Anda di halaman 1dari 19

MENELAAH PRAKTIK PENETAPAN HARGA MAHAR DAN PISUKE DI

LOMBOK (Studi di Desa Kateng, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten


Lombok Tengah)”

PROPOSAL TESIS
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Magister

Dosen Pembibing : 1. Prof. Iwan Triyuwono, SE., Ak., M.Ec., Ph.D.


2. Dr. Aji Dedi Mulawarman, SP., MSA.

Oleh:
BAIQ SONIA TOIN (216020301111010)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


PROGRAM PASCASARJANA ILMU AKUNTANSI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Syariat Islam menetapkan beberapa peraturan untuk menjaga

keselamatan pernikahan ini. Begitu teliti Islam mengatur sendi-sendi

kehidupan manusia sehingga menyentuh bagian dasar yang dianggap non

prinsipil tetapi sebenarnya adalah prinsipil, seperti menikah dengan

pasangan yang sekufu-sepadan, baik dari segi sosial, harkat dan martabat,

keturunan, pengetahuan, wawasan, suku, ras, agama, dan lain sebagainya.

Islam mensyariatkan pernikahan bagi pemeluknya bukan semata

hubungan atau kontrak keperdataan saja, bukan pula sekedar

melampiaskan kebutuhan biologis, tetapi lebih jauh dari itu, dimana dalam

pernikahan itu sendiri mengandung aspek-aspek ibadah. Al-Qur’ān juga

menyebutkan tujuan dari menikah yaitu antara lain adalah supaya

memperoleh ketenangan dan membina keluarga yang penuh cinta dan

kasih sayang, di samping untuk memenuhi kebutuhan seksual dan

memperoleh keturunan.

Namun demikian, pelaksanaan pernikahan tidak hanya tunduk pada

ketentuan-ketentuan agama, tetapi juga terikat dengan tradisi dan adat

istiadat disuatu tempat. Di Lombok misalnya, prosesi pernikahan

merupakan rangkaian tradisi yang saling terkait, yang dimulai dengan

melarikan seorang gadis (calon pengantin perempuan) yang istilah Lombok

populer disebut dengan merarik sampai dengan tradisi nyongkolan sebagai

prosesi terakhir dari pernikahan adat Lombok.

1
2

Menurut Lukman (2014), salah satu tradisi dalam prosesi pernikahan

masyarakat Lombok adalah kesepakatan pemberian pisuke setelah

pemberian mahar. Pisuke ini merupakan sejumlah uang atau barang yang

diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan di luar mahar pasca

akad nikah dalam adat Sasak. Pemberian uang pisuke ini merupakan inti

dalam pernikahan adat suku Sasak Lombok.

Hal ini disebabkan pemberian mahar dan pisuke ini sebagai penentu

waktu pernikahan akan dilangsungkan (Yasin, 2008). Kesepakatan tentang

mahar umumnya dilakukan ketika acara nyelabar di mana pihak laki-laki

melalui kepala dusun berkunjung ke rumah pihak perempuan dan

mengabarkan akan terjadi pernikahan, maka dibicarakan mengenai mahar

yang umumnya ditentukan oleh pihak perempuan (Kafaah, 2017).

Kemudian dalam kultur masyarakat Lombok, konsep pisuke berfungsi

sebagai pengganti lempot (uang sebagai pengganti lelah bagi orang tua

yang telah membesarkan anaknya), walaupun sesungguhnya uang pisuke

jelas tidak sebanding dengan pengorbanan orang tua dalam melahirkan,

mengasuh, merawat, membesarkan dan mendidik putrinya. Oleh karena itu

semakin tinggi tingkat pendidikan seorang perempuan maka semakin tinggi

pula pisuke yang diminta (Lukman, 2006).

