Anda di halaman 1dari 22

ISTISHLAH DALAM KONTEKSTUALISASI DAN MERESPON

KEMASLAHATAN PUBLIK

Makalah Disusun Dan Diajukan Kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah


Teori dan Metodologi Hukum Isalm Fakultas Syariah Dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

OLEH :
SUKRON (21203012128)

DOSEN:

Dr. Muhammad Anis Mashduqi, Lc.

MAGISTER HUKUM ILMU SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN

HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA 2022
KATA PENGANTAR
‫الر ِح ِيم‬ َّ ‫بِس ِْم اللَّ ِه‬
َّ ‫الرحْ م ِن‬
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah
SWT. atas limpahan nikmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah tentang Ulumul Hadis dan Ruang Lingkupnya ini dengan baik,
meskipunmasih terdapat kekurangan didalamnya. Tidak lupa kami mengucapkan
terimakasih kepada Bapak Dr. Muhammad Anis Mashduqi, Lc. selaku dosen mata
kuliah Teori dan Metodologi Hukum Islam program studi Magister Hukum Ilmu
Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Kami sangat berharap makalah ini bisa berguna dalam rangka menambah
khazanah keilmuan dan pengetahuan kita mengenai Istishlah dalam
Kontekstualisasi dan Kemaslahatan Publik. Kami juga pastinya menyadari
sepenuhnya bahwa didalam makalah ini masih terdapat kekurangan yang jauh dari
kata sempurna. Oleh sebab itu, kami sangat berharap adanya kritik, saran, dan
usulan demi perbaikan makalah yang akan kami buat dimasa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu itu bisa membuatnya lebih baik kecuali ada kritik dan
saran yang bisa membangun.

Semoga dari makalah sederhana ini dapat dipahami oleh siapapun yang
membacanya dan dapat berguna, khususnya untuk diri kami sendiri terlebih orang
yang membacanya. Sebelumnya kami memohon maaf jika didalam makalah
terdapat suatu kesalahan kata-kata yang kurang berkenan, dan kami memohon
kritik dan sarannya agar lebih dapat diperbaiki untuk tugas dan makalah
dikesempatan lain.

Wassalaamu’alaikum wr.wb

Sukron
Yogyakarta, 03 Maret 2022
Abstrak
Bermula dari perkembangan hukum Islam yang tidak ada henti-hentinya mulai
dari era Nabi Muhammad SAW sampai dengan kemajuan zaman dan
perkembangan teknologi serta perubahan sosial yang berkelanjutan dengan
dinamika kehidupan manusia pada “era kekinian” di dunia ini. Tatkala Alqur'an,
al-Hadis, Ijama’ dan Qiyas tidak memberikan sinyal dalam penetapan hukumnya
maka guna menemukan jawaban atas berbagai permasalahan yang muncul di
tengah-tengah masyarakat agar tidak terjadinya kekosongan hukum pada ummat
yang membutuhkan kepastian hukum tetap, sehingga dibutuhkan terobosan
metodologi yang lain, yakni salah satunya dengan metodologi Maslahah Mursalah
untuk kemaslahatan publik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
dan menganalisis relevansi Maslahah Mursalah dengan kontekstualisasi Istishlah
itu sendiri untuk menghindari penyimpangan dari ketentuan-ketentuan Istishlah
yang telah dibuat dan juga merespon konteks permasalahan kekinian sebagai
penetapan hukum Islam. Metode analisis dalam penelitian kualitatif ini
menggunakan pendekatan kepustakaan dengan membaca beberapa karya tentang
Maslahah Mursalah dalam penetapan hukum Islam, dan tentunya agar lebih
teraarah dengan mengoptimalkan pemeliharaan kemaslahatan umat manusia,
karena merupakan bentuk semangat ulama dan pemerintah dalam merespon
kasus-kasus kekinian dan ini juga tidak mengurangi wujud dari manifestasi
konsep maqosidus syariah : melindungi agama (hifzh al-dîn), melindungi jiwa
(hifzh al-nafs), melindungi akal (hifzh al-aql), melindungi kelestarian manusia
(hifzh al-nasl) dan melindungi harta benda (hifzh al-mal).
A. Latar Belakang
Dinamika sosial ummat Muslim yang berada dilingkungan majemuk dalam
arti bukan hanya ummat Muslim akan tetapi juga non Muslim, begitu juga
segnifikannya perkembangan teknologi informasi dan berbagai perubahan yang
terjadi mulai zaman Rasulullah hingga zaman sekarang ini, dengan keadaan yang
begitu komplek membuat para Ulama’ dan pemerintah berkewajiban merespon
terhadap kebutuhan kepastian hukum yang muncul ditengah-tengah masyarakat di
dunia kuhususnya juga di Indonesia.
Syariat Islam datang untuk mermberikan jawaban mulai permasalahan yang
sangat pelik hingga permasalahan yang pada umummnya terjadi pada manusia,
apabila ditelusuri, maka isi dari pada syariat adalah kemeslahatan dan
menghindari dari kemafsadaan. Kemaslahatan di sini adalah kemaslahatan dunia
dan akhirat, yang mencakup dengan keadilan, rahmat untuk seluruh alam beserta
isinya. Semua unsur kemeslahatn ini tercantum dalam lingkup hukum dengan
metode pemahaman fiqh.
Baik itu yang telah ditetapkan hukumnya dalam sumber-sumber hukum Islam
yang disepakati oleh mayoritas Ulama’ yakni : Al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan Qiyas
maupun yang tidak disepakati. Selain empat sumber primer tersebut diatas,
terdapat sumber-sumber lain yang dianggap sumber skunder dalam menetapkan
hukum syar`i. Penetapan hukum yang dirujuk pada hukum primer diatas
menunjukkan bahwa rujukan-rujukan tersebut dapat diakui sebagai rujukan yang
shahih (benar) dalam menetapkan hukum.
Walupun demikian, sumber-sumber yang lain tersebut merupakan sumber
yang merupakan sumber skunder (tabi’iyah) yang bersifat furu`iyah. Oleh karena
itu, manyoritas ulama tidak menganggap tambahan sumber selain empat sumber
di atas. Akan tetapi hanya dianggap sebagai maraji’ (sumber skunder). Jadi dari
sumber-sumber skunder tersebut yang paling penting ada tiga yaitu: Istihsan,
Istishlah atau kaidah mashlahah mursalah dan `Urf (adat kebiasaan).
Dalam hal ini akan dijelaskan secara baik dan sistematis pokok-pokok al-
Istshlah atau bisa juga disebut mashlahah mursalah mengenai kontekstualisasi
dan merespon terhadap kemaslahatan publik (produk hukum).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis dapat mengambil

