Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

PERDARAHAN UTERUS ABNORMAL

Oleh :
Dhiya Luthfiyyah Utami, S.Ked
NIM : 71 2021 068

Pembimbing :
dr. Asmar Dwi Agustine, Sp.OG

SMF ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG

2023
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Judul:
PERDARAHAN UTERUS ABNORMAL

Oleh:
Dhiya Luthfiyyah Utami, S.Ked

NIM : 71 2021 068

Telah dilaksanakan pada bulan Maret 2023 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Obstetri Dan Ginekologi
di RSUD Palembang Bari

Palembang, Maret 2023

Dokter Pendidik Klinik

dr. Asmar Dwi Agustine, Sp.OG

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul “Perdarahan Uterus Abnormal”, sebagai salah satu syarat untuk
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW
beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.

Dalam penyelesaian refferat ini, penulis banyak mendapat bantuan,


bimbingan, dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada :

1. dr. Asmar Dwi Agustine, Sp.OG selaku pembimbing yang telah


memberikan masukan serta bimbingan dalam penyelesaian laporan
kasus ini
2. Rekan sejawat seperjuangan serta semua pihak yang telah membantu
dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan refferat ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan.

Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang
telah diberikan dan semoga refferat ini dapat bermanfaat bagi semua.

Palembang, Maret 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN .....................................................................ii

KATA PENGANTAR .................................................................................iii

DAFTAR ISI ................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Menstruasi......................................................................3

2.2 Perdarahan Uterus Abnormal........................................................6

2.2.1 Definisi………………………………………………….....6

2.2.2 Epidemiologi……………………………………………....6

2.2.3 Klasifikasi PUA…………………………………………... 7

2.2.4 Sistem Klasifikasi Menurut FIGO ……………………….. 9

2.2.5 Diagnosis…………………………………………………..12

2.2.6 Tatalaksana……………………………………………….. 15

2.2.7 Komplikasi………………………………………………...20

BAB III KESIMPULAN .............................................................................21

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................22

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pendarahan Uterus Abnormal (PUA) atau Abnormal Uterine Bleeding
adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan semua kelainan haid
baik dalam hal volume frekuensi maupun durasinya. Manifestasi klinisnya
dapat berupa pendarahan dalam jumlah yang banyak atau sedikit, dan haid
yang memanjang atau tidak beraturan. 1
Perdarahan uterus abnormal merupakan keluhan yang sering
menyebabkan seorang perempuan datang berobat ke dokter atau pertolongan
pertama. PUA dapat mengganggu wanita dari segi fisik, sosial maupun
emosional, karena dapat mengganggu aktivitas sehari-hari seperti mengganti
pembalut atau tampon yang terus menerus.
PUA pada remaja dapat disebabkan oleh koagulopathy, hypothalamus
yang imatur, insufisiensi fungsi luteal, gangguan psikogenik (bulimia dan
anoreksia), juga tumor ovarium. PUA pada peri-menopause atau
pascamenopause biasanya terjadi karena kelainan struktur, seperti polip,
adenomiosis, leiomioma, malignansi seperti kanker serviks, kanker
endometrial atau hiperplasia endometrium.2
Polip endometrium adalah pertumbuhan endometrium berlebih yang
bersifat lokal mungkin tunggal atau ganda, berukuran mulai dari beberapa
milimeter sampai sentimeter yang terdiri dari kelenjar, stroma, dan pembuluh
darah endometrium. Polip endometrium biasanya terjadi pada wanita berusia
40-50 tahun.3
Data di beberapa Negara industri menyebutkan bahwa seperempat
penduduk perempuan pernah mengalami menorrhagia, 21% mengeluh siklus
haid memendek, 17% mengalami perdarahan antar haid, dan 6 % mengeluh
perdahan pasca senggama. Selain menyebabkan gangguan kesehatan,
gangguan haid ternyata berpengaruh pada aktivitas sehari-hari yaitu 28%
dilaporkan merasa terganggu saat bekerja sehingga berdampak pada bidang
ekonomi.4

1
1.1 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah:
1. Mengetahui definisi, klasifikasi, Etiologi, manifestasi klinis, dan
penatalaksanaan Perdarahan Uterus Abnormal.
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.
3. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS)
di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang dan Rumah Sakit Umum Daerah Palembang
BARI

1.2 Manfaat Penulisan


1.2.1 Manfaat Teoritis
a. Bagi Institusi
Diharapkan laporan kasus ini dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan
dan sebagai tambahan referensi dalam bidang Ilmu Obstetri dan
Ginekologi.
b. Bagi Akademik
Diharapkan laporan kasus ini dapat dijadikan landasan untuk
penulisan karya ilmiah selanjutnya.
1.2.2 Manfaat Praktis
Diharapkan agar dokter muda dapat mengaplikasikan ilmu yang
diperoleh dari laporan kasus ini dalam kegiatan kepaniteraan klinik
senior (KKS) dan diterapkan di kemudian hari dalam praktik klinik.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Menstruasi


