatus ekstrapiramidal : gerakan sekutu lenyap / hilang
b. Lesi pada traktus pyramidal : gerakan sekutu justru timbul yang pada orang
sehat tidak ada.
c. Lesi pada serebelum : gerakan sekutu tidak hilang, tapi sinkronisasinya dengan
gerakan volunteer hilang, sehingga gerakan volunteer menjadi janggal
Berikut ini adalah pemeriksaan gerakan sekutu abnormal (test ini dapat digunakan
untuk mengetahui ada/tidaknya parese ringan :
a. Meremas tangan : (gerakan sekutu pada jari – jari kontralateral yang bersifat
identic)
Bagian tangan penderita yang sehat disuruh meremas tangan pemeriksa,maka
akan tampak gerakan sekutu yaitu tangan penderita yang parese ikut meremas.
b. Tanda ibu jari wartenberg
Bila tidak ada parese UMN, maka ibu jari akan ikut menekuk apabila jari tangan
lainnya melakukan penarikan sekuat – kuatnya. Bilaman ibu jari itu tidak ikut
meneku, melainkan tinggal pasif lurus saja, maka tangan yang bersangkutan
harus dianggap sudah memperlihatkan tanda gangguan di susunan pyramidal
kontralateralnya
c. Aduksi lengan (tanda sterling)
18
Pasien disuruh mengaduksi lengan yang sehat melawan tahanan yang dilakukan
oleh pemeriksa. Tanda sterling berupa ikut berakduksinya lengan yang paretic
pada waktu pasien melaksanakan perintah tersebut diatas.
d. Aduksi kaki (tanda tungkai raimiste)
Tanda ini adalah homolog dengan tanda sterling. Pasien diperiksa dalam posisi
berbaring dengan kedua tungkainya beraduksi. Kemudian pasien disuruh
mengaduksikan tungkai yang sehatnya melawan tahanan yang dilakukan
pemeriksa. Tanda raimiste positif kalua tungkai lainnya ikut beraduksi pada
waktu pasien melaksanakan perintah tersebut diatas.
e. Suruh mengepal dibandingkan kedua tangan (tanda radialis strumpell)
Tangan yang sehat dapat mengepal tanpa melakukan dorsofleksi di sendi
pergelangan. Tetapi dengan adanya lesi di susunan pyramidal, tangan pada sisi
kontralateral dapat mengepal hanya dengan melakukan dorsofleksi secara
reflektorik. Tanda ini harus diungkapkan dengan pemeriksaan kedua tangan
secara simultan dan banding sehingga perbedaannya menonjol.
f. Tanda pronator strumpell
lengan yang sehat dapat melakukan fleksi maksimal di sendi siku sehingga
tangan tiba di bahu dengan telapak tangan menghadap ke bahu. Tetapi lengan
yang paretic UMN ringan sekali tidak dapat melakukan gerakan tersebut,
melainkan mempronasikan lengan bawahnya, sehingga lengan menghadap ke
bahu tidak dengan telapak tangannya tetapi dengan dorsum manusnya.
g. Dari posisi berdiri ke jongkok (respon fleksi lengan)
Jika orang sehat melakukan gerakan untuk berjongkok, maka kedua lengannya
bersikap lurus. Pasien dengan hemiparesis UMN yang ringan sekali akan
memfleksikan lengan yang paretiknya sewaktu ia melakukan gerakan untuk
berjongkok.
h. Dari posisi berdiri ke membungkuk (lengan kedepan atau kaki fleksi)
Orang sehat yang disuruh membungkuk kana melaksanakan perintah itu
dengan gerakan sekutu pada elngan yang berupa fleksi ringan di sendi siku.