Pada umumnya di masyarakat Lombok, tingkatan mahar dan pisuke

didasarkan pada jenjang pendidikan, misal seorang gadis dengan

pendidikan SMA maka jumlah mahar mulai dari 10–25 gram emas atau

tanah sawah 5–10 are, dan pisuke mulai dari Rp5.000.000 – Rp15.000.000
3

jika seorang sarjana maka jumlah mahar 25–50 gram emas atau tanah

sawah 10 – 25 are, dan pisuke antara Rp15.0000.000 – Rp50.000.000, jika

seorang magister atau PNS jumlah mahar 50 – 100 gram emas atau tanah

sawah 25 – 50 are, dan pisuke nya antara Rp25.000.000 – Rp75.000.000,

akan tetapi jumlah mahar dan pisuke tersebut tidak semuanya dapat

terealisasi, hal itu sangat bergantung dari tingkat kemampuan pihak laki-laki

(Rusman, 2021).

Walaupun secara filosofis makna uang pisuke adalah pengganti

lempot, sungguhpun jumlah pisuke tidak dapat mengganti jumlah biaya

yang dikeluarkan dalam melahirkan, merawat dan mendidik anak

perempuan, namun dalam praktiknya uang pisuke umumnya digunakan

untuk acara begawe (pesta pernikahan) di rumah perempuan, karena

dalam tradisi Lombok, pesta pernikahan digelar di dua tempat, yaitu di

tempat kediaman pihak laki-laki dan tempat kediaman perempuan (

Lukman, 2006).

Pada dasarnya di akuntansi tidak ada ketentuan tentang mahar dan

pisuke dalam pernikahan, mahar dan pisuke merupakan produk budaya

lokal, namun pisuke merupakan peristiwa yang cukup vital untuk

diselesaikan dalam setiap proses pernikahan. Kendati demikian pisuke

telah diterima sebagai sebuah tradisi yang hidup dalam setiap prosesi

pernikahan di Lombok, mahar dan pisuke diterapkan sebagai sebuah

kearifan budaya secara turun-temurun, hampir tidak ada penolakan dari

masyarakat terkait pisuke walaupun hal itu tidak diatur dalam Islam sebagai
4

agama yang dianut oleh masyarakat Lombok. Akan tetapi nominalnya

sangat tergantung pada kemampuan dan kesepakatan antar keluarga

mempelai.

Harga merupakan nilai tukar yang bisa disamakan dengan uang atau

barang lain untuk manfaat yang diperoleh dari suatu barang atau jasa bagi

seseorang atau kelompok pada waktu tertentu dan tempat tertentu

(Sudaryono, 2016). Dengan kata lain, harga adalah nilai yang dibebankan

pada suatu produk tertentu yang dinyatakan dalam suatu mata uang

sebagai alat tukar (Sunyoto, 2014). Oleh karena itu, produsen perlu

melakukan penetapan harga atau price setting agar terjadi kesesuaian

antara biaya yang ditawarkan produsen dengan kemampuan pelanggan.

Dalam dunia akuntansi, price setting dimaknai sebagai proses menetapkan

nilai yang diterima produsen dalam pertukaran jasa dan barang.

Menurut Dharmesta & Irawan (2005), harga dapat dipengaruhi oleh

biaya, keadaan perekonomian, penawaran dan permintaan, hingga

persaingan. Pada umumnya konsep penetapan harga dibutuhkan dalam

proses meraih keuntungan materi semata (Amaliah & Sugianto, 2018).

Keuntungan materi tersebut dianggap sebagai tujuan utama dalam proses

penetapan harga. Hal ini sejalan dengan konsep penetapan harga

konvensional yang menyatakan bahwa penetapan harga memiliki tujuan

mencari keuntungan sebagai tujuan utama (Aurer, Chaney, & Sauré, 2017;

Hardesty, Bearden, Haws, & Kidwell, 2012; Reusen & Stouthuysen, 2017).
5

Namun banyak pula pihak yang beranggapan bahwa penetapan harga

tidak hanya berorientasi pada keuntungan material seperti yang telah

banyak ditemukan dalam penelitian akuntansi konvensional, tetapi juga

berorientasi pada nilai-nilai non-material, salah satunya unsur budaya

(Amaliah & Sugianto, 2018; Ellström & Larsson, 2017; Raissi & Tulin,

2018). Akuntansi selama ini lebih dikenal sebagai media pengelola

keuangan yang sangat erat kaitannya dengan aktivitas input, proses, dan

output.

