Anda di halaman 1dari 41

KARYA TULIS ILMIAH

LOGICAL FALLACY TERHADAP CYBERBULLYING PADA

MAHASISWA UNIVERSITAS MALIKUSSALEH

Di Susun Oleh:

Al fazilah Br Barus

Dosen Pengampuh:

Safwan, S.Ag., M.Psi

PROGRAM STUDI S1 PSIKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MALIKISSALEH

ACEH UTARA

2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. dengan rahmat dan karunia-Nyalah penulis dapat
menyelesaikan tugas skripsi ini guna memperoleh keilmuan untuk mencapai gelar sarjana.
Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW. beserta keluarga dan sahabat beliau yang telah
memperjuangkan agama Allah di muka bumi ini.

Dalam rangka menyelesaikan karya ilmiah ini yang berjudul: “Logical Fallacy Terhadap
Cyberbullying Pada Mahasiswa Universitas Malikussaleh” Berkat do’a dan bimbangan dari
segenap keluarga, sahabat-sahabat dan para dosen sehingga penulis dapat menyelesaikan karya
ilmiah ini.

Di samping itu, penulis menyadari bahwa dalam penulisan Tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka penulis mengharapkan kritikan dan saran-saran yang membangun dari semua
pihak untuk perbaikan kedepan. Akhir kata, kepada Allah jualah penulis menyerahkan segalanya.

Lhokseumawe, 10 Desember 2022


Penulis

Alfazilah Br. Barus

i
ABSTRAK

Logical Fallacy adalah kesesatan logika berpikir yang timbul karena terjadi ketidaksesuaian
apa yang dipikirkan dan bahasa yang digunakan untuk merumuskan pokok pikiran. Penalaran
yang sesat ini dapat terjadi apabila susunan premis yang ada tidak menghasilkan sustu
kesimpulan yang benar. Cyberbullying sendiri sebenarnya adalah salah satu bentuk bullying.
Cyberbullying dapat didefinisikan sebagai perilaku agresif dan diarahkan pada target yang
berulang kali dilakukan oleh kelompok atau individu dalam menggunakan media elektronik
dari waktu ke waktu kepada individu yang dianggap tidak mudah untuk dilawan. Saat ini,
cyberbullying merajalela bahkan di berbagai media sosial seperti Instagram, Tiktok,
Facebook, Twitter dan lainnya. Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata atau pernyataan lisan atau orang-orang dan perilaku yang diamati. Sujek dalam
penelitian ini merupakan 5 orang informan yang dipilih oleh peneliti. Adapun objek penelitian
ini adalah sumber dalam penelitian adalah Logical Fallacy terhadap perilaku Cyberbullying.
Metode pengumpulan data melalui observasi, dan wawancara serta dokumentasi. Metode
analisis data menggunakan model Miles dan Huberman yaitu dengan mereduksi data pada
pemilihan, pemfokusan, penyederhanaan, abstraksi, pentransformasian, serta penyajian data
dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian bahwa informan sudah memahami konsep
tindakan logical fallacy dan cyberbullying berikut faktor mempengaruhinya. Dalam penelitian
ini informan menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi logical fallacy terhadap
tindakan cyberbullying adalah pelaku mungkin hanya menganggap cyberbullying tersebut
hanya sebuah lelucin dan candaan saja yang dapat menghibur diri si pelaku tersebut.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................... i
ABSTRAK...................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................1


1.1 Latar Belakang Masalah...............................................1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................4
1.3 Tujuan Penelitian .........................................................4
1.4 Signifikansi Penelitian .................................................4
BAB II Kajian Teoritis..................................................................6
2.1 Pengertian Logical Fallacy ..........................................6
2.2 Pengertian Cyberbullying .............................................14
2.3 Faktor-faktor Penyebab Perilaku Cyberbullying..........16
BAB III ...........................................................................................22
3.1 Desain Penelitian ....................................................... 22
3.2 Objek dan Subjek Penelitian ...................................... 23
3.3 Metode Pengumpulan Data ........................................ 25
3.4 Metode Analisis Data ................................................. 25

BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan ................................. 28


4.1 Hasil Penelitian ......................................................... 28
4.2 Pembahasan .............................................................. 32

BAB IV PENUTUP ..................................................................... 35


5.1 Simpulan ................................................................... 35
5.2 Rekomendasi ............................................................. 35

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Logical Fallacy adalah kesesatan logika berpikir yang timbul karena

terjadi ketidaksesuaian apa yang dipikirkan dan bahasa yang digunakan untuk

merumuskan pokok pikiran. Penalaran yang sesat ini dapat terjadi apabila susunan

premis yang ada tidak menghasilkan sustu kesimpulan yang benar. Dengan artian

kesesatan fallacy muncul ketika suatu argumen terbentuk dari premoi-premis yang

tidak berkaitan dengan argumen yang ada (LaBoissiere, 2010:1).

Dalam psikologi kogninif, kesesatan berpikir masuk dalam ranah

penalaran (reasoning) dan pengambilan keputusan. Dimana kemudian hal tersebut

mempengaruhi respon serta perilaku yang dimunculkan oleh seseorang. Apabila

dikaitkan dengan fenomena yang ada, kecenderungan manusia untuk bernalar,

mengambil keputusan, dan memilih alternatif pilihan tidak terlepas dari

kecenderungan sifat dasar manusia untuk memilih sesuatu yang disukainya

daripada orang lain. Hal inilah yang menimbulkan terjadinya logical fallacy

termasuk memberi penilaian pada seseorang dengan cara mencemooh fisik

dianggap hal yang lucu dan biasa, dalih bercanda, alasan ingin memberi dukungan

agar korban berubah, dan alasan yang paling umum digunakan adalah kebebasan

berpendapat di ruang publik.

Seiring dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan perkembangan

teknologi dan sistem informasi. Secara tidak sadar media sosial telah

1
2

mempengaruhi masyarakat bahkan pada ruang lingkup mahasiswa, baik secara

positif maupun negatif. Salah satu bentuk pengaruh negatif adalah cyberbullying

yang sedang berlangsung di beberapa negara, salah satunya Indonesia.

Cyberbullying sendiri sebenarnya adalah salah satu bentuk bullying.

Cyberbullying dapat didefinisikan sebagai perilaku agresif dan diarahkan pada

target yang berulang kali dilakukan oleh kelompok atau individu dalam

menggunakan media elektronik dari waktu ke waktu kepada individu yang

dianggap tidak mudah untuk dilawan. Saat ini, cyberbullying merajalela bahkan di

berbagai media sosial seperti Instagram, Tiktok, Facebook, Twitter dan lainnya.

Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa dalam hal ini media sosial juga berperan

penting dalam efek negatif tersebut.

Perilaku ini biasa terjadi di lingkungan masyarakat, terutama di jejaring

sosial. Seringkali, para pelaku online ini melakukan ini karena mereka

membutuhkan perhatian dan persetujuan dari orang lain tanpa memikirkan

dampak yang mereka timbulkan. Pengakuan yang dibutuhkan oleh pelaku adalah

pengakuan bahwa pelaku berhubungan dengan banyak orang dan bahwa pelaku

dapat mengatasinya. Misalnya, mempermalukan secara online dapat berupa kritik

dengan hinaan yang memengaruhi jiwa seseorang.