Tetapi pasien dengan hemiparesis UMN ringan, melakukan gerakan yang
diperintahkan itu dengan meluruskan lengan yang paretic atau memfleksikan
tungkai yang paretic di sendi siku.
i. Dari posisi tidur suruh bangun (tanda fleksi paha-badan Babinski)
Orang sehat yang berbaring terlentang dengan kedua tangannya ditempatkan
di atas perutnya dapat mengangkat badannya untuk duduk tanpa mengangkat
tungkainya. Terapi orang hemiparetik ringan melakukan gerakan tersebut
selalu dengan mengangkat tungkainya. Terapi orang hemiparetik ringan
melakukan gerakan tersebut selalu dengan mengangkat tungkai yang paretic
juga.
j. Dari posisi tidur kaki menggantung disuruh bangun (tanda ekstensi paha –
badan)
19
Orang sehat yang duduk di tepi tempat tidur dengan kedua tungkainya
digantung, dapat merebahkan badannya di tempat tidur dengan kedua
tungkainya tetap di gantung. Tetapi orang hemiparetik UMN ringan dapat
melaksanakan gerakan tersebut hanya dengan mengangkat tungkai yang
paretiknya, sehingga tungkai yang paretic dan badan menjadi lurus.
20
Pada tangan penderita diminta untuk membandingkan berat misalnya karet
dengan besi berat yang mana.
c. Graphestesia
Dilakukan goresan pada tangan penderita, penderita diminta untuk
menyebutkan apa yang digoreskan misalnya angka 3,7,dsb. Apabila pasien tidak
dapat mengenal angka tersebut bias jadi mungkin angka tersebut dengan
menulis angka yang lebih besar atau dengan goresan yang tepat.
d. Two point tactile discrimination
Dilakukan penusukan pada 2 tempat pada saat yang sama dengan
menggunakan alat Gordon holmes atau dengan menggunakan 2 jarum bundle.
Normalnya, untuk sitmulasi di lidah 1 mm, ujung jari tangan 2-7 mm, dorsum
manus 20-30 mm, telapak tangan 8-12 mm, dada, lengan bawah dan tungkai 40
mm, punggung, lenganatas dan paha 70-75 mm dan jari kaki 3-8 mm.
e. Sensory Extinction
Pada saat yang bersamaan, pada sisi tubuh yang sepadan, misalnya pada betis
kiri dan kanan kita berikan rangsangan dengan jarum bundel, kemudian kita
tanyakan kepada pasien, bagian mana yang dia rasakan. Kalau pasien hanya
merasakan satu sisi tubuh saja maka pasien tersebut sensory extinction positif.
f. Loss of Body Image
Cara memeriksanya : kita tanyakan tangannya ada berapa, kakinya atau
telinganya ada berapa dan seterusnya, pada pasien dengan loss of body image
akan menjawab satu sisi saja, jadi dia akan menjawab ada satau saja bukan dua.
Karena pada pasein tersebut neglect/pengabaian, yaitu pengabaian pada salah
satu sis tubuhnya, dia tidak merasa memiliki sisi tubuh yang diabaikan.
21
Refleks gluteal dengan menggorekan jarum bundel daerah gluteus dan
jawabannya adalah gerakan refraktorik/kontraksi dari m. Gluteus.
Afferen : N. Lumbalis posterior (L4-S1)
Efferen : N. Gluteus inferior
Ada beberapa reflex superfisial lain seperti interscapula, dan lain-lain.
2. Reflek tendon/periosteum
Pada penderita sadar (GCS 456), suruh penderita dalam kondisi relaks.
Responnya :
0 Bila tidak ada gerakan sendi dan kontraksi
+1 Bila terdapat kontraksi saja
+2 Bila selain kontraksi juga ada gerakan sendi
+3 Responnya sama dengan +2 hanya lebih kuat
kontraksinya dan ada perluasan
+4 Sama dengan +3 ditambah ada klonus
22
mengganjal menggunakan bantal, sedangkan tangan kanan pemeriksa
melakukan pengetukan dengan hammer reflex. Responnya : ektensi
tungkai bawah karena kontraksi m. Quadriceps femoris. Afferent dan
efferent : N. femoralis (L2,3,4)
f. Refleks Achilles (APR)
Posisikan kaki penderita yang akan dieperiksan di atas tulang kerung kaki
kontralateral, sambil melakukan dorsofleksi ringan pada jari-jari kaki
penderita yang ditahan dengan tangan kiri pemeriksa. Dilakukan ketukan
pada tendon achilles. Responnya : plantar fleksi kaki karena kontraksi m.