Andani (2017) mengemukakan bahwa akuntansi cenderung dikaitkan

dengan hal-hal objektif di mana objektivitasnya didasarkan pada bukti-bukti

transaksi dan kesesuaian dengan standar akuntansi yang berlaku sehingga

penelitian akuntansi seolah hanya dikatakan valid apabila penelitian

tersebut dikaitkan dengan dunia bisnis. Padahal banyak hal menarik yang

dapat diungkap dan dikaji dengan menggunakan disiplin ilmu akuntansi.

Sejalan dengan hal itu, Mulawarman (2013) mengungkapkan bahwa

akuntansi tidak selalu dihubungkan dengan alat dari proses aktivitas

perusahaan yang semua peristiwanya dicatat dengan nilai moneter.

Misalnya, dalam kehidupan sehari-hari, kehadiran akuntansi dapat ditemui

dan diterapkan dalam aktivitas berbelanja, rumah tangga, dan hiburan

(Jeacle, 2009).

Sebagai bagian dari ilmu sosial, akuntansi mendapat pengaruh dari

keberadaan manusia dalam suatu kelompok masyarakat sehingga nilai-nilai

dalam budaya masyarakat tersebut memiliki sumbangsih terhadap


6

pembentukan karakter ilmu akuntansi (Manan, 2014). Hal ini dapat berarti

bahwa akuntansi merupakan produk sosial atau produk budaya yang dibuat

berdasarkan konsep-konsep pemikiran manusia. Di samping itu, Zulfikar

(2008) mengungkapkan bahwa praktik akuntansi di suatu wilayah sengaja

dikonstruksikan dan dikembangkan untuk mencapai tujuan sosial tertentu

sehingga teori yang mendasari ilmu akuntansi untuk menelaah hal-hal yang

terjadi di dalam kehidupan masyarakat dapat mengalami perubahan.

Perubahan yang dimaksud dapat dipengaruhi oleh perkembangan

sosial, ekonomi, politik dan budaya, hingga ilmu pengetahuan yang dimiliki

oleh suatu kelompok masyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba

menguak praktik penetapan harga yang terdapat pada budaya Lombok

berdasarkan tinjauan etnografi, yakni penentuan harga mahar dan pisuke

dalam tradisi pernikahan masyarakat Lombok.

Saat ini, minat pengembangan penelitian akuntansi semakin

meningkat, termasuk memasukkan unsur keperilakuan serta unsur sosial.

Penelitian menarik dilakukan Lutfillah (2014) tentang ritual upacara Jawa

Kuno. Widhianningrum dan Amah (2014) terhadap seni budaya ketoprak di

Pati, dan penelitian Pratiwi dkk (2015) pada upacara ngaben di Bali.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kajian akuntansi tidak hanya

mencakup aset dan kewajiban yang bernilai materil, tetapi juga mencakup

nilai-nilai moril tertentu.

Kamayanti (2016) menyatakan bahwa penelitian tentang kebudayaan

perlu dilakukan agar upaya pelestarian peradaban bangsa tidak terhenti.


7

Andini (2017) juga berpendapat bahwa penting untuk menggali nilai-nilai

lokal melalui budaya, sebab budaya merupakan cerminan suatu bangsa.

Arus globalisasi yang semakin deras perlahan mengikis norma dan budaya

lokal sehingga berpotensi menghilangkan keberagaman, termasuk culture

alineation yang membuat banyak kelompok bahkan bangsa kehilangan

identitasnya.

Jeacle (2009) mengatakan bahwa keberadaan akuntansi dapat

ditemukan dalam kehidupan sehari-hari dan dapat diterapkan dalam

aktivitas seperti berbelanja, rumah tangga dan hiburan. Budaya perkawinan

misalnya. Budaya perkawinan dalam beberapa penelitian akuntansi disebut

dengan istilah bride pricing. Penelitian ini sendiri menelaah pemaknaan

masyarakat terhadap mahar dan pisuke di Desa Kateng, Kecamatan Praya

Barat, Kabupaten Lombok Tengah sekaligus menyingkap praktik dalam

penetapan harganya.