Ada banyak jenis cyberbullying itu sendiri, salah satunya adalah online

shaming. Online Shaming sendiri adalah tindakan merusak kepercayaan orang lain

di dunia maya yang biasanya dilakukan dengan tujuan menghina, memfitnah,

melecehkan serta mengancam orang lain. Adapun online shaming yang paling

banyak terjadi dalam masyarakat adalah body shaming. Body shaming sendiri
3

didefinisikan sebagai ejekan mengenai penampilan fisik terhadap individu di

dalam kelompoknya (Widiasti 2016). Di Indonesia, saat ini sedang marak kasus

body shaming. Hal itu terjadi tidak hanya pada masyarakat biasa, namun juga

dialami oleh mahasiswa.

Pelaku body shaming biasanya datang dari orang terdekat seperti orang

tua, sahabat, teman, tetangga, bahkan guru di sekolah. Namun, perilaku

mencemooh fisik dianggap hal yang lucu dan biasa, dalih bercanda, alasan ingin

memberi dukungan agar korban berubah, dan alasan yang paling umum digunakan

adalah kebebasan berpendapat di ruang publik. Body shaming dapat dialami oleh

semua orang tanpa terkecuali, tidak melihat usia, gender, tingkat pendidikan,

kedudukan, ataupun pekerjaan seseorang sebagai sasaran pelaku.

Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai logical fallacy dan cyberbullying pada media sosial. Bagaimana

kemudian interaksi penilaian seseorang yang mengandung logical fallacy dalam

media sosial seperti facebook, instagram, telegram, tik-tok dan twitter

memunculkan perilaku cyberbullying dalam masayarakat khususnya mahasiswa

dengan tujuan dapat menambah wawasan dan pemahaman mengenai proses

berpikir yang benar sehingga nantinya tidak menyebabkan munculnya perilaku

yang destruktif seperti cyberbullying yang terjadi pada Mahasiswa Universitas

Malikussaleh (UNIMAL) Lhokseumawe selama ini.


4

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan penelitian ini peneliti memberikan rumusan masalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana gambaran umum logical fallacy dan cyberbullying melalui

media sosial yang terjadi pada Mahasiswa Universitas Malikussaleh

(UNIMAL) Lhokseumawe?

2. Apa faktor yang mempengaruhi proses logical fallacy dan cyberbullying

melalui media sosial pada Mahasiswa Universitas Malikussaleh (UNIMAL)

Lhokseumawe?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan penelitian diatas, maka yang menjadi tujuan dari

penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui gambaran umum tentang logical fallacy dan

cyberbullying melalui media sosial yang terjadi pada Mahasiswa Universitas

Malikussaleh (UNIMAL) Lhokseumawe.

2. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi proses logical fallacy dan

cyberbullying melalui media sosial pada Mahasiswa Universitas

Malikussaleh (UNIMAL) Lhokseumawe.

1.4 Signifikansi Penelitian

Signifikansi penelitian ini secara teoretis diharapkan memberikan

kontribusi dalam pengetahuan dan pengembangan wawasan teori pada bidang

ilmu psikologi tentang logical fallacy dan cyberbullying yang terjadi pada

mahasiswa, khususnya pada mahasiswa Jurusan Psikologi Universitas


5

Malikussaleh (UNIMAL) Lhoksemawe. Dalam hal praktis, hasil penelitian ini

diharapkan akan memberikan sumbangan masukan, khususnya terkait faktor yang

mempengaruhi logical fallacy dan cyberbullying melalui media social pada

mahasiswa sehingga menemukan tindakan preventif untuk menhindari tindakan

tersebut.
6

BAB II

KAJIAN TEORITIS

2.1 Pengertian Logical Fallacy (Kesesatan Fikiran)

2.1.1 Pengertian Logical

Logika atau penalaran merupakan satu hal yang sangat penting dalam

perkembangan sebuah ilmu pengetahuan, apa pun bentuk ilmu pengetahuan

tersebut. Ini disebabkan ilmu pengetahuan mensyaratkan sebuah proses berpikir

yang dapat diterima akal sehat, bukan cara berpikir yang didasarkan pada

“perkiraan”, “katanya”, “warisan”, “takhayul”, “mitos”, dan sebagainya. Melalui

proses berpikir logis, seorang ilmuwan akan dapat menyimpulkan apakah

kepercayaan atau pengetahuan yang diyakini masyarakat merupakan sebuah

kebenaran nyata atau hanyalah mitos tanpa dasar atau itu adalah “hoax” yang

disebarkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab (Nanang Martono, 2018:

2).

Logical (Logika) berasal dari bahasa Latin logos yang berarti "perkataan".

Istilah logos secara etimologis sebenarnya diturunkan dari kata sifat logike:

"Pikiran" atau "kata". Istilah Mantiq dalam bahasa Arab berasal dari kata kerja

Nataqa yang berarti "berkata" atau "berucap".

Istilah dari logika, dilihat dari segi etimologis, berasal dari kata Yunani

logos yang digunakan dengan beberapa arti, seperti ucapan, bahasa, kata,

pengertian, pikiran, akal budi, ilmu. Dari kata logos kemudian diturunkan kata

sifat logis yang sudah sangat sering terdengar dalam percakapan kita sehari-hari.

Orang berbicara tentang perilaku yang logis sebagai lawan terhadap perilaku yang
7

tidak logis, tentang tata cara yang logis, tentang penjelasan yang logis, tentang

jalan pikiran yang logis, dan sejenisnya. Dalam semua kasus itu, kata logis

digunakan dalam arti yang kurang lebih sama dengan ‘masuk akal’; singkatnya,

segala sesuatu yang sesuai dengan, dan dapat diterima oleh akal sehat (Ainur

Rahman, 2018: 1).

Selain itu, ada beberapa definisi logika yang lain. Menurut Rapar (1996)

logika adalah cabang filsafat yang mempelajari, menyusun, mengembangkan, dan

membahas asas-asas, aturan-aturan formal, prosedur-prosedur serta kriteria yang

sahih bagi penalaran demi mencapai kebenaran yang dapat

dipertanggungjawabkan secara rasional. Logika adalah ilmu dan kecakapan

menalar dan berpikir dengan tepat (Poespoprodjo & Gilarso, 2011). Logika adalah

suatu metode atau teknik yang diciptakan untuk meneliti ketepatan menalar

(Soekadijo, 2014). Sementara Kattsoff (1996) mendefinisikan logika sebagai ilmu

pengetahuan mengenai penalaran yang lurus. Ilmu pengetahuan ini menguraikan

aturan-aturan serta cara-cara untuk mencapai kesimpulan, setelah didahului

seperangkat premis. Kemudian, Bakhtiar (2012) menjelaskan logika sebagai

sarana berpikir sistematis, valid, benar, dan dapat dipertanggungjawabkan. Logika

merupakan sebuah ilmu pengetahuan atau “science”. Ilmu pengetahuan sendiri

adalah kumpulan pengetahuan mengenai pokok-pokok tertentu. Kumpulan ini

merupakan suatu kesatuan yang sistematis serta memberikan penjelasan yang

dapat dipertanggungjawabkan. Penjelasan dapat dilakukan dengan menunjukkan

sebab musababnya (Lanur, 1983).

Definisi-definisi logika tersebut menegaskan dua hal sekaligus yang


8

menjadi inti pengertian logika. Logika adalah sebuah ilmu dan keterampilan.

Pertama, logika sebagai ilmu. Sebagai sebuah ilmu, logika merupakan elemen

dasar ilmu pengetahuan. Kedua, logika juga dapat dimaknai sebagai seni atau

keterampilan, yakni seni atau asas-asas pemikiran yang benar, tepat, dan lurus.

