Syukron, ISTISLAH DALAM KONTEKSTUALISASI DAN KEMASLAHATAN PUBLIK
Syukron, ISTISLAH DALAM KONTEKSTUALISASI DAN KEMASLAHATAN PUBLIK
KEMASLAHATAN PUBLIK
OLEH :
SUKRON (21203012128)
DOSEN:
YOGYAKARTA 2022
KATA PENGANTAR
الر ِح ِيم َّ بِس ِْم اللَّ ِه
َّ الرحْ م ِن
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah
SWT. atas limpahan nikmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah tentang Ulumul Hadis dan Ruang Lingkupnya ini dengan baik,
meskipunmasih terdapat kekurangan didalamnya. Tidak lupa kami mengucapkan
terimakasih kepada Bapak Dr. Muhammad Anis Mashduqi, Lc. selaku dosen mata
kuliah Teori dan Metodologi Hukum Islam program studi Magister Hukum Ilmu
Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Kami sangat berharap makalah ini bisa berguna dalam rangka menambah
khazanah keilmuan dan pengetahuan kita mengenai Istishlah dalam
Kontekstualisasi dan Kemaslahatan Publik. Kami juga pastinya menyadari
sepenuhnya bahwa didalam makalah ini masih terdapat kekurangan yang jauh dari
kata sempurna. Oleh sebab itu, kami sangat berharap adanya kritik, saran, dan
usulan demi perbaikan makalah yang akan kami buat dimasa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu itu bisa membuatnya lebih baik kecuali ada kritik dan
saran yang bisa membangun.
Semoga dari makalah sederhana ini dapat dipahami oleh siapapun yang
membacanya dan dapat berguna, khususnya untuk diri kami sendiri terlebih orang
yang membacanya. Sebelumnya kami memohon maaf jika didalam makalah
terdapat suatu kesalahan kata-kata yang kurang berkenan, dan kami memohon
kritik dan sarannya agar lebih dapat diperbaiki untuk tugas dan makalah
dikesempatan lain.
Wassalaamu’alaikum wr.wb
Sukron
Yogyakarta, 03 Maret 2022
Abstrak
Bermula dari perkembangan hukum Islam yang tidak ada henti-hentinya mulai
dari era Nabi Muhammad SAW sampai dengan kemajuan zaman dan
perkembangan teknologi serta perubahan sosial yang berkelanjutan dengan
dinamika kehidupan manusia pada “era kekinian” di dunia ini. Tatkala Alqur'an,
al-Hadis, Ijama’ dan Qiyas tidak memberikan sinyal dalam penetapan hukumnya
maka guna menemukan jawaban atas berbagai permasalahan yang muncul di
tengah-tengah masyarakat agar tidak terjadinya kekosongan hukum pada ummat
yang membutuhkan kepastian hukum tetap, sehingga dibutuhkan terobosan
metodologi yang lain, yakni salah satunya dengan metodologi Maslahah Mursalah
untuk kemaslahatan publik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
dan menganalisis relevansi Maslahah Mursalah dengan kontekstualisasi Istishlah
itu sendiri untuk menghindari penyimpangan dari ketentuan-ketentuan Istishlah
yang telah dibuat dan juga merespon konteks permasalahan kekinian sebagai
penetapan hukum Islam. Metode analisis dalam penelitian kualitatif ini
menggunakan pendekatan kepustakaan dengan membaca beberapa karya tentang
Maslahah Mursalah dalam penetapan hukum Islam, dan tentunya agar lebih
teraarah dengan mengoptimalkan pemeliharaan kemaslahatan umat manusia,
karena merupakan bentuk semangat ulama dan pemerintah dalam merespon
kasus-kasus kekinian dan ini juga tidak mengurangi wujud dari manifestasi
konsep maqosidus syariah : melindungi agama (hifzh al-dîn), melindungi jiwa
(hifzh al-nafs), melindungi akal (hifzh al-aql), melindungi kelestarian manusia
(hifzh al-nasl) dan melindungi harta benda (hifzh al-mal).
A. Latar Belakang
Dinamika sosial ummat Muslim yang berada dilingkungan majemuk dalam
arti bukan hanya ummat Muslim akan tetapi juga non Muslim, begitu juga
segnifikannya perkembangan teknologi informasi dan berbagai perubahan yang
terjadi mulai zaman Rasulullah hingga zaman sekarang ini, dengan keadaan yang
begitu komplek membuat para Ulama’ dan pemerintah berkewajiban merespon
terhadap kebutuhan kepastian hukum yang muncul ditengah-tengah masyarakat di
dunia kuhususnya juga di Indonesia.
