Ref Eriko 2
Ref Eriko 2
Oleh :
Dhiya Luthfiyyah Utami, S.Ked
NIM : 71 2021 068
Pembimbing :
dr. Asmar Dwi Agustine, Sp.OG
FAKULTAS KEDOKTERAN
2023
HALAMAN PENGESAHAN
Referat
Judul:
PERDARAHAN UTERUS ABNORMAL
Oleh:
Dhiya Luthfiyyah Utami, S.Ked
Telah dilaksanakan pada bulan Maret 2023 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Obstetri Dan Ginekologi
di RSUD Palembang Bari
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul “Perdarahan Uterus Abnormal”, sebagai salah satu syarat untuk
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW
beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang
telah diberikan dan semoga refferat ini dapat bermanfaat bagi semua.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
2.2.1 Definisi………………………………………………….....6
2.2.2 Epidemiologi……………………………………………....6
2.2.5 Diagnosis…………………………………………………..12
2.2.6 Tatalaksana……………………………………………….. 15
2.2.7 Komplikasi………………………………………………...20
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.1 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah:
1. Mengetahui definisi, klasifikasi, Etiologi, manifestasi klinis, dan
penatalaksanaan Perdarahan Uterus Abnormal.
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.
3. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS)
di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang dan Rumah Sakit Umum Daerah Palembang
BARI
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
ke hipofisis anterior, ginadotropin hipofisi memacu sintesis dan pelepasan FSH
dan LH. FSH adalah hormon glikoprotein yang memacu pematangan folikel
selama fase folikular dari siklus. FSH juga membantu LH memacu sekresi
hormon sterodi terutama estrogen oleh sel granulosa dari folikel matang. LH juga
termasuk glikoprotein. LH ikut dalam steroidogenesis dalam folikel dan berperan
penting dalam ovulasi yang tergantung pada mid cycle surge dari LH. Produksi
progesteron oleh korpus luteum juga dipengaruhi oleh LH. FSH dan LH dan dua
hormon glikoprotein lainnya yaitu thyroid stimulating hormon (TSH) dan human
chorionic gonadotropin (hCG) dibentuk oleh dua subunit protein rantai alfa dan
beta. Siklus haid terdiri dari dua siklus, yaitu siklus ovarium dan siklus
endometrium.5
1. Siklus ovarium terdiri dari beberapa fase: 5
a. Fase Folikular/ Preovulasi
Panjang fase folikuler mempunyai variasi yang cukup lebar. Pada
umumnya berkisar antara 10-14 hari. Selama fase ini didapatkan proses
steroidogenesis, folikulogenesis dan oogenesis/meiosis yang saling
terkait. Selama fase folikular, kadar estrogen meningkat pada
pertumbuhan yang paralel dari folikel yang dominan dan peningkatan
jumlah dari sel granulosa. Sel granulosa tempat ekslusif dari reseptor
FSH. Peningkatan sirkulasi FSH selama fase luteal dari siklus
sebelumnya merangsang peingkatan dari reseptor FSH dan kemampuan
untuk mengaromatisasi sel theka untuk derivat androstenedion menjadi
estradiol. FSH menginduksi enzim aromatase dan pelebaran antrum dari
folikel yang bertumbuh. Folikel dengan kelompok sangat berespon
terhadap FSH seperti untuk memproduksi dan mengawali tanda dari
reseptor LH. Setelah terlihat reseptor LH, sel granulosa preovulasi mulai
untuk mensekresi sejumlah progesteron. Sekresi preovulasi progesteron,
walaupun jumlahnya terbatas, dipercaya untuk mengirimkan feedback
positif pada estrogen utama hipofisis yang menyebabkan atau membantu
menambah pelepasan LH.
Selama fase folikuler lambat, LH menstimulasi produksi sel theka dari
androgen. Terutama androstenedion, yang kemudian dilanjutkan ke
4
folikel dimana mereka dimetabolisme menjadi estradiol. Selama fase
folikel awal, sel granulosa juga menghasilkan inhibin B, yang
menghambat pelepasan FSH. Karena folikel dominan mulai berkembang,
hasil dari estradiol dan inhibin meningkat, menghasilkan penurunan FSH.