Sebagai sebuah keterampilan, logika adalah seni dan kecakapan menerapkan

hukum-hukum atau asas-asas pemikiran itu agar bernalar dengan tepat, teliti, dan

teratur. Hal ini berarti memiliki pengetahuan yang cukup tentang logika sebagai

ilmu tidak dengan sendirinya menjamin bahwa seseorang dapat bernalar dengan

teliti, tepat dan teratur. Keterampilan menalar dengan tepat adalah kecakapan

yang diperoleh dari latihan yang terus-menerus sehingga tercipta suatu kebiasaan

yang mantap pada akal budi kita untuk berpikir sesuai dengan hukum-hukum atau

prinsip-prinsip pemikiran.

Manusia akan senantiasa berpikir setiap saat. Setidaknya ada beberapa

kondisi yang memaksa manusia untuk berpikir, di antaranya adalah pertama,

ketika ia ditanya orang lain mengenai suatu hal. Mau tidak mau manusia akan

berpikir untuk memberikan jawaban, terlepas jawaban itu benar atau salah, sesuai

kenyataan atau tidak. Kedua, jika pernyataan atau pendiriannya dibantah orang

lain. Pada saat ini, manusia akan berusaha mempertahankan argumen atau

pendapatnya. Ketiga, jika dalam lingkungan terjadi perubahan secara mendadak,

atau terjadi peristiwa yang tidak diharapkan. Perubahan akan selalu memaksa

manusia untuk selalu berpikir agar tetap bertahan dalam perubahan tersebut.

Keempat, dorongan rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu manusia akan mendorongnya

untuk terus berpikir mencari jawaban atas teka teki yang mengganggu pikirannya
9

(Nanang Martono, 2018: 7).

2.1.2 Pengertian Fallacy

Menurut Hamblin (1970: 12) fallacy adalah sebuah argumen yang

tampaknya bersifat valid tetapi kenyataannya tidak. Dengan kata lain,

fallacy merupakan sebuah persepsi dalam diri seseorang yang menurutnya

benar padahal hal tersebut keliru. Fallacy juga disebut kesesatan berpikir.

Kesesatan berfikir adalah proses penalaran atau argumentasi yang

sebenarnya tidak logis, salah arah dan menyesatkan. Ini karena adanya

suatu gejala berfikir yang disebabkan oleh pemaksaan prinsip-prinsip

logika tanpa memperhatikan relevansinya. Kesesatan relevansi timbul

ketika seseorang menurunkan suatu kesimpulan yang tidak relevan pada

premisnya atau secara logis kesimpulan tidak terkandung bahkan tidak

merupakan implikasi dari premisnya (Ainur Rahman, 2018: 130).

Fallacy adalah langkah tidak logis dalam perumusan argumen.

Argumen dalam tulisan akademis pada dasarnya adalah kesimpulan atau

klaim, dengan asumsi atau alasan untuk mendukung klaim tersebut.

Misalnya, “Biru” adalah warna yang buruk karena terkait dengan

“kesedihan” adalah argumen karena membuat klaim dan menawarkan

dukungan untuk itu. Terlepas dari apakah klaim yang dibuat itu benar atau

salah, dengan alasan yang tidak mendukung klaim tersebut secara logis

atau tidak didukung secara logis. Misalnya, argumen di atas mungkin

dianggap keliru oleh seseorang yang menganggap warna biru

melambangkan ketenangan.
10

Dalam sejarah perkembangan logika terdapat berbagai macam tipe

kesesatan dalam penalaran. Walaupun model klasifikasi kesesatan yang

dianggap baku hingga saat ini belum disepakati para ahli, mengingat cara

bagaimana penalaran manusia mengalami kesesatan sangat bervariasi,

namun secara sederhana kesesatan dapat dibedakan dalam dua kategori,

yaitu kesesatan formal dan kesesatan material.

2.1.3 Logical Fallacy (Sesat Pikir)

Logical fallacy adalah suatu proses bernalar yang salah. Proses

penalaran yang salah dan tidak tepat ini membuat argumen yang

dikemukakan seseorang juga menjadi salah. Ada dua cara yang

menyebabkan suatu argumen menjadi salah. Yang pertama terjadi apabila

premis-premis yang menyusun sebuah argumen itu salah, maka

kesimpulan yang mengikuti pun juga salah meskipun dasar dari penalaran

yang dibentuk berasal dari premis yang valid. Yang kedua suatu argumen

menjadi salah apabila seseorang itu menetapkan kesimpulannya benar

meskipun pada kenyataannya premis yang membangun argumen tersebut

tidak menggambarkan kesimpulan yang dicari (Irving, 1900: 91).

Ada beberapa macam bentuk logical fallacies yang biasa

digunakan dalam kehidupan sehari-hari antara lain ad homunem, false

cause, black or white, straw man, Appeal to authority dan complex

guestion.
11

1. Ad Hominem

Ad hominem adalah salah satu bentuk /ogical fallacy dengan ciri isi

argumennya adalah menyerang karakter lawan bicara yang disahkan

berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang didapat. Maksud lain

dari ad hominem adalah menyerang orang lain secara langsung baik

itu untuk menyangkal argumen orang tersebut, atau dengan tujuan

mempertahankan diri (Solso, Maclin, & Maclin, 2018: Irving, 1990).

Argumentum ad Hominem merupakan jenis kesalahan berpikir

yang sering terjadi ketika dua pihak beradu argumen. Pada kasus ini,

salah satu pihak akan menyerang pihak lain yang tidak berhubungan

dengan konteks pembahasan. Pihak yang menyerang biasanya akan

memilih untuk menyerang bentuk badan, keadaan hidup, dan masih

banyak lagi. Apabila kesalahan berpikir Argumentum ad Hominem

terus terjadi, nantinya akan menyebabkan cyberbullying yaitu online

shaming.

Salah satu jenis ad hominem yang sering terjadi adalah ad

hominem abusive, yaitu tipe argumen yang digunakan untuk menghina

lawan bicara, bermakna kasar, dan melawan argumen seseorang

dengan cara menjatuhkan karakternya. Tujuan lain dari argumen ini

adalah untuk menyangkal intelegensi, penalaran seseorang, atau

mempertanyakan kapasitas dirinya. Meskipun pada dasarnya

penyerangan karakter tidak sesuai dengan fakta, ataupun perihal benar

salah dari argumen yang dikemukakan Dalam kehidupan sehari-hari


12

terdapat beberapa variasi bentuk penggunaan ad hominem abusive.

Terkadang argumen model ini digunakan seseorang untuk melecehkan

dan menjatuhkan atas tujuan tertentu. Terkadang seseorang

menggunakannya untuk menyerang orang-orang yang dianggap

buruk. Meskipun pada akhirnya semuanya sama, yaitu menyerang

orang lain meskipun argumen yang digunakan tidak relevan dengan

fakta yang ada.

2. False Cause

False cause adalah argumen yang disusun berdasarkan

hubungan sebab akibat suatu kejadian. Menjadi fallacy karena sesuatu

hal sebenarnya bukan menjadi penyebab atas kesimpulan atau

argumen yang dimunculkan, namun seolah-olah menjadi penyebab

utama. Sederhananya fallacy ini terjadi karena suatu argumen disusun

atas pemikiran bahwa setelah terjadi sesuatu, maka akan terjadi

sesuatu yang lain.

Kesesatan yang dilakukan karena penarikan penyimpulan

sebab-akibat dari apa yang terjadi sebelumnya adalah penyebab

sesungguhnya suatu kejadian berdasarkan dua peristiwa yang terjadi

secara berurutan. Orang lalu cenderung berkesimpulan bahwa

peristiwa pertama merupakan penyeab bagi peristiwa kedua, atau

peristiwa kedua adalah akiat dari peristiwa pertama – padahal urutan

waktu saja tidak dengan sendirinya menunjukkan hubungan sebab-

akibat. Kesesatan ini dikenal pula dengan nama kesesatan “post-hoc


13

ergo propter hoc” (sesudahnya maka karenanya).