Syariat Islam datang untuk mermberikan jawaban mulai permasalahan yang
sangat pelik hingga permasalahan yang pada umummnya terjadi pada manusia,
apabila ditelusuri, maka isi dari pada syariat adalah kemeslahatan dan
menghindari dari kemafsadaan. Kemaslahatan di sini adalah kemaslahatan dunia
dan akhirat, yang mencakup dengan keadilan, rahmat untuk seluruh alam beserta
isinya. Semua unsur kemeslahatn ini tercantum dalam lingkup hukum dengan
metode pemahaman fiqh.
Baik itu yang telah ditetapkan hukumnya dalam sumber-sumber hukum Islam
yang disepakati oleh mayoritas Ulama’ yakni : Al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan Qiyas
maupun yang tidak disepakati. Selain empat sumber primer tersebut diatas,
terdapat sumber-sumber lain yang dianggap sumber skunder dalam menetapkan
hukum syar`i. Penetapan hukum yang dirujuk pada hukum primer diatas
menunjukkan bahwa rujukan-rujukan tersebut dapat diakui sebagai rujukan yang
shahih (benar) dalam menetapkan hukum.
Walupun demikian, sumber-sumber yang lain tersebut merupakan sumber
yang merupakan sumber skunder (tabi’iyah) yang bersifat furu`iyah. Oleh karena
itu, manyoritas ulama tidak menganggap tambahan sumber selain empat sumber
di atas. Akan tetapi hanya dianggap sebagai maraji’ (sumber skunder). Jadi dari
sumber-sumber skunder tersebut yang paling penting ada tiga yaitu: Istihsan,
Istishlah atau kaidah mashlahah mursalah dan `Urf (adat kebiasaan).
Dalam hal ini akan dijelaskan secara baik dan sistematis pokok-pokok al-
Istshlah atau bisa juga disebut mashlahah mursalah mengenai kontekstualisasi
dan merespon terhadap kemaslahatan publik (produk hukum).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis dapat mengambil
beberapa rumusan maslah yang di jadikan sebagai titik fokus dalam makalah ini.
C. Tujuan Masalah
PEMBAHSAN
A. Pengertian Istishlah
Kata Istishlah berasal dari bahasa Arab dengan asal kata Shalaha yang dapat
diberikan arti dengan “baik”. Kata Al Istishlah artinya adalah :
ْ ش ْرع بِ ْالب
ٌّ ُطالَ ِن َوالَ بِاْالِ ْعتِبَاِر ن
َص ُمعَيَّن ِ َّ َمالَ ْم يَ ْش َه ْد لَهُ ِم ْن ال
1
Al Anshar, Lisan Al Arab , Juz,9, hlm 279. Taj al Urus, juz.1, hlm.6066. Al Nihayat fi al Gharib
al Atasr, Juz.4, hlm. 70
2
Muhammad Ma’sum bin Ali, Al – Amsilatutasrifiyah, (Jakarta : CV. PUSTAKA AL
ALAWIYAH, 1992), hlm.28
“Apa-apa (maslahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk
nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya.” 3
Muhammad Abu Zahra memberi defenisi yang hampir sama dengan rumusan
Jalal al-Din di atas yaitu:
ِ ار ا ْو بِ ْالغ
اء ِ اص بِا ْ ِال ْعتِب ْ ارعِ وال ي ْشهد ُ لها ا
ٌّ ص ٌل خ ِ ش ِ ا ْلمصا ِل ُح ْال ُمَل ِءمةُ ِلمق
َّ اصد ال
“ Maslahat yang selaras dengan tujuan syariat Islam dan petunjuk tertentu yang
membuktikan tentang pembuktian atau penolakannya.”
3
Al-Gazali, al-Mustashfa min Ilm Ushul, Tahqiq Dr. Muhammad Sulaiman al-Asyqar,
Beirut/Lebanon: Al-Resalah, 1997 M/1418 H, h. 414 – 416
4
Al Zarqa`, Mustafa Ahmad, Al Istishlah wa al Mashalih al Mursalah fi al Syari`at al Islamiyah
wa Ushul Fiqh, Trj. Ade Dedi Rohayana, Hukum Islam dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Riora
Cipa, 2000), hlm.35.
5
HA Djazuli, dan Nurol Aen MA, Drs., Ushul Fiqh, (Bandung Gilang Adiiya Press, 1996),
hlm.131
berbagai peristiwa dan kejadian, seperti mengharamkan Khamar, perzinaan,
pembunuhan dan lain-lain.
