Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

SKIZOFRENIA

DISUSUN OLEH :
Bella Kartika (2017730025)
Indah Mardiana (2017730058)
Sativa Azkia (2017730108)

DOKTER PEMBIMBING :
dr. Rusdi Effendi, Sp. KJ

KEPANITERAAN KLINIK KESEHATAN JIWA


RUMAH SAKIT JIWA ISLAM KLENDER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Skizofrenia merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai oleh psikopatologi


yang disruptif dan melibatkan aspek kognisi,persepsi, dan aspek lain perilaku. Depresi telah
dicatat dan diketahui sudah sejak jaman masa lampau, diskripsi tentang apa yang dinamakan
gangguan mood dapat ditemukan pada dokumen purbakala. Kira-kira pada tahun 400 SM,
Hipokrates menggunakan istilah mania dan melankolis untuk menggambarkan gangguan
mental ini. Di tahun 1854, Jules Falret menggambarkan suatu keadaan yang disebut falic
circulaine, dimana pasien mengalami perubahan mood pada depresi dan mania1.
Depresi merupakan salah satu gangguan psikiatrik yang sering ditemukan dengan
prevalensi seumur hidup sekitar 15%. Pada pengamatan yang universal terlepas dari kultur
atau negara prevalensi gangguan depresi berat pada perempuan dua kali lebih besar dari
laki-laki. Pada umumnya onset awitan untuk gangguan depresi berat adalah pada usia 20
sampai 50 tahun, namun yang paling sering adalah pada usia 40 tahun. Depresi berat juga
sering terjadi pada orang yang tidak menikah dan bercerai atau berpisah.
Sebanyak dua pertiga orang dengan depresi tidak menyadari bahwa mereka
memiliki penyakit yang dapat diobati dan karena itu mereka tidak mencari pengobatan.
Banyak dari pasien pertama kali datang mencari pengobatan dengan  keluhan somatik,
seperti kelelahan, sakit kepala, gangguan lambung, atau perubahan berat badan2.
Tes skrining depresi dapat digunakan untuk skrining depresi dan gangguan bipolar.
Yang paling banyak digunakan adalah Hamilton Depression Rating Scale (HDRS). Banyak
pengobatan efektif yang tersedia untuk gangguan depresi, termasuk psikoterapi singkat
(misalnya, terapi perilaku-kognitif, terapi interpersonal), yang digunakan baik dalam bentuk
tunggal ataupun kombinasi dengan obat. Namun, pendekatan gabungan umumnya
memberikan respon tercepat dan berkelanjutan2.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Skizofrenia
2.1.1 Definisi
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang dicirikan dengan adanya
abnormalitas pada lima domain yaitu delusi, halusinasi,disorganisasi dalam
berpikir,ketidakteraturan,abnormalitas pada Tindakan motoric (termasuk perilaku
katatonik) dan symptom-simptom negative (1).
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan utama
dalam pikiran,emosi dan perilaku pikiran yang terganggu,berbagai pikiran tidak
terhubung secara logis; persepsi dan perhatian yang keliru; afek yang datar atau tidak
sesuai; dan berbagai gangguan aktivitas motoric yang bizzare. Pasien skizofrenia
menarik diridari orang lain dan kenyataan,sering sekali masuk ke dalam kehidupan
fantasi yang penuh delusi dan halusinasi (2)
Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia) maka
orang tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan,
karena ia kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya3.

2.1.2 Epidemiologi
Gangguan depresi berat paling sering terjadi dengan prevalensi seumur hidup
sekitar 15%. Perempuan dapat mencapai 25%, dimana sekitar 10% perawatan primer
dan 15% dirawat di rumah sakit. Pada anak sekolah didapatkan prevalensi sekitar
2%. Pada usia remaja didapatkan prevalensi 5% dari komunitas memiliki gangguan
depresif berat4.
1. Jenis Kelamin
Perempuan dua kali lipat lebih besar dibanding laki-laki. Diduga adanya
perbedaan hormon, pengaruh melahirkan, perbedaan stresor psikososial antara laki-
laki dan perempuan, dan model perilaku yang dipelajari tentang ketidak berdayaan4.
Pada pengamatan yang hampir universal, terdapat prevalensi gangguan depresif
berat yang dua kali lebih besar ada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Pada
penelitian lain disebutkan bahwa wanita 2 hingga 3 kali lebih rentan terkena depresi
dibandingkan laki-laki. Walaupun alasan adanya perbedaan tersebut tidak diketahui,
alasan untuk perbedaan tersebut didalilkan sebagai keterlibatan dari perbedaan
hormonal, efek kelahiran, perbedaan stressor psikososial dan model perilaku
keputusasaan yang dipelajari1,3
Pada penelitian yang dilakukan NIMH (2002) ditemukan bahwa prevalensi yang
tinggi pada wanita dibandingkan pria kemungkinan dikarenakan adanya
ketidakseimbangan regulasi hormon yang langsung mempengaruhi substansi otak
yang mengatur emosi dan mood contohnya dapat dilihat pada situasi PMS (Pre
Menstrual Syndrome). Untuk wanita yang telah menikah, depresi dapat diperparah
dengan masalah keluarga dan pekerjaan, merawat anak dan orangtua lanjut usia,
kekerasan dalam rumah tangga dan kemiskinan.
2. Usia
Rata-rata usia sekitar 40 tahun-an. Hampir 50% awitan diantara usia 20-50
tahun. Gangguan depresi berat dapat timbul pada masa anak atau lanjut usia. Data
terkini menunjukkan gangguan depresi berat diusia kurang dari 20 tahun yang
mungkin berhubungan dengan meningkatnya pengguna alkohol dan penyalahgunaan
zat dalam kelompok usia tersebut4.
3. Status Perkawinan
Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai hubungan interpersonal
yang erat atau pada mereka yang bercerai atau berpisah. Perempuan yang tidak
menikah memiliki kecenderungan lebih rendah untuk menderita depresi
dibandingkan dengan wanita yang menikah namun hal ini berbanding terbalik untuk
laki-laki4.
4. Faktor Sosioekonomi dan Budaya
Tidak ditemukan korelasi antara status sosioekonomi dan gangguan depresi
berat. Depresi lebih sering terjadi di daerah pedesaan dibanding daerah perkotaan4.

