Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH MANAJEMEN PENGENDALIAN VEKTOR

PENYAKIT YANG DITULARKAN OLEH LALAT


“TYPHOID FEVER”

DISUSUN OLEH :
BALQIS MUTIARA RIZKY FADILLA
IIN HARDIANTI
JUHEMI

LILIS MEYRINDA
RIZAL APRIANSYAH

DOSEN MATA KULIAH :

FERA MELIYANTI, SKM. M.Kes.

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALMAARIF BATURAJA


PROGRAM STUDI S-1 KESEHATAN MASYARAKAT
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
karuniaNya, makalah ini dapat disusun. Makalah ini disusun untuk memberikan gambaran dan
panduan kepada mahasiswa sebagai dasar mempelajari keilmuan sehingga mahasiswa dapat
memahami serta menerapkannya. Makalah ini diharapkan dapat menjadi acuan belajar bagi
mahasiswa dalam mencapai kompetensi pelaksanaan mata kuliah. Makalah ini tentunya masih
banyak memiliki kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan masukan yang
positif demi perbaikan makalah ini. Besar harapan kami makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi pembacanya.

Baturaja, 10 Maret 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................................4
1.1. Latar Belakang...............................................................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah..........................................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................5
2.1. Pengertian Typhoid Fever..............................................................................................................5
2.2. Etiologi.............................................................................................................................................6
2.3. Patofisiologi.....................................................................................................................................6
2.4. Manifestasi Klinis...........................................................................................................................7
2.5. Komplikasi......................................................................................................................................8
2.6. Pemeriksaan Diagnostik.................................................................................................................8
2.7. Pengobatan Demam Typhoid.......................................................................................................10
BAB III.....................................................................................................................................................13
PENUTUP................................................................................................................................................13
3.1. Kesimpulan...................................................................................................................................13
3.2. Saran..............................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................14

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2018, diperkirakan 11-20
juta orang sakit karena tifoid dan terdapat 128.000- 161.000 orang meninggal setiap tahunnya. Di
Sumatera Utara kasus demam tifoid pada tahun 2009 dilaporkan sebesar 0,2-3,3% dan persentase
tertinggi dilaporkan dari Nias Selatan (3,3%). Sedangkan persentase untuk kota Medan sebesar
0,4%. Dilihat dari aspek pekerjaan, persentase tertinggi tifoid dijumpai pada kelompok
buruh/nelayan/petani (9,6%) dan tidak kerja (9,3%). Begitu halnya dengan tempat pengelolaan
makanan (TPM) yang memenuhi syarat kesehatan pada tahun 2015 sebanyak 17.789 buah
(65,10%) sedangkan pada tahun 20016 sebanyak 18.908 buah (64,47%). Dengan demikian
terlihat adanya penurunan 0,6% TPM yang memenuhi syarat kesehatan dari tahun 20015-2016.
Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) Tahun 2015 mengalami peurunan (2,51%) dari tahun
2014. Namun pada tahun 2016 mengalami peningkatan kembali (2,71%). Dalam hal pencegahan
tertular demam tifoid pada anak, sangat dibutuhkan partisipasi orang tua dalam menjaga perilaku
dan kebiasaan anak terkait dengan faktor resiko untuk terjangkit demam tifoid tersebut.

Teori pembelajaran sosial menunjukkan bahwa perilaku orang tua menjadi contoh bagi
anak mereka sehingga mereka mengaplikasikannya ke dalam pola yang sama dengan perilaku
kesehatan yang diturunkan kepada mereka. Jajan sembarangan juga dapat menjadi salah satu
penyebab kejadian demam tifoid. Jajanan sekolah merupakan masalah yang perlu menjadi
perhatian masyarakat khususnya orangtua, pendidik dan pengelola sekolah karena jajanan
sekolah sangat beresiko terhadap cemaran biologis atau kimiawi yang banyak mengganggu
kesehatan, baik jangka pendek maupun jangka panjang pada anak sekolah.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa itu demam typhoid?