Penurunan ini bertanggung jawab untuk kegagalan dari folikel lain untuk
mencapai preovulasi tingkat folikel the Graaf selama satu siklus. Jadi, 95
persen dari estradiol plasma diproduksi pada waktu itu disekresi oleh
folikel dominan, yang dipersiapkan untuk ovulasi.
b. Fase Ovulasi
Ovulasi merupakan peningkatan kadar estrogen yang menghambat
pengeluaran FSH, kemudian hipofise mengeluarkan LH (lutenizing
hormon). Peningkatan kadar LH merangsang pelepasan oosit sekunder
dari folikel. Folikel primer primitif berisi oosit yang tidak matur (sel
primordial). Sebelum ovulasi, satu sampai 30 folikel mulai matur
didalam ovarium dibawah pengaruh FSH dan estrogen. Lonjakan LH
sebelum terjadi ovulasi mempengaruhi folikel yang terpilih. Di dalam
folikel yang terpilih, oosit matur dan terjadi ovulasi, folikel yang kosong
memulai berformasi menjadi korpus luteum. Korpus luteum mencapai
puncak aktivitas fungsional 8 hari setelah ovulasi, dan mensekresi baik
hormon estrogen maupun progesteron.
c. Fase Luteal/Post-ovulasi
Setelah terjadi ovulasi, korpus luteum berkembang dari tetai dominan
atau folikel de Graff pada proses ini disebut sebagai lutenisasi. Ruptur
dari folikel mengawali berbagai perubahan morfologi dan kimiawi
mengakibatkan transformasi menjadi korpus luteum. Membran basalis
pemisah dari sel granulosa luteal dan theka luteal rusak, dan hari kedua
postovulasi, pembuluh darah dan kapiler menembus ke lapisan sel
granulosa. Neovaskularisasi yang cepat pada granulosa avaskuler
dikarenakan variasi dari faktor angiogenik meliputi faktor pertumbuhan
endotel vaskuler dan produksi lain pada respon terhadap LH oleh sel
theka lutein dan granulosa lutein. Selama luteinisasi, sel itu mengalami
hipertrofi dan meningkat kapasitas mereka untuk mensintesis hormon.
5
Pada wanita, masa hidup dari korpus luteum tegantung pada LH atau
Human Chorionic Gonadotropin (hCG). Pada siklus normal wanita,
korpus luteum dipertahankan oleh frekuensi rendah, amplitudo tinggi dari
sekresi LH oleh gonadotropin pada hipofisis anterior.
2.2.2 Epideomiologi
Prevalensi perdarahan uterus abnormal secara global pada wanita
usia reproduksi antara 3% hingga 30%. Insiden tertinggi pada usia
menarche dan perimenopause. Banyak penelitian hanya terbatas
pada perdarahan menstruasi berat (HMB), tetapi ketika perdarahan
tidak teratur dan intermenstrual dipertimbangkan, prevalensi
meningkat menjadi 35 % bahkan lebih besar. Banyak wanita tidak
berobat untuk keluhannya dan kompenen diagnosis bersifat
objektif sedangkan yang lain bersifat subjektif hal ini membuat
prevalensi yang tepat sulit ditentukan. 1
6
2.2.3.1 Berdasarkan Terminologi Gangguan Haid 4
a. Menoragia (Hipermenorea)
Perdarahan haid dengan jumlah darah lebih banyak dan/ atau
durasi lebih lama dari normal dengan siklus yang normal
teratur. Secara klinis menoragia didefinisikan dengan total
jumlah darah haid lebih dari 800 ml per siklus dan durasi haid
lebih lama dari 7 hari. Menoragia adalah bila ganti pembalut
lebih dari 6 kali perhari. WHO melaporkan 18 juta perempuan
usia 30-55 tahun mengalami haid yang berlebihan dari jumlah
tersebut 10% termasuk kategori menoragia. Penyebab
menoragia terletak pada kondisi dalam uterus, misalnya adanya
mioma uteri dengan permukaan endometrium lebih luas dari
biasa dan dengan kontraktilitas yang terganggu, polip
endometrium, gangguan pelepasan endometrium pada waktu
menstruasi (irregular endometrial shedding), dan sebagainya.
