Anda di halaman 1dari 23

Laporan Kasus

PSEUDOPHAKIC CORNEAL EDEMA

Oleh:
Almadania Hensa Putri
NIM. 2108437843

Pembimbing:

dr. R. Handoko Pratomo, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU
2023
BAB I
PENDAHULUAN

Katarak merupakan penyebab utama gangguan penglihatan, sekitar 33%


populasi dunia mengalami penurunan penglihatan akibat penyakit ini. Sebagian
besar kasus kebutaan akibat katarak (sampai 90%) ditemukan di negara
berkembang.1 World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar 18 juta
orang mengalami katarak pada kedua matanya dan kondisi tersebut menyebabkan
48% kasus kebutaan di seluruh dunia. Di Indonesia, katarak merupakan penyebab
utama kebutaan sekitar 77,7%. Kebutaan akibat katarak pada laki-laki 71,7% dan
pada perempuan 81%. Sedangkan prevalensi kebutaan akibat katarak pada
penduduk usia 50 tahun keatas sebesar 1,9%.2
Usia merupakan salah satu faktor risiko timbulnya katarak. Berdasarkan
usia, katarak dikelompokkan menjadi katarak kongenital, katarak juvenil, katarak
presenilis dan katarak senilis. Katarak senilis merupakan katarak yang muncul
setelah usia 50 tahun dan katarak yang paling sering ditemukan. Pasien katarak
senilis diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus katarak.3
Tatalaksana utama katarak saat ini adalah tindakan pembedahan. Tujuan
tindakan bedah katarak adalah untuk memperbaiki visus atau tajam penglihatan.
Beberapa jenis teknik operasi yang sering dilakukan: Ekstraksi Katarak Intra
Kapsular (EKIK), Ekstraksi Katarak Ekstra Kapsular (EKEK), Small Incision
Cataract Surgery (SICS), dan fakoemulsifikasi. Teknik operasi pada pasien
katarak disesuaikan dengan kondisi pasien. Indikator untuk menilai hasil operasi
katarak adalah dengan melihat visus sebelum dan sesudah operasi.3
Pembedahan katarak memilki beberapa komplokasi. Komplikasi
intraoperasi pada pasien katarak antara lain ruptur kapsul posterior, prolaps
vitreus, prolaps iris, hemorrhage, dan nucleus drop. Komplikasi pascaoperasi
antara lain edema kornea, hemorrhage, glaukoma sekunder, uveitis, edema
makula kistoid (EMK), ablasio retina, endoftalmitis, toxic anterior segment
syndrome (TASS), posterior capsule opacification (PCO), surgically induced
astigmatism (SIA), dan dislokasi IOL. Edema kornea pasca operasi merupakan
komplikasi yang sering terjadi.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi


Lensa mata merupakan suatu struktur bikonveks, avaskular, berbentuk
seperti cakram, tidak berwarna dan hampir transparan sempurna. Ketebalan
lensa sekitar 4 mm dan diameter 9 mm. Dibagian perifer kapsul lensa terdapat
zonula Zinn yang menggantungkan lensa di seluruh ekuatornya pada badan
silier dan memungkinkan lensa untuk menebal dan menipis saat terjadinya
akomodasi. Di sebelah anterior lensa terdapat aqueous humor, di sebelah
posteriornya terdapat corpus vitreus. Kapsul lensa adalah suatu membran yang
semipermeabel yang akan memperbolehkan air dan elektrolit masuk.4

Lensa dibentuk oleh sel epitel lensa. Sel epitel lensa akan terus-menerus
membentuk serat lensa sehingga mengakibatkan serat lensa memadat dibagian
sentral lensa dan membentuk nukleus lensa. Bagian sentral lensa merupakan
serat lensa yang paling dahulu dibentuk atau serat lensa tertua di dalam kapsul
lensa. Bagian luar nukleus terdapat serat lensa yang lebih muda disebut sebagai
korteks lensa. Korteks yang terdapat di depan nukleus lensa disebut korteks
anterior, sedangkan yang dibelakang korteks posterior. Nukleus lensa memiliki
konsistensi lebih keras dibanding korteks lensa. Inti dan korteks lensa
dibungkus oleh kapsul lensa yang sangat elastis dan kenyal.4

Lensa terdiri dari 65% air, sekitar 35%-nya protein (kandungan


proteinnya tertinggi di antara jaringan-jaringan tubuh) dan sedikit sekali
mineral seperti yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Kandungan kalium
lebih tinggi di lensa daripada dikebanyakan jaringan lain. Asam askorbat dan
glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Lensa tidak
mempunyai serat nyeri, pembuluh darah serta jaringan saraf.5

Fungsi utama lensa adalah memfokuskan cahaya masuk ke dalam mata


sehingga terbentuk bayangan yang tajam pada retina. Mata dapat mengubah
fokusnya dari objek jarak jauh ke jarak dekat karena kemampuan lensa untuk