Pisuke (dalam bahasa Lombok) merupakan bahasan primadona bagi

masyarakat lokal pada perkawinan yang dilaksanakan secara adat di

Lombok. Ketika suatu pernikahan akan digelar, masyarakat sering

mempertanyakan jumlah mahar dan pisuke yang diberikan kepada calon

mempelai wanita. Namun bagi sebagian besar masyarakat, pisuke

dianggap sebagai suatu permasalahan sosial.

Side dkk (2019) mengatakan bahwa uang panai sangat menyita

perhatian publik dan menjadi momok menakutkan bagi seorang pria yang

ingin menikahi seorang wanita. Hal ini sebabkan adanya kecenderungan


8

nominal uang panai yang tinggi sehingga sulit dipenuhi oleh sebagian pria

yang ingin menjalankan niat baiknya. Oleh sebab itu, penelitian ini dianggap

penting untuk memperluas pemahaman masyarakat terkait akuntansi yang

disandingkan dengan sudut pandang sosiokultural.

Syarifuddin & Damayanti (2015) mengungkapkan bahwa uang panai

merupakan “uang antaran” yang harus diserahkan oleh pihak keluarga

calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan

untuk membiayai prosesi pesta pernikahan. Hal serupa juga diungkapkan

Yansa (2016) bahwa uang panai merupakan hadiah yang diberikan calon

mempelai laki-laki kepada calon istrinya untuk memenuhi keperluan

pernikahan.

Ikbal (2016) juga mendukung pemaknaan uang panai sebagai sejumlah

uang yang wajib diserahkan oleh calon mempelai suami kepada keluarga

calon istri yang akan digunakan sebagai biaya resepsi pernikahan dan

bukan termasuk mahar yang merupakan kewajiban dalam suatu

pernikahan. Ramadan dkk (2017) mengutarakan hal yang sama bahwa

uang panai tidak dihitung sebagai mahar atau maskawin, tetapi sebagai

uang adat untuk membiayai pesta pernikahan dengan jumlah yang

disepakati oleh kedua belah pihak yang akan menikah.

Pemikiran-pemikiran tersebut membangun pemahaman awal dalam

tulisan ini bahwa secara garis besar pisuke adalah uang belanja kebutuhan

pernikahan. Pisuke bukanlah mahar yang menjadi syarat suatu pernikahan.

Namun seiring berjalannya waktu, pisuke atau uang panai dalam


9

perkawinan adat di Lombok seolah bermetamorfosis menjadi suatu

kewajiban.

Ikbal (2016) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa masyarakat

menganggap keharusan menyerahkan uang panai sama halnya dengan

kewajiban memberikan mahar. Hal ini terjadi karena baik mahar maupun

pisuke telah dianggap masyarakat menjadi suatu kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan. Terlebih lagi, beberapa pihak memiliki anggapan bahwa

sanggup tidaknya seorang pria mempersembahkan uang pisuke sesuai

nominal permintaan sama halnya dengan mempertaruhkan lile yang berarti

rasa malu atau harga diri.

Sari (2019) menyatakan bahwa kehadiran uang panai, terutama dalam

hal penentuan jumlah nominalnya merupakan konstruksi dari masyarakat

itu sendiri. Realitasnya, sebagian masyarakat telah menggeser makna uang

panai yang sebenarnya. Pisuke menjelma menjadi suatu penanda gengsi

bagi masyarakat dalam unjuk kemampuan ekonomi.

Syarifuddin & Damayanti (2015) memberi kritik terhadap fenomena

sosial yang terkadang sampai mengorbankan kedua pihak yang saling

mencintai karena rumitnya permintaan uang panai. Salah satu contohnya

yakni tidak sedikit calon pengantin pria yang harus berutang demi

menyanggupi permintaan uang panai dengan nominal tertentu.