Gastrocnemius. Afferent dan efferent : N. Tibialis (L5-S1)
g. Klonus lutut
Pegang os. Patella dan kita gerakan ke arah proksimal, kemudian dilakukan
pendorangan os. Patella kea rah dital secara cepat, responnya berupa
kontraksi reflektorik m. Quadriceps femoris selama stimulus berlangsung.
h. Klonus kaki
Posisikan tungkai bawh fleksi dan dalam kondisi relaks tangan kiri
pemeriksa memegang pada fossa poplitea, kemudia kita lakukan gerakan
dorsofleksi secara mendadak dengan tangan kanan pemeriksa. Responnya
: kontraksi reflektorik otot betis selama stimulus berlangsung.
Bagaimana cara membedakan klonus (true klonus) dengan klonus
palsu/pseudo clonus (kasus psikiatri)? Pada true clonus dapat dihentikan
dengan fleksi plantar kaki atau ibu jari kaki sedangkan pada pseudo klonus
tidak dapat. Di samping itu, pada pseudo clonus, klonus yang muncul sulit
dipertahankan dan irregular.
23
Melakukan pemencetan pada tendon achilles secara keras. Responnya :
seperti Babinski.
6. Gonda
Penekanan (plantar fleksi) maksimal jari kaki ke-empat. Responnya seperti
Babinski.
7. Stransky
Penekukan ke lateral secara maksimal jari kaki ke-lima. Responnya: seperti
Babinski.
8. Rossolimo
Pengetukan pada telapak kaki bagian atas. Responnya : fleksi jari-jari kaki pada
sendi Interphalangealnya.
9. Mendel-Bechterew
Pengetukan dorsum pedua pada daerah os. Cuboideum (lurus dengan jari ke-
empat ke arah proksimal di depan talus).
10. Hoffman
Goresan pada kuku jari tengah (jari III) pasien. responnya fleksi ibu jari tangan
diikuti jari-jari lainnya.
11. Trommner
Colekan pada ujung jari tengah (jari III) pasien. responnya : seperti Hoffman.
12. Leri
Posisikan tengan pasien dengan sikap lengan diluruskan bagian volar/ventral
menghadap ke atas, kemudian dilakukan fleksi maksimal tangan pada
pergelangan tangan. Responnya : normal kalau terjadi fleksi di sendi siku.
13. Meyer
Fleksikan maksimal jari tengah pasien ke arah telapak tangan. Responnya :
normal kalau terjadi oposisi ibu jari.
Juga beberapa reflex primitive/regresi (tapi tidak termasuk dalam kisi-kisi ujian
board), antara lain :
1. Sucking reflex
Sentuhan pada bibir. Responnya : gerakan bibir, lidah, dan rahang seolah-olah
menyusu.
2. Snout reflex
Ketuka pada bibir atas. Responnya : kontraksi otot-otot sekitar bibir/bawah
hidung (menyungur).
3. Grasp reflex
Penekanan/penempatan jari si pemeriksan pada telapak tangan pasien.
responnya : tangan pasien mengepal.
4. Palmo-mental reflex
24
Goresan ujung pena/ibu jari tangan pemeriksa terhadap kulit telapak tangan
bagian tenar pasien. responnya : kontraksi otot mentalis dan orbicularis oris
ipsilateral.
25
badannya baru berdiri, tetapi pada penderita dengan kelainan
serebelum langsung dari duduk ke berdiri sehingga mudah jatuh.
c) Membungkuk jauh ke depan : orang normal dapat melakukannya
tanpa jatuh, pada penderita dengan lesi serebelum akan jatuh.
c. Berjalan/gait : (penderita tidak dapat melakukan gerakan dengan baik dan jatuh
ke sisi lesi)
1) Tandem walking : berjalan lurus ke depan dengan satu kaki ditempatkan di
edpan jari-jari kaki lainnya.