Endometrium merupakan lapisan epitel yang melapisi rongga rahim.
permukaannya terdiri dari selapis sel kolumnar yang bersilia dengan kelenjar
sekresi mukosa rahim yang berbentuk invaginasi kedalam stroma selular. kelenjar
dan stroma mengalami perubahan yang siklik, bergantian antara pengelupasan dan
pertumbuhan baru setiap sekitar 28 hari. Endometrium terdiri dari dua lapisan
yaitu lapisan fungsional letaknya superfisial yang akan mengelupas setiap bulan
dan lapisan basal yang tidak ikut mengelupas. Epitel lapisan fungsional
menunjukkan perubahan proliferasi yang aktif setelah periode haid sampai terjadi
ovulasi, kemudian kelenjar endometrium sekresi. kerusakan yang permanen
lapisan basal akan menyebabkan amenorea.3
Perempuan merupakan salah satu yang mempunyai siklus reproduksi bulanan
setiap 28 hari. Proses siklus menstruasi sangat kompleks karena pengaruh
hormonal dan keadaan mikronitra folikel bersumber autokrine serta parakrine.
Sistem koordinasinya harus diketahui, untuk menganalisa berbagai kelainan siklus
menstruasi. Proses menstuasi terdiri dari:
1. Fase folikuler
2. Fase ovulasi
3. Fase luteal
Ketiga fase ini dikendalikan oleh sistem hormonal hipotalamus hipofisis serta
ovarium dan organ akhir yang dipengaruhi oleh kombinasi hormon estrogen dan
progesterone.5

Pematangan folikel dan ovulasi dikontrol oleh hipotalamus. hipofisis


oavarium. Hipotalamus mengontrol siklus tetapi ia sendiri dapat dipengaruhi oleh
senter yang lebih tinggi di otak misalnya kecemasan dan stress, hipotalamus
memacu kelenjar hipofisi dengan menyekresikan GnRH suatu dekade peptide
yang disekresi secara pulsatil oleh hipotalamus. Pulsasi sekitar 90 menit
menyekresi GnRH melalui pembuluh darah kecil di sistem portal kelenjar hipofisi

3
ke hipofisis anterior, ginadotropin hipofisi memacu sintesis dan pelepasan FSH
dan LH. FSH adalah hormon glikoprotein yang memacu pematangan folikel
selama fase folikular dari siklus. FSH juga membantu LH memacu sekresi
hormon sterodi terutama estrogen oleh sel granulosa dari folikel matang. LH juga
termasuk glikoprotein. LH ikut dalam steroidogenesis dalam folikel dan berperan
penting dalam ovulasi yang tergantung pada mid cycle surge dari LH. Produksi
progesteron oleh korpus luteum juga dipengaruhi oleh LH. FSH dan LH dan dua
hormon glikoprotein lainnya yaitu thyroid stimulating hormon (TSH) dan human
chorionic gonadotropin (hCG) dibentuk oleh dua subunit protein rantai alfa dan
beta. Siklus haid terdiri dari dua siklus, yaitu siklus ovarium dan siklus
endometrium.5
1. Siklus ovarium terdiri dari beberapa fase: 5
a. Fase Folikular/ Preovulasi
Panjang fase folikuler mempunyai variasi yang cukup lebar. Pada
umumnya berkisar antara 10-14 hari. Selama fase ini didapatkan proses
steroidogenesis, folikulogenesis dan oogenesis/meiosis yang saling
terkait. Selama fase folikular, kadar estrogen meningkat pada
pertumbuhan yang paralel dari folikel yang dominan dan peningkatan
jumlah dari sel granulosa. Sel granulosa tempat ekslusif dari reseptor
FSH. Peningkatan sirkulasi FSH selama fase luteal dari siklus
sebelumnya merangsang peingkatan dari reseptor FSH dan kemampuan
untuk mengaromatisasi sel theka untuk derivat androstenedion menjadi
estradiol. FSH menginduksi enzim aromatase dan pelebaran antrum dari
folikel yang bertumbuh. Folikel dengan kelompok sangat berespon
terhadap FSH seperti untuk memproduksi dan mengawali tanda dari
reseptor LH. Setelah terlihat reseptor LH, sel granulosa preovulasi mulai
untuk mensekresi sejumlah progesteron. Sekresi preovulasi progesteron,
walaupun jumlahnya terbatas, dipercaya untuk mengirimkan feedback
positif pada estrogen utama hipofisis yang menyebabkan atau membantu
menambah pelepasan LH.
Selama fase folikuler lambat, LH menstimulasi produksi sel theka dari
androgen. Terutama androstenedion, yang kemudian dilanjutkan ke

4
folikel dimana mereka dimetabolisme menjadi estradiol. Selama fase
folikel awal, sel granulosa juga menghasilkan inhibin B, yang
menghambat pelepasan FSH. Karena folikel dominan mulai berkembang,
hasil dari estradiol dan inhibin meningkat, menghasilkan penurunan FSH.
Penurunan ini bertanggung jawab untuk kegagalan dari folikel lain untuk
mencapai preovulasi tingkat folikel the Graaf selama satu siklus. Jadi, 95
persen dari estradiol plasma diproduksi pada waktu itu disekresi oleh
folikel dominan, yang dipersiapkan untuk ovulasi.
b. Fase Ovulasi
Ovulasi merupakan peningkatan kadar estrogen yang menghambat
pengeluaran FSH, kemudian hipofise mengeluarkan LH (lutenizing
hormon). Peningkatan kadar LH merangsang pelepasan oosit sekunder
dari folikel. Folikel primer primitif berisi oosit yang tidak matur (sel
primordial). Sebelum ovulasi, satu sampai 30 folikel mulai matur
didalam ovarium dibawah pengaruh FSH dan estrogen. Lonjakan LH
sebelum terjadi ovulasi mempengaruhi folikel yang terpilih. Di dalam
folikel yang terpilih, oosit matur dan terjadi ovulasi, folikel yang kosong
memulai berformasi menjadi korpus luteum. Korpus luteum mencapai
puncak aktivitas fungsional 8 hari setelah ovulasi, dan mensekresi baik
hormon estrogen maupun progesteron.
c. Fase Luteal/Post-ovulasi
Setelah terjadi ovulasi, korpus luteum berkembang dari tetai dominan
atau folikel de Graff pada proses ini disebut sebagai lutenisasi. Ruptur
dari folikel mengawali berbagai perubahan morfologi dan kimiawi
mengakibatkan transformasi menjadi korpus luteum. Membran basalis
pemisah dari sel granulosa luteal dan theka luteal rusak, dan hari kedua
postovulasi, pembuluh darah dan kapiler menembus ke lapisan sel
granulosa. Neovaskularisasi yang cepat pada granulosa avaskuler
dikarenakan variasi dari faktor angiogenik meliputi faktor pertumbuhan
endotel vaskuler dan produksi lain pada respon terhadap LH oleh sel
theka lutein dan granulosa lutein. Selama luteinisasi, sel itu mengalami
hipertrofi dan meningkat kapasitas mereka untuk mensintesis hormon.