Adapun contoh fallacy ini adalah “Seorang pemuda setelah

diketahui baru putus cinta dengan pacarnya, esoknya sakit.

Tetangganya menyimpulkan bahwa sang pemuda sakit karena baru

putus cinta”. Hal ini terkadang tidak sejalan dengan apa yang

dipikirkan tetangganya yang bahwa bahwa perihal sebenarnya

“Berdasarkan diagnosa dokter adalah si pemuda terkena radang paru-

paru karena kebiasaannya merokok tanpa henti sejak sepuluh tahun

yang lalu”.

3. The Straw Man

Argumen ini disusun dengan membuat susunan argumen lemah

dan menghubungkan dengan lawan bicara sehingga terlihat kuat dengan

tujuan untuk menjatuhkan lawan bicara tersebut. Argumen seperti ini

kerap digunakan seseorang yang ingin terlihat benar dalam perdebatan

dengan cara menempatkan lawan kepada posisi yang buruk sehingga

terlihat salah (Solso, Maclin, & Maclin, 2008: Paul, 2012).

Contoh dari argumen ini, semisal seorang ayah menyuruh

anaknya untuk menunda janji pergi dengan temannya karena ibunya

sedang sakit, kemudian anaknya mempersepsikan bahwa ayahnya tidak

membolehkannya keluar dengan temannya, maka itu termasuk straw

man karena sang anak memposisikan ayah melarangnya pergi dengan

temannya . Padahal sang ayah tidak melarang, tetapi menyuruh sang

anak menunda pergi karena ibunya sedang sakit.


14

4. Appeal to Authority

Appeal to authority adalah suatu kondisi dimana seseorang berargumen

dengan merujuk pada suatu tokoh atau seseorang yang dianggap

terpandang. Namun, kesalahannya terletak pada apabila seseorang

tersebut menggunakan pernyataan tokoh tersebut sebagai sebuah konlusi

tanpa mencari alasan rasional atau pendukung dari argumen tokoh

tersebut (Irving, 1990: 95).

2.2 Cyberbullying

2.2.1 Pengertian Cyberbullying

Bullying merupakan perilaku agresif yang melibatkan individu atau

kelompok dengan tingkat pengakuan atau kekuatan sosial yang tinggi

terhadap individu atau kelompok dengan tingkat pengakuan atau kekuatan

sosial yang rendah. Individu atau kelompok yang memiliki tingkat

pengakuan sosial tinggi, artinya mereka dianggap memiliki dominasi,

mendapat labeling sebagai penguasa, memiliki status sosial yang diakui di

lingkungannya, dan atau memiliki modal kekuatan dalam dirinya untuk

menyerang serta mengeksploitasi individu lain di lingkungannya maka

mereka akan bertindak sebagai pelaku bullying. Sedangkan individu yang

dianggap lemah, aneh, berbeda dan layak untuk diintimidasi di

lingkungannya maka mereka menjadi sasaran empuk untuk menjadi korban

dari bullying. Pada kondisi yang demikian ini, terjadi kesenjangan kekuatan

serta kekuasaan yang cukup besar antara pelaku dengan korban bullying
15

(Dalam Muhammad Azka Maulan, Dkk, 2021: 1; Olweus, 1994; Bauman &

Yoon, 2014;).

Bullying adalah tindakan mengintimidasi dan memaksa seorang

individu atau kelompok yang lebih lemah untuk melakukan sesuatu di luar

kehendak mereka, dengan maksud untuk membahayakan fisik, mental atau

emosional melalui pelecehan dan penyerangan (Setia Budhi, 2018: 4).

Bullying adalah suatu tindakan yang mengandung kekerasan, baik itu

secara verbal, psikis, ataupun fisik pada seseorang. Tindakan bullying ini

dapat dilakukan oleh perorangan atau suatu kelompok tertentu yang

tujuannya sama, yaitu untuk menyakiti, menyerang atau melawan orang lain.

Merujuk pada pengertian bullying, cyberbullying mempunyai definisi yang

serupa hanya saja tindakan cyberbullying tidak secara langsung, melainkan

menggunakan media seperti internet, ponsel, ataupun yang serupa dengan

tujuan untuk menyakiti lawan. Karena dilakukan melalui media,

cyberbullying kebanyakan menyerang lawan secara psikis, bukan menyerang

secara fisik. Berbeda dengan bullying bullying yang dapat dilakukan kapan

saja selagi ada korban dan pelaku (Barnardos, 2012: 3).

Cyberbullying adalah salah satu bentuk dari tindakan bullying yang

dilakukan secara online atau melalui media internet. Dalam hal ini

cyberbullying bisa terjadi dalam platform umum ataupun pada personal chat

yang mengandung unsur-unsur penyerangan, permusuhan serta

membahayakan seseorang. Seperti bullying pada umumnya, cyberbullying

menunjukkan ketidakseimbangan perilaku dimana kemudian memunculkan


16

pelaku bullying dan korban. Unsur-unsur perilaku yang dimunculkan bisa

dalam bentuk menyakiti seseorang melalui email atau pesan tertentu yang

mengandung ancaman, mengucilkan, menyebar rumor dan mengganggu

pengguna internet lainnya (Price, 2010: 51)

Meskipun bullying dan cyberbullying mempunyai tujuan yang sama

yaitu menyakiti seseorang, ada perbedaan dampak antara keduanya. Secara

aksesibilitas, bullying dilakukan secara langsung dimana pelaku dapat

mengamati dan melihat reaksi korban. Dalam hal ini ada libatan emosi

seperti penyesalan, rasa bersalah, ataupun perasaan senang ketika melihat

korban bullyinya. Sedangkan pada cyberbullying, pelaku tidak dapat melihat

secara langsung bagaimana respon dan dampak yang dialami korbannya

sehingga libatan emosi pelaku seperti rasa penyesalan, rasa bersalah karena

telah menyakiti korban mempunyai peluang yang lebih sedikit. Selanjutnya,

bullying tidak dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja. Pelaku harus

memperhatikan lokasi, kondisi dan situasi ketika akan melakukan tindakan

bullying. Sedangkan pada cyberbullying, pelaku dapat melakukan bullying

dimana saja, kapan saja dan kepada siapa saja asalkan ada akscs yang

mendukungnya untuk melakukan tindakan tersebut. Ini menandakan bahwa

tindakan cyberbullying lebih memungkinkan untuk dilakukan (Kowalski,

Giumetti, Schroeder, & Lattanner, 2014: 1074).

2.2.2 Faktor-faktor Penyebab Perilaku Cyberbullying

Terdapat dua pembagian yang menyebabkan terjadinya

cyberbullying yaitu faktor personal (person factors), dan faktor situasi


17

(situational factors).

1. Faktor Personal

Ada delapan penyebab yang tergolong dalam faktor personal yaitu

kepribadian (personality), usia (age), motif (motives), gender, nilai

dan persepsi (values and perceptions), kondisi psikologis sescorang

(psychological states), status sosial-ekonomi serta teknologi yang

digunakan (sosioeconomic status and technology use ), dan perilaku

maladaptif lainnya (other maladaptive behavior).