Isu kebudayaan seperti pisuke merupakan isu yang selalu menarik

untuk “digoreng” di kalangan masyarakat, begitu pun dalam lingkup

pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk akuntansi. Hal ini sekaligus


10

membuktikan bahwa cakupan kajian akuntansi telah mengalami perluasan

dan tidak hanya berfokus pada persoalan ayat jurnal debit-kredit laporan

keuangan. Padahal, sebagian dari ilmu sosial yang dibentuk oleh manusia,

akuntansi memiliki kaitan dan pengaruh terhadap keberadaan manusia itu

di dalam suatu kelompok masyarakat (Sylvia, 2014).

Kenyataannya, kajian akuntansi untuk civil society, khususnya terkait

kebudayaan masih jarang ditemukan. Jika digali lebih dalam, budaya dan

akuntansi memiliki kaitan erat dalam perbaikan pola pikir masyarakat. Anita

(2019) mengungkapkan bahwa usaha menggabungkan nilai-nilai budaya ke

dalam kajian akuntansi dilakukan agar disiplin ilmu ini dapat mengakomodir

kepentingan ekonomi masyarakat Indonesia dan agar setiap orang yang

menjadi pelaku akuntansi memiliki moral berdasarkan nilai dan norma

budaya yang sudah ada sejak zaman nenek moyang namun perlahan

terkikis oleh budaya asing.

Seiring waktu berjalan, penentuan nominal pisuke menjelma menjadi

sebuah realitas sosial yang memunculkan beragam perdebatan. Goody &

Tambiah (1973) mengatakan bahwa pisuke tau bride price adalah harga

pengganti produktivitas wanita. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

produktivitas berarti kemampuan untuk menghasilkan sesuatu. Sedangkan

dari sudut pandang akuntansi, produktivitas berkaitan dengan seberapa

efisien penggunaan input untuk menghasilkan output yang optimal.

Hal tersebut bermakna bahwa pisuke merupakan konversi rupiah

terhadap pandangan tentang wanita dari dua sisi, yakni hal yang dimiliki
11

seorang wanita sebelum menikah yaitu dapat berupa pendidikan, prestasi,

pekerjaan dan kemampuan wanita tersebut dalam mengurus rumah tangga,

mengurus suami, anak atau melakukan pekerjaan rumah lainnya. Pendapat

lain tentang bride price juga diungkapkan Osuna (2003) yang memandang

bride price sebagai biaya martabat seorang perempuan, bahkan ada yang

menganggap bride price sebagai biaya penukaran hak perempuan (Levy &

MacMillan, 2005).

Di sisi lain, Syarifuddin & Damayanti (2015) melihat uang panai pada

status ketentuannya dalam sebuah perkawinan. Meskipun uang panai

bukan syarat wajib dalam pernikahan yang sesuai dengan syariat Islam,

tetapi uang panai merupakan kewajiban menurut adat masyarakat

setempat. Di balik ketentuan wajib tersebut, setidaknya ada tiga makna

yang terkandung dalam uang panai berdasarkan unsur-unsurnya. Pertama,

uang panai merupakan rukun perkawinan di kalangan masyarakat adat dari

sisi kedudukannya. Kedua, dari sisi fungsinya, uang panai merupakan

hadiah bagi pihak mempelai wanita untuk membiayai resepsi pernikahan

dan bekal kehidupan setelah acara pernikahan yang sudah berlaku turun-

temurun mengikuti adat istiadat. Ketiga, dari sisi tujuannya, uang panai

merupakan tanda prestige atau kehormatan bagi pihak keluarga

perempuan jika nominal uang panai disanggupi oleh calon mempelai pria.

Pembahasan tentang penentuan pisuke menarik perhatian peneliti

untuk dijejaki lebih lanjut sebab melimpahnya kajian akuntansi dalam tradisi

di Lombok berbasis sosiokultural atau dengan pendekatan penelitian


12

tertentu akan meluaskan sudut pandang masyarakat dan akademisi tentang

makna mahar dan pisuke yang terjadi di balik fenomena sosial tersebut.