2. Apa saja gejala, faktor resiko, cara penularan, pencegahan, dan pengobatannya?

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Typhoid Fever


Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica
serovar typhi (S typhi). Salmonella enterica serovar paratyphi A, B, dan C juga dapat
menyebabkan infeksi yang disebut demam paratifoid. Demam tifoid dan paratifoid termasuk ke
dalam demam enterik. Pada daerah endemik, sekitar 90% dari demam enterik adalah demam
tifoid (Linson, 2012). Penyakit sistemik yang bersifat akut atau dapat disebut demam tifoid,
mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang bervariasi dari ringan berupa demam, lemas
serta batuk yang ringan sampai dengan gejala berat seperti gangguan gastrointestinal sampai
dengan gejala komplikasi (Sucipta, 2015). Salmonella typhi dapat hidup baik sekali pada suhu
tubuh manusia maupun suhu yang lebih rendah sedikit serta mati pada suhu 70°C maupun oleh
antiseptik. Sampai saat ini diketahui bahwa kuman ini hanya menyerang manusia (Rampengan
dan Laurentz, 1993). Pada demam typhoid suhu tubuh semakin lama kian meninggi, diikuti
penurunan kesadaran, bibir dan lidah kering serta menurunnya tekanan darah. Pada
penurunannya terjadi secara cepat dan mendadak perlu diwaspadai sebagai penanda terjadinya
pendarahan atau perforasi (usus berlubang). Bila tidak ada komplikasi, umumnya di minggu
ketiga mulai terjadi proses penyembuhan (Ganiswara,1995).

Demam typhoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus. Demam
paratifoid biasanya lebih ringan dan menunjukkan manifestasi klinik yang sama atau
menyebabkan enteritis akut (Juwono dan Prayitno, 2004). Penyebabnya adalah kuman
Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi A, B dan C, selain demam enterik kuman ini dapat
juga menyebabkan gastroenteritis (keracunan makanan) dan septikemia (tidak menyerang usus)
(Rasmilah, 2001). Proses timbulnya demam typhoid berawal dari kuman yang masuk lewat
rongga mulut menuju ke lambung, suatu tempat dimana terdapat mekanisme pertahanan tubuh
yang berfungsi mematikan kuman. Sekalipun lambung mampu mematikan kuman tapi ternyata
masih ada sebagian kuman yang lolos, kuman yang lolos inilah yang kemudian masuk dan
menempel di usus halus. Didalam usus biasanya disebut sebagai ileum terminalis, kemampuan

5
berkembang biak, lalu menyebar kemana-mana diantaranya menuju sel-sel usus, kelenjar dan
saluran getah bening, pembuluh darah bahkan bisa mencapai otak (Juwono dan Prayitno, 2004).

2.2. Etiologi
Demam tifoid (tifus abdominalis) atau lebih populer dengan nama tifus di kalangan
masyarakat adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Salmonela typhi yang
menyerang saluran pencernaan. Kuman ini masuk ke dalam tubuh melalui makanan atau
minuman yang tercemar, baik saat memasak ataupun melalui tangan dan alat masak yang kurang
bersih. Selanjutnya, kuman itu diserap oleh usus halus yang masuk bersama makanan, lantas
menyebar ke semua organ tubuh, terutama hati dan limpa, yang berakibat terjadinya
pembengkakan dan nyeri. Setalah berada di dalam usus, kuman tersebut terus menyebar ke
dalam peredaran darah dan kelenjar limfe, terutama usus halus. Dalam dinding usus inilah,
kuman itu membuat luka atau tukak berbentuk lonjong. Tukak tersebut bisa menimbulkan
pendarahan atau robekan yang mengakibatkan penyebaran infeksi ke dalam rongga perut. Jika
kondisinya sangat parah, maka harus dilakukan operasi untuk mengobatinya. Bahkan, tidak
sedikit yang berakibat fatal hingga berujung kematian. Selain itu, kuman Salmonela Typhi yang
masuk ke dalam tubuh juga mengeluarkan toksin (racun) yang dapat menimbulkan gejala demam
pada anak. Itulah sebabnya, penyakit ini disebut juga demam tifoid (Fida & Maya, 2012).

2.3. Patofisiologi
Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui beberapa
tahapan. Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut dapat bertahan terhadap asam
lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis. Bakteri melekat
pada mikrovili di usus, kemudian melalui barier usus yang melibatkan mekanisme membrane
ruffling, actin rearrangement, dan internalisasi dalam vakuola intraseluler. Kemudian Salmonella
typhi menyebar ke sistem limfoid mesenterika dan masuk ke dalam pembuluh darah melalui
sistem limfatik. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya tidak didapatkan gejala
dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang negatif. Periode inkubasi ini terjadi
selama 7-14 hari.

Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan berkolonisasi
dalam organ-organ sistem retikuloendotelial, yakni di hati, limpa, dan sumsum tulang. Kuman
juga dapat melakukan replikasi dalam makrofag. Setelah periode replikasi, kuman akan

6
disebarkan kembali ke dalam sistem peredaran darah dan menyebabkan bakteremia sekunder
sekaligus menandai berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia sekunder menimbulkan gejala
klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri abdomen. Bakteremia dapat menetap selama
beberapa minggu bila tidak diobati dengan antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di
hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyer’s patches di mukosa ileum terminal.
Ulserasi pada Peyer’s patches dapat terjadi melalui proses inflamasi yang mengakibatkan
nekrosis dan iskemia. Komplikasi perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul ulserasi.
Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ system
retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali. Menetapnya Salmonella
dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai pembawa kuman atau carrier (Linson et al., 2012)

2.4. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis demam tifoid pada anak sering kali tidak khas dan sangat bervariasi
yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan
sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah
disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi,
gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus
atau perdarahan.

Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja. Demam
merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita demam tifoid.
Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang
menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada S. typhi.
Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah
endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria. Namun demikian demam
tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang
menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S. typhi juga dapat
menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang
mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak
dapat dibedakan dengan apendisitis.

Pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus (Risky Vitria
Prasetyo, 2009). Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan

7
dengan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari, yang tersingkat 4 hari jika infeksi
terjadi melalui makanan, sedangkan yang terlama sampai 30 hari jika infeksi melalui minuman.
Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodormal, yaitu tidak enak badan, lesu, nyeri
kepala, pusing dan tidak bersemangat (Putra et al., 2012).

2.5. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada demam tifoid adalah perdarahan usus dan perforasi.
Perdarahan usus dan perforasi merupakan komplikasi serius dan perlu diwaspadai. Sekitar 5
persen penderita demam tifoid mengalami komplikasi ini. Komplikasi lain yang lebih jarang
antara lain pembengkakan dan peradangan pada otot jantung (miokarditis), pneumonia,
peradangan pankreas (pankreatitis), infeksi ginjal atau kandung kemih, infeksi dan
pembengkakan selaput otak (meningitis), serta timbulnya masalah psikiatri seperti mengigau,
halusinasi, dan paranoid psikosis (Tjipto et al., 2009).

2.6. Pemeriksaan Diagnostik


Diagnosis dini demam tifoid dan pemberian terapi yang tepat bermanfaat untuk
mendapatkan hasil yang cepat dan optimal sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi.
Pengetahuan mengenai gambaran klinis penyakit sangat penting untuk membantu mendeteksi
dini penyakit ini. Pada kasus-kasus tertentu, dibutuhkan pemeriksaan tambahan dari laboratorium
untuk membantu menegakkan diagnosis. Gambaran darah tepi pada permulaan penyakit dapat
berbeda dengan pemeriksaan pada keadaan penyakit yang lanjut. Pada permulaan penyakit, dapat
dijumpai pergeseran hitung jenis sel darah putih ke kiri, sedangkan pada stadium lanjut terjadi
pergeseran darah tepi ke kanan (limfositosis relatif ).

Ciri lain yang sering ditemukan pada gambaran darah tepi adalah aneosinofi lia
(menghilangnya eosinofi l). Diagnosis pasti demam tifoid berdasarkan pemeriksaan laboratorium
didasarkan pada 3 prinsip, yaitu: Isolasi bakteri,deteksi antigen mikroba dan titrasi antibodi
terhadap organisme penyebab.

Kultur darah merupakan gold standard metode diagnostik dan hasilnya positif pada 60-
80% dari pasien, bila darah yang tersedia cukup (darah yang diperlukan 15 mL untuk pasien
dewasa). Untuk daerah endemik dimana sering terjadi penggunaan antibiotik yang tinggi,
sensitivitas kultur darah rendah (hanya 10-20% kuman saja yang terdeteksi).