1) Kepribadian (Personality)

Faktor kepribadian yang berpengaruh dalam tindakan

cyberbullying adalah empati dan naristik. Empati sebagai

kemampuan memahami emosi orang lain menjadi penyebab

tinggi rendahnya keinginan untuk melakukan tindakan

cyberbullying. Apabila tingkat empati yang dimiliki tinggi, maka

kemungkinan untuk melakukan cyberbullying rendah. Begitu pula

sebaliknya. Apabila empati rendah, maka kemungkinan untuk

melakukan cyberbulling tinggi.

Sedangkan narsistik adalah keinginan untuk

mengeksploitasi dan menyakiti korban demi mengambil

keuntungan pribadi melalui dunia maya. Hal inilah yang

kemudian mendorong seseorang untuk melakukan cyberbullying.

2) Usia (Age)

Adapun faktor yang mempengaruhi perilaku cyberbullying


18

juga ditentukan oleh usia. Pada tataran perkuliahan, usia seseorang

menentukan intensitas banyaknya dan metode atau cara-cara

tertentu yang digunakan untuk melakukan tindakan cyberbullying.

Adapun korban yang sering mengalami cyberbullying adalah

mereka sedang duduk di bangku kuliah atau saat menjadi

mahasiswa, dan sayangnya mayoritas yang mengalami

cyberbullying adalah mereka yang masih duduk di bangku sekolah

dasar dan menengah.

3) Motif (Motives)

Motif yang paling umum ditemukan sebagai penyebab dari

cyberbullying adalah kemarahan. Faktor lain yang ditemukan

adalah adanya keinginan balas dendam karena pernah mengalami

bullying secara langsung di dunia nyata sehingga membuatnya

melakukan bullying di dunia maya. Motif terakhir yang ditemukan

adalah menunjukkan kemampuannya dalam mengoperasionalkan

teknologi supaya terlihat kuat sehingga membuatnya puas.

4) Jenis Kelamin (Gender)

Berdasarkan beberapa penelitian diperoleh hasil bahwa

dalam dunia nyata, laki-laki lebih cenderung menjadi korban

bullying, intimidasi dan perilaku agresi lainnya. Sedangkan anak

perempuan lebih memungkinkan untuk mengalami agresi tidak

langsung salah satunya cyberbullying. Sedangkan untuk kategori

pelaku, laki-laki lebih memungkinkan melakukan tindak


19

cyberbullying daripada perempuan meskipun tidak ada perbedaan

jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan pada korban

cyberbullying.

8. Perilaku Maladaptif Lainnya (other maladaptive behavior)

Seseoraang yang mengalami kekerasan dalam dunia maya atau korban

cyberbullying, lebih berpotensi melakukan perilaku meladiptif di dunia nyata.

Perilaku maladiptif ini bermacam macam seperti alcohol, dan menggnakan

tembakau. Sementara dalam hubungan sosialny, korban cyberbullying ini juga

berkemungkinan untuk merusak property, mengambil barang yang bukan

miliknya, berurusan dengan polisi karena perilakunya, atau melakukan kontak

fisik (menyerang) keluarga.

b. Faktor Situasi

ada empat penyebab yang masuk dalam faktor ini antara lain provokasi

dan addanya dukungan (provocation and perceived support), keterlibatan orang

tua (parental invilment), iklim di sekolah (school climate), dan tidak diketahui

identitas pelaku.

1. Provokasi dan adanya dukungan (provocation and perchived

support)

Adanya provokasi dapat mengarahkan pada beberapa bentuk perilaku

seperti penghinaan, agresi verbal dan fisik, bulliying, bahkan,cyberbullying.

Sedangkan adnya dukungan sosial dari teman sebaya memungkinkan untuk

menurunkan perilaku cyberbullying.


20

2. Keterlibatan orang tua

Orang tua tidak terlibat dalam kehidupan anaknya memungkinkan perilaku

cyberbullying pada anak. Begitupun dengan anak yang tidak memiliki ikatan

emosi kuat dengan orang tuanya memungkinkan terjadinnya perilaku bullying

atau cyberbullying.

3. Iklim di sekolah (School Climate)

Ikaln sekolah yang tidak ramah dan tidak kondusif dapat menyebabkan

teanan dan perasaan frustasi tersendiri bagi siswa. Hal ini lah yang kemudian

memunngkinkan siswa melampiaskan ketidaknyamanan di sekolah dengan

melakuka tindakan cyberbullying.

4. Tiadak diketahuinya identitas pelaku (Perceived Anonymity)

Rata rata korban cyberbullying tidak mengetahi identitas pelaku

cyberbullying. Halini pertimbangan sendiri kenapa kemudian seseorang

melakukan tindakan cyberbullying (Kowalski, Giumetti, Schroeder, &Lattanner,

2016: 1111-1114)

5. Moral dan persepsi ( values and perception)

Seseorang yang melepas moralnya cenderung ringan untuk melakukan

cyberbullying atau bullying secara langsung. Pertimbangan moral yang lain juga

membuat pelaku bullying memikirkan ulang tindak agresi yang akan dilakukan

sehingga dampak pada korban dapat diminimalisir.

Sedangkan persepsi mempengaruhi pendangan seseorang mengenai

dirinya baik kektika ada pada posisi korban atau pelaku. Pada posisi pelaku,

apabila ia mempersepsikan tindakan bullyingnya bukan suatu yang salah dan


21

membenarkan, maka kemunngkinan untuk melakukan bullying atau cyberbullying

lebih besar. Sedangkan pada korban, persepsi membuat seseorang meyakini

bahwa dia adalah korban cyberbullying dan layak mendapat status tersebut

sehingga mempengaruhi respon perilaku yang lain.

6. Kondisi Psikologis (psychological states)

Seseorang yang memiliki problem psikologis seperti kecemasan dan

persepsi memungkinkan untuk melakukan tindakan cyberbullying dari pada yang

tidak. Selain itu, perilaku cberbullying juga mempunyai maslah seperti

konsentrasi yang rendah di sekolah, tidak suka dengan sekolahny, ataupun

mempunyai nilai akademik yang rendah. Walaupun kondisi ini juga bisa menjadi

akibat dari adanya tindakan cberbullying.

7. Status Sosio-Ekonomi serta Teknologi yang Digunakan

(socioeconomic status and technology use)

Seseorang yang mempunyai status sosio-ekonomi lebih tinggi mempunyai

kemunnkinan melakukan cyberbullying lebih tinggi. Hal inni terjadi karena

mempunyai akses yang lebih banyak daripada yang sosio-ekonominnya rendah.

Begitu juga orang yang menghabiskan waktu lama pada dunia maya dan

mempunyai peluang yang lebih banyak melakukan cyberbullying.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian adalah kerangka kerja yang digunakan untuk

melaksanak riset pemasaran (Malhotra, 2007). Desain penelitian memberikan

prosedur untuk mendapatkan informasi yang diperlukan untuk menyusun atau

menyelesaikan masalah dalam penelitian. Desain penelitian merupakan dasar

dalam melakukan penelitian. Oleh sebab itu, desain penelitian yang baik akan

menghasilkan penelitian yang efektif dan efisien. Klasifikasi desain penelitian

dibagi menjadi dua yaitu, eksploratif dan konklusif. Desain penelitian konklusif

dibagi lagi menjadi dua tipe yaitu deskriptif dan kausal Dalam penelitian ini

digunakan penelitian eksploratif dan deskriptif. Menurut Malhotra (2007),

penelitian eksploratif bertujuan untuk menyelidiki suatu masalah atau situasi

untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman yang baik. Sementara itu,

penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan sesuatu. Penelitian

deskriptif memilih pernyataan yang jelas mengenai permasalahan yang dihadapi,

hipotesis yang spesifik dan informasi detail yang dibutuhkan.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian kualitatif. Penelitian

kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

atau pernyataan lisan atau orang-orang dan perilaku yang diamati. Untuk lebih

jelasnya penulis mengemukakan pengertian metode kualitatif yang dikemukakan

oleh para ahli yaitu: Menurut Bogdan dan Taylor (2009,4) mendefinisikan metode

kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

1
2

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.