b. Hipomenorea
Perdarahan menstruasi yang lebih pendek dan atau lebih kurang
dari biasa. Penyebabnya dapat terletak pada konstitusi
penderita, pada uterus (misalnya sesudah miomektomi), pada
gangguan endokrin, dan lain-lain. Adanya hipomenorea tidak
mengganggu fertilitas.
c. Polimenorea
Siklus menstruasi yang lebih pendek dari biasa yaitu kurang
dari 21 hari. Perdarahan kurang lebih sama atau lebih banyak
dari menstruasi biasa. Hal ini disebut polimenoragia atau
epimenoragia. Polimenorea dapat disebabkan oleh gangguan
hormonal yang mengakibatkan gangguan ovulasi atau menjadi
pendeknya masa luteal. Penyebab lainnya adalah kongesti
ovarium karena peradangan, endometriosis, dan sebagainya.
7
d. Oligomenorea
Siklus menstruasi yang lebih panjang, lebih dari 35 hari.
Apabila panjangnya siklus lebih dari 3 bulan, hal tersebut
sudah dinamakan amenorea. Perdarahan pada oligomenorea
biasanya berkurang. Pada kebanyakan kasus oligomenorea,
kesehatan wanita tidak terganggu dan fertilitas cukup baik.
Siklus menstruasi biasanya juga ovulatoar dengan masa
proliferasi lebih panjang dari biasanya.
8
dan menstruasi juga penting. PUA pada peri-menopause atau
pascamenopause biasanya terjadi karena kelainan struktur, seperti
polip, adenomiosis, leiomioma, malignansi seperti kanker serviks,
kanker endometrial atau hiperplasia endometrium.2
a. Polip (PUA-P)
9
Polip adalah pertumbuhan endometrium berlebih yang bersifat lokal
mungkin tunggal atau ganda, berukuran mulai dari beberapa
milimeter sampai sentimeter. Polip biasanya bersifat asimptomatik,
tetapi dapat pula menyebabkan PUA. Lesi umumnya jinak, namun
sebagian kecil atipik atau ganas. Diagnosis polip ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan USG dan atau histeroskopi, dengan atau
tanpa hasil histopatologi. Histopatologi pertumbuhan eksesif lokal
dari kelenjar dan stroma endometrium yang memiliki vaskularisasi
dan dilapisi oleh epitel endometrium. 8
Polip endometrium terdiri dari kelenjar, stroma, dan pembuluh darah
endometrium. Tidak ada Penyebab pasti dari polip endometrium,
tetapi faktor hormone kemungkinan mempengaruhi dalam timbulnya
polip. Insiden polip meningkat seiring bertambahnya usia.
b. Adenomiosis (PUA-A)
Merupakan invasi endometrium ke dalam lapisan miometrium,
menyebabkan uterus membesar, difus, dan secara mikroskopik
tampak sebagai endometrium ektopik, non neoplastik, kelenjar
endometrium, dan stroma yang dikelilingi oleh jaringan miometrium
yang mengalami hipertrofi dan hiperplasia.3,8
e. Coagulopathy (PUA-C)
10
Terminologi koagulopati digunakan untuk merujuk kelainan
hemostasis sistemik yang mengakibatkan PUA. Tiga belas persen
perempuan dengan perdarahan haid banyak memiliki kelainan
hemostasis sistemik, dan paling sering ditemukan adalah penyakit
Von Willbrand.
g. Endometrial (PUA-E)
Pendarahan uterus abnormal yang terjadi pada perempuan dengan
siklus haid teratur akibat gangguan hemostasis lokal endometrium.
Adanya penurunan produksi factor yang terkait vasokontriksi seperti
endothelin-1 dan prostaglandin F2⍺ serta peninkatan aktivitas
fibrionolisis
Gejala lain kelompok ini adalah perdarahan tengah atau perdarahan
yang berlanjut akibat gangguan hemostasis local endometrium.