2
mengubah bentuknya, suatu fenomena yang dikenal sebagai akomodasi.
Elastisitasnya yang alami memungkinkan lensa untuk menjadi lebih atau
kurang bulat (sferis), tergantung besarnya tegangan serat-serat zonula pada
kapsul lensa. Tegangan zonula dikendalikan oleh aktivitas musculus siliaris,
yang bila berkontraksi akan mengendurkan tegangan zonula. Dengan demikian,
lensa menjadi lebih bulat dan dihasilkan daya dioptri yang lebih kuat untuk
memfokuskan objek-objek yang lebih dekat. Relaksasi musculus ciliaris akan
menghasilkan kebalikan rentetan peristiwa-peristiwa tersebut, membuat lensa
mendatar dan memungkinkan objek-objek jauh terfokus. Dengan
bertambahnya usia, daya akomodasi lensa akan berkurang secara perlahan-
lahan seiring dengan penurunan elastisitasnya.6

Gambar 1.1 Anatomi lensa mata

3
Kornea merupakan jaringan transparan yang avaskular dan membentuk 1/6
permukaan anterior bola mata. Diameter vertikal kornea dewasa ± 10,6 mm
dan diameter horizontalnya ± 11,7 mm. Bagian tengah kornea memiliki
ketebalan ± 1,0 mm. Struktur kornea terdiri dari lima lapisan berturut–turut
dari anterior ke posterior, yaitu : lapisan epitel, membran bowman, lapisan
stroma, membran descemet dan lapisan endotel.7

Lapisan epitel kornea memiliki ketebalan 50-90 μm terdiri dari 5-6 lapisan
sel yang terdiri dari : lapisan pertama mempunyai 2-3 lapis sel epitel gepeng,
lapisan tengah tediri dari 2-3 lapis sel polyhedral (sel sayap) serta satu lapis
sel germinal yang berbentuk kolumnar tinggi dan terletak pada membran
basal. Sel epitel kornea dibentuk pada lapisan basal, seiring berjalannya
waktu, sel tersebut akan bermigrasi menuju permukaan sambil mengalami
transformasi bentuk menjadi semakin gepeng. Dalam waktu 7 hari kemudian
sel epitel akan terkelupas dari permukaan karena kehilangan adhesi antar sel
dan tersapu oleh gerakan berkedip. Sel epitel mempunyai kemampuan untuk
beregenerasi.7

Permukaan sel epitel gepeng memiliki banyak sekali mikrovili dan


mikroplika. Keadaan seperti ini berfungsi untuk menjaga kestabilan film air
mata, meningkatkan absorbsi dan memperluas membaran plasma yang
dibutuhkan pada saat migrasi sel, misalnya pada keadaan setelah trauma.8

Membran bowman merupakan zona aseluler yang dibentuk oleh serat


kolagen dan membentuk ketebalan 8-10 μm. Bila terjadi trauma pada lapisan
ini maka akan terbentuk jaringan parut. Membran Bowman berfungsi sebagai
barier terhadap benda asing dan mikroorganisme sekaligus juga pertahanan
terhadap trauma.8

Stroma kornea menyusun 90% dari seluruh ketebalan kornea yaitu sekitar
500 μm. Stroma kornea tersusun dari serat-serat kolagen yang membentuk
kelompok yang disebut lamella. Pada stroma kornea diperkirakan terdapat 200
lamella yang satu dengan yang lain tersusun membentuk sudut tertentu.
Masing-masing serat kolagen tersusun dari unit-unit tropokolagen. Setiap

4
tropokolagen terdiri dari 3 rantai protein yang berikatan membentuk pola
heliks.8

Membran descemet adalah membran basal dari endotel kornea dan


terutama tersusun dari kolagen tipe IV dan glikoprotein termasuk fibronektin,
laminin. Fibronektin berperan dalam adhesi antar sel endotel dan antara sel
endotel dengan membran descemet. Membran descemet mempunyai ketebalan
± 10-15 μm.7

Endotel kornea tersusun dari 1 lapis sel yang bagian basalnya melekat
pada membran Descemet. Bagian apikal endotel berhubungan langsung
dengan aquos humor yang terdapat dalam bilik mata depan. Pada saat lahir
terdapat sekitar 350.000 sel endotel kornea dengan densitas 3000 sel/mm² dan
berdiameter sekitar 20 μm. Semakin tua umur sel beberapa endotel akan mati
dan menghilang. Endotel kornea mempunyai pengaruh yang besar dalam
menjaga kejernihan kornea dan dalam memenuhi kebutuhan metabolisme
kornea. Sel endotel kornea dihubungkan dengan makula okluden dan gap
junction yang masih dapat dilewati oleh air dan molekul–molekul kecil.7

Fungsi kornea sangat dipengaruhi oleh jumlah sel endotel yang berfungsi
memompakan cairan dari kornea sehingga kornea relatif dehidrasi dan jernih.
Endotel berfungsi sebagai sebagai barier yang memisahkan stroma dan cairan
akuos. Fungsi utamanya adalah mengalirkan air dari stroma ke cairan akuos
lewat proses pompa sodium/ bikarbonat.7

