Anda di halaman 1dari 15

A.

Negara Hukum

Penelitian ini memilih Teori Negara Hukum sebagai Grand Theory karena pertimbangan

negara Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana ketentuan Pasal 1

ayat (3) UUD 1945 amandemen ketiga juga karena teori negara hukum

mengkedepankan kepastian hukum (rechts zekerheids) dan perlindungan terhadap hak

asasi manusia (human rights).

Pada dasarnya konsep negara hukum tidak terpisahkan dari doktrin Rule Of law

dimana dari beberapa doktrin dapat disimpulkan bahwa semua tindakan (termasuk)

Pemerintah harus berdasarkan atas hukum dan adanya jaminan terhadap hak-hak asasi

manusia antara lain Asas Praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan Asas

Legalitas (principle of legality).

Negara berdasarkan atas hukum pada hakekatnya adalah suatu “Negara Hukum”. Akan

tetapi ada beberapa pengertian terkait dengan negara hukum. Negara hukum adalah

negara berlandaskan atas hukum dan keadilan bagi warganya. Maksudnya adalah segala

kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata

berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal yang demikian akan

mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya.1

Pengertian lain negara hukum secara umum ialah bahwasanya kekuasaan negara dibatasi

oleh hukum dalam arti bahwa segala sikap, tingkah laku dan perbuatan baik dilakukan
11
Didi Nazmi Yunas, Konsepsi Negara Hukum (Padang: Angkasa Raya Padang, 1992), hlm. 20.
oleh para penguasa atau aparatur negara maupun dilakukan oleh para warga negara harus

berdasarkan atas hukum.2

Menurut Prof. Dr. Wirjono Projadikoro, SH. bahwa penggabungan kata-kata

“negara dan hukum”, yaitu istilah “negara hukum”, yang berarti suatu negara yang di

dalam wilayahnya:3

1. Semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat perlengkapan dari

pemerintah dalam tindakan-tindakannya baik terhadap para warga negara maupun

dalam saling berhubungan masing-masing tidak boleh sewenang-wenang,

melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku, dan;

2. Semua orang dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan-

peraturan hukum yang berlaku.

Prof. Dr. R. Supomo dalam bukunya Undang-Undang Dasar Sementara Republik

Indonesia, sebagaimana dikutip oleh Prof. A. Mukthie Fadjar, mengartikan istilah

negara hukum sebagai berikut:4

“Bahwa Republik Indonesia dibentuk sebagai negara hukum, artinya negara

akan tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum berlaku pula bagi

segala badan dan alat-alat perlengkapan negara”.

Negara hukum menjamin adanya tertib hukum dalam masyarakat yang

artinya memberi perlindungan hukum pada masyarakat, antara hukum dan

2
Abdul Azis Hakim, Negara HUkum dan Demokrasi di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011), hlm. 8.
3
Didi Nazmi Yunas, Konsep Negara Hukum, hlm. 18-19.
4
A. Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hlm. 7.
kekuasaan ada hubungan timbal balik”.

Berdasarkan pengertian dan dari peristilahan tersebut maka jelaslah bahwa

istilah”negara dan hukum” yang digabungkan menjadi satu istilah, dengan suatu

pengertian yang mengandung makna tersendiri dan baku, yaitu suatu sistem kenegaraan

yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku yang berkeadilan yang tersusun dalam

suatu konstitusi, di mana semua orang dalam negara tersebut, baik yang diperintah

maupun yang memerintah, harus tunduk pada hukum yang sama, sehingga setiap orang

yang sama diperlakukan sama dan setiap orang berbeda diperlakukan berbeda pula

dengan dasar pembedaan yang rasional, tanpa memandang perbedaan warna kulit, ras,

gender, agama daerah dan kepercayaan, dan kewenangan pemerintah dibatasi

berdasarkan suatu prinsip distribusi kekuasaan, sehingga pemerintah tidak bertindak

sewenang-wenang dan tidak melanggar hak-hak rakyat, karenanya kepada rakyat

diberikan peran sesuai kemampuan dan peranannya secara demokratis.

Konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah, sebab rumusan atau pengertian

negara hukum itu terus berkembang mengikuti sejarah perkembangan umat manusia.