beberapa rumusan maslah yang di jadikan sebagai titik fokus dalam makalah ini.

Adapun rumusan masalah yang dimaksud adalah:

1. Apa yang dimaksud dengan Istishlah?

2. Apa landasan hukum istishlah?

3. Bagaimana kontekstualisasi Istishlah?

4. Bagaimana respon metodologi Istishlah terhadap kemaslahatan publik ?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui pengertian Istishlah

2. Untuk mengetahui landasan hukum istishlah

3. Untuk mengetahui pentingnya kotekstualisasi Istishlah

4. Untuk mengetahui bagaimana metodologi Istishlah dalam merespon

kemaslahatan publik yang pernah direalisasikan


BAB II

PEMBAHSAN

A. Pengertian Istishlah

Kata Istishlah berasal dari bahasa Arab dengan asal kata Shalaha yang dapat
diberikan arti dengan “baik”. Kata Al Istishlah artinya adalah :

‫ اهلواء من أعون األشياء على صحة األبدان‬: ‫فإن استصالح‬


Sebuah keinginan untuk memperbaiki sesuatu secara sehat badan.1
Dilihat dari etimologi atau asal mula kata yakni ‫ صلح‬yang mana kata tersebut
masih kurang dalam pembahasan ini yang masih perlu ditambahkannya alif, sin,
dan ta’ sehingga menjadi kata ‫صَل ًحا‬
ْ ِ‫صل ُح – أ ْست‬ ْ ‫ أِسْت‬dengan demikian kata
ْ ‫صلح – يسْت‬
Istishlah ketika ditambahi dan diambil dari masdar seperti kata tersebut
mempunyai faidah mencari dan ketika diartikan bisa menjadi mencari kebaikan.2
Al-Istishlah secara terminologi ini dapat ditetapkan dalam kajian hukum
ushul fiqh sama dengan Mashlahah al Mursalah. Ruang lingkup Mashlahah al
Mursalah adalah setiap kemashlahatan yang tidak keluar dari ketentuan Maqashid
al Syar`i (tujuan pembuatan syara`) dan pastinya harus masuk dalam konteks
memperjuangkan tujuan pembuatan syara’.

Al-Ghazali dalam kitab al-Mustasyfā merumuskan Maslahah Mursalah


sebagai berikut:

ْ ‫ش ْرع بِ ْالب‬
ٌّ ‫ُطالَ ِن َوالَ بِاْالِ ْعتِبَاِر ن‬
‫َص ُمعَيَّن‬ ِ َّ ‫َمالَ ْم يَ ْش َه ْد لَهُ ِم ْن ال‬

1
Al Anshar, Lisan Al Arab , Juz,9, hlm 279. Taj al Urus, juz.1, hlm.6066. Al Nihayat fi al Gharib
al Atasr, Juz.4, hlm. 70
2
Muhammad Ma’sum bin Ali, Al – Amsilatutasrifiyah, (Jakarta : CV. PUSTAKA AL
ALAWIYAH, 1992), hlm.28
“Apa-apa (maslahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk
nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya.” 3

Abdul Wahab al-Khallaf memberi rumusan berikut:

ِ ‫ارهَا ا َ ْو ِال ْلغ‬


‫َاءهَا‬ ِ ‫ارعِ َد ِليْل ِال ْع ِت َب‬
ِ ‫ش‬َّ ‫صلَ َحة لَ ْم َي ِر ْد َع ِن ال‬
ْ ‫اِنَّ َها َم‬

“ Maslahahal-Mursalah adalah mashlahat yang tidak ada dalil syara’ datang


untuk mengakuinya atau menolaknya.”