Gambar 1.2 Anatomi kornea

5
2.2. Katarak
Katarak adalah keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat
penambahan cairan lensa (hidrasi) lensa, denaturasi lensa atau akibat
keduanya. Berdasarkan usia, katarak diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:9
1. Katarak kongenital, katarak yang mulai muncul sebelum atau segera
setelah lahir dan bayi usia dibawah 1 tahun.
2. Katarak juvenil, katarak yang muncul setelah usia 1-39 tahun.
3. Katarak presenilis, katarak yang muncul saat usia 40-49 tahun.
4. Katarak senilis, katarak pada usia lanjut, yaitu diatas 50 tahun.9

2.3. Tatalaksana katarak

a. Ekstraksi Katarak Intra Kapsular (EKIK)


Ekstraksi Katarak Intra Kapsular (EKIK) adalah teknik pembedahan
dengan mengeluarkan seluruh lensa baik kapsul anterior dan kapsul posterior.
Saat ini, Ekstraksi Katarak Intra Kapsular (EKIK) sudah jarang dilakukan
dikarenakan tingginya komplikasi pascaoperasi seperti ablasio retina, edema
makula kistoid, dan edema kornea. EKIK diindikasikan pada pasien dengan
luksasio lensa dan katarak hipermatur. Bila zonula zinn tidak cukup kuat untuk
dilakukan EKEK maka EKIK dapat dilakukan. Pengangkatan seluruh lensa
melalui insisi yang cukup besar sekitar 12-14 mm dan membutuhkan jahitan
serta waktu pemulihan yang relatif lama sekitar 3-4 bulan. Teknik ini
dikontraindikasikan pada anak dengan katarak, dewasa muda dan ruptur
kapsul traumatik.10
b. Ekstraksi Katarak Ekstra Kapsular (EKEK)

Ekstraksi Katarak Ekstra Kapsular (EKEK) adalah teknik operasi


pengeluaran isi lensa dengan memecah atau merobek kapsul lensa anterior,
korteks dan nukleus lensa, kapsul anterior dikeluarkan dan kapsul posterior
tetap. Intraocular Lens akan di tempatkan dibagian posterior chamber.
Pengangkatan nukleus lensa melalui insisi 9-10 mm dan memerlukan jahitan.
Waktu pemulihan sekitar 2-3 bulan.10
Pembedahan ini dilakukan pada pasien katarak imatur, kelainan sekunder
lensa intra okular, implantasi lensa intra okular posterior, implantasi sekunder

6
lensa intra okular, pada pasien glaukoma yang ingin dilakukan pembedahan,
ablasio retina sebelumnya, prolaps vitreous, kistoid makular edema, katarak
dengan nukleus yang mengeras, atau sebagai konversi apabila terdapat
kegagalan pada teknik SICS dan fakoemulsifikasi. Pembedahan dapat
dilakukan pada pasien katarak muda.Kekurangan EKEK adalah dapat terjadi
katarak sekunder akibat opasifikasi sekunder pada kapsul posterior.10
c. Small Incision Cataract Surgery (SICS)
SICS adalah variasi dari EKEK yang pertama kali diperkenalkan oleh
Blumenthal pada tahun 1994. Teknik operasi ini cukup populer di negara
berkembang karena tidak membutuhkan peralatan fakoemulsifikasi yang
mahal, dilakukan dengan anestesi topikal dan dapat digunakan pada kasus
nukleus yang strukturnya padat. Instrumen bedah yang digunakan MSICS
sama dengan yang digunakan EKEK. Perbedaan antara EKEK dan MSICS
terletak pada ukuran insisinya. Pada SICS sayatan dibuat sepanjang 6-7 mm di
limbus, hampir tidak memerlukan jahitan dan pemulihan lebih cepat sekitar 1-
3 bulan dengan biaya yang relatif lebih murah serta risiko terjadinya
astigmatisma lebih sedikit. Kekurangnnya teknik ini pada beberapa kasus
dapat terjadi hifema dan edema kornea pasca operasi.10
d. Fakoemulsifikasi
Merupakan teknik operasi pilihan utama di negara-negara maju.
Fakoemulsifikasi adalah teknik operasi yang memanfaatkan teknologi
ultrasound dan vakum. Pada teknik operasi ini alat yang digunakan adalah tip
ultrasonik yang berguna untuk memecah nukleus lensa dan selanjutnya
pecahan nukleus dan korteks di aspirasi menggunakan insisi yang sangat kecil
sekitar 2- 3 mm sehingga intraocular lens (IOL) dapat dimasukkan dengan
cara dilipat (foldable intraocular lens).Kelebihan dari teknik operasi ini adalah
penyembuhan luka pasca operasi cepat sekitar 1-3 minggu, perbaikan visus
lebih baik, tidak menimbulkan astigmatisma pasca operasi. Kedalaman kamera
okuli anterior dapat di kontrol pada teknik operasi ini. Terdapat pula
kekurangan teknik operasi Fakoemulsifikasi yaitu biaya operasi yang relatif
mahal.11