5
Pada wanita, masa hidup dari korpus luteum tegantung pada LH atau
Human Chorionic Gonadotropin (hCG). Pada siklus normal wanita,
korpus luteum dipertahankan oleh frekuensi rendah, amplitudo tinggi dari
sekresi LH oleh gonadotropin pada hipofisis anterior.

2.2 Perdarahan Uterus Abnormal (PUA)


2.2.1 Definisi
Pendarahan uterus abnormal (PUA) adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan ketidakteraturan siklus menstruasi yang
meliputi frekuensi, durasi serta volume diluar masa kehamilan.
Manifestasi klinisnya dapat berupa pendarahan dalam jumlah yang
banyak atau sedikit, dan haid yang memanjang atau tidak beraturan.1
Terminologi menoragia saat ini diganti dengan perdarahan haid
banyak atau heavy menstrual bleeding (HMB) sedangkan perdarahan
uterus abnormal yang disebabkan faktor koagulopati, gangguan
hemostasis lokal endometrium dan gangguan ovulasi merupakan
kelainan yang sebelumnya termasuk dalam perdarahan uterus
disfungsional (PUD). 6

2.2.2 Epideomiologi
Prevalensi perdarahan uterus abnormal secara global pada wanita
usia reproduksi antara 3% hingga 30%. Insiden tertinggi pada usia
menarche dan perimenopause. Banyak penelitian hanya terbatas
pada perdarahan menstruasi berat (HMB), tetapi ketika perdarahan
tidak teratur dan intermenstrual dipertimbangkan, prevalensi
meningkat menjadi 35 % bahkan lebih besar. Banyak wanita tidak
berobat untuk keluhannya dan kompenen diagnosis bersifat
objektif sedangkan yang lain bersifat subjektif hal ini membuat
prevalensi yang tepat sulit ditentukan. 1

2.2.3 Klasifikasi PUA

6
2.2.3.1 Berdasarkan Terminologi Gangguan Haid 4
a. Menoragia (Hipermenorea)
Perdarahan haid dengan jumlah darah lebih banyak dan/ atau
durasi lebih lama dari normal dengan siklus yang normal
teratur. Secara klinis menoragia didefinisikan dengan total
jumlah darah haid lebih dari 800 ml per siklus dan durasi haid
lebih lama dari 7 hari. Menoragia adalah bila ganti pembalut
lebih dari 6 kali perhari. WHO melaporkan 18 juta perempuan
usia 30-55 tahun mengalami haid yang berlebihan dari jumlah
tersebut 10% termasuk kategori menoragia. Penyebab
menoragia terletak pada kondisi dalam uterus, misalnya adanya
mioma uteri dengan permukaan endometrium lebih luas dari
biasa dan dengan kontraktilitas yang terganggu, polip
endometrium, gangguan pelepasan endometrium pada waktu
menstruasi (irregular endometrial shedding), dan sebagainya.

b. Hipomenorea
Perdarahan menstruasi yang lebih pendek dan atau lebih kurang
dari biasa. Penyebabnya dapat terletak pada konstitusi
penderita, pada uterus (misalnya sesudah miomektomi), pada
gangguan endokrin, dan lain-lain. Adanya hipomenorea tidak
mengganggu fertilitas.

c. Polimenorea
Siklus menstruasi yang lebih pendek dari biasa yaitu kurang
dari 21 hari. Perdarahan kurang lebih sama atau lebih banyak
dari menstruasi biasa. Hal ini disebut polimenoragia atau
epimenoragia. Polimenorea dapat disebabkan oleh gangguan
hormonal yang mengakibatkan gangguan ovulasi atau menjadi
pendeknya masa luteal. Penyebab lainnya adalah kongesti
ovarium karena peradangan, endometriosis, dan sebagainya.

7
d. Oligomenorea
Siklus menstruasi yang lebih panjang, lebih dari 35 hari.
Apabila panjangnya siklus lebih dari 3 bulan, hal tersebut
sudah dinamakan amenorea. Perdarahan pada oligomenorea
biasanya berkurang. Pada kebanyakan kasus oligomenorea,
kesehatan wanita tidak terganggu dan fertilitas cukup baik.
Siklus menstruasi biasanya juga ovulatoar dengan masa
proliferasi lebih panjang dari biasanya.