Diagnosis PUA-E ditegakkan setelah menyingkirkan gangguan lain
pada siklus haid yang berevolusi. 6
h. Iatrogenik (PUA-I)
Pendarahan uterus abnormal yang berhubungan dengan penggunaan
obat-obatan hormonal (estrogen, progestin) ataupun non hormonal
(obat-obat antikoagulan) atau AKDR. 3
11
Kelainan tersebut masih belum jelas kaitannya dengan kejadian
PUA.
2.2.5 Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk menilai kemungkinan adanya
faktor risiko kelainan tiroid, penambahan dan penurunan BB
yang drastis, serta riwayat kelainan hemostasis pada pasien dan
keluarganya. Perlu ditanyakan siklus haid sebelumnya serta waktu
mulai terjadinya perdarahan uterus abnormal.3,7
Prevalensi penyakit von Willebrand pada perempuan perdarahan
haid rata-rata meningkat 10% dibandingkan populasi normal. Karena
itu perlu dilakukan pertanyaan untuk mengidentifikasi penyakit von
Willebrand.
Pada perempuan pengguna pil kontrasepsi perlu ditanyakan tingkat
kepatuhannya dan obat-obat lain yang diperkirakan mengganggu
koagulasi.
Anamnesis terstruktur dapat digunakan sebagai penapis gangguan
hemostasis dengan sensitivitas 90%. Perlu dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut pada perempuan dengan hasil penapisan positif.
12
Tabel 2. Penapisan klinis pasien dengan perdarahan haid banyak karena kelainan
hemostatis.3,7
2. Pemeriksaan Umum
Pemeriksaan fisik pertama kali dilakukan untuk menilai stabilitas
keadaan hemodinamik.
Pastikan bahwa perdarahan berasal dari kanalis servikalis dan tidak
berhubungan dengan kehamilan.
Pemeriksaan indeks massa tubuh, tanda tanda hiperandrogen,
pembesaran kelenjar tiroid atau manifestasi hipotiroid/hipertiroid,
galaktorea (hiperprolaktinemia), gangguan lapang pandang
(adenoma hipofisis), purpura danekimosis wajib diperiksa.3,7
3. Pemeriksaan Ginekologi
Pemeriksaan ginekologi yang teliti perlu dilakukan termasuk
pemeriksaan pap smear dan harus disingkirkan pula kemungkinan
adanya mioma uteri, polip, hyperplasia endometrium atau
keganasan.3.7
13
hasil positif pada kelainan pembekuan darah sebaiknya dilakukan
pemeriksaan penyakit von Willebrand dan kelainan koagulopati
lainnya termasuk factor VIII, antigen faktor von Willebrand dan ak
pasien dengan tivitas kofaktor ristocetin von Willebrand. Pemeriksaan
kelainan tiroid, kelainan hati, sepsis atau leukemia diindikasikan bila
ditemukan gejala klinis.
Pada pasien dengan keluhan perdarahan yang dinilai dalam batas
normal, pemeriksaan hemoglobin telah cukup untuk mendeteksi
anemia. Pemeriksaan darah lengkap dengan hitung diferensiasi sel
darah putih dan platelet sebaiknya dilakukan pada yang anamnesis dan
pemeriksaan fisiknya mengarah pada HMB dan anemia. Pemeriksaan
cadangan besi seperti penilaian kadar ferritin dapat membantu menilai
terapi pengganti besi.