2) Berjalan memutari kursi atau meja
3) Berjalan maju mundur
4) Lari di tempat
Pemeriksaan fungsi luhur dapat dikerjakan kalau penderita dalam kondisi kesadaran
penuh.
a. APHASIA
Periksa 6 modalitas Bahasa, yaitu bicara spontan, pemahaman, pengulangan,
penamaan, membaca, dan menulis. Dari sini dapat dibedakan berbagai jenis
aphasia, yaitu aphasia motorik, sensorik, konduksi, transkortikalis, transkortikalis,
anomik, dan global.
Berikut secara singkat keenam jenis aphasia tersebut:
1. Aphasia motorik (=Broca): pemahaman auditorik baik, bicara spontan tak lancer
(non fluen), modalitas Bahasa lainnya terganggu. Lesi di bagian posterior girus
frontalis inferior / area Broca’s (area 44; 45 Broadmann) kiri.
2. Aphasia sensorik (=Wernicke): pemahaman sangat terganggu, bicara spontan
lancer (fluen), tapi kata-katanya tidak dapat dimengerti / neologisme,
modalitas bahasa lainnya terganggu. Lesi di region temporalis superior kiri
26
sebagai area asosiasi auditorik (area 2 Broadnman), kadang meluas ke region
parietalis inferior kiri.
3. Aphasia konduksi: pengulangannya sangat terganggu, pemahaman baik, bicara
lancer kadang agak ragu, modalitas bahasa lainnya kadang terganggu. Lesi di
fasikulus arkuatus (jaras yang menghubungkan antara daerah temporal paling
belajang dengan korteks asosiasi lobus frontalis kiri). Dibedakan menjadi dua,
yaitu bila lebih ke frontal maka kemampuan bicara kurang lancer, dan bila lebih
ke posterior maka kemampuan bicaranya lancer.
4. Aphasia transkortikalis: kemampuan pengulangannya relatif baik, bicara
spontan lancer (fluen) tapi kata-katanya tidak dapat dimengeri / neologisme,
sedangkan modalitas bahasa lainnya terganggu. Lesi di sekitar daerah perisylvii.
Dibedakan menjadi dua, yaitu trankortikalis motorik dan trankortikalis sensotik.
5. Aphasia anomik (=aphasia amnestik, nominal): penamaan jelek, modalitas
bahasa lainnya baik. Merupakan aphasia yang ringan, ditandai kesulitan dalam
menemukan kata, mungkin merupakan sisa gejala dari salah satu jenis aphasia
yang sudah membaik. Lesi di girus angularis kiri.
6. Aphasia global: semua modalitas bahasa terganggu / jelek. Lesi di daerah
sylvian dann sekitarnya hemisphere kiri dengan luas lesi sekitar 3,9 cm s.d. 5,8
cm, setara dengan 5 slices pada CT scan.
b. ALEXIA
Penderita tidak buta huruf. Penderita disuruh membaca, pada alexia penderita
tidak dapat membaca.
c. APRAKSIA
Apraksia adalah ketidakmampuan penderita untuk melaksanakan gerakan sesuai
yang diperintahkan, sedangkan melaksanakan gerakan atas kemauan sendiri tidak
memiliki gangguan.
Syaratnya tidak ada gangguan motorik, sensorik, dan serebelum. Untuk kelainan
di hemisphere dominan (kiri) dikenal apraksia ideomotorik dan ideasional.
Sedangkan pada kelainan di hemisphere non dominan (kanan) dikenal apraksia
berpakaian (dressing apraxia) dan apraksia konstruksional. Kedua jenis apraksia
yang terakhir ini berkaitan dengan gangguan visuospasial.
Cara memeriksa: penderita diminta untuk mengambil air di gelas, kemudian
disuruh meminumnya. Pada apraksia ideamotor penderita dapat melakukan
sebagian, sedangkan pada apraksia ideasional penderita sulit melakukannya.