Muhammad Abu Zahra memberi defenisi yang hampir sama dengan rumusan
Jalal al-Din di atas yaitu:

ِ ‫ار ا ْو بِ ْالغ‬
‫اء‬ ِ ‫اص بِا ْ ِال ْعتِب‬ ْ ‫ارعِ وال ي ْشهد ُ لها ا‬
ٌّ ‫ص ٌل خ‬ ِ ‫ش‬ ِ ‫ا ْلمصا ِل ُح ْال ُمَل ِءمةُ ِلمق‬
َّ ‫اصد ال‬

“ Maslahat yang selaras dengan tujuan syariat Islam dan petunjuk tertentu yang
membuktikan tentang pembuktian atau penolakannya.”

Mashlahat al-Mursalah dapat dikatakan adalah mashlahat secara umum, yaitu


segala sesuatau yang dapat menarik manfaat dan menolak kemudharatan.
Mashlahat yang didatangkan oleh syari`at Islam adalah untuk merealisasikan
mashlahat dalam bentuk yang secara umum.4 Jadi, al-Mashalih al-Murshalah
adalah memberikan hukum syara` kepada suatu kasus yang tidak terdapat dalam
Nash dan Ijma` atas dasar memelihara yang terlepas yaitu kemeslahatan yang
tidak ditegaskan oleh syara` dan tidak pula di tolak.5 Walaupun Nash al Syar`iyat
mendatangkan hukum untuk merealisasikan kemeslahatan. Hal ini terbukti dalam

3
Al-Gazali, al-Mustashfa min Ilm Ushul, Tahqiq Dr. Muhammad Sulaiman al-Asyqar,
Beirut/Lebanon: Al-Resalah, 1997 M/1418 H, h. 414 – 416
4
Al Zarqa`, Mustafa Ahmad, Al Istishlah wa al Mashalih al Mursalah fi al Syari`at al Islamiyah
wa Ushul Fiqh, Trj. Ade Dedi Rohayana, Hukum Islam dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Riora
Cipa, 2000), hlm.35.
5
HA Djazuli, dan Nurol Aen MA, Drs., Ushul Fiqh, (Bandung Gilang Adiiya Press, 1996),
hlm.131
berbagai peristiwa dan kejadian, seperti mengharamkan Khamar, perzinaan,
pembunuhan dan lain-lain.
Sebaliknya atau lawan dari pada Mashlahat adalah Mafasadat. Kalau
Mashlahat dapat diartikan dengan manfaat, maka Mafsadat ini dapat diartikan
dengan madharat. Keduanya merupakan dua jenis kata yang saling berlawanan ini
memberikan pemahaman yang lebih jelas. Dengan demikian dari istilah ini dapat
dipahami juga, melalui kesulitan dan kepayahan akan menimbulkan hasil yang
baik. Lebih jelasnya lagi bisa dianalogikan mengenai Jihad, akan memudharatkan
harta dan jiwa, akan tetapi akan menimbulkan kebaikan bagi generasi berikutnya
serta mencapai keamanan dari bahaya musuh, dan contoh lain pahitnya minum
obat, akan membawa hasil yang baik yakni akan mengembalikan kepada kondisi
tubuh yang semula (sehat).

B. Landasan Hukum
Terlepas dari setuju dan tidak setuju terhadap metode Istislah sebagian
Ulama’ telah bersepakat metodologi penelitian yang mereka yakini merupakan
salah satu metode yang bisa dipakai dalam penggalian hukum (Istinbath), yakni
Istishlah sendiri tentunya tidak terlepas dari hujjah atau dalilil yang mendasarinya.
Adapun dalil tersebut diantaranya :

ََ‫ََل ْلعَلَ ِميْن‬ َ ‫س ْلن‬


َ ‫َكََا َِّل‬
ِ ‫ََر ْح َمة‬ َ ‫َو َماََا َ ْر‬
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam. (QS al-Anbiya’ [21]: 107)

َََ‫ََالر ْح َمة‬
َ ِِ ‫علَىَنَ ْْف ِس‬
َ ََ‫ََربُّ ُك ْم‬
َ ‫ب‬َ َ‫علَ ْي ُك ْمََ َكت‬ َ ََ‫َواِ َذاَ َجاَ َء َكََالَ ِذيْنَََيُؤْ ِمنُ ْونَََ ِباَيَ ِتنَاَفَقُ ْل‬
َ ََ‫سلَم‬
َ‫ََر ِحيْم‬ َ َََِ‫صلَ َحََفَاَن‬
َ ‫غْفُ ْور‬ ْ َ ‫ََوا‬
َ ‫ََم ْنََ َب ْعدِه‬َ َ ‫س ْوَءاََ ِب َج َهالَةََث ُ َمََت‬
ِ ‫اب‬ ُ ََ‫ََم ْن ُك ْم‬
ِ ‫اَنَََِ َم ْنََ َع ِم َل‬
Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang
kepadamu, maka katakanlah: "Salaamun alaikum. Tuhanmu telah menetapkan
atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat
kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah
mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS al-‘An’am [6]: 54)