Menurut Moleong, (2006:6) menyebutkan bahwa tindakan manusia

menjadi suatu hubungan sosial bila manusia memberikan arti atau makna tertentu

terhadap tindakanya. Sehingga data yang berada di lapangan mampu

mengungkapkan interpretasi subyek akan perilakunya. Penelitian ini

menggunakan metode deskriptif dengan tujuan untuk mengetahui dan

memberikan gambaran mengenai logical fallacy (sesat berfikir) terhadap perilaku

cyberbullying pada mahasiswa.

3.2 Objek dan Subjek Penelitian

3.2.1 Subjek Penelitian

Subjek merupakan suatu bahasan yang sering dilihat pada suatu

penelitian. Manusia, benda, ataupun lembaga (organisasi) yang sifat

keadaannya akan diteliti adalah sesuatu yang didalam dirinya melekat atau

terkandung objek penelitian. Subjek penelitian pada dasarnya adalah yang

akan dikenai kesimpulan hasil penelitian. Subjek penelitian yaitu

keseluruhan objek dimana terdapat beberapa narasumber atau informan

yang dapat memberikan informasi tentang masalah yang berhubungan

dengan penelitian yang akan dilakukan.

Dalam penelitian kualitatif prosedur pemilihan informan menurut

Bugin (2007) adalah menggunakan “Teknik snowball sampling dengan

cara menentukan key person tertentu dengan syarat informasi sesuai

dengan focus penelitian. Key person adalah orang yang mengerti dan

bertindak sebagai pelaku di dalam objek penelitian.” Menurut Sugiyono


3

(2012:219) “Snowball sampling adalah tehnik pengempulan sample

sumber data yang pada awalanya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi

besar. Hal ini dilakukan karena dari jumlah sumber data tersebut belum

mampu memberikan data yang memuaskan, maka mencari orang lain yang

dapat digunakan sebagai sumber data.

Banyak sekali yang harus diketahui dan dilakukan oleh peneliti

dalam menentukan informan. Banyaknya informan bukan berarti

kemudahan bagi peneliti, karena apabila jawaban yang diberikan informan

kepada peneliti kurang memuaskan, maka peneliti harus mengorbankan

waktu lebih banyak dalam meneliti. Cermat dan tepat adalah cara yang

perlu dilakukan oleh peneliti dalam menentukan informan, salah memilih

informan maka hal tersebut dapat mempengaruhi keabsahan dan kevalidan

data.

3.2.2 Objek Penelitian

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, objek adalah hal, perkara,

atau orang yang menjadi pokok pembicaraan. Dengan kata lain objek

penelitian adalah sesuatu yang menjadi fokus dari sebuah penelitian. Jika

kita bicara tentang objek penelitian, objek inilah yang akan dikupas dan

dianalisis oleh peneliti berdasarkan teori-teori yang sesuai dengan objek

penelitian. Objek yang dijadikan sumber dalam penelitian adalah Logical

Fallacy terhadap perilaku Cyberbullying.


4

3.3 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data, yaitu sebagai

berikut:

1. Pengamatan (Observasi)

Observasi (Pengamatan langsung), yaitu pengumpulan data yang

didapatkan dengan cara pengamatan dan pencatatan terhadap masalah

yang berkaitan dengan logical fallacy terhadap perilaku cyberbullying

pada mahasiswa Universitas Malikussaleh (UNIMAL) Lhokseumawe.

2. Wawancara

Wawancara dimana peneliti akan berkomunikasi dengan informan

sehingga mendapatkan informasi-informasi sesuai dengan penelitian yang

berkaitan dengan obyek penelitian dengan menyusun pedoman

wawancara.

3. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan teknik untuk mengumpulkan data yang di

ambil dari beberapa buku bacaan maupun dokumen dan yang lainnya

berhubungan dengan objek penelitian di lokasi penelitian untuk

melengkapi data tentang logical fallacy terhadap perilaku cyberbullying

pada mahasiswa Universitas Malikussaleh (UNIMAL) Lhokseumawe.

3.4 Metode Analisis Data

Analisis data merupakan proses sistematis pencarian dan

pengaturan transkripsi wawancara, catatan lapangan, dan materi-materi


5

lain yang telah peneliti kumpulkan untuk meningkatkan pemahaman

peneliti sendiri mengenai materi-materi tersebut dan untuk memungkinkan

peneliti menyajikan apa yang sudah peneliti temukan kepada orang lain

(Emzir, 2011:85). Menurut Miles dan Huberman (1984) ada beberapa

langkah yang harus dilakukan dalam analisis data kualitatif yaitu:

3.4.1 Reduksi Data

Reduksi data merujuk pada pemilihan, pemfokusan,

penyederhanaan, abstraksi, dan pentransformasian “data mentah” yang

terjadi dalam catatan-catatan lapangan yang tertulis. Sebagaimana kita

ketahui, reduksi data terjadi secara kontinu, melalui kehidupan suatu

proyek yang diorientasikan secara kualitatif. Faktanya, bahkan “sebelum”

data secara aktual dikumpulkan (Emzir, 2011:129). Reduksi data bukanlah

sesuatu yang terpisah dari analisis. Reduksi data merupakan bagian dari

analsis, pilihan-pilihan peneliti potongan-potongan data untuk diberi kode,

untuk ditarik ke luar, dan rangkuman pola-pola sejumlah potongan, apa

pengembangan ceritanya, semua merupakan pilihan-pilihan analitis.

Reduksi data adalah suatu bentuk analisis yang mempertajam, memilih,

memokuskan, membuang, dan menyusun data dalam suatu cara dimana

kesimpulan akhir dapat digambarkan dan diverifikasikan.

2.4.2 Penyajian Data

Penyajian data adalah suatu kegiatan ketika sekumpulan informasi

disusun. Seperti yang disebut Emzir dengan melihat sebuah tayangan


6

membantu kita memahami apa yang terjadi dan melakukan suatu analisis

lanjutan atau tindakan yang didasarkan pada pemahaman tersebut.

Tujuan dari penyajian data tersebut adalah suatu jalan masuk utama

untuk analisis kualitatif valid. Model tersebut mencangkup berbagai jenis

matrix, grafik, jaringan kerja dan bagan. Semua dirancang untuk merakit

informasi tersusun dalam suatu yang dapat diakses secara langsung,

bentuk yang praktis dengan demikian peneliti dapat melihat dengan baik

apa yang terjadi dan dapat memberi gambar atau kesimpulan yang

diyustifikasikan maupun bergerak ke analisis tahap berikutnya. Merancang

kolom dan baris dari suatu matrix untuk data kualitatif dan menentukan

data yang mana, dalam bentuk yang apa, harus dimasukkan dalam sel yang

analisis.

2.4.3 Penarikan Kesimpulan

Langkah ketiga dari aktivitas analisis adalah penarikan data

verifikasi kesimpulan. Dari permulaan pengumpulan data, peneliti

kualitatif mulai memutuskan “makna” sesutu mencatat keteraturan, pola-

pola, penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur kausal, dan proporsi-

proporsi. Peneliti yang kompoten dapat menangani kesimpulan-

kesimpulan ini secara jelas, memelihara kejujuran, kecurigaan dan lainnya.