2.1.3 Etiologi
Etiologi depresi terdiri dari:
1. Faktor genetik
Dari penelitian keluarga didapatkan gangguan depresi mayor dan gangguan
bipolar terkait erat dengan hubungan saudara; juga pada anak kembar, suatu bukti
adanya kerentanan biologik, pada genetik keluarga tersebut.
Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor penting di dalam
perkembangan gangguan mood adalah genetika. Tetapi, pola penurunan genetika
adalah jelas melalui mekanisme yang kompleks. Bukan saja tidak mungkin untuk
menyingkirkan efek psikososial, tetapi faktor non genetik kemungkinan memainkan
peranan kausatif dalam perkembangan gangguan mood pada sekurangnya beberapa
orang. Penelitian keluarga menemukan bahwa sanak saudara derajat pertama dari
penderita gangguan depresif berat berkemungkinan 2 sampai 3 kali lebih besar
daripada sanak saudara derajat pertama1,4.
2. Faktor Biokmia
Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan di dalam
metabolitamin biogenik yang mencakup neurotransmitter norepinefrin, serotonin dan
dopamine (Gambar 2.1.3.1). Dalam penelitian lain juga disebutkan bahwa selain
faktor neurotransmitter yang telah disebutkan di atas, ada beberapa penyebab lain
yang dapat mencetuskan timbulnya depresi yaitu neurotransmitter asam amino
khususnya GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan peptida neuroaktif, regulasi
neurendokrin dan neuroanatomis1.
Pada regulasi neuroendokrin, gangguan mood dapat disebabkan terutama oleh
adanya kelainan pada sumbu adrenal, tiroid dan hormon pertumbuhan. Selain itu
kelainan lain yang telah digambarkan pada pasien dengan gangguan mood adalah
penurunan sekresi nocturnal melantonin, penurunan pelepasan prolaktin terhadap
pemberian tryptophan, penurunan kadar dasar FSH (Follicle Stimullating Hormon)
dan LH (Luteinizing Hormon), dan penurunan kadar testosteron pada laki-laki
(Trisdale, 2003).
Ada
dua

hipotesis terjadinya depresi secara biokimia, yaitu:


a. Hipotesis Katekolamin
Beberapa penyakit depresi berhubungan dengan defisiensi katekolamin pada
reseptor otak. Reserpin yang menekan amina otak diketahui kadang-kadang
menimbulkan depresi lambat3.
Disamping itu, MHPG (Metabolit primer noradrenalin otak) menurun dalam
urin pasien depresi sewaktu mereka mengalami episode depresi dan meningkat di
saat mereka gembira3.
b. Hipotesis Indolamin
Hipotesis indolamin membuat pernyataan serupa untuk 5-hidroxitriptamin (5
HT). metabolit utamnya asam 5-hidroksi indolasetat (5HIAA) menurun dalam LCS
pasien depresi, dan 5 HIAA rendah pada otak pasien yang bunuh diri. L-Triptofan,
yang mempunyai efek antidepresi meningkatkan 5HT otak3.
3. Faktor Hormon
Kelainan depresi mayor dihubungkan dengan hipersekresi kortisol dan
kegagalan menekan sekresi kortisol sesudah pemberian dexametason. Pasien depresi
resisten terhadap penekanan dexametason dan hasil abnormal ini didapatkan pada
sekitar 50% pasien, terutama pada pasien dengan depresi bipolar, waham dan ada
riwayat penyakit ini dalam keluarga3.
Perempuan dua kali lebih sering dihubungkan dengan pruerperium atau
menopause. Saat masuk rumah sakit dan bunuh diri biasanya sebelum menstruasi.
Selama penyakit afektif berlangsung sering timbul amenore. Hal ini menggambarkan
bahwa gangguan endokrin mungkin merupakan faktor penting dalam menentukan
etiologi3.
4. Faktor Kepribadian Premorbid
Personalitas siklotimik menjadi sasaran gangguan afek ringan selama hidupnya,
keadaan ini tidak berhubungan dengan penyebab eksterna. Kepribadian depresi
ditunjukkan dengan perilaku murung, pesimis dan kurang bersemangat. Personalitas
hipomania berperilaku lebih riang, energetik dan lebih ramah dari rata-rata4
Mereka dengan rasa percaya diri rendah, akan melihat dirinya dan dunia luar
dengan penilaian pesimistik. Jika mereka mengalami stres besar, mereka cenderung
akan mengalami depresi. Para psikolog menyatakan bahwa mereka yang mengalami
gangguan depresif mempunyai riwayat pembelajaran depresi dalam pertumbuhan
perkembangan dirinya. Mereka belajar seperti model yang mereka tiru dalam
keluarga, ketika menghadapi masalah psikologik maka respon mereka meniru
perasaan, pikiran dan perilaku gangguan depresif. Orang yang belajar dengan proses
adaptif dan maladaptif ketika menghadapi stres kehidupan dalam kehidupannya di
keluarga, sekolah, sosial dan lingkungan kerjanya. Faktor lingkungan mempengaruhi
perkembangan psikologik dan usaha seseorang mengatasi masalah. Faktor
pembelajaran sosial juga menerangkan kepada kita mengapa masalah psikologik
kejadiannya lebih sering muncul pada anggota keluarga dari generasi ke generasi.
Jika anak dibesarkan dalam suasana pesimistik, dimana dorongan untuk keberhasilan
jarang atau tidak biasa, maka anak itu akan tumbuh dan berkembang dengan
kerentanan tinggi terhadap gangguan depresif4.