َ ََۗ َ‫ص ََلحَ َلَ ُه َْم َ َخيْر‬


ََ‫َوا ِْن‬ ْ ِ‫ل َا‬ ْ ‫ن‬
َْ ُ‫َاليَتَمَىَ َق‬ َِ ‫ع‬ ََ ‫َويَسْـَلُ ْون‬
َ َ ‫َك‬ ِ ‫َو ْاّل‬
َ ََۗ َِ‫َخ َرة‬ َ ‫فِى َال ُّد ْنيَا‬
َ َُِ‫ََولَ ْوََشَاَ َءََالل‬
ََ‫ََّلَ ْعنََتَ ُك ْمََا َِن‬ َ ََِۗ‫ص ِلح‬ ْ ‫ََم‬
ْ ‫نَََال ُم‬ ْ ‫ََواللَََُِيَ ْعلَ ُم‬
ِ ‫ََال ُم ْْف ِس َد‬ ُ ‫تُخَا ِل‬
َ ََۗ‫ط ْو ُه ْمََفَا ِْخ َوانُ ُك ْم‬
‫ع ِزيْزََ َح ِكيْم‬
َ ََََِ‫الل‬
Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus
urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka,
maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat
kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki,
niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS al-Baqarah [2]: 220)6

C. Kotekstualisasi dalam metode Istishlah

Salah satu hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam suatu

pembelajaran dan pengimplementasian suatu metode yang akan disalurkan dalam

sebuah pendidikan atau lembaga eksekutive yang akan memperaktekannya seperti

halnya pengadilan dan berbagai lembaga lainnya, sehingga tidak menyalaihi

kaidah-kaidah yang telah dicetuskan itu sendiri.

Adapun kontekstualisasi merupakan salah satu konsep yang penting untuk

mengetahui beberapa catatan atau narasi yang harus ditekankan sebelum

dipratekkan dalam suatu permasalahan, dengan mengetahuinya akan lebih

6
Agus Miswanto, Ushul Fiqh metode Ijtihad Hukum Islam, (Magelang: Unimma Press, 2019),
cetakan 1: jilid II, hal.163-164.
mempermudah dan meberikan keakuratan dalam penetapannya sehingga sedikit

kemungkinan untuk terjadinya cacat hukum atau batal demi hukum.

Inilah beberapa catatan narasi penting dari pencetus metodologi Istishlah

yang telah disumbangsihkan oleh Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-

Ghazali, yakni diantara perkataannya adalah :

ُ ‫ش ْرعِ ت ُ ْعر‬
ُ َّ ‫اصد ال‬ َّ ‫اصد ال‬
ِ ‫ و مق‬,ِ‫ش ْرع‬ ْ ‫لكنا نعني ب ْالم‬
ِ ‫ أل ُمحافظة على مق‬: ‫صلحة‬

ِ ‫ص ٍد فُ ِهم ِمن ْل ِكتا‬


‫ب‬ ُ ‫صلح ٍة الت ْر ِج ُع أِلى ِح ْف ِظ م ْق‬ ِ ْ ‫سنَّ ِة و‬
ْ ‫ ف ُك ُّل م‬.ِ‫اْل ْجماع‬ ِ ‫ِب ْال ِكتا‬
ُّ ‫ب وال‬

ِ‫ش ْرع‬ ِ ‫ت ِمن ْالمصا ِلحِ ْالغ ِريْبة الَّ ِت ْي ال تَُلئ ُم تص ُّرفا‬
َّ ‫ت ال‬ ِ ْ ‫سنَّ ِة و‬
ْ ‫اْل ْجماعِ وكان‬ ُّ ‫وال‬

‫ وم ْن صار أِليْها فق ْد ش ْرع كما أ َّن م ِن ا ْست ْحسن فق ْد ش ْرع و ُك ُّل‬,ٌ‫اطلة‬


ِ ‫ف ِهي ب‬

‫سنَّ ِة‬ ِ ‫صدًا بِ ْال ِكتا‬


ُّ ‫ب وال‬ ُ ‫ع ِلم ك ْونُهُ م ْق‬ ُ ‫صلح ٍة رج ْعتُ أِلى ِح ْف ِظ م ْق‬
ُ ٍ ‫ص ٍد ش ْر ِعي‬ ْ ‫م‬

ً‫صلحةً ُم ْرسلة‬ ُ ُ ‫ار ًجا م ْن هذ ِه ْاْل‬


ً ‫ ل ِكنَّهُ اليُس َّمى قِيا‬,‫صو ِل‬
ْ ‫سا ب ْل م‬ ِ ‫وا ْ ِْل ْجماعِ فليْس خ‬

Akan teteapi, yang dimaksud oleh kami dengan maslahat adalah untuk menjaga

tujuan-tujuan hukum syara’.7 Dan tujuan hukum syara’ itu diketahui melalui

Alqur’an dan al-sunnah, dan Ijmak. Maka setiap maslahat yang tidak

dikembalikan untuk menjaga maksud yang difahami dari Alqur’an, sunnah, dan

Ijmak, maka hal itu menjadi maslahah yang asing yang tidak cocok atau selaras

dengan pelaksanaan hukum syara’. Maka hal itu adalah (maslahat) yang batil

yang menjatuhkan. Barang siapa yang menggunakannya maka sungguh telah


7
Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa min ilm al-ushul, 450-
505 H (Dr.Hamzah bin Dzahir Hafidzh : al-Madinah tul Munaaroh) hlm. 482
membuat hukum syariat, sebagaimana orang yang beristihsan, maka ia telah