Jika kelainan perdarahan dicurigai sebaiknya dilakukan
pemeriksaan waktu protrombin dan waktu tromboplastin parsial
teraktivasi (PT dan APPT). karena pemeriksaan ini tidak selalu
memberikan nilai abnormal pada pasien dengan perdarahan sedang,
pemeriksaan tambahan dapat dilakukan untuk menapis penyakit von
Willebrand termasuk factor VIII, antigen factor von Willebrand
(VWF : Ag) dan aktivitas kofaktor ristocetin ( VWF:Rco). Nilai
VWF : Ag dan VWF : Rco dibawah 30 IU/dL memberikan diagnosis
pasti untuk penyakit von Willebrand. 11
2.2.6 Tatalaksana
1. Tatalaksana perdarahan uterus abnormal akut:12,13
a. Jika perdarahan aktif dan banyak disertai dengan gangguan
hemodinamik dan atau Hb< 10 g/dl perlu dilakukan rawat inap
b. Jika hemodinamik stabil, cukup rawat jalan
c. Pasien rawat inap, berikan infus cairan kristaloid, oksigen 2
liter/menit dan transfuse darah jika Hb < 7 g/dl, untuk perbaikan
hemodinamik
14
d. Stop perdarahan dengan estrogen ekuin kjonyugasi (EEK) 2-5 mg
per oral setiap 4-6 jam, ditambah prometasin 25 mg per oral atau
injeksi IM setiap 4-6 jam (untuk mengatasi mual). Asam
traneksamat 3x1 gr atau anti inflamasi nonsteroid 3x500 mg
diberikan bersama dengan EEK. Untuk pasien dirawat, dapat
dipasang balon kateter foley no 10 ke dalam uterus dan diisi cairan
kurang lebih 15 ml, dipertahankan 12-24 jam.
e. Jika perdarahan tidak berhenti dalam 12-24 jam lakukan dilatasi
dan kuretase.
f. Jika perdarahan berhenti dalam 24 jam, lanjutkan dengan
kontrasepsi oral kombinasi (KOK) 4x1 tablet perhari (4 hari), 3x1
tablet perhari (3 hari), 2x1 tablet perhari (2 hari) dan 1x 1 tablet (3
minggu) kemudian stop 1 minggu, dilanjutkan KOK siklik 3
minggu dengan jeda 1 minggi selama 3 siklus
g. Jika terdapat kontraindikasi KOK, berikan medroksi progesteron
asetat (MPA) 10 mg perhari (7 hari) siklik selama 3 bulan
h. Untuk riwayat perdarahan berulang sebelumnya injeksi
gonadotropin releasing hormone (GnRH) agonis dapat diberikan
bersamaan dengan pemberian KOK untuk stop perdarahan). GnRH
diberikan 2-3 siklus dengan interval 4 minggu.
i. Ketika hemodinamik pasien stabil, perlu upaya diagnostik untuk
mencari penyebab perdarahan. Lakukan pemeriksaan USG
transvaginal/ transrektal, periksa darah perifer lengkap (DPL)
hitung trombosit, prothrombin time (PT), activated partial
thromboplastin time (aPTT) dan thyroid stimulating hormone
(TSH). Saline Infused Sonohysterogram (SIS) dapat dilakukan jika
endometrium yang terlihat tebal, untuk melihat adanya polip
endometrium ataumioma submukosim. Jika terapi medika mentosa
tidak berhasil atau ada kelainan organik, maka dapatdilakukan
terapi pembedahan seperti ablasi endometrium, miomektomi,
polipektomi, histerektomi.
15
2. Tatalaksana perdarahan uterus abnormal kronik:12
a. Jika dari anamnesa yang terstruktur ditemukan bahwa pasien
mengalami satu ataulebih kondisi perdarahan yang lama dan tidak
dapat diramalkan dalam 3 bulanterakhir.
b. Pemeriksaan fisik berikut dengan evaluasi rahim, pemeriksaan darah
perifer lengkap wajib dilakukan.
c. Pastikan fungsi ovulasi dari pasien tersebut
d. Tanyakan pada pasien adakah penggunaan obat tertentu yang dapat
memicu PUA danlakukan juga pemeriksaan koagulopati bawaan
jika terdapat indikasi
e. Pastikan apakah pasien masih ingin menginginkan keturunan
f. Anamnesis dilakukan untuk menilai ovulasi, kelainan sistemik, dan
penggunaan yang mempengaruhi kejadian PUA. Keinginan pasien
untuk memiliki keturunan dapat menentukan penanganan
selanjutnya. Pemeriksaan tambahan meliputi pemeriksaan darah
perifer lengkap, pemeriksaan untuk menilai gangguan ovulasi
(fungsi tiroid, prolaktin, dan androgen serum) serta pemeriksaan
hemostasis.