Penarikan kesimpulan hanyalah sebagian dari suatu proses analisis data.


7

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil observasi, wawancara peneliti dengan beberapa

informan mahasiswa maka diperoleh hasil penelitian sebagai berikut.

4.1.1 Logical Fallacy Terhadap Cyberbullying Melalui Media Sosial

Pada

Mahasiswa Universitas Malikussaleh (UNIMAL) Lhokseumawe

Berdasarkan dengan hasil wawancara mendalam yang telah dilakukan oleh

peneliti dengan mengambil 5 informan yaitu, AS, LZ, RA, NL, dan PY, peneliti

menemukan berbagai informasi terkait dengan pemahaman dan pandangan

mengenai Logical Fallacy terhadap Cyberbullying.

4.1.2 Pemahaman Cyberbullying

Pada pembahasan ini peneliti akan mengalisis pemahaman

informan terhadap tindakan cyberbullying. Untuk identitas informan sengaja

peneliti samarkan dan peneliti hanya lampirkan dalam bentuk inisial saja.

Informan pertama yaitu AS menyampaikan:

“Menurut saya, menghina kepribadian seseorang di media sosial sudah

termasuk cyberbullying.”

Menurut NL, Perilaku menghina kepribadian di media sosial sesorang

merupakan bagian dari tindakan cyberbullying. Hal ini sejalan dengan ungkapan

yang disampaikan informan lain, yaitu LZ yang mengungkapkan bahwa:


8

“Menurut saya cyberbullying merupakan bentuk bullying yang dilakukan

melalui medsos, perilaku itu memang dari sifat si pelaku yang begitu suka

mencampuri urusan orang, suka mencari tahu tentang orang, ketika si pelaku

sudah mengetahui tentang si korban, disitu lah bullying itu terjadi”

Cyberbullying merupakan bagian hinaan (bullying) yang dilakukan oleh

pelaku yang merupakan cerminan sifat pelaku yang suka mencampuri urusan

orang, dan suka mengeksplorasi tentang diri orang lain melalui medsos dengan

tujuan menghina disaat pelaku mengetahui indentitas orang tersebut. Hal ini juga

disampaikan informan yang berinisial RA yang juga mengungkapkan pernyataan

dalam wawancara sebagai berikut:

“Menurut saya cyberbullying itu adalah membully/menindas/mencela

orang di sosial media menggunakan kata-kata atau semacamnya. Hal itu

dilakukan pelaku karena pelaku telah mengetahui sisi lemah dari si korban lalu,

korban melakukannya karena dia hanya iseng iseng saja melakukan hal tersebut

untuk memuaskan keinginannya”.

Cyberbulling merupakan tindakan penindasan, celaan, dan hinaan terhadap

seseorang menggunakan ungkapan kata atau semacamnya. Hal tersebut dilakukan

saat pelaku mengetahui sisi lemah dari korban. Hal ini dikuatkan oleh ungkapan

informan NL yang disampaikan saat wawancara:

“Menurut saya cyberbullying adalah tindakan merendahkan atau

melecehkan seseoramg melalui teknologi internet atau dunia maya yang


9

merupakan balas dendam dan sesuatu hal yang tidak disukai oleh si pelaku

kepada korban”.

Menurut PY cyberbullying merupakan tindakan merendahkan atau

melecehkan seseoramg melalui teknologi internet atau dunia maya berupa media

sosial dengan maksud membalas dendam.

4.1.3 Pemahaman Logical Fallacy

Dalam penelitian ini juga akan dibahas tentang menganalisis pemahaman

informant tentang logical Fallacy, menurut AS logical fallacyitu adalah sebuah

pemikiran yang sesat saat berfikir. AS mengaakan bahwasanya,

“logical fallacy yatitu menilai sesuatu dengan fikiran yang sesat atau tidak

benar”.

Menurut pemahaman NL logical fallacy yaitu menilali argument

berdasarkan pemikiran yang sesatatau tidak benar. Dia mengatakan bahwa logical

fallacy itu adalah,

“penilaian atau argumen berdasarkan pemikiran logis yang buruk atau kesalahan

dalam penalaran”

Menurut LZ logical fallacy itu juga adalah sebuah pemikiran yang tidak

benar atau memberikan sebuah argument dengan pemikran yang sesat, dia

mengatakan bahwa

“memberi kan pendapat yang tidak benar”

Menurut RA logical fallacy adalah “disaat kita menilai seseorang

berdasarkan pemikiran logis yang buruk.


10

Di perkuat lagi oleh PY bahwa menurutnya logical fallacy yaitu “sesat


berfikir dalam mengambil suatu tindakan atau keputusan seseorang”.

4.1.4 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Logical Fallacy Terhadap

Tindakan Cyberbulling Pada Mahasiswa Universitas Malikussaleh

(UNIMAL) Lhokseumawe

Menurut AS faktor yang mempengaruhi logical fallacy itu karena faktor

balas dendam,

“Yang mempengaruhi orang melakukan cyberbullying itu dikarenakan oleh faktor


balas dendam, mungkin irang yang melakukan cyberbullying itu karena dia
dlunya korban pembullyan jadi si pelaku ini ingin membalaskan dendamnya”.

Pendapat AS dan ML sama bahwa si pelaku itu melakukan cyberbullying itu

dikarenakan balas dendam

“Disebabkan faktor balas dendam, si pelaku mungkin mengalami kericuhan di


masa lampau denagn si korban cyberbullying tersebut,jadi untuk membalaskan
dendamnya si pelaku melakukan cyberbullying”

Menurut LZ si pelaku melakukan cyberbullying di sebabkan si pelaku

menganggap hal tersebut hanaya canda gurawan sahaja. Seperti yang di katakana

LZ

“Si pelaku mungkin hanya menganggp cyberbullying tersebut hanya sebuah


lelucin dan candaan saja yang dapat menghibur diri si pelaku tersebut”.
Pendapat RA dan LZ hampir sama menurutnya faktor yang mempengaruhi

terjadinya cyberbullying itu karena si pelaku melihat si korban dari sisi lemahnya

mungkin juga karena merasa iri

“Faktor nya mungkin si pelalku melihat sisi lemah dari si korban ini jadi dia
memngolok olok kelemahan si korban dengan melakukan cyberbullying”
11

Menurut PY faktor lingkungan juga mempengaruhui terjadinya


cyberbullying.

“Faktor teman dan juga lingkungan juga dapat mempengaruhi seseorang


melakukan cyberbullying, karena ikut ikutan dan menganggapnya hanya
sekedar candaan”

4.2 Pembahasan

Pada bagian ini peneliti akan melakukan menjabarkan pembahasan terhadap

temuan data yang telah dijelaskan diatas untuk melihat bagaimana pemahaman

mahasiswa tentang logical fallacy terhadap tindakan cyberbullying dan faktor

yang mempengaruhinya.

4.2.1 Pembahasan Pemahaman Cyberbullying

Perilaku menghina kepribadian di media sosial sesorang merupakan bagian

dari tindakan cyberbullying. Hal ini disampaikan oleh salah satu informan yang

berinisial NL. Disamping itu, informan selanjutnya yang berinisial LZ juga

menyatakan bahwa Cyberbullying merupakan bagian hinaan (bullying) yang

dilakukan oleh pelaku yang merupakan cerminan sifat pelaku yang suka

mencampuri urusan orang, dan suka mengeksplorasi tentang diri orang lain

melalui medsos dengan tujuan menghina disaat pelaku mengetahui indentitas

orang tersebut.