membuat hukum syari’at. Dan setiap maslahat dikembalikan untuk penjagaan

maksud syariat, yang mana dapat diketahui melalui Alqur’an, sunnah, dan

Ijmak. Dan bukan melalui dari luar ketiga dasar tersebut. Hanya saja, hal ini

bukan dinamakan sebagai qiyas, tetapi maslahah mursalah.8

Lebih lanjut, Menurut Imam al-Ghazali, ada beberapa hal yang harus
dicermati dalam menggunakan konsep maslahat, yaitu:
1. Maslahat adalah menarik manfaat dan menghindarkan bahaya. 9 Bukan
Imam al-Ghazali mendefinisikan bahwa manfaat adalah tujuan setiap
orang, tapi manfaat yang ia maksud adalah bagaimana manfaat itu sesuai
dengan tujuan-tujuan syariat itu sendiri dalam bidang dunia dan akhirat.
2. Maslahat tidak hanya terbatas secara bahasa dan ‘urf saja, namun lebih
dari itu, yaitu memelihara tujuan maqâshid al-syari’ah, yaitu menjaga usûl
al-khamsah, (hifdu al-dîn, hifdzu al-nafs, hifdzu al-aql, hifdzu al nasl, dan
hifdzu al-mâl).
3. Secara tegas al-Ghazâli mendefinisikan maslahat apa yang dimaksud
Allah, bukan menurut pandangan manusia, maka setiap orang yang ingin
tercapainya maslahat, maka tidak keluar dari ajaran syariah Islam. Karena
apa yang diinginkan manusia belum tentu sama dengan kemaslahatan
Allah.
4. Maslahat menurut al-Ghazâli merupakan sinonim dari al-ma’na almunâsib,
sehingga dalam kondisi tertentu sering disebut qiyas.

Maslahat dapat dijadikan dalil hukum Islam apabila pertama, maslahat


tersebut telah menjadi dzan yang kuat (setelah melakukan penelitian berdasarkan
beberapa pertimbangan, mujtahid telah dapat mengambil kesimpulan bahwa
masalah itu benar-benar maslahat yang sejalan dengan jenis tindakan syarâ’.
8
Agus Miswanto, Ushul Fiqh metode Ijtihad Hukum Islam,......hlm.181
9
Muksana Pasaribu, “Maslahat dan Perkembangannya Sebagai Dasar Penetapan Hukum Islam”,
Jurnal Justitia 1, no. 4, (Desember 2014): h. 352.
Kedua, maslahat itu masuk jenis maslahat yang ditinggalkan oleh syarâ’ (maslahat
itu tidak bertentangan dengan nash, atau ijmâ’.10
Imam al-Ghazali mengelompokkan maslahat menjadi tiga aspek, yaitu:
1. Maslahat dibedakan berdasarkan ada keabsahan normatif atau kadar
kekuatan dukungan nash kepadanya menjadi tiga macam, yaitu;
a. Maslahat Mu’tabarah adalah maslahah yang didudukung
keabsahannya dalam syarâ’ dan dapat dijadikan illat dalam qiyâs.
b. Maslahat Mulghah adalah maslahah yang didukung oleh syarâ’
kebatalannya.
c. Maslahat Mursalah adalah maslahah yang tidak mendapat dukungan
dari syarâ’ dalam hal keabsahan maupun kebatalannya.11
2. Dilihat dari aspek kekuatan maslahat (keabsahan fungsional) itu sendiri.
Terhadap maslahat ini, Imam al-Ghazali memberikan syarat-syarat
pemberlakuannya.
a. Kemaslahatannya sangat esensial dan primer (dharûriyah).
b. Kemaslahatannya sangat jelas dan tegas (qat’iyyah).
c. Kemaslahatannya bersifat universal (kuliyyah).
d. Kemaslahatannya berdasarkan pada dalil yang universal dari
keseluruhan qarinah (mu’tabarah).12
3. Jenis maslahat ini terkait erat dengan beberapa aspek penyempurnaan
(takmilan dan tatimah).13 Dalam rumusan berbeda juga disebutkan,
bahwa legalitas maslahat dalam kajian usul fikih harus di dasarkan pada
krieteria-kriteria adalah:
a. Maslahat itu harus bersifat pasti, bukan sekedar rekaan atau anggapan
bahwa ia memang mewujudkan suatu manfaat, atau mencegah
terjadinya kemudharatan.

10
Moh. Mukri, Paradigma Maslahat dalam Pemikiran al-Ghazali, h. 95.
11
Wahbah Zuhaili, Usûl al-Fiqh al-Islâmî, 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), h. 769.
12
Hamka Haq dan al-Syâtibi, Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab al-Muwafaqat,
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), h. 251.
13
Wahbah Zuhaili, Usûl al-Fiqh al-Islâmî, h. 170–171.
b. Maslahat itu bukan hanya kepentingan pribadi, atau sebagian kecil
masyarakat, namun bersifat umum.
c. Hasil penalaran maslahat itu tidak berujung pada pengabaian suatu
prinsip yang telah ditetapkan oleh nash syari’ah.14
Penegasan itu juga datang dari Al-Syathibi, ahli ushul yang datang belakangan

dari al-Ghazali, menegaskan tiga syarat sebagai berikut:

1. Kemaslahatan tersebut harus bersifat logis (ma’qulat) dan relevan dengan

kasus hukum yang dihadapi;

2. Kemaslahatan tersebut harus menjadi acuan dalam memelihara sesuatu

kebutuhan yang prinsip dalam kehidupan dan menghilangkan kesulitan.