Karena itu dalam rangka memahami secara tepat dan benar konsep negara hukum, perlu

terlebih dahulu diketahui gambaran sejarah perkembangan pemikiran politik dan

hukum, yang mendorong lahir dan berkembangnya konsepsi negara hukum.

Akar terjauh mengenai perkembangan awal pemikiran negara hukum adalah pada masa

Yunani kuno. Menurut Jimly Asshiddiqie gagasan bahwa kedaulatan rakyat tumbuh dan
berkembang dari tradisi Romawi, sedangkan tradisi Yunani kuno menjadi sumber dari

gagasan kedaulatan hukum.5 Demikian halnya bahwa kedaulatan rakyat adalah asasnya

demokrasi dan demokrasi adalah tumpuannya negara hukum dimana tiap negara hukum

mempunyai landasan tertib hukum dan menjadi dasar keabsahan bertindak. 6 Setiap

negara bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar

hukum yang adil dan baik.

Gagasan negara hukum tersebut masih bersifat samar-samar dan tenggelam dalam

waktu yang panjang, kemudian kembali muncul secara eksplisit pada abad ke-19, yaitu

dengan munculnya konsep rechtsstaat dari Freidrich Julius Stahl, yang diilhami

pemikiran Immanuel Kant. Menurut Stahl,7 unsur-unsur negara hukum (rechsstaat)

adalah:

1. Perlindungan dan pengakuan terhadap hak asasi manusia

2. Negara yang didasarkan pada teori trias potitica ;

3. Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur) ; dan

4. Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan

melanggar hukum oleh pemerintah (onrechmatige overheiddaad).

5
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di
Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hlm. 11.
6
Muin Fahmal, Peran Asas-Asas Umum pemerintahan yang Layak Dalam Mewujudkan
Pemerintahan Yang Bersih (Yogyakarta: Total Media 2008), hlm. 4.
7
Aristoteles, Politik (diterjemahkan dari buku polities, New York: Oxford University, 1995),
(Yogyakarta: Bentang Budaya, 2004), hlm. 161.
Lahirnya konsep negara hukum yang dikemukakan oleh F.J. Stahl adalah konsep

pemikiran negara hukum Eropa Kontinental atau yang dipraktekkan di negara-negara

Eropa Kontinental (civil Law). Adapun konsep pemikiran negara hukum yang

berkembang di negara-negara Anglo-Saxon yang dipelopori oleh A.V. Decey (dari

inggris) dengan prinsip rule of law. Konsep negara hukum tersebut memenuhi 3 (tiga)

unsur utama:8

1. Supermasi aturan-aturan hukum (Supremacy of the law), yaitu tidak adanya

kekuasaan sewenang-wenang (Absence of arbitrary power), dalam arti bahwa

seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum

2. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (Equality before the law), Dalil

ini berlaku balk untuk orang biasa maupun untuk pejabat

3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain dengan Undang-

Undang Dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.

Unsur-unsur yang terdapat dalam kedua macam negara hukum tersebut di atas, baik

Rechtsstaat maupun Rule of Law, mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaan

pokok antara Rechtsstaat dengan Rule of Law adalah, adanya keinginan untuk

memberikan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia. Keinginan memberikan

perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi itu, telah diimpikan sejak berabad-

abad lamanya dengan perjuangan dan pengorbanan yang besar.

Dalam perkembangannya konsepsi negara hukum tersebut kemudian mengalami

8
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008), hlm. 57-58.
penyempurnaan, yang secara umum dapat dilihat diantaranya:9

1. Sistem pemerintahan yang didasarkan atas kedaulatan rakyat ;

2. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas

hukum atau peraturan perundang-undangan;

3. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);

4. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;

5. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (Rechterlijke controle) yang bebas

dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan

tidak berada di bawah pengaruh eksekutif;

6. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk

turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan

oleh pemerintah;

7. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber

daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.

Khusus untuk Indonesia, istilah negara hukum, sering diterjemahkan rechtstaats atau the

rule of law. Paham rechtstaats pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa

Kontinental. Ide tentang rechtstaats mulai populer pada abad ke XVII sebagai akibat

dari situasi sosial politik Eropa didominir oleh absolutisme raja.10 Paham rechtstaats
9
Ridwan HR, Hukum Administrasi, hlm. 4.