5. Faktor Lingkungan
Enam bulan sebelum depresi, pasien depresi mengalami lebih banyak peristiwa
dalam hidupnya. Mereka merasa kejadian ini tidak memuaskan dan mereka keluar
dari lingkungan sosial. Pada 80% serangan pertama depresi didahului oleh stress,
tetapi angka ini akan turun menjadi hanya 50% pada serangan berikutnya. Pasien
depresi diketahui juga lebih sering pada anak yang kehilangan orang tua di masa
kanak-kanak dibandingkan dengan populasi lainnya3.
Menurut Freud, kehilangan obyek cinta, seperti orang yang dicintai, pekerjaan
tempatnya berdedikasi, hubungan relasi, harta, sakit terminal, sakit kronis dan krisis
dalam keluarga merupakan pemicu episode gangguan depresif. Seringkali kombinasi
faktor biologik, psikologik dan lingkungan merupakan campuran yang membuat
gangguan depresif muncul1,4.

2.1.4 Klasifikasi
Depresi termasuk didalam klasifikasi gangguan suasana perasaan
(mood/afektif) menurut PPDGJ-III5:
F32 Episode Depresif
F32.0 Episode depresif ringan
.00 Tanpa gejala somatik
.01 Dengan gejala somatik
F32.1 Episode depresif sedang
.10 Tanpa gejala somatik
.11 Dengan gejala somatik
F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik
F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik
F32.8 Episode depresif lainnya
F32.9 Episode depresif YTT
F33 Gangguan Depresif Berulang
F33.0 Gangguan depresif berulang, episode kini ringan
.00 Tanpa gejala somatik
.01 Dengan gejala somatik
F33.1 Gangguan depresif berulang, episode kini sedang
.10 Tanpa gejala somatik
.11 Dengan gejala somatik
F33.2 Gangguan depresif berulang, episode kini berat tanpa gejala psikotik
F33.3 Gangguan depresif berulang, episode kini berat dengan gejala
psikotik
F33.4 Gangguan depresif berulang, kini dalam remisi
F33.8 Gangguan depresif berulang lainnya
F33.9 Gangguan depresif berulang YTT