Untuk apraksia berpakaian, penderita kesulitan untuk berpakaian, sedangkan
untuk apraksia konstruksional, penderita kesulitan untuk menyusun balok-balok.
d. AGRAPHIA
27
Penderita tidak dapat menulis. Caranya, meminta penderita menulis namanya,
kota kelahirannya, dan sebagainya
e. AKALKULIA
Penderita tidak dapat melakukan perhitungan aritmatika sederhana, seperti
pengurangan 7 dari seratus, dan seterusnya. Atau penjumlahan sederhana, di
mana sebelumnya penderita dapat melakukan demgan mudah
g. Finger agnosia
Penderita tidak dapat mengenali baik jari-jarinya sendiri maupun jari-jari
pemeriksa, biasanya tiga jari, yaitu jadi ke-2, 3, dan 4. Cara memeriksanya:
penderita diminta menyebut jari-jari penderita atau pemeriksa (biasanya
digunakan jari 2,3, dan 4).
XI. LAIN-LAIN
Beberapa hal yang juga perlu diketahui (bukan termasuk dalam kisi-kisi ujuan board),
sebagai berikut :
1. Pemeriksaan untuk menentukan tinggi lesi :
a. Motorik (terdapatnya kelemahan)
b. Sensorik
c. ANS/Autonomic Nervous System yaitu : perpirasi, bladder, bowel
d. Refleks yang menurun
e. Sign/tanda missal : Bevor’s sign (+) berarti tinggi lesi Thorakal X (umbilicus),
caranya : penderita posisi berbaring, dengan kedua tangan ditempatkan di
belakang kepala dan penderita di suruh bangkit seperti gerakan sit up. Kita
perhatikan umbilivus penderita, bila terangkat ke atas berarti Bevor’s sign (+),
bila tetap di tengan berarti (-).
f. Nyeri tekan : nyeri ketok, nyeri tarik sumbu, nyeri tekan sumbu.
g. Radicular pain : Lhennitte’s sign
h. Sindroma-sindroma
28
c. Refleks patologis (+)
d. Klonus
29
6. Cara membedakan winging scapula karena m. Trapezius & m. Serratus anterior,
yakni pada saat lengan diluruskan:
a. bila karena m. trapezius (n. asesorius/N. XI): scapula akan jatuh
b. bila karena m. serratus anterior (n. thoracalis longus): scapula akan menjauh dari
garis tengah
7. Cara membedakan drop hand karena lesi UMN & LMN yakni disuruh memegang
benda menggunakan tangan yang menjulai/drop hand:
a. Pada lesi UMN: dapat langsung memegang dengan mendorsofleksikan tangan
terlebih dahulu
b. Pada lesi LMN: dapat memegang dengan mengangkat seluruh lengan bawahnya
terlebih dahulu
30
akan jatuh dalam posisi antara pronasi dan supinasi. Tapi pada penderita dengan
parese UMN akan jatuh dalam sikap pronasi.
d. Tes menggoyang-goyangkan lengan
Cara memeriksa: penderita diminta duduk untuk meluruskan kedua lengannya
ke depan dengan telapak tangan terbuka ke atas, kemudian pemeriksa
menggoyang-goyangkan kedua lengan tersebut ke atas/bawah. Pada orang sehat
dapat mempertahankan posisi tersebut. Tapi pada penderita dengan parese
UMN terlihat setelah beberapa goyangan lengan tersebut, maka lengan yang
parese akan berubah posisi dari sikap lengan lurus ke depan menjadi pronasi.