7
2.4. Komplikasi Intraoperasi
Komplikasi intraoperasi yang paling umum adalah ruptur kapsul posterior
(PCR) dengan insidensi sekitar 0,3-3,5% kasus.12 Pendangkalan segmen
anterior, prolaps vitreus, nucleus drop atau IOL drop, hifema, iridodialisis,
serta terlepasanya membran descement tidak jarang ditemukan.13
a. Hifema
Hifema dapat terjadi saat insisi kornea atau mengenai konjungtiva
selama tindakan operasi. Bila perdarahan berasal dari luka harus
dilakukan kauterisasi.13
b. Ruptur Kapsul Posterior
Ruptur kapsul posterior terjadi karena gerakan mata dan kepala yang
berlebihan selama operasi akibat anestesi yang tidak adekuat yang
mengakibatkan robeknya kapsul posterior lensa.13
c. Prolaps vitreus
Prolaps vitreus merupakan salah satu komplikasi serius yang dapat
terjadi selama bedah katarak. Sebagian besar prolaps viterus
disebabkan oleh ruptur kapsul posterior. Kapsuloreksis yang terlalu ke
perifer sehingga menyebabkan ruptur kapsul posterior dan dapat
menyebabkan prolaps vitreus.13
d. Pendangkalan kamera okuli anterior
Pendangkalan kamera okuli anterior terjadi karena insisi yang terlalu
besar yang menyebabkan cairan di bilik mata depan habis dan
mengalami pendangkalan. Semua sayatan harus dipastikan tidak bocor
pada akhir operasi. Jika sayatan bocor, hidrasi stroma dapat dilakukan
untuk menutup luka atau sayatan dapat ditutup dengan jahitan atau
perekat jaringan.13
e. Terlepasnya membran descement
Terlepasnya membran descement terjadi ketika instrumen atau
intraocular lens (IOL) dimasukkan melalui sayatan atau ketika cairan
tidak sengaja disuntikkan diantara membran descement dan stroma
kornea yang dapat menyebabkan pembengkakan stroma dan bula epitel
lokal.13

8
f. Nucleus drop atau IOL drop
Nucleus drop atau intraocular lens (IOL) drop dapat terjadi akibat
penempatan IOL pada mata dengan kapsul lensa yang tidak adekuat.13
g. Iridodialisis
Iridodialisis adalah lepasnya iris dari scleral spur. Hal dapat terjadi
saat memperlebar luka operasi, iridektomi atau ekstraksi lensa.13
h. Prolaps iris
Iris yang prolaps saat operasi dapat terjadi akibat pupil yang terlalu
kecil atau tidak adekuatnya jahitan selama operasi.13

2.5. Komplikasi Pascaoperasi


Komplikasi pascaoperasi pada pasien katarak antara lain:14
a. Hifema
Hifema dapat terjadi dalam 1-3 hari pascaoperasi, dan hilang dalam waktu
7- 10 hari. Perdarahan berasal dari pembuluh darah kecil pada luka insisi.
Bila perdarahan cukup banyak dapat menimbulkan glaukoma sekunder.13
b. Glaukoma sekunder
Glaukoma sekunder dengan peningkatan TIO bisa timbul 24-48 jam
setelah operasi dan dapat hilang dengan sendirinya tanpa perlu terapi
antiglaukoma.14
c. Uveitis
Luka bekas insisi dapat mengakibatkan rusaknya jaringan di sekitar mata
sehingga dapat menyebabkan inflamasi. Normalnya inflamasi akan
menghilang setelah 3 sampai 4 minggu pasca operasi katarak dengan
pemakaian steroid topikal. Proses inflamasi yg lama lebih dari 4 minggu
dapat menyebabkan masuknya bakteri patogen seperti Propionibacterium
acnes dan Staphylococcus epidermidis yang dapat memicu terjadinya
uveitis kronis. 14

d. Edema kornea
Edema kornea merupakan komplikasi katarak yang serius, bisa terjadi
pada epitel dan stroma yang diakibatkan trauma mekanik, aspirasi irigasi

9
yang cukup lama, inflamasi dan peningkatan TIO. Biasanya akan hilang
dalam 4-6 minggu setelah operasi. Jika edema kornea masih ditemukan
setelah 3 bulan pascaoperasi maka perlu dipertimbangkan tindakan
keratoplasti. 14
e. Ablasio retina
Ablasio retina dapat terjadi karena komplikasi intraoperasi seperti ruptur
kapsul posterior disertai prolaps vitreus. Hal ini terjadi akibat tersentuhnya
posterior chamber-anterior hyaloid membrane selama tindakan operasi.
Biasanya terjadi dalam 6 bulan sampai 1 tahun pasca operasi katarak. Hal
ini terjadi karena hilangnya stabilitas vitreus akibat ekstraksi katarak. 14
f. Edema makula kistoid
Edema makula kistoid dapat menyebabkan penurunan visus pasca operasi
katarak. Penyebabnya akibat permeabilitas vaskular perifoveal yang
meningkat. Penurunan visus terjadi pada 2-6 bulan pasca operasi. 14
g. Dislokasi IOL
Dapat terjadi akibat kelemahan zonula zinn dan kelainan bentuk kapsul
posterior lensa. 14
h. Endoftalmitis
Endoftalmitis adalah komplikasi operasi katarak yang jarang tetapi paling
ditakuti karena dapat menyebabkan penurunan penglihatan disertai rasa
sakit yang hebat bahkan kebutaan. Endoftalmitis bisa dalam bentuk akut
atau kronik. Endoftalmitis akut timbul 2-5 hari pasca operasi, sedangkan
endoftalmitis kronis dapat timbul dalam beberapa minggu sampai
beberapa bulan setelah operasi. Penyebab endoftalmitis akut terbanyak
adalah Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus coagulase yang
merupakan bakteri gram positif. Sedangkan bakteri gram negatif terbanyak
adalah Pseudomonas aeruginosa. 14

i. Toxic anterior segment syndrome (TASS)