2.1.5 Gejala
·
Mood yang rendah. Selama orang depresi memperlihatkan suasana
perasaannya dengan mood yang rendah, pengalaman emosional yang buruk
selama depresi berbeda secara kualitatif dengan orang yang mengalami
kesedihan dalam batas normal atau rasa kehilangan yang dialami oleh orang
pada umumnya. Beberapa menyampaikannya dengan menangis, atau merasa
seperti ingin menangis, lainnya memperlihatkan respon emosional yang
buruk.6
·
Minat. Kehilangan minat pada aktivitas atau interaksi sosial yang biasanya
ada merupakan salah satu tanda penting pada depresi. Anhedonia juga
memperlihatkan sebagai pembedanya, dan tetap ada walaupun penderita
tidak memperlihatkan mood yang turun. Kehilangan minat seksual,
keinginan, atau fungsi juga umum terjadi, dimana dapat menyebabkan
masalah dalam hubungan terdekat atau konflik rumah tangga.6,7
·
Tidur. Kebanyakan pasien depresi mengalami kesulitan tidur. Hal yang
klasik adalah terbangun dari tidur pada pagi buta dan tidak dapat tidur lagi
(terminal insomnia), tetapi tidur dengan kelelahan dan frekuensi terbangun
pada tengah malam (insomnia pertengahan) juga umum terjadi. Kesulitan
tertidur pada malam hari (insomnia awal atau permulaan) biasanya terlihat
saat cemas menyertai. Tetapi, hipersomnia atau tidur yang berlebihan juga
bisa menjadi gejala yang umum terjadi pada pasien depresi.6
·
Tenaga. Kelelahan adalah keluhan yang sering disampaikan pada depresi,
seperti sulit untuk memulai suatu pekerjaan. Kelelahan dapat bersifat mental
atau fisik, dan bisa berhubungan dengan kurangnya tidur dan nafsu makan,
pada kasus yang berat, aktivitas rutin seperti kebersihan sehari-hari atau
makan kemungkinan terganggu. Pada bentuk yang ekstrem dari kelelahan
adalah kelumpuhan yang dibuat, dimana pasien menggambarkan bahwa
tubuhnya yang membuat hal ini atau mereka seperti berjalan di air.6
·
Rasa bersalah. Perasaan tidak berguna dan merasa bersalah dapat menjadi
hal yang umum dipikirkan oleh pasien yang dalam episode depresi. Pasien
depresi sering salah menginterpretasikan kejadian sehari-hari dan mengambil
tanggung jawab kejadian negative diluar kemampuan mereka, ini dapat
menjadi suatu porsi delusi. Rasa cemas yang berlebihan dapat menyertai dan
rasa bersalah yang muncul kembali.6
·
Konsentrasi. Kesulitan dalam berkonsentrasi dan mengambil keputusan
adalah hal yang sering dialami oleh pasien depresi. Keluhan tentang daya
ingat biasanya menyebabkan permasalahan pada perhatian. Pada pasien
lanjut usia, keluhan kognitif bisa salah didiagnosis sebagai dementia onset
dini.6
·
Nafsu makan/berat badan. Kehilangan nafsu makan, rasa, dan nikmat
dalam makan akan menyebabkan kehilangan berat badan yang signifikan dan
beberapa pasien harus memaksa dirinya sendiri untuk makan. Bagaimanapun,
pasien lainnya harus mendapatkan karbohidrat dan glukosa ketika depresi,
atau perlakuan sendiri dalam mendapatkan kenyamanan dalam makan.
Tetapi, berkurangnya aktifitas dan olahraga akan menyebabkan peningkatan
berat badan dan sindrom metabolic. Perubahan berat badan juga dapat
berdampak pada gambaran diri dan harga diri.6
·
Aktivitas psikomotor. Perubahan psikomotor, dimana terjadi perubahan
pada fungsi motorik tanpa adanya kelainan pada tes secara objektif, sering
terlihat pada depresi. Kemunduran psikomotor meliputi sebuah perlambatan
(melambatnya gerakan badan, buruknya ekspresi wajah, respon pembicaraan
yang lama) dimana pada keadaan yang ekstrem dapat menjadi mutisme atau
katatonik. Kecemasan juga dapat bersamaan dengan agitasi psikomotorik
(berbicara cepat, sangat berenergi, tidak dapat duduk diam).6,7
·
Bunuh diri. Beberapa ide bunuh diri, dimulai dari pemikiran bahwa dengan
bunuh diri diharapkan semuanya akan selesai bersamaan dengan rencana
bunuh diri tersebut, terjadi pada 2/3 orang dengan depresi. Walaupun ide
bunuh diri merupakan hal yang serius, pasien depresi sering kekurangan
tenaga dan motivasi untuk melaksanakan bunuh diri. Tetapi, bunuh diri
merupakan hal yang menjadi pusat perhatian karena 10-15% pasien yang
dirawat inap adalah pasien yang matinya karena bunuh diri. Waktu resiko
tinggi untuk terjadinya bunuh diri adalah saat awalan pengobatan, ketika
tenaga dan motivasinya mulai berkembang baik selain gejala kognitif
(keputusasaan), membuat pasien depresi mungkin bertindak seperti apa yang
mereka pikirkan dan rencanakan untuk bunuh diri.6
·
Gejala lain. Kecemasan, dengan berbagai manifestasi klinis, adalah hal yang
umum pada depresi. Mudah marah dan perubahan mood yang cepat,
berlebihan dalam kemarahan dan kesedihan, dan frustasi juga mudah
terganggu untuk hal kecil adalah yang sering terlihat. Variasi diurnal mood,
dengan kekhawatiran pada pagi hari, dapat muncul. Depresi sering
menyebabkan berkurangnya kepercayaan diri dan harga diri dengan
pemikiran bahwa dirinya tidak berguna didukung dengan keputusasaan.
Depresi juga berhubungan dengan peningkatan frekuensi sakit fisik, seperti
sakit kepala, sakit punggung, dan kondisi nyeri kronis lainnya.6,7