e. Tes deviasi lengan
Cara memeriksa: penderita diminta untuk meluruskan kedua lengannya secara
horizontal ke depan dengan telapak tangan terbuka ke atas, dengan kedua mata
tertutup. Pada orang sehat dapat mempertahankan posisi tersebut. Tapi pada
penderita dengan parese UMN ringan maka lengan yang parese akan berpronasi
dapat dilihat jelas pronasi pada digiti quinti dan turun. Atau dilakukan modifikasi
dengan menyuruh penderita untuk menaikkan/menurunkan lengannya secara
perlahan & kita amati terdapatnya pronasi atau turunnya lengan yang parese
f. Posisi kaki miring ke samping
Cara memeriksa: pemeriksa melihat posisi kedua kaki penderita yang berbaring
terlentang dengan kedua tungkainya lurus dalam keadaan awas-waspada. Pada
orang sehat kedua tungkainya tampak simetris. Tapi pada orang dengan parese
UMN akan terlihat asimetri sikap kedua kaki tersebut, pada sisi yang parese, kaki
bersikap jauh lebih miring ke lateral dibandingkan sisi tubuh yang sehat. Apabila
pemeriksa memperbaiki sikap eksorotasi kaki tersebut sehingga kedua kaki
bersikap simetrik kembali, maka kaki yang parese akan kembali lagi ke posisi
eksorotasi yang diperiihatkan semula (miring ke lateral).
31
Cara memeriksa: penderita disuruh berbaring terlentang dengan kedua tungkai
diluruskan, dengan menempatkan sehelai kertas sebagai landasan licin di bawah
kedua kakinya (tumitnya). Kernudian penderita diminta untuk menekukkan
lututnya. Pada tungkai yang sehat dapat melakukan gerakan tersebut dengan
baik, sedangkan pada tungkai yang parese UMN tidak dapat mempertahankan
tertekuknya lutut tersebut sehingga lutut jatuh & kaki meluncur di atas kertas
landasan.
i. Dan gerakan sekutu abnormal seperti disebutkan di atas pada bagian
pemeriksaan motorik.
10. Tanda Rosenbach: tremor halus pada kelopak mata yang tampak kalau kedua mata
ditutup, sering terlihat pada hipertiroid dan histeri.
32
16. Kontraksi otot ada 2 macarn, yakni:
a. kontraksi isometrik: otot tidak memendek selama kontraksi.
b. kontraksi isotonik: waktu otot memendek tekanan pada otot tetap konstan.
17. Untuk nyeri dan suhu impuls berakhir di nukleus VPL (Ventro Postero Lateral)
thalamus, untuk proprioseptik berakhir di nukleus VPM (Ventro Postero Medial)
thalamus, sedangkan untuk raba berakhir di kedua nukleus tersebut.
18. Untuk membedakan pupil yang lebar & refleks cahaya negatif karena blokade
atropin dan kerusakan simpatis, sebagai berikut:
a. karena blokade atropin: tidak dapat menguncup jika ditetesi dengan.pilocarpin
(acetylcholin esterase inhibitor)
b. karena kerusakan simpatis (N. III terputus): m. Sfingter pupilae masih bisa
berkontraksi dengan penetesan pilocarpin sehingga miosis.
33
a. Volunter (lesi pada korteks piramidalis): gerakan volunter tidak dapat
dilakukan, perubahan raut wajah waktu emosi justru masih bisa (tertawa
spontan, mengerutkan dahi saat marah)
b. Involunter (lesi pada korteks frontalis): otot wajah kontra lateral masih dapat
digerakkan secara volunter, tapi tidak ikut bergerak jika tertawa/merengut
24. Bila ada mata menutup satu, maka kelopak mata kita buka pada bagian mata
yang menutup:
a. bila mata tenggelam: terdapat kelainan N. III
b. bila mata tenggelam dan pupil rniosis: Horner syndrome
c. bila mata tidak tenggelam: miastenia gravis (karena kelainannya pada ototnya
saja yaitu pada myoneural junction)
34
Lamanya < 2 menit > 2 menit
Vertigo + -
Lelah + -
Habituasi + -
26. Pemeriksaan gerakan tulang belakang dilakukan pada pasien dalam posisi berdiri,
normalnya gerakan fleksi ke depan oleh sekitar 40’-60”; ekstensi 20’-50’, fleksi ke
samping 15’-20' dan rotasi 3’-18’. Untuk gerakan rotasi lebih baik diperiksa dalam
posisi duduk karena pinggul dan pelvis lebih stabil pada posisi duduk.
35
DAFTAR PUSTAKA
36