Dapat muncul dalam 24 jam pasca operasi. Hal ini dapat terjadi akibat
reaksi inflamasi dari beberapa zat yang dimasukkan selama prosedur

10
pembedahan seperti larutan, obat-obatan, atau instrumen bedah yang
kurang steril pada segmen anterior mata. 14
j. Surgically induced astigmatism (SIA)
Dapat terjadi akibat insisi yang terlalu lebar dan peningkatan tekanan atau
kompresi pada luka insisi seperti kedalaman dan kekencangan jahitan. 14
k. Posterior capsule opacification (PCO)
Merupakan penyebab tersering penurunan visus pasca operasi katarak. Sel
epitel lensa yang tersisa pada saat operasi akan mengalami proliferasi dan
bermigrasi ke kapsul posterior sehingga terjadi opasifikasi kapsul
posterior. 14

2.6. Patofisiologi Pseudophakic Corneal Edema


Pseudophakic corneal edema disebabkan oleh perubahan pada endotel
kornea yang menyebabkan kornea menjadi hidrasi. Sel-sel endotel mengalami
kerusakan, sehingga sel-sel endotel yang masih sehat bertambah besar dan
berbentuk tidak teratur. Kerusakan yang terjadi pada sel endotel akan memicu
pembentukan membran descement baru, yang secara kualitatif berbeda
sifatnya dengan membran descement yang asli. Densitas yang tidak teratur dan
karakteristik permukaan membran baru tersebut memberikan gambaran yang
disebut kornea gutata. Pada pemeriksaan slit lamp terdapat penebalan
membran descement berupa gambaran perak.7

Endotel yang berfungsi sebagai pompa cairan kornea akan mengalami


keadaan yang lebih buruk sehingga menyebabkan stroma membengkak,
terutama di bagian sentral. Keadaan stroma yang semakin membengkak,
menyebabkan kornea menjadi lebih tebal dan membentuk lipatan ada
membran descemet. Gambaran edema yang terjadi dapat berubah sesuai
dengan perubahan tekanan intraokular. Pada keadaan ini tekanan intraokular
harus dipertahankan tetap rendah. Kombinasi antara fungsi endotel dan
tekanan intraokular menentukan derajat perluasan edema kornea.7
Edema epitel terjadi karena adanya aliran aquos dan cairan dari stroma ke
anterior akibat pengaruh tekanan intraintraokular. Manifestasi edema epitel
berupa penumpukan cairan diantara sel basal epitel. Cairan yang menumpuk

11
semakin banyak akan membentuk bula. Bula terdapat pada bagian antara
epitel kornea dan membran Bowman akibat dari degenerasi membran basal
epitel. Pada edema epitel yang ringan, faktor lingkungan seperti suhu dan
kelembaban akan mempengaruhi penguapan air mata saat berkedip. Pada
malam hari saat mata tertutup, edema epitel bertambah berat karena
berkurangnya penguapan air mata dan lingkungan yang hipertonis. Hal ini
menyebabkan keluhan penderita bertambah berat saat bangun pagi.8

2.7. Manifestasi Klinis Pseudophakic Corneal Edema


Penderita corneal edema mempunyai riwayat menjalani operasi katarak
sebelumnya, baik beberapa saat atau beberapa tahun yang lalu. Penderita
mengeluh adanya rasa buram/penurunan tajam penglihatan, keluar air mata
berlebihan (epifora), rasa nyeri, silau (fotofobia) dan rasa mengganjal/benda
asing di mata.10
Penurunan tajam penglihatan berhubungan dengan ketidakmampuan
stroma untuk mempertahankan deturgescence kornea yang selanjutnya diikuti
dengan edema epitel.11 Edema stroma yang ringan saja tidak akan
menyebabkan penurunan visus yang berat, tetapi edema epitel yang ringan
dapat meyebabkan penurunan penglihatan yang berarti. Edema epitel
menyebabkan permukaan kornea menjadi iregular sehingga terjadi penurunan
tajam penglihatan. Pada keadaan yang demikian, pemeriksaan refraksi dengan
lensa kontak merupakan cara terbaik untuk menilai keadaan segmen
posterior.12
Rasa nyeri dan tidak nyaman berhubungan dengan paparan saraf kornea
dengan lingkungan yang buruk. Edema yang bertambah berat dapat
membentuk bula, sehingga bila bula pecah maka akan menimbulkan rasa nyeri
yang berat, fotofobia, dan epifora. Defek pada epitel ini akan menjadi
predisposisi terjadinya infeksi kornea dan uveitis anterior.11