2.3.3.1 Berdasarkan jenis pendarahan:3


a. Pendarahan uterus abnormal akut didefinisikan sebagai
pendarahan haid yang banyak sehingga perlu dilakukan
penanganan segera untuk mencegah kehilangan darah.
Pendarahan uterus abnormal akut dapat terjadi pada kondisi
PUA kronik atau tanpa riwayat sebelumnya.
b. Pendarahan uterus abnormal kronik merupakan terminologi
untuk pendarahan uterus abnormal yang telah terjadi lebih dari
3 bulan. Kondisi ini biasanya tidak memerlukan penanganan
yang segera seperti PUA akut.
c. Pendarahan tengah (intermenstrual bleeding) merupakan
pendarahanhaid yang terjadi diantara 2 siklus haid yang teratur.
Pendarahan dapat terjadi kapan saja atau dapat juga terjadi di
waktu yang sama setiap siklus. Istilah ini ditujukan untuk
menggantikan terminologi metroragia.

2.3.3.2 Berdasarkan Penggolongan Usia


PUA pada remaja dapat disebabkan oleh koagulopathy,
hypothalamus yang imatur, insufisiensi fungsi luteal, gangguan
psikogenik (bulimia dan anoreksia), juga tumor ovarium. Ketika
remaja mengeluh tentang PUA, riwayat menstruasi harus
ditanyakan, termasuk usia saat menarche, durasi dan jumlah
perdarahan uterus. Riwayat gangguan perdarahan pada keluarga

8
dan menstruasi juga penting. PUA pada peri-menopause atau
pascamenopause biasanya terjadi karena kelainan struktur, seperti
polip, adenomiosis, leiomioma, malignansi seperti kanker serviks,
kanker endometrial atau hiperplasia endometrium.2

2.2.4 Sistem Klasifikasi Menurut FIGO


Berdasarkan International Federation of Gynecology and Obstetrics
(FIGO) (2011), terdapat 9 kategori utama disusun sesuai dengan akronim
PALM COEIN, yakni polip, adenomiosis, leiomioma, malignancy dan
hiperplasia, coagulopathy, ovulatory dysfunction, endometrial, iatrogenik,
dan not yet classified.3,7
Kelompok “PALM” adalah merupakan kelompok kelainan struktur
penyebab PUA yang dapat dinilai dengan berbagai teknik pencitraan dan
atau pemeriksaan histopatologi. Kelompok “COEIN” adalah kelompok
kelainan non struktur penyebab PUA yang tidak dapat dinilai dengan
teknik pencitraan atau histopatologi. PUA terkait dengan penggunaan
hormon steroid seks eksogen, AKDR, atau agen sistemik atau lokal
lainnya diklasifikasikan sebagai “iatrogenik”.

Gambar 1. Klasifikasi PUA berdasarkan penyebab menurut FIGO

a. Polip (PUA-P)

9
Polip adalah pertumbuhan endometrium berlebih yang bersifat lokal
mungkin tunggal atau ganda, berukuran mulai dari beberapa
milimeter sampai sentimeter. Polip biasanya bersifat asimptomatik,
tetapi dapat pula menyebabkan PUA. Lesi umumnya jinak, namun
sebagian kecil atipik atau ganas. Diagnosis polip ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan USG dan atau histeroskopi, dengan atau
tanpa hasil histopatologi. Histopatologi pertumbuhan eksesif lokal
dari kelenjar dan stroma endometrium yang memiliki vaskularisasi
dan dilapisi oleh epitel endometrium. 8
Polip endometrium terdiri dari kelenjar, stroma, dan pembuluh darah
endometrium. Tidak ada Penyebab pasti dari polip endometrium,
tetapi faktor hormone kemungkinan mempengaruhi dalam timbulnya
polip. Insiden polip meningkat seiring bertambahnya usia.

b. Adenomiosis (PUA-A)
Merupakan invasi endometrium ke dalam lapisan miometrium,
menyebabkan uterus membesar, difus, dan secara mikroskopik
tampak sebagai endometrium ektopik, non neoplastik, kelenjar
endometrium, dan stroma yang dikelilingi oleh jaringan miometrium
yang mengalami hipertrofi dan hiperplasia.3,8

c. Leiomioma uteri (PUA-L)


Leiomioma adalah tumor jinak fibromuscular pada permukaan
myometrium. Berdasarkan lokasinya, leiomioma dibagi menjadi:
submukosum, intramural, subserosum.9,10

d. Malignancy and hyperplasia (PUA-M)


Hiperplasia endometrium adalah pertumbuhan abnormal berlebihan
dari kelenjar endometrium. Gambaran dari hiperplasi endometrium
dapat dikategorikan sebagai: hiperplasi endometrium simpleks non
atipik dan atipik, dan hiperplasia endometrium kompleks non atipik
dan atipik. 9,10

e. Coagulopathy (PUA-C)

10
Terminologi koagulopati digunakan untuk merujuk kelainan
hemostasis sistemik yang mengakibatkan PUA. Tiga belas persen
perempuan dengan perdarahan haid banyak memiliki kelainan
hemostasis sistemik, dan paling sering ditemukan adalah penyakit
Von Willbrand.

f. Ovulatory dysfunction (PUA-O)