8
Peran pemeriksaan Widal (untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen Salmonella typhi)
masih kontroversial. Biasanya antibodi antigen O dijumpai pada hari 6-8 dan antibodi terhadap
antigen H dijumpai pada hari 10-12 setelah sakit. Pada orang yang telah sembuh, antibodi O
masih tetap dapat dijumpai setelah 4-6 bulan dan antibodi H setelah 10-12 bulan. Karena itu,
Widal bukanlah pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan penyakit. Diagnosis didasarkan
atas kenaikan titer sebanyak 4 kali pada dua pengambilan berselang beberapa hari atau bila klinis
disertai hasil pemeriksaan titer Widal di atas rata-rata titer orang sehat setempat.

Pemeriksaan Tubex dapat mendeteksi antibodi IgM. Hasil pemeriksaan yang positif
menunjukkan adanya infeksi terhadap Salmonella. Antigen yang dipakai pada pemeriksaan ini
adalah O9 dan hanya dijumpai pada Salmonella serogroup D. Pemeriksaan lain adalah dengan
Typhidot yang dapat mendeteksi IgM dan IgG. Terdeteksinya IgM menunjukkan fase akut
demam tifoid, sedangkan terdeteksinya IgG dan IgM menunjukkan demam tifoid akut pada fase
pertengahan. Antibodi IgG dapat menetap selama 2 tahun setelah infeksi, oleh karena itu, tidak
dapat untuk membedakan antara kasus akut dan kasus dalam masa penyembuhan (Linson et al.,
2012).

Diagnosis pasti demam typhoid dapat ditegakkan apabila ditemukan kuman dalam darah,
sumsum tulang, tinja atau air kemih. Diagnosis pada anak diatas usia 5 tahun, gejala serta tanda
klinis demam typhoid hampir menyerupai penderita dewasa seperti, demam selama 1 minggu
atau lebih, pembesaran limpa, hati, dapat disertai diare maupun konstipasi (Rampengan dan
Laurentz, 1993). Untuk memastikan diagnosis dibutuhkan pemeriksaan laboratorium, meliputi:

a) Kultur Darah

Cara yang digunakan untuk menentukan diagnosis definitif demam typhoid adalah biakan darah.
Organisme dapat ditemukan dengan kultur darah dalam 70 sampai 90 persen selama minggu
pertama sakit demam typhoid (Guerrant, 1991). Hasil biakan darah yang positif memastikan
demam typhoid, tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam typhoid, karena mungkin
disebabkan karna banyak hal, seperti: telah mendapat terapi antibiotik, volume darah yang
kurang, vaksinasi dan saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin
semakin meningkat (Widodo, 1996).

b) Pemeriksaan Darah

9
Perifer Pemeriksaan darah perifer terdapat gambaran leukositosis, leukopenia, anemia,
aneosinofilia atau limfosit relatif (Nursalam, 2005). Leukopenia 3000 sampai 4000 sel per
milimeter kubik menandai fase demam pada demam typhoid. Kenaikan mendadak leukosit
sampai 10.000 sel per milimeter kubik atau lebih, menggambarkan kemungkinan perforasi usus,
perdarahan, atau komplikasi piogenik. Anemia normokrom normositik berkembang selama
perjalanan penyakit demam typhoid dan diperburuk oleh kehilangan darah melalui lesi usus.
Darah samar dan leukositosis mononuklear di dalam fases lazim terdapat sejak minggu kedua
penyakit demam typhoid (Guerrant, 1991).

c) Pemeriksaan Serologi

Uji Widal merupakan uji aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang
spesifik terhadap salmonella terdapat dalam serum pasien demam typhoid, juga terdapat pada
orang yang pernah ketularan salmonella dan orang yang pernah divaksinasi terhadap demam
typhoid. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum pasien yang
disangka mendeita demam typhoid (Juwono dan Prayitno, 2004).

2.7. Pengobatan Demam Typhoid


Pengobatan demam typhoid yang secara garis besar ada 3 bagian, yaitu perawatan, diet
dan obat.

1) Perawatan

Penderita demam typhoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, obsevasi serta pengobatan
(Rempengan dan Laurenz, 1993). Lama perawatan (Length of stay) demam typhoid sangat
tergantung dari tingkat keparahan penyakitnya, ketaatan dan kedisiplinan pasien pada minum
obat serta diet makanan. Pada umumnya lama perawatan demam typhoid adalah 7 hari, pasien
dipulangkan setelah 10 hari bebas panas. Lama perawatan yang terlalu cepat dikhawatirkan dapat
meningkatkan resiko terjadinya komplikasi dan kekambuhan kembali (Hadisapoetro,1990).