Adanya pemaknaan yang luas tentang pisuke baik secara sosiokultural

maupun dalam perspektif akuntansi pada akhirnya akan mengurangi

masalah yang timbul pranikah bahkan pasca nikah dalam pernikahan adat

di Desa Kateng, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah

akibat penentuan harga mahar dan pisuke. Pada akhirnya dari hasil

penelitian ini diharapkan akan menyadarkan kita akan adanya praktik

penentuan harga yang dibungkus rapi dalam tradisi mahar dan pisuke.

Penelitian ini sekaligus dapat berkontribusi terhadap pengembangan

disiplin ilmu Akuntansi, terkhusus kepada Akuntansi Budaya yang saat ini

mulai banyak ditekuni oleh peneliti bidang Akuntansi non-positivisme.

Selain itu, pemahaman masyarakat Lombok dalam tradisi penetapan harga

mahar dan pisuke menciptakan cara pandang yang berbeda dalam

memaknai penetapan harga yang dibayarkan, karena di dalamnya

mengandung beberapa unsur objective value atau intrinsic value. Artinya,

sesuai dengan akuntansi konvensional, harga merupakan suatu interaksi

masyarakat antara penjual dan konsumen (Ebere, Malinowski, & Zuryani,

2016,. Hardestyet al., 2012). Tetapi fenomena yang terjadi, mahar dan

pisuke memiliki proses penetapan harga yang berbeda dengan proses

penetapan harga dalam akuntansi karena terdapat berbagai unsur-unsur

yang tidak dapat di nilai dengan angka.


13

Di samping itu, sepengetahuan peneliti dalam melakukan observasi

pra-penelitian, minat akademik untuk menulis dan meneliti tentang

Akuntansi Budaya terkhusus terkait mahar dan pisuke masih kurang.

Dengan demikian, peneliti mengangkat judul “Analisa Praktik Penetapan

Harga Mahar dan Pisuke Di Lombok (Studi di Desa Kateng, Kecamatan

Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah.)” sebagai judul penelitian ini.

Penelitian ini didesain dengan menggunakan metode kualitatif melalui

pendekatan etnografi untuk mengetahui pemaknaan secara lebih

mendalam bagi masyarakat terhadap tradisi mahar dan pisuke dan praktik

penetapan harga yang terselubung di baliknya. Etnografi tidak terlepas dari

perkembangan kebudayaan yang di dalamnya terdapat proses melibatkan

kelompok, orang-orang, lembaga dan masyarakat (Mulyana, 2001).

Etnografi membangun teori kebudayaan atau penjelasan tentang

bagaimana seseorang berpikir, percaya dan melahirkan perilaku yang

disituasikan sesuai dengan ruang dan waktu di mana budaya tersebut

berada.

1.2 Fokus Penelitian

Dalam pandangan masyarakat awam, akuntansi tidak jarang

dipandang sebagai tata cara pengelolaan keuangan dalam dunia usaha

maupun pemerintahan semata. Padahal akuntansi sebenarnya dapat

ditemukan dalam kehidupan sehari-hari bagi setiap orang, bahkan

berkaitan dengan hubungan antar masyarakat. Selain itu, kajian akuntansi


14

dengan pendekatan etnografis belum banyak dilakukan sehingga penulis

tertarik untuk mengembangkan studi-studi sebelumnya.

Secara khusus, tulisan ini menginterpretasi penentuan harga mahar

dan pisuke dalam pernikahan adat di Desa Kateng, Kecamatan Praya

Barat, Kabupaten Lombok Tengah. Peneliti juga mencari tahu alasan yang

mendasari penentuan harga mahar dan pisuke menurut perspektif

sosiokultural masyarakat di Lombok. Tulisan ini mencoba menelisik

kemungkinan praktik penetapan harga dalam perspektif akuntansi.

1.3 Rumusan Masalah Penelitian

Dari latar belakang dan fokus studi ini maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah “Bagaimana pemaknaan masyarakat lokal terhadap

praktik penetapan harga mahar dan pisuke di Lombok (Studi di Desa

Kateng, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah.)”

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah ada sebelumnya, maka

penelitian ini bertujuan mengungkap makna praktik penetapan harga mahar

dan pisuke terkait price setting, termasuk pihak yang terlibat sebagai price

setter dan price taker dalam proses penentuan harga mahar dan pisuke

oleh masyarakat di Lombok, terkhusus di Desa Kateng, Kecamatan Praya

Barat, Kabupaten Lombok Tengah dan menjabarkan praktik penetapan

harga yang terjadi dalam penentuan mahar dan pisuke.


15

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi baik

secara teoretis maupun praktis.

1. Secara teoretis

Penelitian ini diharapkan mampu menciptakan konsep baru dalam

ilmu akuntansi dengan menggunakan pendekatan etnografi. Penelitian

ini juga diharapkan dapat menjadi sumber acuan bagi insan akademis

yang ingin menambah wawasannya terkait salah satu fenomena sosial di

wilayah Lombok, yaitu harga mahar dan pisuke yang masih kurang

diminati untuk diteliti. Di samping itu, peneliti berharap bahwa hasil studi

ini dapat menjadi dasar bagi penelitian-penelitian selanjutnya baik yang

bersifat kualitatif maupun kuantitatif.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi tambahan bagi

kawula muda di wilayah Lombok beserta keluarganya yang akan

melangkah ke jenjang pernikahan. Tulisan ini kiranya dapat menjadi

bahan pertimbangan dalam proses penentuan harga mahar dan pisuke

yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan masalah bagi para calon

pengantin di Lombok.
16

DAFTAR PUSTAKA

Amaliah, T. H., & Sugianto. 2018. Konsep Harga Jual Betawian dalam Bingkai
Si Pitung. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Jilid 9, No.1, 20–37.
(https://doi.org/10.18202/jamal.2018.04.9002, diakses 24 Februari 2021).
Andani, N. 2017. Akuntansi Pernikahan Muslim Bali (Studi Etnografi di
Kampung Lebah). Tesis. Malang: Universitas Brawijaya.
Auer, R. A., Chaney, T., & Sauré, P. (2018). Quality Pricing to Market. Journal
of International Economics, 110, 87-102.(https:// doi.org /10.1016 / j.jinteco
.2017. 11.003, diakses 15 Februari 2021).
Dharmesta & Irawan. 2005. Manajemen Pemasaran Modern. Edisi Kedua.
Yogyakarta: Liberty.
Ellström, D., & Larsson, M. H. 2017. “Dynamic and Static Pricing in Open Book
Accounting”. Qualitative Research in Accounting & Management, 14 (1),
pp 21-37. (https:// doi.org / 10.1108 / QRAM0920150071, diakses 1 Maret
2021).
Fatihi, Kafaah Dalam Perkawinan Masyarakat Bangsawan Sasak di Kecamatan
Praya Barat, Tesis PPs. UIN Mataram 2017, 45.
Goody, J. & Tambiah, S. 1973. Bridewealth and Dowry. Cambridge University
Press. Cambridge
Hardesty, D. M., Bearden, W. O., Haws, K. L., & Kidwell, B. (2012). “Enhancing
Perceptions of Price–Value Associated with Price Matching Guarantees”.
Journal of Business Research, 65 (8), pp 1096 – 1101. (https:// doi. Org /
10. 1016 /j . jbus - res. 2011. 08. 024, diakses 3 Maret 2021).
Ikbal, M. 2016. “Uang Panaik” dalam Perkawinan Adat Suku Bugis Makassar.
ALHUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law, 6(1).
Jeacle, I. 2009. “Accounting and Everyday Life: Towards A Cultural Context for
Accounting Research”. Qualitative Research in Accounting and
Management, 6(3).
Lalu Lukman, Tata Budaya Adat Suku Sasak di Lombok, cet ke- 1 (Jakarta:
Kuning Mas, 2006). 20
17