Kegagalan terjadinya ovulasi yang menyebabkan ketidakseimbangan
hormonal yang dapat menyebabkan terjadinya pendarahan uterus
abnormal. 3

g. Endometrial (PUA-E)
 Pendarahan uterus abnormal yang terjadi pada perempuan dengan
siklus haid teratur akibat gangguan hemostasis lokal endometrium.
 Adanya penurunan produksi factor yang terkait vasokontriksi seperti
endothelin-1 dan prostaglandin F2⍺ serta peninkatan aktivitas
fibrionolisis
 Gejala lain kelompok ini adalah perdarahan tengah atau perdarahan
yang berlanjut akibat gangguan hemostasis local endometrium.
 Diagnosis PUA-E ditegakkan setelah menyingkirkan gangguan lain
pada siklus haid yang berevolusi. 6

h. Iatrogenik (PUA-I)
Pendarahan uterus abnormal yang berhubungan dengan penggunaan
obat-obatan hormonal (estrogen, progestin) ataupun non hormonal
(obat-obat antikoagulan) atau AKDR. 3

i. Not yet classified (PUA-N)


 Kategori ini dibuat untuk penyebab lain yang jarang atau sulit
dimasukkan dalam klasifikasi (misalnya adalah endometritis kronik
atau malformasi arteri-vena).
 Kelainan yang termasuk dalam kelompok ini adalah endometriosis
kronikatau malformasi arteri-venna

11
 Kelainan tersebut masih belum jelas kaitannya dengan kejadian
PUA.

2.2.5 Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk menilai kemungkinan adanya
faktor risiko kelainan tiroid, penambahan dan penurunan BB
yang drastis, serta riwayat kelainan hemostasis pada pasien dan
keluarganya. Perlu ditanyakan siklus haid sebelumnya serta waktu
mulai terjadinya perdarahan uterus abnormal.3,7
 Prevalensi penyakit von Willebrand pada perempuan perdarahan
haid rata-rata meningkat 10% dibandingkan populasi normal. Karena
itu perlu dilakukan pertanyaan untuk mengidentifikasi penyakit von
Willebrand.
 Pada perempuan pengguna pil kontrasepsi perlu ditanyakan tingkat
kepatuhannya dan obat-obat lain yang diperkirakan mengganggu
koagulasi.
 Anamnesis terstruktur dapat digunakan sebagai penapis gangguan
hemostasis dengan sensitivitas 90%. Perlu dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut pada perempuan dengan hasil penapisan positif.

12
Tabel 2. Penapisan klinis pasien dengan perdarahan haid banyak karena kelainan
hemostatis.3,7

2. Pemeriksaan Umum
 Pemeriksaan fisik pertama kali dilakukan untuk menilai stabilitas
keadaan hemodinamik.
 Pastikan bahwa perdarahan berasal dari kanalis servikalis dan tidak
berhubungan dengan kehamilan.
 Pemeriksaan indeks massa tubuh, tanda tanda hiperandrogen,
pembesaran kelenjar tiroid atau manifestasi hipotiroid/hipertiroid,
galaktorea (hiperprolaktinemia), gangguan lapang pandang
(adenoma hipofisis), purpura danekimosis wajib diperiksa.3,7

3. Pemeriksaan Ginekologi
 Pemeriksaan ginekologi yang teliti perlu dilakukan termasuk
pemeriksaan pap smear dan harus disingkirkan pula kemungkinan
adanya mioma uteri, polip, hyperplasia endometrium atau
keganasan.3.7

1. Penilaian Kavum Uteri


 Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya polip endometrium atau
mioma uteri submukosum.
 USG transvaginal merupakan alat penapis yang tepat dan harus
dilakukan pada pemeriksaan awal PUA.
 Bila dicurigai terdapat polip endometrium atau mioma uteri
submukosum disarankan untuk melakukan Saline Infusion
Sonography (SIS) atau histeroskopi. Keuntungan dalam penggunaan
histeroskopi adalah diagnosis dan terapi dapat dilakukan bersamaan.6
2. Evaluasi Laboratorium
Evaluasi laboratorium direkomendasikan pada pasien dengan PUA.
Seluruh pasien dengan kelainan pada pemeriksaan darah awal atau

13
hasil positif pada kelainan pembekuan darah sebaiknya dilakukan
pemeriksaan penyakit von Willebrand dan kelainan koagulopati
lainnya termasuk factor VIII, antigen faktor von Willebrand dan ak
pasien dengan tivitas kofaktor ristocetin von Willebrand. Pemeriksaan
kelainan tiroid, kelainan hati, sepsis atau leukemia diindikasikan bila
ditemukan gejala klinis.
Pada pasien dengan keluhan perdarahan yang dinilai dalam batas
normal, pemeriksaan hemoglobin telah cukup untuk mendeteksi
anemia. Pemeriksaan darah lengkap dengan hitung diferensiasi sel
darah putih dan platelet sebaiknya dilakukan pada yang anamnesis dan
pemeriksaan fisiknya mengarah pada HMB dan anemia. Pemeriksaan
cadangan besi seperti penilaian kadar ferritin dapat membantu menilai
terapi pengganti besi.
Jika kelainan perdarahan dicurigai sebaiknya dilakukan
pemeriksaan waktu protrombin dan waktu tromboplastin parsial
teraktivasi (PT dan APPT). karena pemeriksaan ini tidak selalu
memberikan nilai abnormal pada pasien dengan perdarahan sedang,
pemeriksaan tambahan dapat dilakukan untuk menapis penyakit von
Willebrand termasuk factor VIII, antigen factor von Willebrand
(VWF : Ag) dan aktivitas kofaktor ristocetin ( VWF:Rco). Nilai
VWF : Ag dan VWF : Rco dibawah 30 IU/dL memberikan diagnosis
pasti untuk penyakit von Willebrand. 11