2.1.6 Diagnosis
Konsep gangguan jiwa yang terdapat dalam PPDGJ III ini merujuk kepada
DSM-IV dan konsep disability berasal dari The ICD-10 Classification of
Mental and Behavioral Disorders. Menurut PPDGJ (2003), gangguan afektif
berupa depresi dapat terbagi menjadi episode depresif dan episode depresif
berulang, dimana episode depresif sendiri terbagi menjadi episode depresif
ringan, sedang, dan berat. Sedangkan untuk episode berulang terbagi menjadi
episode berulang episode kini ringan, episode kini sedang, episode kini berat
tanpa gejala psikotik, episode kini berat dengan gejala psikotik dan episode
kini dalam remisi.
DSM-IV mendefinisikan sejumlah gangguan psikiatrik yang dapat
diidentifikasi (meskipun ada kemungkinan tumpang tindih) dan berisi kriteria
diagnostik yang spesifik untuk setiap diagnosis. Diagnosis dibuat berdasarkan
kenyataan dari riwayat pasien yang khas dan tampilan klinis yang cocok dan
memenuhi sejumlah kriteria diagnostik yang ditentukan (suatu diagnostik
politetik, tidak perlu seluruh kriteria dipenuhi untuk membuat diagnosa).
Di samping kriteria yang ditentukan secara operasional, DSM-IV juga
menggunakan sistem klasifikasi multiaksial untuk menangkap informasi
penting lainnya, yaitu:
1. Aksis I : Gangguan-gangguan klinis yang digambarkan di atas.
2. Aksis II : Gangguan-gangguan kepribadian atau retardasi mental
3. Aksis III : Gangguan-gangguan fisik yang berhubungan dengan
gangguan mental
4. Aksis IV : Daftar masalah psikososial dan lingkungan, bisaanyaselama
setahun sebelumnya, tetapi tidak selalu demikian, seperti tidak punya
pekerjaan, perceraian, problem keuangan, korban penelantaran anak dan
lain-lain.
Menurut PPDGJ III, kriteria depresi sebagai berikut4:
· F32 Episode depresif
Gejala utama (pada derajat ringan, sedang dan berat):
- Afek depresif
- Kehilangan minat dan kegembiraan
- Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya
aktivitas
Gejala lainnya:
a. Konsentrasi dan perhatian berkurang
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f. Tidur terganggu
g. Nafsu makan berkurang
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut
diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan
diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala
luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.
Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.2) hanya
digunakan untuk episode depresif tunggal (yang pertama). Episode
depresif berikutnya harus diklasifikasi di bawah salah satu diagnosis
gangguan depresif berulang (F33-).
· F32.0 Episode depresif ringan
Pedoman diagnostik
- Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti
disebut di atas
- Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya
- Tidak boleh ada gejala berat diantaranya
- Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu
- Hanya ada sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang
biasa dilakukannya
Karakter kelima: F32.00 = tanpa gejala somatik
F32.01 = dengan gejala somatik
· F32.1 Episode depresif sedang
Pedoman diagnostik
- Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada
depresi ringan
- Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya;
- Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu
- Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan
dan urusan rumah tangga
· F 32.2 episode depresif berat tanpa gejala psikotik
Pedoman diagnostik
- Semua 3 gejala utama depresi harus ada
- Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa di
antaranya harus berintensitas berat
- Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk
melaporkan banyak gejalanya secara rinci
Dalam hal demikian, penilaian scara menyeluruh terhadap episode
deprsif berat masih dapat dibenarkan
- Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2
minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat,
maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu
kurang dari 2 minggu.
- Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf sangat terbatas.
· F 32.3 episode depresif berat dengan gejala psikotik
- Episode depresi berta yang memenuhi kriteria menurut F 32.2 tersebut di
atas;
- Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam, dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu.
Halusinasi auditorik atau olfatorik biasanya berupa suara yang menghina
atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi
psikomotor yang berat dapat menunjukkan stupor.
Jika diperlikan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai
serasi atau tidak serasi dengan afek (mood-congruent)
· F 32.8 episode depresif lainnya
· F32.9 episode depresif YTT
Karakter kelima: F32.00 = tanpa gejala somatik
F 32.01 = dengan gejala somatic
Episode depresi berdasarkan ICD-10, sebagai berikut: 6
· Kriteria Umum
1. Episode depresi harus bertahan setidaknya 2 minggu
2. Tidak ada hypomanic atau manik gejala cukup untuk memenuhi kriteria
untuk episode hypomanic atau manik pada setiap saat dalam kehidupan
individu
3. Tidak disebabkan penggunaan zat psikoaktif atau gangguan mental
organik
· Gejala Utama
1. Perasaan depresi untuk tingkat yang pasti tidak normal bagi individu,
hadir untuk hampir sepanjang hari dan hampir setiap hari, sebagian besar
tidak responsif terhadap keadaan, dan bertahan selama minimal 2 minggu
2. Kehilangan minat atau kesenangan dalam aktivitas yang biasanya
menyenangkan
3. Penurunan energi atau kelelahan meningkat