3. Kemaslahatan tersebut harus sejalan dengan ruh syariat dan tidak boleh

bertentangan dengan nash yang qath'i.15

Beberapa kaidah-kaidah yang bisa dijadikan sebagai rujukan bagi

pengembangan kaidah maslahat, diantaranya sebagai beriktu :16

‫اْلسلم صالح لكل زمان ومكان‬

Islam itu senantiasa relavan pada setiap waktu dan tempat.

ْ ‫الشارع ال يأ ْ ُم ُر أ َِّال ِبما م‬


ُ‫صلحتُهُ خا ِلصةٌ أو راجحة والينهى أ َِّال ع َّما م ْفسدت ُه‬
‫خ ِلصةٌ او راجحة‬
14
Anang Haris Imawan, “Refleksi Pemikiran Hukum Islam: Upaya-Upaya Menangkap Simbol
Keagamaan,” dalam Anang Haris Himawan, Epistimologi Syara’ Mencari Format Baru Fikih
Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 84.
15
Mukhsin Nyak Umar, Al-Maslahah Al-Mursalah (Kajian atas Relevansinya dengan
Pembaharuan Hukum Islam, Edisi Pertama, Cetakan ke-1 (Aceh : Turats, 2017), hlm. 149
16
Ibid., hlm. 183-184.
Allah swt dan rasul-nya, tidaklah memerintahkan sesuatu kecuali yang murni
mendatangkan maslahat atau maslahatnya dominan. Dan tidaklah melarang
sesuatu kecuali perkara yang benar-benar rusak atau kerusakannya dominan.17

‫ماَشهدَالشرعَباعتبارهمنَالمصالحْفهوحجة‬
Segala sesuatu yang dipersaksikan oleh syariat dalam pertimbangan kemaslahatan itu,
maka itu menjadi hujjah.

‫ماَشهدَالشرعَبالغائَِمنَالمصالحَفهوَباطل‬
Segala sesuatu yang dipersaksikan oleh syariat dalam pembatalan kemaslahatan
itu maka itu menjadi bathil.

‫المتعدى افضل من القاصر‬

Perbuatan yang mencakup kepentingan orang lain, lebih utama daripada yang
terbatas untuk kepentingan sendiri.

‫تصر ُ اْلمام على الرعية منط بالمصلحة‬

Kebijakan (tindakan) imam terhadap rakyat harus dihubungkan dengan


kemaslahatan.

Dengan beberapa kontekstualisasi yang ada diatas, menegenai hujjah, catatan


penting, dan kaidah-kaidah yang telah ditulis. Seseorang bisa lebih mudah dalam
memahami menggunakan metode Istishlah atau lebih dikenal dengan Maslahah
Mursalah.

17
Syaikh 'Abdur-Rahman bin Nashir al-Sa'di, al-Qawaa'id wa al-Ushul al-Jaami'ah wa al-Furuuq
wa at-Taqaasiim al-Badi'at an-Naafi'at, ditahqiq oleh Prof. Dr. Khalid bin 'Ali al-Musyaiqih, (Dar
al-Wathan).
D. Istishlah Merespon Kemaslahatan Publik (Ummat)

Dicetuskannya suatu metodologi penetapan hukum adalah salah satu bentuk

respon para Ulama’ terdahulu untuk memberikan sumbangsih kontruksi analisis

perkara atau masalah yang timbul khususnya di daerah-daerah tertentu agar dapat

diselesaikan, bahkan yang tidak kalah pentingnya adalah penetapan terhadap

hukum seharusnya tidak keluar dari koridor-koridor sumber hukum yang telah

ditetapkan.

Dengan demikian ada beberapa bentuk-bentuk implementasi yang telah

dilakukan oleh para Ulama’ dan mujtahid yang terdahulu sampai sekarang, yang

mana penetapannya menggunakan pendekatan metodologi hukum yakni lebih

khususnnya menggunakan metodologi Istishlah atau lebih dikenal dengan

Maslahah mursalah. Adapun contoh praktek-praktek penetapannya sebagai

berikut :