10
Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Ind-Hill Co, 1989), hlm. 30.
dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immanuel Kant

(1724-1804) dan Friedrich Julius Stahl. Sedangkan paham the rule of law mulai dikenal

setelah Albert Venn Dicey pada tahun 1885 menerbitkan bukunya Introduction to Study

of The Law of The Constitution. Paham the rule of law bertumpu pada sistem hukum

Anglo Saxon atau Common law system.

Selanjutnya Ridwan yang mengambil inti sari dari pendapat Ten Berge dalam W.

Riawan Tjandra, menguraikan prinsip-prinsip yang harus terpenuhi dalam negara

hukum, yaitu:11

1. Asas legalitas. Pembatasan kebebasan warga negara (oleh Pemerintah) harus

ditemukan dasarnya dalam undang-undang yang merupakan peraturan umum

yang merupakan peraturan umum. Undang-undang secara umum harus

memberikan jaminan (terhadap warga negara) dari tindakan (pemerintah) yang

sewenang-wenang, kolusi, dan berbagai jenis tindakan yang tidak benar.

Pelaksanaan wewenang oleh organ pemerintahan harus dikembalikan dasarnya

pada undang-undang tertulis, yakni undang-undang formal.

2. Perlindungan hak asasi;

3. Pemerintah terikat pada hukum;

4. Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum. Hukum harus

dapat ditegakkan, ketika hukum tersebut dilanggar. Pemerintah harus menjamin

11
W. Riawan Tjandra, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma
Jaya, 2008), hlm. 12-13.
bahwa di tengah masyarakat terdapat instrument yuridis penegakan hukum.

Pemerintah dapat memaksa seseorang yang melanggar hukum melalui sistem

peradilan negara. Memaksakan hukum publik secara prinsip merupakan tugas

pemerintah.

5. Pengawasan oleh hakim yang merdeka. Superioritas hukum yang dapat ditampilkan,

jika aturan-aturan hukum hanya dilaksanakan organ pemerintahan. Oleh karena itu

dalam setiap negara hukum diperlukan pengawasan oleh hakim yang merdeka.

Terkait dengan kajian ini, maka didalam unsur Rechsstaat, terlihat dalam poin

ketiga, yakni Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatighed van bestuur),

sedangkan di dalam unsur Rule of law, kaitannya terlihat dalam poin pertama, yakni

Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the Law). Dari dua poin tersebut yang

terbagi antara unsur Rectsstaat dengan Rule of Law, terlihat secara jelas bahwa suatu

negara hukum tentunya memiliki kepastian hukum atau memiliki asas legalitas, karena

asas ini merupakan konsekuensi logis daripada negara hukum.

Asas legalitas merupakan unsur atau elemen yang utama dari sebuah negara hukum

sebab memang negara hukum adalah suatu negara yang diperintah oleh hukum bukan

oleh orang-per orang (government by laws not by men). Hukumlah supremasi, hukumlah

yang memberi kekuasaan dan yang mengatur kekuasaan, bukan kekuasaan adalah

hukum (recht is macht bukan macht is recht). Menurut Montesquieu, negara merupakan

alat hukum (rechtsapparaat), bukan menjadi alat kekuasaan (machtsapperest).12

12
E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Ichtiar, 1966), hlm. 14.
Asas legalitas itu meliputi baik materiil legality yang menghendaki penerapan hukum

harus melalui putusan-putusan pengadilan dan lain-lainnya, menurut isinya harus sesuai

dengan peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan maupun suatu formal legality

yang memperhatikan hierarki perundang-undangan yang ada serta meliputi seluruh

lapangan hukum.13

Asas legalitas hukum dalam segala bentuknya, menjadi dasar bahwa setiap tindakan

pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Pada satu sisi asas

legalitas merupakan bentuk pembatasan terhadap kewenangan penguasa, dan di sisi lain

merupakan bentuk perlindungan masyarakat dari kemungkinan abuse of power.