2) Diet

Dengan diet optimal keadaan umum dapat membantu mempercepat penyembuhan atau
meniadakan kemungkinan terjadinya penyakit (Sabdoadi, 1991). Beberapa peneliti
menganjurkan makanan padat dini yang wajar sesuai dengan keadaan penderita dengan

10
memperhatikan segi kualitas dan kuantitas. Kualitas makanan disesuaikan kebutuhan baik kalori,
protein, elektrolit, vitamin maupun mineralnya serta diusahakan makan yang rendah atau bebas
selulose, menghindari makanan yang sifatnya iritatif. Pada penderita dengan gangguan kesadaran
maka pemasukan makanan lebih diperhatikan perawatan. Pemberian makanan padat dini banyak
memberikan keuntungan seperti dapat menekan turunnya berat badan selama perawatan, masa
dirumah sakit dapat diperpendek, dapat menekan penurunan kadar albumin dalam serum, dapat
mengurangi kemungkinan kejadian infeksi lain selama perawatan (Rampengan dan Laurentz,
1993).

3) Obat

Demam typhoid merupakan penyakit infeksi dengan angka kematian yang tinggi sebelum adanya
obat-obatan antimikroba (10-15%), tetapi sejak adanya obat antimikroba terutama kloramfenikol
maka angka kematian menurun secara drastis (1-4%) (Rampengan dan Laurent, 1993). Obat-obat
antimikroba yang sering digunakan antara lain ialah kloramfenikol, tiamfenikol, kotrimoksazol,
ampiclin dan amoksisilin, flouroquinolon (Juwono dan Prayitno, 2004). Golongan
fluoroquinolon (ofloxasin dan ciprofloxasin) adalah antibiotik pilihan pertama untuk pengobatan
demam typhoid untuk orang dewasa, karena relatif murah, lebih toleran dan lebih cepat
menyembuhkan. Golongan flouroquinolon seperti (fleroxacin, perfloxacin) efektif untuk
pengobatan demam typhoid, tetapi tidak pada nofloxacin karena bioaviabilitas oral rendah
sehingga tidak cocok untuk demam typhoid. Golongan fluroquinolon secara umum digunakan,
beberapa negara terjadi kontraindikasi bila diberikan pada anak-anak karena dapat mengganggu
pertumbuhan tulang rawan anak (WHO, 2003).

Pemberian antibiotik untuk memusnahkan dan menghentikan penyebaran kuman. Antibiotik


yang digunakan yaitu:

a) Flouroquinolon

Flouroquinolon (Ofloxasin, Ciprofloxasin) efektif untuk demam typhoid (Juwono, 2004).


Indikasi ciprofloxasin yaitu sebagai infeksi Gram positif (Streptococus pneumoniae dan
Enterococcus faccalis) dan Gram negatif (salmonella, shigella, kompilobakter, neisseria dan
psoudomonas). Ciprofloxasin dapat digunakan untuk mengatasi sistem saluran cerna (termasuk
demam typhoid). Dosis siprofloxasin 500-750 mg peroral dan IV 200-400mg 2x sehari dengan

11
lama pemberian selama 5-7 hari. Efek samping dari ciprofloxasin yaitu nausea vomiting, diare,
hyperglikemia dan abdominal pain. Dosis ofloxasin 200- 400mg peroral dan IV 2x sehari (BNF,
2007).

b) Kloramfenikol

Kloramfenikol dicadangkan untuk penanganan infeksi yang mengancam jiwa, terutama demam
typhoid. Kloramfenikol kontraindikasi untuk wanita hamil, menyusui dan porfiria (WHO, 2003).
Kloramfenikol dapat menurunkan demam lebih cepat dibandingkan ampicilin dan amoksisilin.
Dosis untuk orang dewasa 50-75 mg/kgbb sehari oral sampai 14-21 hari, dengan efek samping
reaksi hipersensitivitas, mual muntah, diare dan sakit kepala (BNF, 2007). Dengan penggunaan
kloramfenikol, demam pada demam typhoid turun rata-rata setelah 5 hari (Juwono dan Prayitno,
2004).