2.2.6 Tatalaksana
1. Tatalaksana perdarahan uterus abnormal akut:12,13
a. Jika perdarahan aktif dan banyak disertai dengan gangguan
hemodinamik dan atau Hb< 10 g/dl perlu dilakukan rawat inap
b. Jika hemodinamik stabil, cukup rawat jalan
c. Pasien rawat inap, berikan infus cairan kristaloid, oksigen 2
liter/menit dan transfuse darah jika Hb < 7 g/dl, untuk perbaikan
hemodinamik

14
d. Stop perdarahan dengan estrogen ekuin kjonyugasi (EEK) 2-5 mg
per oral setiap 4-6 jam, ditambah prometasin 25 mg per oral atau
injeksi IM setiap 4-6 jam (untuk mengatasi mual). Asam
traneksamat 3x1 gr atau anti inflamasi nonsteroid 3x500 mg
diberikan bersama dengan EEK. Untuk pasien dirawat, dapat
dipasang balon kateter foley no 10 ke dalam uterus dan diisi cairan
kurang lebih 15 ml, dipertahankan 12-24 jam.
e. Jika perdarahan tidak berhenti dalam 12-24 jam lakukan dilatasi
dan kuretase.
f. Jika perdarahan berhenti dalam 24 jam, lanjutkan dengan
kontrasepsi oral kombinasi (KOK) 4x1 tablet perhari (4 hari), 3x1
tablet perhari (3 hari), 2x1 tablet perhari (2 hari) dan 1x 1 tablet (3
minggu) kemudian stop 1 minggu, dilanjutkan KOK siklik 3
minggu dengan jeda 1 minggi selama 3 siklus
g. Jika terdapat kontraindikasi KOK, berikan medroksi progesteron
asetat (MPA) 10 mg perhari (7 hari) siklik selama 3 bulan
h. Untuk riwayat perdarahan berulang sebelumnya injeksi
gonadotropin releasing hormone (GnRH) agonis dapat diberikan
bersamaan dengan pemberian KOK untuk stop perdarahan). GnRH
diberikan 2-3 siklus dengan interval 4 minggu.
i. Ketika hemodinamik pasien stabil, perlu upaya diagnostik untuk
mencari penyebab perdarahan. Lakukan pemeriksaan USG
transvaginal/ transrektal, periksa darah perifer lengkap (DPL)
hitung trombosit, prothrombin time (PT), activated partial
thromboplastin time (aPTT) dan thyroid stimulating hormone
(TSH). Saline Infused Sonohysterogram (SIS) dapat dilakukan jika
endometrium yang terlihat tebal, untuk melihat adanya polip
endometrium ataumioma submukosim. Jika terapi medika mentosa
tidak berhasil atau ada kelainan organik, maka dapatdilakukan
terapi pembedahan seperti ablasi endometrium, miomektomi,
polipektomi, histerektomi.

15
2. Tatalaksana perdarahan uterus abnormal kronik:12
a. Jika dari anamnesa yang terstruktur ditemukan bahwa pasien
mengalami satu ataulebih kondisi perdarahan yang lama dan tidak
dapat diramalkan dalam 3 bulanterakhir.
b. Pemeriksaan fisik berikut dengan evaluasi rahim, pemeriksaan darah
perifer lengkap wajib dilakukan.
c. Pastikan fungsi ovulasi dari pasien tersebut
d. Tanyakan pada pasien adakah penggunaan obat tertentu yang dapat
memicu PUA danlakukan juga pemeriksaan koagulopati bawaan
jika terdapat indikasi
e. Pastikan apakah pasien masih ingin menginginkan keturunan
f. Anamnesis dilakukan untuk menilai ovulasi, kelainan sistemik, dan
penggunaan yang mempengaruhi kejadian PUA. Keinginan pasien
untuk memiliki keturunan dapat menentukan penanganan
selanjutnya. Pemeriksaan tambahan meliputi pemeriksaan darah
perifer lengkap, pemeriksaan untuk menilai gangguan ovulasi
(fungsi tiroid, prolaktin, dan androgen serum) serta pemeriksaan
hemostasis.
Penanganan polip endometrium dapat dilakukan dengan :12
 Reseksi secara histeroskopi
 Dilatasi dan kuretase
 Kuret hisap
 Hasil dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi.

A. Pemilihan obat-obatan pada perdarahan uterus abnormal (non-hormonal)


1. Asam Traneksamat
Obat ini bersifat inhibitor kompetitif pada aktivasi plasminogen.
Plasminogen akan diubah menjadi plasmin yang berfungsi untuk
memecah fibrin menjadi fibrin degradation product (FDPs). Oleh
karena itu obat ini berfungsi sebagai agen anti fibrinolitik. Obat ini
akan menghambat faktor-faktor yang memicu terjadinya pembekuan
darah, namun tidak menimbulkan kejadian trombosis. Perdarahan

16
menstruasi melibatkan pencairan darah beku dari arteriol spinal
endometrium, maka pengurangan dari proses ini dipercaya sebagai
mekanisme penurunan jumlah darah mens. Efek samping: gangguan
pencernaan, diare, sakit kepala. Dosisnya untuk perdarahan mens yang
berat adalah 1g (2x500mg) dari awal perdarahan hingga 4 hari. 6
2. Obat anti inflamasi non steroid (AINS)
Kadar prostaglandin pada endometrium penderita gangguan haid akan
meningkat. AINS ditujukan untuk menghambat siklooksigenase, dan akan
menurunkan sintesa prostaglandin pada endometrium. Prostaglandin
mempengaruhi reaktivitas jaringan lokal dan terlibat dalam respon
inflamasi, jalur nyeri, perdarahan uterus, dan kram uterus. AINS dapat
mengurangi jumlah darah haid hingga 20-50 persen Pemberian AINS
dapat dimulai sejak perdarahan hari pertama astau sebelumnya hingga
perdarahan yang banyak berhenti. Efek samping: gangguan pencernaan,
diare, perburukan asma pada penderita yang sensitif, ulkus peptikum
hingga kemungkinan terjadinya perdarahan dan peritonitis.