2.8. Diagnosis Pseudophakic Corneal Edema


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis adanya riwayat operasi
katarak sebelumnya, manifestasi klinis, dan pemeriksaan oftalmologis.
Terdapat beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk membantu menegakkan

12
diagnosis pseudophakic corneal edema sekaligus dapat menggambarkan
prognosis penyakit, diantaranya pemeriksaan slit lamp, pachymetri, dan
specular microscopic.12
Pemeriksaan dengan slit lamp menunjukkan adanya edema stroma kornea
dengan descemet fold, dan kadang-kadang terdapat edema epitel kornea
sekunder. Pemeriksaan pachymetry digunakan untuk menentukan derajat
ketebalan kornea, baik dengan metode optik atau dengan ultrasonografi. Hasil
pakimetri kornea bagian sentral lebih dari 590 mikron pada mata pseudofakia
menunjukkan edema kornea yang irreversibel. Pemeriksaan specular
microscopic digunakan untuk menggambarkan morfologi endotel.13

2.9. Tatalaksana Pseudophakic Corneal Edema

a. Tatalaksana farmakologi
Penurunan tekanan intraokular merupakan hal yang penting, karena
bila tekanan meningkat dapat semakin mengganggu fungsi endotel dan
menyebabkan edema epitel serta kerusakan endotel lebih lanjut. Obat
antiglaukoma topikal dapat membantu mengurangi tekanan dan
memberikan kesempatan pada endotel untuk mengembalikan keadaan
deturgesensi kornea. Derivat epinefrin sebaiknya dihindari untuk
mencegah risiko cystoid macular edema.14
Edema epitel biasanya dapat diatasi dengan pemberian zat hipertonik
topikal seperti salep atau tetes sodium klorida 5%, yang membantu
menarik cairan dari kornea. Suatu penelitian melaporkan sepertiga dari
pasien dengan keratopati bulosa mengalami perbaikan tajam penglihatan
setelah pemberian terapi selama 3 bulan.15
Pemakaian lensa kontak hidrofilik dapat digunakan untuk mengurangi
nyeri akibat bula epitel. Pembentukan bula yang baru tidak dapat dicegah
dengan memakai lensa, akan tetapi bila bula baru muncul, ujung saraf
kornea diharapkan tidak terpapar oleh kekeringan dan stimulus lain yang
mengganggu. Walaupun pemakaian lensa ini tidak mengurangi edema
yang terjadi, namun dapat memperbaiki tajam penglihatan karena dapat
menutupi permukaan kornea yang irregular.14

13
Apabila terjadi ruptur bula epitel, maka diberikan antiinflamasi,
larutan sodium klorida 5%, antibiotik topikal, obat dilatasi pupil, dan
bandage contact lens atau melakukan patching pada mata untuk
membantu penyembuhan permukaan kornea dan mengurangi rasa nyeri.
Pseudophakic corneal edema yang tergolong berat dan tidak menunjukkan
perbaikan dengan medikamentosa, perlu dipertimbangkan untuk terapi
pembedahan.16

b. Pembedahan
Beberapa terapi pembedahan diantaranya flap konjungtiva, kauterisasi
lapisan Bowman, mikropunktur stroma anterior, excimer laser
phototheurapeutic keratectomy (PTK), keratotomi anular, dan keratoplasti
penetrasi. Bila penyebab edema kornea berupa subluksasi atau dislokasi
lensa intraokular, maka dilakukan reposisi atau pengeluaran lensa.17
Flap konjungtiva merupakan metode terapi pilihan untuk mengurangi
keluhan nyeri pada mata dengan keratopati bulosa. Flap jenis Gunderson
dapat membuka konjungtiva bulbi superior dan menutupi kornea dengan
bridge yang intak di nasal dan temporal. Dewasa ini membran amnion
dipakai dengan hasil yang baik untuk menutupi kornea yang membengkak
dan menurunkan rasa nyeri. Namun kedua prosedur ini tidak dapat
memperbaiki tajam penglihatan.18
Kauterisasi lapisan Bowman dapat dilakukan untuk mengatasi rasa
nyeri. Prosedur ini diduga dapat membentuk barrier fibrosa yang padat
antara stroma kornea dan epitel dimana cairan tidak dapat masuk ke dalam
sel epitel dan mengakibatkan perubahan pada bula.16
Keratotomi anular digunakan untuk menangani nyeri pada kasus
keratopati bulosa dengan penglihatan yang buruk. Metode ini dilakukan
dengan cara insisi sebagian ketebalan kornea dengan trephine dan rasa
nyeri akan berkurang akibat pemotongan cabang saraf siliaris yang dapat
menurunkan sensasi kornea.19

Keratoplasti penetrasi merupakan satu-satunya terapi pembedahan


yang dapat mengatasi nyeri sekaligus memperbaiki tajam penglihatan.