1. Pada tahun 12 Hijriah, yaitu di masa pemerintah Khalifah Abu Bakar,

terjadi perang Al Yamamah, pada saat itu juga Sahabat Umar bin Khattab

RA dan para sahabat dalam mengumpulkan Alquran dalam satu mushaf

alasannya semata-mata karena maslahat, yaitu menjaga al-Qur’an dari

kepunahan atau kehilangan kemutawatiranya karena meninggalnya sejumlah

besar penghafal al-Qur’an dari generasi sahabat.18

2. Terjadinya pembakaran mushaf secara masal pada masa Khalifah Ustman

bin Affan, dengan sebab perbedaan qiraat yang menimbulkan perpecahan

18
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Cetakan II (Semarang : PT.
Pustaka rizky putra, 1999), hal. 144
karena saling menyalahkan satu dengan yang lain dan didukung dengan

kekhawatiran sahabat Hudzaifah, sayidina Ustman memerintahkan untuk

menulis kembali dengan bahasa Quraisy, karena al-Qur’an diturunkan

dengan bahasa Quraisy setelah sempurana disalin dan dinamakan dengan

rasm Ustmani dan naskah al-Qur’an yang lainnya dibakar.19

3. Khalifah Ali ibn Abi Thalib menetapkan tanggung jawab menetapkan

keharusan menanggung ganti rugi kepada pada para tukang. Padahal

menurut hukum asal, bahwasanya kekuasaan mereka didasarkan atas

kepercayaan. Akan tetapi ternyata seandainya mereka tidak dibebani

tanggung jawab mengganti rugi, mereka akan berbuat ceroboh dan tidak

memenuhi kewajibannya untuk menjaga harta benda orang lain yang berada

dibawah tanggungjawabnya.

4. Penujukkan kepada sayidina Umar bin Khattab oleh Khalifah Abu Bakar

untuk menggantikan kekhalifaannya, apabila kelak ia wafat. Dan dari

sejarah ini ada praktek kemaslahatan untuk di perbolehkannya mengangkat

seorang penguasa mafdhūl (bukan yang terbaik). Penolakan akan bai’at

dikhawatirkan berakibat timbulnya kemudharatan, kerusakan, kegoncangan

serta kekosongan pemerintah.

5. Kewajiban dalam administrasi didalam berbagai aktivitas di lembaga-

lembaga pemerintahan, perkantoran dan Pengadilan. Untuk merespon

permasalahan pada masa modern ini yang telah muncul seperti halnya:

masalah muamalah yang tidak jarang menimbulkan kecurangan dan

19
Ibid, hal. 146
kurangnya kepercayaan menjadi alasan atau ilat. Hingga keharusan

pencatatan akad nikah (Buku Nikah) dan perceraian dilaksanakan di

Pengadilan Agama dengan membuktikan buku nikah agar bisa

dikabulkannya suatu gugatan atau permohonan terhadap status hukum yang

pasti sehingga akan diberikannya Akta Cerai. Bahkan banyak lagi

kepentingan dalam pencatatan adminidtrasi oleh rakyat untuk terwujudnya

kemaslahatan memelihara dan menjamin hak-hak terutama untuk pemberian

layanan hak-hak sebagai rakyat Indonesia dalam suatu tindakan dan

kepentingan dalam keberlangsungan hidup berwarga negara.

6. Anjuran pemerintah terhadap masyarakat pada masa pandemi untuk selalu

menjaga diri agar tidak terkena virus corona yang telah merajalela dan

terlebih untuk memutus mata rantai penyebaran virus, sehingga pemerintah

memerintakan untuk sholat sendiri-sendiri atau berjemaah dirumah, sampai-

sampai pemerintah melarang sholat dibeberpa masjid pada masa genting-

gentingnya virus yang menyebar sehingga banyak korban yang berjatuhan.

Hal ini juga didukung oleh sebagian para Ulama untuk mematuhi peraturan

tersebut tujuannya hanya untuk menjahui kemudharatan yang lebih besar

yakni naiknya angka korban yang signifikan. Agar bisa memaksimalkan

keselamatan diri dan keselamatan bersama inilah salah satu bentuk maslahat

untuk ummat (fiqih al-awlawiyat).

7. Penggunaan pengeras suara yang belakangan ini gencar-gencarnya

diperbincangkan padahal penggunaan speaker itu sendir merupakan

tindakan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
Pada masa Rasulullah adzan dikumandangkan oleh sahabat Bilal bin Rabah

hanya sekedar melantunkan adzan diatas menara dengan suara lantangnya

beliau. Tindakan pemakaian sepeker pada zaman sekarang ini sudah

merupakan kemaslahatan bagi ummat Islam, akan tetapi melihat

kemajemukannya masyarakat Indonesia dan banyaknya kegiatan masjid

pada masa kini yang menggunakan pengeras suara diatas terkadang sampai

tidak menghiraukan lingkungan disekitanya. Sehingga pemerintah merespon

terhadap permasalahan ini, dengan menganjurkan pemakian speaker itu

disesuaikan dengan sepatutnya (tidak menggangu aktifitas orang lain baik

orang muslim atau non muslim). Sehingga diaturlah oleh Menteri Agama

tertera dalam Surat Edaran Menteri Agama No. 05 Tahun 2022 tentang

Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Msajid dan Mushola lebih

khususnya pada bagian C 2 SE Menag 05/2022. Aturan ini merupakan juga

bentuk usaha pemerintah dan Ulama dalam meralisasikan kemaslahatan

ummat beragama dan bernegara didalam keberagaman.

Bentuk gambaran diatas merupakan sebagian contoh respon yang pernah

dilakukan oleh beberapa Ulama dan Pemerintah melalui metode Istishlah yang

pernah terjadi mulai wafatnya Rasulullah hingga zaman sekarang. Tentu tidak lain

tujuannya untuk menjaga kemaslahatan ummat (publik) dan menghindari adanya

kekosongan hukum dengan tanpa mengurangi konteks dan konsep maslahah itu

sendiri, dan bahkan menciderai nash-nash yang telah ditetapkan.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Istishlah adalah salah satu metodelogi penggalian hukum yang menitik

beratkan kepada mencari kemaslahatan publik ketika tidak adanya larangan

dan anjuran dalam nash yang telah ditetapkan atau lebih dikenal dengan teori

Maslahah mursalah.

2. Dalam sebuah salah satu metode penetapan hukum (istinbath) agar tidak

keluar dari koridor Al-Qur’an dan Sunnah, Istislah mempunyai payung

hukum yang cukup relevan yakni diantaranya : (QS al-Anbiya’ [21]: 107),

(QS al-‘An’am [6]: 54), dan (QS al-Baqarah [2]: 220).

3. Perlu diketahui bahwasannya kontekstualisasi dalam metodologi penggalian

hukum dengan menggunakan metodologi maslahah murslah telah ditekankan

oleh Imam Ghazali itu sendiri yakni : mengembalikan maslahat itu untuk

menjaga tujuan hukum syara’, sedangkan yang dimaksud penjagaan syariat

itu dapat diketahui melalui Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ yang telah

diformulasikan dalam kategori Maqosidus Syari’ah. Sehingga bukan

diggunakannya metodologi tersebut untuk membuat hukum syari’at baru atau

syari’at tandingan (Maslahah Mulghah).

4. Banyak permaslahan yang telah diselesaikan oleh para ulama’ dan pemerintah

dengan menggunakan metodologi maslahah mursalah, diantara penetapannya

adalah : kodifikasi Al-Qur’an, pembakaran masal terhadap selain Rasm

Ustmani, penujukan Khalifah Umar bin Khattab sebagai pengganti


pemerintahan Khalifah Abu Bakar, kewajiaban administrasi dalam berwarga

negara, larangan berjemaah di masjid pada masa pandemi, aturan pemerintah

terhadap spiker masjid, dll.


DAFTAR PUSTAKA

Agus Miswanto, Ushul Fiqh metode Ijtihad Hukum Islam, (Magelang:


Unimma Press, 2019), setakan 1: jilid II
Al Anshar, Lisan Al Arab , Juz,9, hlm 279. Taj al Urus, juz.1, hlm.6066. Al
Nihayat fi al Gharib al Atasr, Juz.4
Al-Gazali, al-Mustashfa min Ilm Ushul, Tahqiq Dr. Muhammad Sulaiman
al-Asyqar, Beirut/Lebanon: Al-Resalah, 1997 M/1418 H
Al Zarqa`, Mustafa Ahmad, Al Istishlah wa al Mashalih al Mursalah fi al
Syari`at al Islamiyah wa Ushul Fiqh, Trj. Ade Dedi Rohayana, Hukum Islam dan
Perubahan Sosial, (Jakarta: Riora Cipa, 2000)
Amir Mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam
(Yogyakarta: UII Press, 2001)
Anang Haris Imawan, “Refleksi Pemikiran Hukum Islam: Upaya-Upaya
Menangkap Simbol Keagamaan” dalam Anang Haris Himawan, Epistimologi
Syara’ Mencari Format Baru Fikih Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000)
Andi Herawati, “Maslahat Menurut Imam Malik dan Imam al Ghazali
(Suatu Perbandingan)”, Diktum: Jurnal Syariah dan Hukum 12, no. 1, (2014)
HA.Djazuli Prof., dan Nurol Aen MA, Drs., Ushul Fiqh, (Bandung Gilang
Adiiya Press, 1996)
Hamka Haq dan al-Syâtibi, Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab
al-Muwafaqat (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007)
Muhammad Ma’sum bin Ali, Al – Amsilatu tasrifiyah, (Jakarta : CV.
PUSTAKA AL ALAWIYAH, 1992)
Muksana Pasaribu, “Maslahat dan Perkembangannya Sebagai Dasar
Penetapan Hukum Islam,” Jurnal Justitia 1, no. 4, (Desember 2014)
Mukhsin Nyak Umar, Al-Maslahah Al-Mursalah (Kajian atas Relevansinya
dengan Pembaharuan Hukum Islam, Edisi Pertama, Cetakan ke-1 (Aceh : Turats,
2017)
Mustafa Ahmad al-Zarqa’, Hukum Islam dan Perubahan Sosial; Setudi
Komperatif Delapan Madzhab, trans. oleh Ade Dede Rahayu (Jakarta: Riora
Cipta, 2000)
Imam al-ghazali, al-Mustasfa min ilm al-ushul
Syaikh 'Abdur-Rahman bin Nashir al-Sa'di, al-Qawaa'id wa al-Ushul al-
Jaami'ah wa al-Furuuq wa at-Taqaasiim al-Badi'at an-Naafi'at, ditahqiq oleh
Prof. Dr. Khalid bin 'Ali al_Musyaiqih, (Dar al-Wathan).
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Cetakan II
(Semarang : PT. Pustaka rizky putra, 1999)
Wahbah Zuhaili, Usûl al-Fiqh al-Islâmî, 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1987)

Anda mungkin juga menyukai