B. Pemilihan obat-obatan pada perdarahan uterus abnormal (hormonal)


1. Estrogen
Sediaan ini digunakan pada kejadian perdarahan akut yang banyak.
Sediaan yang digunakan adalah EEK, dengan dosis 2.5 mg per oral 4x1
dalam waktu 48 jam. Pemberian EEK dosis tinggi tersebut dapat disertai
dengan pemberian obat anti emetik seperti promethazine 25 mg per oral
atau intra muskular setiap 4-6 jam sesuai dengan kebutuhan. Mekanisme
kerja obat ini belum jelas, kemungkinan aktivitasnya tidak terkait
langsung dengan endometrium. Obat ini bekerja memacu vasospasme
pembuluh kapiler dengan cara mempengaruhi kadar fibrinogen, faktor
IV, faktor X, proses aggregasi trombosit dan permeabilitas pembuluh
kapiler. Pembentukan reseptor progesteron akan meningkat sehingga
diharapkan pengobatan selanjutnya dengan menggunakan progestin akan
lebih baik. Efek samping berupa gejala akibat defek estrogen yang
berlebihan seperti perdarahan uterus, mastodinia dan retensi cairan

17
2. PKK
Perdarahan haid berkurang pada penggunaan pil kontrasepsi
kombinasi akibat endometrium yang atrofi. Dosis yang dianjurkan pada
saat perdarahan akut adalah 4x1 tablet selama 4 hari, dilanjutkan dengan
3x1 tablet selama 3 hari, dilanjutkan dengan 2x1 tablet selama 2 hari, dan
selanjutnya 1x1 tablet selama 3 minggu. Selanjutnya bebas pil selama 7
hari, kemudian dilanjutkan dengan pemberian pil kontrasepsi kombinasi
paling tidak selama 3 bulan. Apabila pengobatannya ditujukan untuk
menghentikan haid, maka obat tersebut dapat diberikan secara kontinyu,
namun dianjurkan setiap 3-4 bulan dapat dibuat perdarahan lucut. Efek
samping dapat berupa perubahan mood, sakit kepala, mual, retensi
cairan, payudara tegang, deep vein trombosis, stroke dan serangan
jantung.

3. Progestin
Obat ini akan bekerja menghambat penambahan reseptor estrogen
serta akan mengaktifkan enzim 17-hidroksi steroid dehodrogenase pada
sel-sel endometrium, sehingga estradiol akan dikonversi menjadi estron
yang efek biologisnya lebih rendah dibandingkan estradiol. Meski
demikian penggunaan progestin yang lama dapat memicu efek mitotik
yang menyebabkan terjadinya atrofi endometrium. Progestin dapat
diberikan secara siklik maupun kontinyu. Pemberian siklik diberikan
selama 14 hari kemudian stop selama 14 hari, begitu berulang-ulang
tanpa memperhatikan pola perdarahannya.
Apabila perdarahan terjadi pada saat sedang mengkonsumsi
progestin, makan dosis obat progestin dapat dinaikkan. Selanjutnya
hitung hari pertama perdarahan tadi sebagai hari pertama, dan
selanjutnya progestin diminum sampai 14 hari. Pemberian progestin
secara siklik dapat menggantikan pemberian pil kontrasepsi kombinasi
apabila terdapat kontraindikasi (misalkan: hipersensitivitas, kelainan
pembekuan darah, riwayat stroke, riwayat penyakit jantung koroner
atau infark miokard, kecurigaan keganasan payudara ataupun genital,

18
riwayat penyakit kuning akibat kolestatis, kanker hati). Sediaan
progestin yang dapat diberikan antara lain MPA 1x10 mg, norestiron
asetat dengan dosis 2-3 x 5 mg, didrogestron 2x5 mg atau nomegestrol
asetat 1x 5 mg selama 10 hari per siklus.
Apabila pasien mengalami perdarahan hebat saat kunjuungan,
dosis progestin dapat dinaikkan setiap 2 hari hingga perdarahan
berhenti. Pemberian dilanjutkan untuk 14 hari dan kemudian berhenti
selama 14 hari, demikian selanjutnya berganti-ganti pemberian
progestin secra kontinyu dapat dilakukan apabila tujuannya untuk
membuat amenorea. Terdapat beberapa pilihan yaitu:
- Pemberian progestin oral: MPA 10-20 mg per hari
- Pemberian DMPA setiap 12 minggu
- Penggunaan LNG IUS
Efek samping: peningkatan berat badan, perdarahan bercak, rasa
begah, payudara tegang, sakit kepala, jerawat dan timbul perasaan
depresi
4. Androgen
Danazol adalah suatu sintetik isoxazol yang berasala dari turunan
17a-etinil tetosteron. Obat tersebut memiliki efek androgenik yang
berfungsi untuk menekan produksi estradiol dari ovarium, serta
memiliki efek langsung terhadap reseptor estrogewn di endometrium
dan di luar endometrium. Pemberian dosis tinggi 200 mg atau lebih
per hari dapat dipergunakan untuk mengobati perdarahan menstrual
hebat. Danazol dapat menurunkan hilangnya darah dalam menstruasi
kurang lebih 50% bergantung dari dosisnya dan hasilnya terbukti lebih
efektif dibanding dengan AINS atau progestin oral. Dengan dosis
lebih dari 400 mg per hari dapat menyebabkan amenorea. Efek
sampingya dialami oleh 75% pasien yakni: penigkatan berat badan,
kulit berminyak,jerawat, perubahan suara.
5. Agonis Gonadotropine Releasing Hormone (GnRH)
Obat ini bekerja dengan cara mengurangi reseptor GnRH pada
hipofisis melalui mekanisme down regulation terhadap reseptor dan