Penanganan polip endometrium dapat dilakukan dengan :12
Reseksi secara histeroskopi
Dilatasi dan kuretase
Kuret hisap
Hasil dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi.
16
menstruasi melibatkan pencairan darah beku dari arteriol spinal
endometrium, maka pengurangan dari proses ini dipercaya sebagai
mekanisme penurunan jumlah darah mens. Efek samping: gangguan
pencernaan, diare, sakit kepala. Dosisnya untuk perdarahan mens yang
berat adalah 1g (2x500mg) dari awal perdarahan hingga 4 hari. 6
2. Obat anti inflamasi non steroid (AINS)
Kadar prostaglandin pada endometrium penderita gangguan haid akan
meningkat. AINS ditujukan untuk menghambat siklooksigenase, dan akan
menurunkan sintesa prostaglandin pada endometrium. Prostaglandin
mempengaruhi reaktivitas jaringan lokal dan terlibat dalam respon
inflamasi, jalur nyeri, perdarahan uterus, dan kram uterus. AINS dapat
mengurangi jumlah darah haid hingga 20-50 persen Pemberian AINS
dapat dimulai sejak perdarahan hari pertama astau sebelumnya hingga
perdarahan yang banyak berhenti. Efek samping: gangguan pencernaan,
diare, perburukan asma pada penderita yang sensitif, ulkus peptikum
hingga kemungkinan terjadinya perdarahan dan peritonitis.
17
2. PKK
Perdarahan haid berkurang pada penggunaan pil kontrasepsi
kombinasi akibat endometrium yang atrofi. Dosis yang dianjurkan pada
saat perdarahan akut adalah 4x1 tablet selama 4 hari, dilanjutkan dengan
3x1 tablet selama 3 hari, dilanjutkan dengan 2x1 tablet selama 2 hari, dan
selanjutnya 1x1 tablet selama 3 minggu. Selanjutnya bebas pil selama 7
hari, kemudian dilanjutkan dengan pemberian pil kontrasepsi kombinasi
paling tidak selama 3 bulan. Apabila pengobatannya ditujukan untuk
menghentikan haid, maka obat tersebut dapat diberikan secara kontinyu,
namun dianjurkan setiap 3-4 bulan dapat dibuat perdarahan lucut. Efek
samping dapat berupa perubahan mood, sakit kepala, mual, retensi
cairan, payudara tegang, deep vein trombosis, stroke dan serangan
jantung.
3. Progestin
Obat ini akan bekerja menghambat penambahan reseptor estrogen
serta akan mengaktifkan enzim 17-hidroksi steroid dehodrogenase pada
sel-sel endometrium, sehingga estradiol akan dikonversi menjadi estron
yang efek biologisnya lebih rendah dibandingkan estradiol. Meski
demikian penggunaan progestin yang lama dapat memicu efek mitotik
yang menyebabkan terjadinya atrofi endometrium. Progestin dapat
diberikan secara siklik maupun kontinyu. Pemberian siklik diberikan
selama 14 hari kemudian stop selama 14 hari, begitu berulang-ulang
tanpa memperhatikan pola perdarahannya.
Apabila perdarahan terjadi pada saat sedang mengkonsumsi
progestin, makan dosis obat progestin dapat dinaikkan. Selanjutnya
hitung hari pertama perdarahan tadi sebagai hari pertama, dan
selanjutnya progestin diminum sampai 14 hari. Pemberian progestin
secara siklik dapat menggantikan pemberian pil kontrasepsi kombinasi
apabila terdapat kontraindikasi (misalkan: hipersensitivitas, kelainan
pembekuan darah, riwayat stroke, riwayat penyakit jantung koroner
atau infark miokard, kecurigaan keganasan payudara ataupun genital,
18
riwayat penyakit kuning akibat kolestatis, kanker hati). Sediaan
progestin yang dapat diberikan antara lain MPA 1x10 mg, norestiron
asetat dengan dosis 2-3 x 5 mg, didrogestron 2x5 mg atau nomegestrol
asetat 1x 5 mg selama 10 hari per siklus.