· Gejala Lainnya
1. Kehilangan percaya diri atau harga diri
2. Tidak masuk akal perasaan diri atau rasa bersalah yang berlebihan dan
tidak tepat
4. Berpikiran tentang kematian atau bunuh diri, atau perilaku bunuh diri
2. Keluhan atau bukti kemampuan berkurang untuk berpikir atau
berkonsentrasi, seperti keraguan atau kebimbangan
3. Pandangan masa depan yang suram dan pesimis
4. Gangguan tidur
5. Perubahan nafsu makan (penurunan atau kenaikan) dengan perubahan berat badan
yang sesuai
Tabel 1. Derajat keparahan depresi1
Keparahan depresi Kriteria DSM-IV-TR Kriteria ICD-10
Ringan 1. Mood depresi atau kehilangan 1. 2 gejala tipikal
minat + 4 gejala depresi lainnya 2. 2 gejala inti lainnya
2. Gangguan minor sosial/ pekerjaan
Sedang 1. Mood depresi atau kehilangan 1. 2 gejala tipikal
minat + 4 atau lebih gejala depresi 2. 3 atau lebih gejala inti
lainnya lainnya
2. Gangguan sosial/pekerjaan yang
bervariasi
Berat 1. Mood depresi atau kehilangan 1. 3 gejala tipikal
minat + 4 atau lebih gejala depresi 2. 4 atau lebih gejala inti
lainnya lainnya
2. Gangguan sosial atau pekerjaan Juga dapat dengan
yang berat atau ada gambaran atau tanpa gejala
psikotik psikotik

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


Selain dari klasifikasi yang telah dipaparkan di atas, ada beberapa
instrumen-instrumen pengukur tingkat depresi dapat digunakan untuk
membantu memberikan penilaian yang objektif terhadap kondisi depresi yang
dialami oleh pasien. Berikut ini adalah beberapa instrumen yang sering
digunakan, yaitu:
a. Beck's Depression Inventory
b. Hamilton Depression Scale
c. The Zung Self-Rating Depression Scale
Beck Depression Inventory (BDI) adalah tes depresi untuk mengukur
keparahan dan kedalaman dari gejala – gejala depresi seperti yang tertera
dalam the American Psychiatric Association's Diagnostik and Statistical
Manual of Mental Disorders Fourth Edition (DSM-IV) pada pasien dengan
depresi klinis. BDI dapat digunakan untuk dewasa ataupun remaja yang
berumur 13 tahun ke atas, dan merupakan sebuah ukuran standar dari depresi
yang terutama digunakan dalam penelitian dan untuk mengevaluasi dari
efekttivitas pengobatan dan terapi.
BDI tidak dapat digunakan sebagai instrumen untuk mendiagnosis, tetapi
lebih kepada identifikasi dari adanya depresi dan tingkat keparahannya sesuai
dengan criteria dari DSM-IV. Pertanyaan-pertanyaan yang tertera pada BDI II
menilai gejala-gejala khas dari depresi seperti gangguan mood, pesimisme,
perasaan gagal, ketidakpuasan diri, perasaan bersalah, merasa dihukum,
ketidaksukaan terhadap diri sendiri, pendakwaan terhadap diri, pikiran untuk
bunuh diri, menangis, irittabilitas, penarikan diri dari kehidupan sosial,
gambaran tubuh, kesulitan bekerja, insomnia, kelelahan, nafsu makan,
kehilangan berat badan dan kehilangan libido.

2.1.8 Penatalaksanaan
Pengobatan pasien dengan gangguan mood harus diamanahkan pada
sejumlah tujuan. Pertama, keamanan pasien harus terjamin. Kedua,
pemeriksaan diagnostik yang lengkap pada pasien harus dilakukan. Ketiga,
suatu rencana pengobatan harus dimulai yang menjawab bukan hanya gejala
sementara tetapi juga kesehatan pasien selanjutnya1.
Dokter harus mengintegrasikan farmakoterapi dengan intervensi
psikoterapeutik. Jika dokter memandang gangguan mood pada dasarnya
berkembang dari masalah psikodinamika, ambivalensi mengenai kegunaan
obat dapat menyebabkan respons yang buruk, ketidakpatuhan, dan
kemungkinan dosis yang tidak adekuat untuk jangka waktu yang singkat.
Sebaliknya, jika dokter mengabaikan kebutuhan psikososial pasien, hasil dari
farmakoterapi mungkin terganggu2.