Selanjutnya, hal sejalan disampaikan oleh RA yang menjelaskan bahwa

Cyberbulling merupakan tindakan penindasan, celaan, dan hinaan terhadap

seseorang menggunakan ungkapan kata atau semacamnya. Hal tersebut dilakukan

saat pelaku mengetahui sisi lemah dari korban. Tidak menutupi kemungkinan
12

bahwa tindakan cyberbullying juga merupakan bagian tindakan balas dendam

seseorang saat memiliki masalah dengan orang lain yang dibencinya. Hal tersebut

diperkuat oleh PY yang menjelaskan bahwa cyberbullying merupakan tindakan

merendahkan atau melecehkan seseoramg melalui teknologi internet atau dunia

maya berupa media sosial dengan maksud membalas dendam.

4.2.2 Pembahasan Pemahaman Logical Fallacy

Menurut informan yang berinisial NL menjelaskan bahwa logical fallacy

yaitu menilali argument berdasarkan pemikiran yang sesuata tidak benar.

Pernyataan ini juga diperkuat dengan informan LZ yang mengatakan bahwa

logical fallacy adalah sebuah pemikiran yang tidak benar atau memberikan sebuah

argument dengan pemikran yang sesat. Disamping itu, informan RA menyatakan

bahwa menilai sesuatu atu seseorang berdasarkan pemikiran logis yang buruk. Hal

itu juga sejalan dengan penjelasan dari informan PY yang mengatakan bahwa

logical fallacy merupakan sesat berfikir dalam mengambil suatu tindakan atau

keputusan seseorang.

Dari pernyataan diatas, peneliti menyimpulkan bahwa pernyataan beberapa

mahasiswa diatas menunjukkan bahwa logical fallacy merupakan pola pikir atau

persepsi seseorang terhadap sesuatu dengan pemikiran atau pandangan yang salah.

Hal ini tentunya menunjukkan bahwa mahasiswa memahami konsep logical

fallacy itu sendiri. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan para ahli yang telah

disebutkan di beberapa teori pada bab-bab sebelumya.


13

4.2.3 Pembahasan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Logical Fallacy

Terhadap Tindakan Cyberbulling Pada Mahasiswa Universitas

Malikussaleh (UNIMAL) Lhokseumawe

Pada pembahasan faktor-faktor yang mempengaruhi logical fallacy

terhadap tindakan cyberbullying menjelaskan bahwa informan AS menyatakan

bahwa faktor-faktor tersebut terjadi oleh sikap balas dendam seseorang kepada

orang lain yang dibencinya. Penrnyataan AS dan ML juga memiliki pendapat

yang sama yaitu karena faktor balas dendam, yaitu dengan mencari kelemahan

korban yang menjadi tujuan bullying.

Disamping itu faktor yang mempengaruhi terjadinya bullying adalah

karena mereka masih menganggap bahwa cyberbullying tersebut hanya sebuah

lelucon dan candaan biasa yang dapat menghibur diri si pelaku tersebut. Hal ini

tentunya merupakan logical fallacy yang masih menjadi pandangan selama ini.

Mereka menganggap bahwa cyberbullying hanya sebagai candaan yang tidak

mempengaruhi jiwa seseorang. Pada pada hakikatnya segala sesuatu yang

disampaikan akan membekas pada diri seseorang. Hal ini tentunya merupakan

pola pikir yang sesat yang harus dihindari. Adapun pernyataan ini disampaikan

oleh informan PY.


14

BAB V
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN

Cyberbullying merupakan penyalahgunaan dari teknologi dimana


seseorang menulis teks ataupun mengunggah gambar maupun video mengenai
orang tertentu dengan tujuan untuk mempermalukan, menyiksa, mengolok-
olok, atau mengancam mereka. Lebih jauh lagi, teks, gambar atau video yang
mereka unggah ke internet itu mengundang komentar dari pihak ketiga
(bystander) yang seringkali ikut melecehkan dan mempermalukan korban dan
memperparah dampak yang diakibatkan bagi para korban cyberbullying.
Logical fallacy merupakan pola pikir atau persepsi seseorang terhadap sesuatu
dengan pemikiran atau pandangan yang salah. Hal ini tentunya menunjukkan
bahwa mahasiswa memahami konsep logical fallacy itu sendiri.
5.2 Rekomendasi
Cyberbullying menjadi salah satu permasalahan yang makin marak,
termasuk di kalangan para siswa di sekolah. Wawasan yang terbuka, kearifan,
dan kreativitas sekolah dibutuhkan untuk penanganannya. Cara pandang yang
tepat terhadap fungsi sekolah akan sangat membantu anak menghadapi dan
melewati permasalahan yang mereka alami, dan juga seperti yang dibawah ini
juga bisa untuk menyikapi ancaman cyber bullying seperti:
1. Jangan merespon. Para pelaku bullying selalu menunggu-nunggu reaksi
korban. Untuk itu, jangan terpancing untuk merespon aksi pelaku agar
mereka tidak lantas merasa diperhatikan.
2. Jangan membalas aksi pelaku. Membalas apa yang dilakukan pelaku
cyberbullying akan membuat Anda ikut menjadi pelaku dan makin
menyuburkan aksi tak menyenangkan ini.
3. Adukan pada orang yang dipercaya. Jika anak-anak yang menjadi korban,
mereka harus melapor pada orang tua, dosen, atau tenaga konseling di
kampus. Selain mengamankan korban, tindakan ini akan membantu
memperbaiki sikap mental pelaku.
15

4. Simpan semua bukti. Oleh karena aksi ini berlangsung di media digital,
korban akan lebih mudah meng-capture, lalu menyimpan pesan, gambar
atau materi pengganggu lainnya yang dikirim pelaku, untuk kemudian
menjadikannya sebagai barang bukti saat melapor ke pihak-pihak yang
bisa membantu.
5. Segera blokir aksi pelaku. Jika materi-materi pengganggu muncul dalam
bentuk pesan instan, teks, atau komentar profil, gunakan tool
preferences/privasi untuk memblok pelaku. Jika terjadi saat chatting,
segera tinggalkan chatroom.
6. Selalu berperilaku sopan di dunia maya. Perilaku buruk yang dilakukan,
seperti membicarakan orang lain, bergosip, atau memfitnah, akan
meningkatkan risiko seseorang menjadi korban cyberbullying.
7. Jadilah teman, jangan hanya diam. Ikut meneruskan pesan fitnah atau
hanya diam dan tidak berbuat apa-apa akan menyuburkan aksi bullying
dan menyakiti perasaan korban. Suruh pelaku menghentikan aksinya, atau
jika pelaku tidak diketahui bantu korban menenangkan diri dan laporkan
kasus tersebut ke pihak berwenang.
DAFTAR PUSTAKA

Ainur Rahman Hidayat. (2017). Filsafat Berpikir, Pamekasan: Duta

Media.

Arikunto. (2006) Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan

Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Baron, Robert A, Donn Byrne. (2004). Psikologi Sosial Edisi kesepuluh.

Jakarta: Penerbit Erlangga

Barnardos. (2012). Get With It: Understanding and Identifyng

Cyberbullying to Help Protect Your Children. Brunswick Press Ltd.

Irving, M Copy, Carl Cohan. (1990). Introduction to Logic: Eighth

Edition. New York: Macmilan Publishing Company.

Kowalski, R.M., Limber, S.P., & Agatston, P.W. (2008). Cyberbullying:

Bullying in the digitalage. Oxford: Blackwell Publishing.

Soekadijo, RG (2014), Logika Dasar Tradisional, Simbolik dan Induktif,

Gramedia pustaka utama, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai