Rangkuman Pancasila
Rangkuman Pancasila
Rangkuman Pancasila
Perkembangan Pancasila
Pancasila memiliki dinamika kesejarahan. Menurut beberapa tokoh, perkembangan
pancasila secara garis besar dibagi ke dalam beberapa fase:
1. Fase pembuahan sejak 1908 - fase perumusan pada masa pergerakan nasional - fase
pengesahan pasca kemerdekaan (Yudi Latif)
2. Fase penemuan - fase perumusan - fase ideologis - fase reflektif - fase kritik - fase
revitalisasi/refungionalisasi (Pranarka & Joko Siswanto)
3. Fase pra kemerdekaan (masa purba dan kerajaan-kerajaan nusantara) dan fase saat
dan
pasca kemerdekaan
Muhammad Yamin membagi secara garis besar fase kesejarahan Indonesia menjadi 3.
1. Indonesia Pertama, atau Nasionalisme Tua, pada masa pra kemerdekaan, yaitu pada
masa Sriwijaya (600-1400)
2. Indonesia Kedua, atau Nasionalisme Lama, pada masa Majapahit (1293-1525)
3. Indonesia Ketiga (1945- ) atau Nasionalisme Modern (etat-national).
Pada masa pra-kemerdekaan, ada sekitar 300 kerajaan lokal dan 3 dinasti
besar pada masa dahulu yang menjadi pewaris kearifan nilai-nilai.
Progresivitas Pancasila
1. Fase pembuahan, sekitar tahun 1908
2. Fase perumusan siding I BPUPKI 29 Mei – 1 Juni 1945
3. Fase pengesahan siding PPKI 18 Agustus 1945
Nilai-nilai Pancasila dianggap telah ada dalam alam pikiran dan tindakan bangsa
Indonesia sejak dahulu sehingga dikatakan sebagai kristalisasi nilai-nilai dan
pandangan hidup (way of life).
Jauh sebelum adanya Pancasila, bangsa Indonesia telah memiliki
nilai-nilai budaya yang sedikit banyak dipengaruhi oleh aspek-aspek
religius: ribuan tahun pengaruh agama lokal (agama sejarah), 14
abad pengaruh Hindu, 7 abad pengaruh Islam, 4 abad pengaruh
Kristen.
1. Kerajaan Kutai Kertanegara: pemuliaan terhadap brahmana.
2. Kerajaan Sriwijaya: nilai-nilai religiusitas, nilai-nilai persatuan,
nilai-nilai internasionalisme.
3. Kerajaan Majapahit: Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma
Mangrwa, Ajaran Humanisme Religius “Pancasila” (Ajaran Susila
yang Lima), nilai-nilai persatuan.
4. Kerajaan-kerajaan Islam: nilai-nilai religius, nilai-nilai persatuan,
nilai-nilai permusyawaratan (syuro).
Kata “Pancasila” berasal dari bahasa India Sansekerta. Istilah “Pancasila” pada
awalnya mengandung muatan arti: ajaran moral (moral teachings) atau prinsip moral
(moral principles), yang berasal dari tradisi kuno yang dipengaruhi ajaran
Hindhuisme-Budhisme.
Dasa Sila
1. Dilarang membunuh
2. Dilarang mencuri
3. Dilarang berzina
4. Dilarang berdusta
5. Dilarang minum minuman keras
6. Dilarang makan berlebih-lebihan
7. Dilarang bermewah-mewah dan pelesir
8. Dilarang memakai pakaian yang bagus, perhiasan, wangi-wangian
9. Dilarang tidur di tempat tidur yang enak atau mewah
10. Dilarang menerima pemberian uang atau memiliki emas dan perak
Negarakertagama
Ajaran moral “pancasila” diserap dalam budaya dan kesusastraan Jawa Kuno sampai
pada zaman Majapahit (13-15M). Tahun 1365 M, pada masa Prabu Hayam Wuruk
dan Patih Gadjah Mada, dituangkan dalam syair pujian atau kakawin
Negarakertagama berbahasa Jawa Kuno karangan Mpu Prapanca yang waktu itu
menjadi Pujangga sekaligus “Dharmadyaksa Ring Kasogatan” atau Penghulu Urusan
Agama Budha masa kerajaan Majapahit.
Sutasoma
Pada zaman Majapahit itu dua agama hidup berdampingan secara damai: Hindu Siwa
dan Budha Mahayana dan campurannya Tantrayana, di bawah kebijaksanaan Mpu
Prapanca sebagai Pemuka Agama. Selain Pancasila, lahir pula prinsip penting dari
kitab Sutasoma atau Purusadasanta oleh Mpu Tantular. Di bawah kepemimpinan
Raja Hayam Wuruk dan Patih Gadjah Mada, meski terdapat berbagai macam aliran
agama, khususnya hindhuisme dan budhisme, bahkan sekte campuran Tantrayana,
tetapi Majapahit dapat disatukan di bawah satu Hukum Negara (Dharma) dan hidup
rukun (toleransi) antara sesama umat beragama. Salah satu sloka yang
mempersatukan dipetik dari Sutasoma gubahan pujangga dan tokoh agama Mpu
Tantular.
Pancasila dalam Akulturasi islam-jawa
Setelah kerajaan Majapahit runtuh dan Islam tersebar melalui kerajaan Islam Demak,
sisa dari pengaruh ajaran moral Budha, yakni Pancasila, masih terdapat juga dalam
kehidupan masyarakat Nusantara dan dikembangkan serta modifikasi oleh para
Walisongo menjadi Lima Larangan (pantangan lima, wewelar, pamali), dan isinya
sering disebut dengan singkatan “ma-lima”, yakni Lima Larangan yang dimulai
dengan huruf “Ma”:
1. Mateni (membunuh)
2. Maling (mencuri)
3. Madon (berzina)
4. Mabok (mabuk)
5. Main (berjudi)