1. Terapi Farmakologis
Antidepresan yang tersedia sekarang cukup bervariasi di dalam efek
farmakologisnya. Variasi tersebut merupakan dasar untuk pengamatan bahwa
pasien individual mungkin berespons terhadap antidepresan lainnya. Variasi
tersebut juga merupakan dasar untuk membedakan efek samping yang terlihat
pada antidepresan1.
Pembedaan yang paling dasar diantara antidepresan adalah pada proses
farmakologis yang terjadi, dimana ada antidepresan yang memiliki efek
farmakodinamika jangka pendek utamanya pada tempat ambilan kembali
(reuptake sites) atau pada tingkat inhibisi enzim monoamine oksidasi. bekerja
untuk menormalkan neurotransmitter yang abnormal di otak khususnya
epinefrin dan norepinefrin. Antidepresan lain bekerja pada dopamin. Hal ini
sesuai dengan etiologi dari depresi yang kemungkinan diakibatkan dari
abnormalitas dari sistem neurotransmitter di otak (NIMH, 2002). Obat
antidepresan yang akan dibahas adalah antidepresi generasi pertama (Trisiklik
dan MAOIs), antidepresi golongan kedua (SSRIs) dan antidepresi golongan
ketiga (SRNIs)8.
a. Trisiklik
Trisiklik merupakan antidepresan yang paling umum digunakan sebagai
pengobatan lini pertama untuk gangguan depresif berat (Kaplan, 2010).
Golongan trisiklik ini dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu
trisiklik primer, tetrasiklik amin sekunder (nortriptyline, desipramine) dan
tetrasiklik tersier (imipramine, amitriptlyne). Dari ketiga golongan obat
tersebut, yang paling sering digunakan adalah tetrasiklik amin sekunder
karena mempunyai efek samping yang lebih minimal. Obat golongan
tetrasiklik sering dipilih karena tingkat kepuasan klinisi dikarenakan
harganya yang murah karena sebagian besar golongan dari obat ini tersedia
dalam formulasi generik1..
Golongan obat trisiklik bekerja dengan menghambat reuptake
neurotransmitter di otak. Secara biokimia, obat amin sekunder diduga
bekerja sebagai penghambat reuptake norepinefrin, sedangkan amin tersier
menghambat reuptake serotonin pada sinaps neuron.hal ini mempunyai
implikasi bahwa depresi akibat kekurangan norepinefrin lebih responsive
terhadap amin sekunder, sedangkan depresi akibat kekurangan serotonin
akan lebih responsive terhadap amin tersier5.

b. MAOIs (Monoamine Oxidase Inhibitors)


MAOIs telah digunakan sebagai antidepresan sejak 15 tahun yang lalu.
Golongan ini bekerja dalam proses penghambatan deaminasi oksidatif
katekolamin di mitokondria, akibatnya kadar einefrin, noreprinefrin dan 5-
HT dalam otak naik (Arozal, 2007). Obat ini sekarang jarang digunakan
sebagai lini pertama dalam pengobatan depresi karena bersifat sangat toksik
bagi tubuh. Selain karena dapat menyebabkan krisis hipertensif akibat
interaksi dengan tiramin yang berasal dari makanan-makanan tertentu
seperti keju, anggur dan acar, MAOIs juga dapat menghambat enzim-enzim
di hati terutama sitokrom P450 yang akhirnya akan mengganggu
metabolisme obat di hati1.
c. SSRIs (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors)
SSRIs adalah jenis pengobatan yang juga menjadi pilihan lini pertama
pada gangguan depresif berat seain golongan trisiklik (Kaplan, 2010). Obat
golongan ini mencakup fluoxetine, citalopram dan setraline. SSRIs sering
dipilih oleh klinisi yang pengalamannya mendukung data penelitian bahwa
SSRIs sama manjurnya dengan trisiklik dan jauh lebih baik ditoleransi oleh
tubuh karena mempunyai efek samping yang cukup minimal karena kurang
memperlihatkan pengaruh terhadap sistem kolinergik, adrenergik dan
histaminergik. Interaksi farmakodinamik yang berbahaya akan terjadi bila
SSRIs dikombinasikan dengan MAOIs, karena akan terjadi peningkatan
efek serotonin secara berlebihan yang disebut sindrom serotonin dengan
gejala hipertermia, kejang, kolaps kardiovaskular dan gangguan tanda
vital5.
d. SNRIs (Serotonin and Norepinephrine Inhibitors )
Golongan antidepresan SNRIs bekerja dengan mekanisme yang hampir
sama dengan golongan SSRIs, hanya saja pada SNRIs juga menghambat
dari reuptake norepinefrin (NIMH, 2002).
Selain dari golongan obat yang telah dibahas sebelumnya, masih ada
beberapa alternatif yang digunakan untuk terapi medikamentosa pada
pasien depresi dengan keadaan tertentu. Hal tersebut dapat terlihat lebih
jelas pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.1.10.1 Pilihan obat-obatan antidepresan pada lini pertama