Macdonald-levy, M. dan MacMillan, S. 2005. Funerals, Thefts and Bride Price:


Livestock Loss Leads to Poverty. Kenya: ILRI.
Malinowski, A. B. 2016. Wiley. Royal Economic Society, 31(121), pp 1–16.\
Manan, A. 2014. Akuntansi dalam Perspektif Budaya Jawa : Sebuah Study
Etnografi pada Pedagang Keliling di Kota Semarang. Jurnal Ilmu
Manajemen dan Akuntansi Terapan, 5(1).
M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, (Malang: UIN Malang Press,
2008), 160
Mulyana, D. dan Solatun. 2008. Metoda Penelitian Komunikasi: Contoh-contoh
Penelitian Kualitatif dengan Pendekatan Praktis. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mulyana, D. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu.
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Osuna, M. 2003. “The Mifumi Project Domestic Violence and Bride Price
Referendum Project Baseline Survey Report: Attitudes to Bride price and
its links to domestic violence and human rights abuse”. Tororo District.
Mifumi. Uganda
Raissi, M., & Tulin, V. 2018. Price and Income Elasticity of Indian Exports The
Role of Supply-Side Bottlenecks. The Quarterly Review of Economics and
Finance, 68, pp 39-45. (https://doi.org/10.1016/j.qref.2017.11.003, diakses
22 Februari 2021).
Ramadan, S., Syahrir, A., & Fitriani. 2017. The Phenomenon of Doiq Balaja' in
Wedding Bugis Makassar : A Perspective of Culture and Religion. Jurnal
disajikan dalam International Conference on Sustainable Development
Goals of United Nations (ICSUN), 152-166, Yayasan Pemberdayaan
Masyarakat Indonesia Cerdas, Makassar.
Reusen, E., & Stouthuysen, K. 2017. “Misaligned Control: The Role of
Management Control System Imitation in Supply Chains”. Accounting,
Organizations and Society, 61, pp 22–35. (https:// doi.org / 10.1016 / J.
AOS. 2017. 08. 001, diakses 22 Februari 2021).
18

Rusman, (Ketua Adat Narmada & Penyuluh Agama Islam KUA Kecamatan
Narmada) wawancara tanggal 20 Januari 2021.
Sari, H. 2019. Uang Panai’; Fenomena Pernikahan Adat Bugis (Dulu dan Kini).
Palopo: Lembaga Penerbitan dan Publikasi Ilmiah Universitas
Muhammadiyah Palopo.
Syarifuddin & Damayanti, R.A. 2015. Story of Bride Price: Sebuah Kritik atas
Fenomena Uang Panaik Suku Makassar. Jurnal Akuntansi
Multiparadigma.
Sylvia. 2014. Membawakan Cinta Untuk Akuntansi. Jurnal Akuntansi
Multiparadigma, 5 (1), 139-148.
Side, S., Ihsan, H., & Kadir, A. 2019. Penerapan Logika Matematika Terhadap
Permasalahan Sosial Uang Panai’ di Masyarakat Bugis-Makassar. Journal
of Mathematics, Computations, and Statistics, 2 (1), 40 – 46.
Sudaryono. 2016. Manajemen Pemasaran Teori & Implementasi. Yogyakarta:
CV. Andi Offset.
Sunyoto, Danang. 2014. Dasar-dasar Manajemen Pemasaran. Bandung:
Mandar Maju Bandung.
Yansa, H. & Yayuk, B. 2016. Uang Panai’ dan Status Sosial Perempuan dalam
Perspektif Budaya Siri’ pada Perkawinan Suku Bugis Makassar Sulawesi
Selatan. Jurnal PENA, 3(2).
Zuryani, N. 2016. Sikap Kaum Muda Perantau Asal Manggarai di Bali terhadap
Praktek Belis Kekinian. Jurnal FISIP Universitas Udayana, 6, hal 1– 13.

Anda mungkin juga menyukai