19
efek pasca reseptor, yang akan mengakibatkan hambatan pada
pelepasan hormon gonadotropin. Pemberian obat ini biasanya
ditujukan pada wanita dengan kontraindikasi untuk operasi. Obat ini
dapat membuat penderita menjadi amenorea. Dapat diberikan luprolid
acetate 3.75 mg intramuskular setiap 4 minggu, namun pemberiannya
dianjurkan tidak lebih dari 6 bulan karena terjadi percepatan
demielinisasi tulang. Apabila pemberiannya melebihi 6 bulan, maka
dapat diberikan tambahan terapi estrogen dan progestin dosis rendah
(add back therapy). Efek samping biasanya muncul pada penggunaan
jangka panjang, yakni: keluhan-keluhan mirip wanita menopause
(misalkan hot flushes, keringat yang bertambah, kekeringan vagina),
osteoporosis (terutama tulang-tulang trabekular apabila penggunaan
GnRH agonis lebih dari 6 bulan).
2.2.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat perdarahan uterus abnormal yang
kronis yaitu; Anemia, Infertilitas, kanker endometrium. Sedangkan komplikasi
perdarahan uterus abnormal yang akut yaitu: anemia berat, hipotensi, syok
bahkan kematian apabila tidak ditatalaksana dengan cepat. 1

BAB III
KESIMPULAN

1. Pendarahan uterus abnormal (PUA) adalah istilah yang digunakan untuk


menggambarkan ketidakteraturan siklus menstruasi yang meliputi
frekuensi, durasi serta volume diluar masa kehamilan.
2. Perdarahan uterus abnormal dapat diklasifikasikan berdasarkan kelainan
struktur dan non struktur.

20
3. Diagnosis dari perdarahan uterus abnormal dilakukan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui penyebab
dari perdarahan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Davis E, Sparzak PB. Abnormal Uterin Bleeding ( Dysfunctional Uterin


Bleeding). National Center for Biothecnology Information Journal.2019.
2. Siregar MFG. Management of abnormal uterine bleeding in perimenache:
diagnostic challenges. Int J Med Sci Pub Health. 2016;5:597.

21
3. Munro MG, Critchley HOD, Fraser IS. The FIGO classification of causes
of abnormal uterine bleeding in the reproductive years. Fertility and
Sterility.2011.( 95) 7.

4. Abdul Bari Saifuddin. Konseling dan Persetujuan Tindakan Medis. In:


Biran Affandi, Moh.Baharuddin, Soekaemi Soekir, editors. Buku panduan
praktis pelayanan kontrasepsi. 2 ed. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2010. p. U1-U7.

5. Manuaba, IBG. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan Kandungan


dan KB. Jakarta: EGC. 2010.

6. Baziad E, Hestiantoro A. Wiweko B. Panduan Tatalaksana Perdarahan


Uterus Abnormal. Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilisasi
Indonesia.2011
7. Himpunan Endokrinologi-Reproduksi dan Fertilitas Indonesia (HIFERI).
Konsensus HIFERI, Bogor 24-25 agustus 2013.
8. Kim KR, Peng R, Ro JY, Robboy SJ. A diagnostically useful
histopathologic feature of endometrial polyp: the long axis of endometrial
glands arranged parallel to surface epithelium. Am J SurgPathol.
2004;28:1057–1062.

9. Bird C, McElin T, Manalo-Estrella P. The elusive adenomyosis of the


uterus revisited. Am J Obstet Gynecol. 1972;112:583–593.

10. Salman MC, Usubutun A, Boynukalin K, Yuce K. Comparison of WHO


and endometrial intraepithelial neoplasia classifications in predicting the
presence of coexistent malignancy in endometrial hyperplasia. J
GynecolOncol. 2010;21:97–101

11. John J, Wantania E. Perdarahan UterusAbnormal-Menoragia pada Remaja.


Jurnal Biomedik. 2016. Vol 8. 135-142.

12. Marret H, Fauconnier A, Chabbert-Buffet N, Cravello L, Golfier F,


Gondry J, Agostini A, Bazot M, Brailly-Tabard S, Brun JL, De Raucourt,
Gervaise A. Clinical practice guidelines on menorrhagia: management of

22
abnormal uterine bleeding before menopause. European Journal of
Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 152 (2010) 133–137

13. Munro MG,Critchley H, Fraser IA. The FIGO systems for nomenclature
and classificationof causes of abnormal uterine bleeding in thereproductive
years: who needs them?Am J ObstetGynecol. 2012.

23

Anda mungkin juga menyukai