2. Terapi Non Farmakologis


Behaviour therapy
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) berorientasi pada pemecahan masalah
dengan terapi yang dipusatkan pada keadaan “disini dan sekarang”, yang
memandang individu sebagai pengambil keputusan penting tentang tujuan atau
masalah yang akan dipecahkan dalam proses terapi. Dengan cara tersebut,
pasien sebagai mitra kerja terapis dalam mengatasi masalahnya dan dengan
pemahaman yang memadai tentang teknik yang digunakan untuk mengatasi
masalahnya
Tujuan utama dalam teknik Cognitive Behavioral Therapy (CBT) adalah :
l Membangkitkan pikiran pikiran negative/ berbahaya, dialog internal atau
bicara sendiri (self-talk), dan interpretasi terhadap kejadian kejadian
yang dialami. Pikiran pikiran negative tersebut muncul secara otomatis,
sering diluar kesadaran pasien, apabila menghadapi situasi stress atau
mengingat kejadian penting masa lalu. Distorsi kognitif tersebut perilaku
maladaptive yang menambah berat masalahnya.
l Terapis bersama klien mengumpulkan bukti yang mendukung atau
menyanggah interpretasi yang telah diambil. Oleh karena pikiran
otomatis sering didasarkan atas kesalahan logika, maka
program Cognitive Behavioral Therapy (CBT) diarahkan untuk
membantu pasien mengenali dan mengubah distorsi kognitif. Pasien
dilatih mengenali pikiranya, dan mendorong untuk menggunakan
ketrampilan, menginterpretasikan secara lebih rasional terhadap struktur
kognitif yang maladaptive.
l Menyusun desain eksperimen (pekerjaan Rumah) untuk menguji validitas
interpretasi dan menjaring data tambahan unjtuk diskusi di dalam proses terapi.
Interpersonal Therapy
Terapi interpersonal:
Dilakukan terhadap pasien yang mengalami konflik saat ini dengan
pihak-pihak lain yang bermakna sehingga ia mengalami kesulitan dalam
beradaptasi terhadap perubahan-perubahan dalam karier atau peran sosial
atau perubahan hidup lainnya. Banyak dilakukan terhadap depresi sedang
dan berat.

Intervensi krisis:
Dilakukan terhadap pasien yang sedang mengalami suatu krisis dan
memerlukan tindakan segera (catatan: krisis yaitu suatu respons terhadap
keadaan bahaya atau penuh risiko dan dirasakan/dihayati sebagai keadaan
yang menyakitkan, agar tercapai kembali keadaan seimbang (emotional
equilibrium). Dalam terapi ini kita harus secepatnya membina hubungan
interpersonal yang adekuat serta mengerti peran psikodinamik dan
hubungannya terhadap krisis yang terjadi. Teknik yang dilakukan yaitu
reassurance, sugesti, manipulasi lingkungan dan medikasi psikotropik.
Kita ajarkan kepada pasien untuk menghindari situasi yang berbahaya
untuk mencegah terjadinya kembali krisis di masa yang akan datang.

2.1.9 Prognosis
Gangguan mood cenderung memiliki perjalanan penyakit yang panjang dan
pasien cenderung mengalami kekambuhan. Episode depresif yang tidak
diobati berlangsung 6 sampai 13 bulan, sementara sebagian besar episode yang
diobati berlangsung kira-kira 3 bulan. Menghentikan antidepresan sebelum 3
bulan hampir selalu menyebabkan kembalinya gejala1.
Pasien yang dirawat di rumah sakit untuk episode pertama gangguan
depresif berat memiliki kemungkinan 50% untuk pulih dalam tahun pertama.
Banyak penelitian telah berusaha untuk mengidentifikasi indikator prognostik
yang baik dan buruk di dalam perjalanan gangguan depresif berat. Episode
ringan, tidak adanya gejala psikotik, fungsi keluarga yang stabil, tidak adanya
gangguan kepribadian, tinggal dalam waktu singkat di rumah sakit dalam
waktu yang singkat, dan tidak lebih dari satu kali perawatan di rumah sakit
adalah indikator prognostik yang baik. Prognosis buruk dapat meningkat oleh
adanya penyerta gangguan distimik, penyalahgunaan alkohol dan zat lain,
gejala gangguan kecemasan, dan riwayat lebih dari satu episode sebelumnya1.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Depresi adalah suatu kondisi yang lebih dari suatu keadaan sedih, bila kondisi
depresi seseorang sampai menyebabkan terganggunya aktivitas sosial sehari-harinya maka
hal itu disebut sebagai suatu Gangguan Depresi. Beberapa gejala Gangguan Depresi berat
dengan gejala psikotik adalah perasaan sedih, rasa lelah yang berlebihan setelah aktivitas
rutin yang biasa, hilang minat dan semangat, malas beraktivitas, dan gangguan pola tidur
dan terdapat waham dan halusinasi atau stupor depresi. Depresi sering merupakan salah satu
penyebab utama kejadian bunuh diri.

Terapi yang diberikan yaitu Farmakologi dan psikoterapi atau konseling. Dukungan
dari orang-orang terdekat serta dukungan spiritual juga sangat membantu dalam
penyembuhan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan and Saddock. Comprehensive Textbook Of Psychiatry. 7th Ed. Lippincott


Wiliams And Wilkins. Philadelphia, 2010.
2. Halverson JA et al. Depression. (Online). 2011. [23 Juni 2011]. Available from
http://emedicine.com
3. Ingram, dkk. 1993. Catatan kuliah Psikiatri. Jakarta: buku kedokteran EGC
4. Arozal W, Gan S. Psikotropik dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : FKUI,
2007.
5. Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkasan PPDGJ-III “Gangguan
Depresi”. PT Nuh Jaya. Jakarta, 2001.
6. W. Lam R, Mok H. Depression Oxford Psychiatry Library. Lunbeck Institutes. 2000. p.
1-57.
7. Maj M, Sartorius N. Depressive Disorder Second Edition. Evidence and experience in
psychiatry. 2002. p. 8-12.
8. Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat dan Psikotropik edisi ketiga.
Jakarta. 2002

Anda mungkin juga menyukai