c) Ko-trimoksazol (kombinasi Trimetroprim dan sulfametoksazol)

Kotrimoksazol efektif untuk carrier S. typhi dan Salmonela spesies lain. Dosis untuk orang
dewasa 480-960 mg iv dan peroral tiap 12 jam. Ko-trimoksazol mengandung 400 mg
sulfametoksazol dan 80 mg trimetroprim). Efek sampingnya yaitu mual, diare, sakit kepala dan
hyperkalemia (BNF, 2007).

d) Ampicilin dan Amoksisilin

Dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam, efektivitas ampicilin dan amoksisilin
lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis untuk ampicilin 0,25-1g 4x sehari sehari
secara oral dan iv 500mg 4-6 jam sehari. Dosis utuk amoksisilin 250 mg setiap 8 jam peroral dan
500mg setiap 8jam untuk iv. Digunakan sampai 14 hari bebas demam. Efek sampingnya yaitu
diare, nausea dan vomiting (BNF, 2007). Dengan ampicilin dan amoksisilin demam pada demam
typhoid turun rata-rata setelah 7-9 hari (Juwono dan Prayitno, 2004).

e) Sefalosporin generasi ke-3

Sefalosporin generasi ketiga (misalnya, ceftriaxone, cefixime, cefotaxime, dan sefoperazone) dan
azitromisin juga efektif untuk pengobatan typhoid (Martin and Rose, 2005). Dosis ceftriaxone 1g
perhari, cefixim dosis dewasa yang dianjurkan adalah 15-20 mg/KgBB secara oral, dosis injeksi

12
200-400mg/hari. Dosis cefotaxim 1g 2x sehari iv (BNF, 2007). Kontraindikasi jaundice,
acidosis, hipoalbuminemia dan hipersensitifitas sefalosporin.

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica
serovar typhi, while demam paratifoid termasuk ke dalam demam enterik. Salmonella typhi
dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia, diikuti penurunan kesadaran, bibir dan lidah
kering serta menurunnya tekanan darah. Penurunannya terjadi secara cepat dan mendadak perlu
diwaspadai sebagai penanda terjadinya pendarahan atau perforasi.Demam tifoid (tifus
abdominalis) atau lebih populer dengan nama tifus di kalangan masyarakat adalah penyakit
infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Salmonela typhi yang menyerang saluran pencernaan.
Kuman ini masuk ke dalam tubuh melalui makanan atau minuman yang tercemar, baik saat
memasak ataupun melalui tangan dan alat masak yang kurang bersih. Kuman itu diserap oleh
usus halus yang masuk bersama makanan, lantas menyebar ke semua organ tubuh, terutama hati
dan limpa, yang berakibat terjadinya pembengkakan dan nyeri. Kuman Salmonela Typhi juga
mengeluarkan toksin (racun) yang dapat menimbulkan gejala demam pada anak.

Komplikasi tifus abdominalis yang paling sering terjadi adalah komplikasi intestinal yaitu
perdarahan usus dan perforasi usus. Relaps adalah kekambuhan yang biasanya terjadi akibat
pengobatan tifoid dengan antibiotik kloramfenikol. Komplikasi demam tifoid dapat dihindarkan
dengan cara meningkatkan derajat daya tahan tubuh pasien dan memberikan perawatan yang
sebaik-baiknya pada pasien demam tifoid.

3.2. Saran
 Mengadakan penyuluhan cara hidup sehat dan pencegahan penyakit demam tifoid kepada
masyarakat, terutama masyarakat dengan pendidikan yang kurang.
 Sebaiknya semua penderita tifoid dibawa ke Rumah Sakit untuk mendapat perawatan
yang sempurna.

13
 Sebaiknya penderita tifoid mendapat pengobatan sesuai dengan dosis dan ketentuan
pengobatan, untuk mencegah terjadinya komplikasi.

DAFTAR PUSTAKA

https://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Master-20373-BAB1.Image.Marked.pdf
http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/5336/3/BAB%20II%20Tinjauan%20Pustaka.pdf
http://eprints.ums.ac.id/16124/2/bab_1.pdf
https://quillbot.com/summarize
http://repository.maranatha.edu/16086/6/9710088_Conclusion.pdf

14

Anda mungkin juga menyukai