Apabila pasien mengalami perdarahan hebat saat kunjuungan,
dosis progestin dapat dinaikkan setiap 2 hari hingga perdarahan
berhenti. Pemberian dilanjutkan untuk 14 hari dan kemudian berhenti
selama 14 hari, demikian selanjutnya berganti-ganti pemberian
progestin secra kontinyu dapat dilakukan apabila tujuannya untuk
membuat amenorea. Terdapat beberapa pilihan yaitu:
- Pemberian progestin oral: MPA 10-20 mg per hari
- Pemberian DMPA setiap 12 minggu
- Penggunaan LNG IUS
Efek samping: peningkatan berat badan, perdarahan bercak, rasa
begah, payudara tegang, sakit kepala, jerawat dan timbul perasaan
depresi
4. Androgen
Danazol adalah suatu sintetik isoxazol yang berasala dari turunan
17a-etinil tetosteron. Obat tersebut memiliki efek androgenik yang
berfungsi untuk menekan produksi estradiol dari ovarium, serta
memiliki efek langsung terhadap reseptor estrogewn di endometrium
dan di luar endometrium. Pemberian dosis tinggi 200 mg atau lebih
per hari dapat dipergunakan untuk mengobati perdarahan menstrual
hebat. Danazol dapat menurunkan hilangnya darah dalam menstruasi
kurang lebih 50% bergantung dari dosisnya dan hasilnya terbukti lebih
efektif dibanding dengan AINS atau progestin oral. Dengan dosis
lebih dari 400 mg per hari dapat menyebabkan amenorea. Efek
sampingya dialami oleh 75% pasien yakni: penigkatan berat badan,
kulit berminyak,jerawat, perubahan suara.
5. Agonis Gonadotropine Releasing Hormone (GnRH)
Obat ini bekerja dengan cara mengurangi reseptor GnRH pada
hipofisis melalui mekanisme down regulation terhadap reseptor dan
19
efek pasca reseptor, yang akan mengakibatkan hambatan pada
pelepasan hormon gonadotropin. Pemberian obat ini biasanya
ditujukan pada wanita dengan kontraindikasi untuk operasi. Obat ini
dapat membuat penderita menjadi amenorea. Dapat diberikan luprolid
acetate 3.75 mg intramuskular setiap 4 minggu, namun pemberiannya
dianjurkan tidak lebih dari 6 bulan karena terjadi percepatan
demielinisasi tulang. Apabila pemberiannya melebihi 6 bulan, maka
dapat diberikan tambahan terapi estrogen dan progestin dosis rendah
(add back therapy). Efek samping biasanya muncul pada penggunaan
jangka panjang, yakni: keluhan-keluhan mirip wanita menopause
(misalkan hot flushes, keringat yang bertambah, kekeringan vagina),
osteoporosis (terutama tulang-tulang trabekular apabila penggunaan
GnRH agonis lebih dari 6 bulan).
2.2.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat perdarahan uterus abnormal yang
kronis yaitu; Anemia, Infertilitas, kanker endometrium. Sedangkan komplikasi
perdarahan uterus abnormal yang akut yaitu: anemia berat, hipotensi, syok
bahkan kematian apabila tidak ditatalaksana dengan cepat. 1
BAB III
KESIMPULAN
20
3. Diagnosis dari perdarahan uterus abnormal dilakukan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui penyebab
dari perdarahan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
21
3. Munro MG, Critchley HOD, Fraser IS. The FIGO classification of causes
of abnormal uterine bleeding in the reproductive years. Fertility and
Sterility.2011.( 95) 7.
22
abnormal uterine bleeding before menopause. European Journal of
Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 152 (2010) 133–137
13. Munro MG,Critchley H, Fraser IA. The FIGO systems for nomenclature
and classificationof causes of abnormal uterine bleeding in thereproductive
years: who needs them?Am J ObstetGynecol. 2012.
23