Bagaimanakah kendala yang dihadapi oleh Indonesia dalam pelaksanaan
landreform?
Landeform dapat diwujudkan apabila empat prasyarat penting terpenuhi yaitu:
(1) adanya kesadaran dan dukungan elit politik, (2) organisasi masyarakat dan petani yang kuat, (3) data pertanahan tersedia dengan lengkap dan akurat, dan (4) memiliki anggaran yang memadai. Kondisi Indonesia dapat dikatakan lemah jika dinilai berdasarkan empat prasyarat tersebut. 1. Lemahnya peran elit politik Kebijakan dapat diciptakan karena ada pihak profesional, penyusun kebijakan, dan undang-undang atau peraturan tertulis lainnya. Namun kunci yang dapat memastikan kebijakan benar-benar dibuat dan dilaksanakan adalah peran kuat elit politik. Kebijakan yang bagus tanpa komitmen elit politik yang kuat dalam pelaksanaan akan menjadi kendala besar. Peran elit politik yang lemah dapat disebabkan adanya perbedaan kepentingan politik dalam suatu kebijakan. Kebijakan landeform di Indonesia dapat dianggap kurang jelas. Pada tahun 1961 – 1965 landeform pernah dilaksanakan di Indonesia dengan dasar Keppres No 131 tahun 1961 yang selanjutnya dirubah dengan Keppres No 263 tahun 1964. Namun pada saat pemerintahan orde baru, Keppres No 55 tahun 1980 diterbitkan yang membubarkan panitia landeform dan mengalihkan wewenang kepada Departemen Dalam Negeri. Disisi lain, pemerintah masih menyatakan bahwa pelaksanaan landeform tetap berjalan walaupun secara terbatas.
2. Tidak adanya organisasi masyarakat petani yang kuat
Organisasi masyarakat petani di Indonesia telah banyak bermunculan. Mereka banyak muncul dalam beberapa kesempatan aksi demonstrasi petani. Eksistensi mereka menunjukkan bahwa masyarakat tani mulai tumbuh dan menampakkan diri. Sayangnya belum ada organisasi yang mampu menjadi basis dalam penerapan landeform secara luas karena kebanyakan organisasi-organisasi yang muncul bersifat “sebagian” dan “sementara”. Kurangnya pemahaman pada masyarakat juga menjadi kendala pelaksanaan landeform. Di sisi lain, memperkenalkan pemahaman landeform pada masyarakat tani juga bukan perkara yang mudah. Terbatasnya akses pendidikan yang didapat oleh sebagaian masyarakat tani menjadikan gagasan pengenakan konsep landeform menjadi hal yang “terlalu tinggi” bagi mereka.
3. Data pertanahan dan agrarian yang tidak memadai
Kita harus menyadari bahwa pembangunan di Indonesia sebagian besar masih di pulau Jawa. Hal ini menyebabkan akses informasi dan ketersediaan data lebih mudah didapatkan atas informasi pertanahan di Jawa. Selain itu, kondisi wilayah geografis Indonesia yang luas menyebabkan pendataan data pertanahan menjadi sulit. Meskipun peran pemerintah melalui pemerintah daerah masing-masing ada, namun kondisi tingkat medan geografis setiap wilayah berbeda-beda sehingga menjadi tantangan sekaligus hambatan bagi pendataan oleh pemerintah setempat. Pendataan tanah diperlukan guna menjawab pertanyaan terkait ketersediaan tanah. Sayangnya pertanyaan terkait landeform berlanjut dengan siapa pihak yang akan menerima tanah hasil landeform ini, berapa tanah yang dapat diberikan kepada penerima, jenis tanah apa saja yang tersedia untuk diberikan, berapa besar biayanya, akankah ada penggantian yang harus dibayar oleh penerima, peran siapa saja yang diperlukan, dan level pemerintah mana yang bewewenang untuk melaksanakan dan mengawasi. Pertanyaan-pertanyaan ini tentu dapat dijawab hanya apabila data-data yang diperlukan tersedia.
4. Alokasi anggaran yang tidak sesuai
Pelaksanaan landeform di Indonesia sepertinya bukan menjadi prioritas apabila ditinjau dari alokasi dana oleh pemerintah. Sampai saat ini landeform belum menjadi agenda penting yang anggarannya dialokasikan secara khusus dengan nilai signifikan. Faktor dorongan dari ekonomi kapitalis membuat tanah menjadi komoditas yang digunakan untuk menarik investor dari luar daripada diredistribusi sesuai tujuan landeform itu sendiri.
Sumber: Modul Administrasi Pertanahan, Universitas Terbuka
KENDALA PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA: Analisa terhadap
Kondisi dan Perkembangan Berbagai Faktor Prasyarat Pelaksanaan Reforma Agraria.