Sebaliknya atau lawan dari pada Mashlahat adalah Mafasadat. Kalau
Mashlahat dapat diartikan dengan manfaat, maka Mafsadat ini dapat diartikan
dengan madharat. Keduanya merupakan dua jenis kata yang saling berlawanan ini
memberikan pemahaman yang lebih jelas. Dengan demikian dari istilah ini dapat
dipahami juga, melalui kesulitan dan kepayahan akan menimbulkan hasil yang
baik. Lebih jelasnya lagi bisa dianalogikan mengenai Jihad, akan memudharatkan
harta dan jiwa, akan tetapi akan menimbulkan kebaikan bagi generasi berikutnya
serta mencapai keamanan dari bahaya musuh, dan contoh lain pahitnya minum
obat, akan membawa hasil yang baik yakni akan mengembalikan kepada kondisi
tubuh yang semula (sehat).
B. Landasan Hukum
Terlepas dari setuju dan tidak setuju terhadap metode Istislah sebagian
Ulama’ telah bersepakat metodologi penelitian yang mereka yakini merupakan
salah satu metode yang bisa dipakai dalam penggalian hukum (Istinbath), yakni
Istishlah sendiri tentunya tidak terlepas dari hujjah atau dalilil yang mendasarinya.
Adapun dalil tersebut diantaranya :
َََََالر ْح َمة
َ ِِ علَىَنَ ْْف ِس
َ ََََربُّ ُك ْم
َ بَ َعلَ ْي ُك ْمََ َكت َ َََواِ َذاَ َجاَ َء َكََالَ ِذيْنَََيُؤْ ِمنُ ْونَََ ِباَيَ ِتنَاَفَقُ ْل
َ ََسلَم
َََر ِحيْم َ َََِصلَ َحََفَاَن
َ غْفُ ْور ْ َ ََوا
َ ََم ْنََ َب ْعدِهَ َ س ْوَءاََ ِب َج َهالَةََث ُ َمََت
ِ اب ُ ََََم ْن ُك ْم
ِ اَنَََِ َم ْنََ َع ِم َل
Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang
kepadamu, maka katakanlah: "Salaamun alaikum. Tuhanmu telah menetapkan
atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat
kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah
mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS al-‘An’am [6]: 54)
Salah satu hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam suatu
6
Agus Miswanto, Ushul Fiqh metode Ijtihad Hukum Islam, (Magelang: Unimma Press, 2019),
cetakan 1: jilid II, hal.163-164.
mempermudah dan meberikan keakuratan dalam penetapannya sehingga sedikit
yang telah disumbangsihkan oleh Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-
ُ ش ْرعِ ت ُ ْعر
ُ َّ اصد ال َّ اصد ال
ِ و مق,ِش ْرع ْ لكنا نعني ب ْالم
ِ أل ُمحافظة على مق: صلحة
ِش ْرع ِ ت ِمن ْالمصا ِلحِ ْالغ ِريْبة الَّ ِت ْي ال تَُلئ ُم تص ُّرفا
َّ ت ال ِ ْ سنَّ ِة و
ْ اْل ْجماعِ وكان ُّ وال
Akan teteapi, yang dimaksud oleh kami dengan maslahat adalah untuk menjaga
tujuan-tujuan hukum syara’.7 Dan tujuan hukum syara’ itu diketahui melalui
Alqur’an dan al-sunnah, dan Ijmak. Maka setiap maslahat yang tidak
dikembalikan untuk menjaga maksud yang difahami dari Alqur’an, sunnah, dan
Ijmak, maka hal itu menjadi maslahah yang asing yang tidak cocok atau selaras
dengan pelaksanaan hukum syara’. Maka hal itu adalah (maslahat) yang batil
maksud syariat, yang mana dapat diketahui melalui Alqur’an, sunnah, dan
Ijmak. Dan bukan melalui dari luar ketiga dasar tersebut. Hanya saja, hal ini
Lebih lanjut, Menurut Imam al-Ghazali, ada beberapa hal yang harus
dicermati dalam menggunakan konsep maslahat, yaitu:
1. Maslahat adalah menarik manfaat dan menghindarkan bahaya. 9 Bukan
Imam al-Ghazali mendefinisikan bahwa manfaat adalah tujuan setiap
orang, tapi manfaat yang ia maksud adalah bagaimana manfaat itu sesuai
dengan tujuan-tujuan syariat itu sendiri dalam bidang dunia dan akhirat.
2. Maslahat tidak hanya terbatas secara bahasa dan ‘urf saja, namun lebih
dari itu, yaitu memelihara tujuan maqâshid al-syari’ah, yaitu menjaga usûl
al-khamsah, (hifdu al-dîn, hifdzu al-nafs, hifdzu al-aql, hifdzu al nasl, dan
hifdzu al-mâl).
3. Secara tegas al-Ghazâli mendefinisikan maslahat apa yang dimaksud
Allah, bukan menurut pandangan manusia, maka setiap orang yang ingin
tercapainya maslahat, maka tidak keluar dari ajaran syariah Islam. Karena
apa yang diinginkan manusia belum tentu sama dengan kemaslahatan
Allah.