14
Penurunan penglihatan, keratitis yang berulang, dan keluhan nyeri
merupakan indikasi dilakukan keratoplasti penetrasi.20
Metode terapi full-thickness keratoplasty sering menimbulkan
komplikasi berupa astigmat tinggi, hubungan antar jahitan yang tidak baik,
dan penyembuhan luka yang tidak efektif. Bila lapisan posterior kornea
yang rusak diganti dengan lapisan kornea donor, maka komplikasi akan
lebih sedikit. Metode ini disebut dengan posterior lamellar keratoplasty,
yang merupakan terapi alternatif lain dalam menangani kelainan pada
endotel kornea. Jaringan yang dicangkokkan terdiri dari stroma posterior,
membran descemet, dan endotel.21
2.10. Prognosis
Edema kornea yang menetap selama 3 bulan setelah operasi katarak tidak
akan hilang dengan sendirinya.22 Deteksi dini dan penanganan dengan segera
yang edema kornea merupakan kelainan sekunder akibat ekstraksi katarak
dengan pemasangan lensa intraokular dapat mencegah keparahan penyakit.
Teknik pembedahan yang semakin maju pada ekstraksi katarak telah
menyebabkan penurunan jumlah kasus pseudophakic corneal edema.2

RAHASIA

STATUS BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU

15
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. J Pekerjaan : Swasta
Umur : 78 tahun Pendidikan : SMP
Jenis kelamin : Laki-laki MR : 0111xxxx
Alamat : Selat Panjang Tanggal pemeriksaan : 02/02/2023

Keluhan Utama:
Mata kanan terasa tidak nyaman sejak 1 hari setelah operasi katarak.

Riwayat Penyakit Sekarang:


Mata kanan terasa tidak nyaman sejak 1 hari setelah operasi katarak. Rasa
tidaknyaman seperti ada yang mengganjal pada mata. Mata kanan terasa nyeri
dan berair. Keluhan tidak disertai mata merah. 1 hari yang lalu pasien menjalani
operasi katarak pada kanan. 1 tahun yang lalu kedua mata kabur seperti melihat
asap. Riwayat hipertensi yang diketahui 2 tahun yang lalu. Tidak ada riwayat
Diabetes Melitus tipe II. Pasien datang untuk kontrol setelah operasi
Phacoemulsificasi + IOL OD ke Poliklinik mata RSUD Arifin Achmad pada
tanggal 02 Februari 2023.

Riwayat Penyakit Dahulu:


- Riwayat katarak (+) di kedua mata 1 tahun lalu
- Riwayat hipertensi (+) diketahui sejak 2 tahun lalu, tidak rutin minum obat
- Riwayat trauma pada mata (-)
- Riwayat diabetes melitus (-)

Riwayat pengobatan :
- Riwayat operasi katarak pada mata kanan 1 hari lalu (Phacoemulsificasi +
IOL OD)
Riwayat penyakit keluarga:
- Riwayat katarak (-)
- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat diabetes melitus (-)

16
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Komposmentis kooperatif
Vital sign : TD : 140/72 mmHg
HR : 73 x/menit
RR : 18 x/menit
T : 36,6 0C

STATUS OPTHALMOLOGI
OD OS
20/70 Visus tanpa koreksi 20/100
Tidak dikoreksi Visus dengan koreksi Tidak dikoreksi
Orthoforia Posisi bola mata Orthoforia

17
Gerakan bola mata

Baik kesegala arah Baik kesegala arah


23 mmHg Tekanan bola mata 10 mmHg
Tidak ada kelainan Palpebra Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan Konjungtiva Tidak ada kelainan


Keruh, edema Kornea Tidak ada kelainan
Tenang Sklera Tenang
Dalam COA Dalam
Iris berwarna coklat, bulat, Iris/pupil Iris berwarna coklat, bulat,
sentral, Ø 2 mm, sentral, Ø 2 mm,
RC (+/+) RC (+/+)
IOL anterior chamber Lensa Keruh, shadow test (-)
Tidak dilakukan Funduskopi Tidak dilakukan

Gambar

18
RESUME:
Tn. J, 78 tahun dengan keluhan mata kanan terasa tidak nyaman seperti ada yang
mengganjal sejak 1 hari setelah operasi katarak. Mata kanan terasa nyeri dan
berair. Riwayat operasi katarak pada kanan 1 hari yang lalu. Pada pemeriksaan
oftalmologi tanpa koreksi didapatkan VOD 20/70 VOS 20/100. Lensa OD
pseudofakia, OS keruh. Kornea OD keruh dan edema. Riwayat hipertensi yang
diketahui 2 tahun yang lalu.

Diagnosis kerja:
Pseudofakia Kornea Edema OD
Penatalaksanaan:
Farmakologi:
- Cendo xitrol ED 6 x sehari
- Ciprofloxacin 500 mg 2x1 tablet
- Asam Mefenamat 500 mg 3 x 1 tablet

Non farmakologi dan edukasi:


- Menggunakan obat yang diresepkan secara teratur
- Menghindari mata dari paparan air, debu, dan angin, terutama pada 1
minggu pertama post operasi
- Hindari mengusap mata atau memberikan penekanan pada mata
- Menggunakan kacamata baca
- Kontrol post operasi ke dokter spesialis mata

19
Prognosis:
- Quo ad vitam : bonam
- Quo ad functionam : dubia ad bonam
- Quo ad kosmetikum : bonam

Follow up (09-02-2023)

S : Mata kanan berair, kontrol post operasi katarak OD 10 hari.