Dalam konteks ini, asas tersebut berkaitan erat dengan kepastian hukum yang sangat

dibutuhkan dalam proses pembangunan. Mendasarkan pada sistem perencanaan

pembangunan nasional, pembangunan adalah upaya yang dilakukan semua komponen

bangsa dalam mencapai tujuan bernegara. Dengan demikian pembangunan adalah suatu

proses yang berkelanjutan dan tidak akan pernah berhenti (never ending process) dan

memerlukan dukungan dari berbagai elemen yang ada untuk mencapai tujuan bernegara

sebagaimana yang terdapat dalam alinea ke-4 UUD NRI tahun 1945.

Pembinaan hukum bahkan harus diawali dengan adanya suatu kajian mengenai konsep

pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hal ini ditegaskan oleh Satjipto

13
A. Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, hlm. 59.
Rahardjo:14

”Apabila kita ingin berbicara mengenai pembinaan hukum dalam arti yang lengkap,

masalah pembuatan hukum pun termasuk di dalamnya. Tentulah tidak dapat diharapkan

berbicara tentang pembinaan hukum secara bersungguh- sungguh, apabila hanya

mempersoalkan tentang bagaimana meningkatkan efisisensi suatu peraturan yang ada

serta meningkatkan efisiensi kerja dari lembaga-lembaga hukum. Pada suatu ketika,

usaha untuk meningkatkan efisiensi hukum juga dimulai dari pembuatan peraturannya

sendiri. Dengan demikian, akan dijumpai wilayah-wilayah tempat kaitan antara

pembangunan, perubahan, dan pembinaan hukum tersebut bertemu”

Dapat dikatakan, bahwa pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan

manifestasi konkret dari tekad untuk mewujudkan negara hukum. Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan juga merupakan suatu titik tolak dari arah

pembangunan hukum, dan merupakan upaya untuk mewujudkan suatu negara hukum, di

mana dalam hal ini Usfunan menegaskan bahwa asas legalitas dalam konsep rechsstaat,

mensyaratkan bahwa segala tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum.15

Mendasarkan hal tersebut, salah satu sarana untuk mewujudkan kepastian hukum adalah

adanya peraturan perundang-undangan. Keberadaan peraturan perundang-undangan

menjadi penting dalam asas legalitas antara lain karena dalam peraturan perundang-
14
Satjipto Rahardjo, Membangun Dan Merombak Hukum Indonesia, (Yogyakarta:
Genta Publishing, 2009) , hal. 16

15
Johanes Usfunan, Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik
Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih Dan Demokratis, (Orasi Ilmiah pada Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana
Tanggal 1 Mei 2004), hlm. 2.
undangan dikenal adanya asas yang melingkupinya, adanya kelembagaan pembentuk

dan pengujinya, serta dikenal adanya hierarkinya.

Pembentukan peraturan perundang-undangan harus dipersepsikan sebagai salah satu

upaya pembaharuan hukum agar mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-

kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah

modernisasi menurut tingkatan kemajuan pembangunan di segala bidang. Dengan

demikian diharapkan akan tercapai ketertiban dan kepastian hukum sebagai prasarana

yang harus ditunjukkan ke arah peningkatan terwujudnya kesatuan bangsa, sekaligus

berfungsi sebagai sarana menunjang kemajuan dan reformasi yang menyeluruh.

B. Kepastian Hukum

Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk

norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena

tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang. Kepastian

sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum.

Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena

keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Keteraturan menyebabkan orang

dapat hidup secara berkepastian sehingga dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang

diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat.

Istilah kepastian hukum dalam tataran teori hukum tidak memiliki pengertian yang
tunggal. Hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah pendapat yang berusaha menjelaskan

arti dari istilah tersebut dengan argumen dan perspektif tertentu, baik dalam pengertian

yang sempit maupun luas. Guna memahami secara jelas mengenai kepastian hukum itu

sendiri, berikut akan diuraikan pengertian mengenai kepastian hukum dari beberapa

ahli.

Gustav Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang berhubungan dengan

makna kepastian hukum, yaitu :16

Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah perundang-

undangan. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan pada

kenyataan. Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga

menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah dilaksanakan. Keempat,

hukum positif tidak boleh mudah diubah.

Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa kepastian

hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan

produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan. Berdasarkan

pendapatnya tersebut, maka menurut Gustav Radbruch, hukum positif yang mengatur

kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat harus selalu ditaati meskipun

hukum positif itu kurang adil.

Lon Fuller dalam bukunya the Morality of Law (1971 : 54-58) sebagaimana dikutip

16
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicalprudence): Termasuk
Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm.
293.
oleh Ali20 memberikan makna yang lebih luas tentang kepastian hukum. Fuller

menjabarkan pendapatnya tentang mengajukan 8 (delapan) asas yang harus dipenuhi

oleh hukum terkait dengan kepastian hukum, kedelapan asas tersebut adalah:17

1) Adanya sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, bukan berdasarkan

putusan sesaat untuk hal-hal tertentu;

2) peraturan tersebut diumumkan kepada publik;

3) peraturan tersebut tidak berlaku surut;

4) dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;

5) tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;

6) tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang dapat dilakukan;

7) tidak boleh sering diubah-ubah; dan

8) harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.

Pendapat Lon Fuller di atas dapat dikatakan bahwa harus ada kepastian antara peraturan

dan pelaksanaannya, dengan demikian sudah memasuki ranah aksi, perilaku, dan

faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana hukum positif dijalankan.

Dalam pada itu, mengenai daya ikat hukum dalam masyarakat, berdasarkan pendapat

Gustav Radbruch yang mengembangkan pemikiran Geldingstheorie mengemukakan

bahwa berlakunya hukum secara sempurna harus memenuhi tiga nilai dasar, meliputi:18
17
Ali, Menguak Teori Hukum, hlm. 294.

18
I Dewa Gede Atmadja, “Manfaat Filsafat Hukum dalam Studi Ilmu Hukum”, dalam Kerta
Patrika, No. 62-63 Tahun XIX Maret-Juni (Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana,
1993), hlm. 68. Lihat juga Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1996), hlm. 19, yang mengemukakan bahwa nilai dasar hukum menurut Radbruch yaitu
keadilan, kegunaan (Zweckmaszigkeit) dan kepastian hukum.
1) Juridical doctrine, nilai kepastian hukum, dimana kekuatan mengikatnya

didasarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi.

2) Sociological doctrine, nilai sosiologis, artinya aturan hukum mengikat

karena diakui dan diterima dalam masyarakat (teori pengakuan) atau dapat

dipaksakan sekalipun masyarakat menolaknya (teori paksaan).

3) Philosophical doctrine, nilai filosofis, artinya aturan hukum mengikat karena

sesuai dengan cita hukum, keadilan sebagai nilai positif yang tertinggi.

Dengan demikian, maka agar hukum dapat berlaku dengan sempurna, harus memenuhi

tiga nilai dasar tersebut. Adanya unsur kepastian hukum, hal ini erat kaitannya dalam

hal membahas adanya suatu klausul pengaman dalam Peraturan Undang-Undang.

Dengan kata lain, adanya unsur kepastian hukum dalam suatu Undang-Undang akan

dapat memberikan jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat maupun aparat

pemerintah, mengingat kepastian hukum itu sendiri adalah alat atau syarat untuk

memberikan jaminan perlindungan bagi yang berhak.

Professor Satjipto Rahardjo membahas masalah kepastian hukum dengan menggunakan

perspektif sosiologis dengan sangat menarik dan jelas. Berikut kutipan pendapatnya.

Setiap ranah kehidupan memiliki semacam ikon masing-masing. Untuk ekonomi ikon
tersebut adalah efisiensi, untuk kedokteran; mengawal hidup dan seterusnya. Ikon untuk
hukum modern adalah kepastian hukum. Setiap orang akan melihat fungsi hukum
modern sebagai menghasilkan kepastian hukum. Masyarakat terutama masyarakat
modern, sangat membutuhkan adanya kepastian hukum dalam berbagai interaksi antara
para anggotanya dan tugas itu diletakkan di pundak hukum.19

19
Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagat Ketertiban (2006), hlm. 133-136./ Ali: 192

Anda mungkin juga menyukai