4. Maslahat menurut al-Ghazâli merupakan sinonim dari al-ma’na almunâsib,
sehingga dalam kondisi tertentu sering disebut qiyas.
10
Moh. Mukri, Paradigma Maslahat dalam Pemikiran al-Ghazali, h. 95.
11
Wahbah Zuhaili, Usûl al-Fiqh al-Islâmî, 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), h. 769.
12
Hamka Haq dan al-Syâtibi, Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab al-Muwafaqat,
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), h. 251.
13
Wahbah Zuhaili, Usûl al-Fiqh al-Islâmî, h. 170–171.
b. Maslahat itu bukan hanya kepentingan pribadi, atau sebagian kecil
masyarakat, namun bersifat umum.
c. Hasil penalaran maslahat itu tidak berujung pada pengabaian suatu
prinsip yang telah ditetapkan oleh nash syari’ah.14
Penegasan itu juga datang dari Al-Syathibi, ahli ushul yang datang belakangan
3. Kemaslahatan tersebut harus sejalan dengan ruh syariat dan tidak boleh
ماَشهدَالشرعَباعتبارهمنَالمصالحْفهوحجة
Segala sesuatu yang dipersaksikan oleh syariat dalam pertimbangan kemaslahatan itu,
maka itu menjadi hujjah.
ماَشهدَالشرعَبالغائَِمنَالمصالحَفهوَباطل
Segala sesuatu yang dipersaksikan oleh syariat dalam pembatalan kemaslahatan
itu maka itu menjadi bathil.
Perbuatan yang mencakup kepentingan orang lain, lebih utama daripada yang
terbatas untuk kepentingan sendiri.
17
Syaikh 'Abdur-Rahman bin Nashir al-Sa'di, al-Qawaa'id wa al-Ushul al-Jaami'ah wa al-Furuuq
wa at-Taqaasiim al-Badi'at an-Naafi'at, ditahqiq oleh Prof. Dr. Khalid bin 'Ali al-Musyaiqih, (Dar
al-Wathan).
D. Istishlah Merespon Kemaslahatan Publik (Ummat)
perkara atau masalah yang timbul khususnya di daerah-daerah tertentu agar dapat
hukum seharusnya tidak keluar dari koridor-koridor sumber hukum yang telah
ditetapkan.
dilakukan oleh para Ulama’ dan mujtahid yang terdahulu sampai sekarang, yang
berikut :
terjadi perang Al Yamamah, pada saat itu juga Sahabat Umar bin Khattab
18
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Cetakan II (Semarang : PT.
Pustaka rizky putra, 1999), hal. 144
karena saling menyalahkan satu dengan yang lain dan didukung dengan
tanggung jawab mengganti rugi, mereka akan berbuat ceroboh dan tidak
memenuhi kewajibannya untuk menjaga harta benda orang lain yang berada
dibawah tanggungjawabnya.
4. Penujukkan kepada sayidina Umar bin Khattab oleh Khalifah Abu Bakar
permasalahan pada masa modern ini yang telah muncul seperti halnya:
19
Ibid, hal. 146
kurangnya kepercayaan menjadi alasan atau ilat. Hingga keharusan
menjaga diri agar tidak terkena virus corona yang telah merajalela dan
Hal ini juga didukung oleh sebagian para Ulama untuk mematuhi peraturan
keselamatan diri dan keselamatan bersama inilah salah satu bentuk maslahat
tindakan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
Pada masa Rasulullah adzan dikumandangkan oleh sahabat Bilal bin Rabah
pada masa kini yang menggunakan pengeras suara diatas terkadang sampai
orang muslim atau non muslim). Sehingga diaturlah oleh Menteri Agama
tertera dalam Surat Edaran Menteri Agama No. 05 Tahun 2022 tentang
dilakukan oleh beberapa Ulama dan Pemerintah melalui metode Istishlah yang
pernah terjadi mulai wafatnya Rasulullah hingga zaman sekarang. Tentu tidak lain
kekosongan hukum dengan tanpa mengurangi konteks dan konsep maslahah itu
PENUTUP
A. Kesimpulan
dan anjuran dalam nash yang telah ditetapkan atau lebih dikenal dengan teori
Maslahah mursalah.
2. Dalam sebuah salah satu metode penetapan hukum (istinbath) agar tidak
hukum yang cukup relevan yakni diantaranya : (QS al-Anbiya’ [21]: 107),
oleh Imam Ghazali itu sendiri yakni : mengembalikan maslahat itu untuk
itu dapat diketahui melalui Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ yang telah
4. Banyak permaslahan yang telah diselesaikan oleh para ulama’ dan pemerintah