O : VOD 20/70 VOD 20/100. TIO OD 14mmHg OS 12 mmHg. Edema kornea.

A : Pseudofakia kornea edema OD

P:

- Cendo lyteers ED 3xOD


- Siloxan ED 3xOD
- Vitamin B kompleks 2x1 tablet
- Vitamin C 2x1 tablet
- Citicolin 1x500 mg

DAFTAR PUSTAKA

1. Cantor LB, Rapuano CJ, McCannel CA. Basic and Clinical Science
Course 2020-2021 Section 11 Lens and Cataract. San Fransisco:
American Academy of Opthalmology; 2020.
2. Kemenkes. R.I. Situasi Gangguan Penglihatan dan Kebutaan. Jakarta:
Pusdatin Kemenkes RI. 2014.
3. Vaughan D & Asbury. Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran: Jakarta. 2019.
4. Khurana AK, Khurana I. Anatomy and Physiology of Eye. 3rd ed.
CBSPublishers and Distributors PVT LTD.2017.

20
5. Natali, Reinne, Simanjuntak, Gilbert, Jannes Fritz Tan dan Hhb
Mailangkay. Penatalaksanaan Terkini Pseudofakos Bulous Keratopathy.
Jurnal Ilmiah WIDYA. 2017: 4(2).
6. Lang GK. Ophthalmology: A pocket textbook atlas. 3rd ed. New York:
Thieme; 2016.
7. Thevi T, Reddy SC, Shantakumar C. Outcome of phacoemulsification and
extracapsular cataract extraction: a study in a district hospital in
Malaysia. Malays Fam Physician. 2014;9(2):41-7
8. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 9. Suyono Y,
Iskandar M, Isella V, Susanti F, Michael, Sanjaya N, et al., editors.
Jakarta: EGC; 2018.
9. Cantor LB, Rapuano CJ, McCannel CA. Basic and Clinical Science
Course 2020-2021 Section 11 Lens and Cataract. San Fransisco:
American Academy of Opthalmology; 2020.
10. Kamonporn N, Pipat K. The visual outcomes and complications of manual
small incision cataract surgery and phacoemulsification: long term
results. Romanian Journal of Ophthalmology. 2021 Jan;65(1):31.
11. Raiyawa S, Jenchitr W, Yenjitr C & Tapunya M. Visual acuity in patients
having cataract surgery by different techniques. J Med Assoc Thai. 2016;
91(1): 95.
12. Kusumadjaja M A, Yohansyah P, Kusuma D & Handayani N M O. Profil
of Visual Acuity Improvement of Cataract Patients After
Phacoemulsification Cataract Surgery at Udayana Army Hospital in
2016-2017. EJMED. 2018; 44(2): 100.
13. H. Yi David & Dana, M.r. Corneal Edema After Cataract Surgery:
Incidence and Etiology. Seminar in Opthalmology.2021; 17(3-4);110-114.
14. Simanjuntak GWS. Reimplantasi Lensa Setelah Komplikasi Operasi
Katarak. Departemen Oftalmologi Fakultas Kedokteran Universitas
Kristen Indonesia. 2012; 6(4)
15. Fahri MF. Evaluasi Visual Outcome dan Quality of Life Pasien Postoperasi
Katarak Senilis di Rumah Sakit Universitas Hasanudin. NMSJ. 2018;
87(2-4): 45.

21
16. Kumar R. Corneal edema after cataract surgery: an overview. Journal of
dental and medical sciences (IOSR-JDMS). 2019; 18(1).
17. Olsen T and Jeppesen P. The incidence of retinal detachment after
cataract surgery. The Open Opthalmology Journal. 2014; 6(1).
18. Taravati P, Lam LD, Leveque T, and Gelder RNV. Postcataract Surgical
Inflammation. Journal LWW. 2015; 23(1).
19. Pramita RD, Sunariasih NN. Visual Outcomes After Phacoemuulsification
in Sanjiani Hospital Gianyar, Bali, Indonesia. European Journal of
Medical and Health Sciences. 2021;3(1)195p.
20. Ezegwui IR, Aghaji AE, Okpala NE, and Onwasigwe EN. Evaluation of
Complications of Extracapsular Cataract Extraction Perfomed by Traines.
Ann Med Health Sci Res. 2014;4(1):115-117.
21. Nurjanah RA, Indawaty SN, Purwoko M. Faktor Risiko Timbulnya Low
Vision Pasca Operasi Katarak dengan Teknik Ekstraksi Katarak
Ekstrakapsular. Syifa’Medika. 2019;10(1):18p.
22. Sharma N, Singhal D, Nair SP, Sahay P, et al. Corneal Edema After
Phacoemulsification. IJO. 2017;65(12):1381-1389.

22

Anda mungkin juga menyukai