Anda di halaman 1dari 13

Kewajiban Karyawan dan Perusahaan

D
I
S
U
S
U
N
Oleh :

Riska Tharika 01031381520084

M. Aldi Arwin 01031381520100

Vivi Anggraini 01031381520103

Dosen Pembimbing :

1. DR. INTEN MEUTIA, SE., M.ACC., AK


2. EMYLIA YUNIARTIE, SE., M.SI., AK
3. ACHMAD SOEDIRO, SE.,AK.,M.COMM., AK
Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi

Universitas Sriwijaya

Bab 6

“ KEWAJIBAN KARYAWAN DAN PERUSAHAAN”

A. Kewajiban karyawan terhadap perusahaan

1. Tiga kewajiban karyawan yang penting

a. Kewajiban ketaatan

Karyawan harus taat kepada atasannya di perusahaan, justru karena ia bekerja


disitu. Namun tidak berarti bahwa karyawan harus menaati semua perintah yang
diberikan oleh atasannya.

Pertama, karyawan tidak perlu dan malah tidak boleh mematuhi perintah yang
menyuruh dia melakukan sesuattu yang tidak bermoral.

Kedua, karyawan tidak wajib juga mematuhi perintah atasannya yang tidak
wajar, walaupun dari segi etika tidak ada keberatan.

Ketiga, karyawan juga tidak perlu mematuhi perintah yang memang demi
kepentingan perusahaan, tetapi tidak sesuai dengan penugasan yang disepakati,
ketika ia menjadi karyawan di perusahaan itu.

b. Kewajiban konfidensialitas

Kewajiban konfidensialitas adalah kewajiban untuk menyimpan informasi yang


bersifat konfidensial – dan karena itu rahasia – yang telah diperoleh dengan
menjalankan suatu profesi.

Dalam konteks perusahaan juga konfidensialitas bisa memegang peranan


penting. Karena seseorang bekerja pada suatu perusahaan, bisa saja ia mempunyai
akses kepada informasi rahasia. Adalah sangat tidak etis jika seseorang pindah kerja
sambil membawa rahasia perusahaan ke perusahaan baru supaya mendapat gaji
lebih tinggi. Karena ada kerahasiaan ini, industrial espionage pun harus dianggap
tidak etis.

Alasan utama etika yang mendasari kewajiban ini adalah bahwa perusahaan
menjadi pemilik informasi rahasia itu. Membuka informasi rahasia sama dengan
mencuri. Alasan lain adalah bahwa membuka rahasia perusahaan bertentangan
dengan etika pasar bebas – mampu mengganggu kompetisi bisnis yang fair.

c. Kewajiban loyalitas

Dengan mulai bekerja di suatu perusahaan, karyawan harus mendukung


tujuan-tujuan perusahaan, karena sebagai karyawan ia melibatkan diri untuk turut
merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, dan karena itu pula ia harus menghindari segala
sesuatu yang bertentangan dengannya.

Faktor utama yang bisa membahayakan terwujudnya loyalitas adalah konflik


kepentingan, artinya konflik antara kepentingan pribadi karyawan dan kepentingan
perusahaan.

Dalam konteks loyalitas ini termasuk juga masalah ettis seperti menerima
komisi atau hadiah selaku karyawan perusahaan. Sebab dapat ditanyakan apakah
dengan praktek itu karyawan tidak merugikan perusahaan.

Dimulai dengan masalah komisi. Tingkat jeleknya komisi tentu dipengaruhi


oleh besar kecilnya, karena terutama faktor inilah yang menentukan kerugian bagi
perusahaan. Masalah komisi berkaitan erat dengan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme).

Dalam konteks kewajiban loyalitas ini muncul pertanyaan lagi tentang


hubungannya dengan kesetiaan. Jika karyawan pindah kerja karena alasan mencari
gaji lebih tinggi, apakah perbuatan itu bisa dilihat sebagai pelanggaran kewajiban
loyalitas? Kewajiban loyalitas tidak meniadakan hak karyawan untuk pindah kerja. Di
sini tidak ada masalah etika.

2. Melaporkan kesalahan perusahaan


Dalam etika bisnis berbahasa inggris masalah ini dikenal sebagai whistle
blowing. Sering digunakan dalam arti kiasan: membuat keributan untuk menarik
perhatian orang banyak.Dalam etika whistle blowing mendapat arti lebih khusus lagi
yakni menarik perhatian dunia luar dengan melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh
sebuah organisasi tempat ia bekerja. Pelaporan bisa dibenarkan secara moral, bila
lima syarat berikut ini terpenuhi:

a. Kesalahan perusahaan harus besar

Jika kesalahan perusahaan kecil saja, misalnya hanya membayar pajak sedikit
kurang dari kewajibannya, hal itu tidak pantas dilaporkan. Norman Bowie dan Ronald
Duska menyebut tiga kemungkinan:

1. Kesalahan perusahaan adalah besar, jika menyebabkan kerugian yang tidak


perlu untuk pihak ketiga (selain perusahaan dan si pelapor)
2. Kesalahan bisa dianggap besar juga, bila terjadi pelanggaran hak-hak asasi
manusia.
3. Kesalahan dinilai besar, bila dilakuukan kegiatan yang bertentangan dengan
tujuan perusahaan.

b. Pelaporan harus didukung oleh fakta yang jelas dan benar

Semua fakta tentang kesalahan harus jelas dan dimengerti dengan betul oleh si
pelapor. Tidak boleh terjadi, orang yang melaporkan sesuatu yang secara faktual
kurang jelas atau kurang dikuasai betul oleh si pelapor. Laporan berupa “ saya
mempunyai kesan… ” atau “ kalau tidak salah… ” tidak dapat diterima. Syarat
kedua ini bisa terpenuhi apabila orang tersebut benar-benar menguasai masalahnya.

c. Pelaporan harus dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kerugian


bagi pihak ketiga, bukan karena motif lain.

Kerugian besar kepada pihak ketiga bukan saja harus menjadi kenyataan
(syarat pertama) , melainkan juga motif untuk melaporkan kesalahan. Tidak etis, bila
orang melapor karena motif yang tidak murni, walaupun kesalahannya memang besar.
d. Penyelesaian masalah secara internal harus dilakukan dulu, sebelum kesalahan
perusahaan dibawa keluar

Jika karyawan merasa bertanggung jawab, ia harus berusaha dulu untuk


menyelesaikan masalah di dalam perusahaan sendiri melalui jalur yang tepat. Hal itu
juga sesuai dengan kewajibann loyalitasnya. Baru setelah upaya penyelesaian secara
internal itu gagal, ia boleh memikirkan whistle blowing.

e. Harus ada kemungkinan real bahwa pelaporan kesalahan akan mencatat


sukses.

Jika sebelumnya orang tahu bahwa pelaporan kesalahan tidak akan


mennghasilkan apa-apa, lebih baik orang tidak melapor. Tentu saja, sebelum
berlangsung tidak pernah ada kepastian bahwa pelaporan akan mencapai sasarannya,
yaitu mencegah terjadinya kerugian untuk pihak ketiga.

Whistle Blowing adalah masalah etis yang tidak enak untuk semua pihak yang
tersangkut. Untuk bisnis, pelaporan akan membawa banyak kerugian, secara material
maupun moral. Sebab, nama baik merupakan aset yang sangat berharga bagi setiap
perusahaan. Untuk si pelapor juga, whistle blowing adalah langkah yang diambil
dengan berat hati. Ia melakukannya semata-mata terdorong oleh hati nuraninya dan
sebetulnya sangat ingin menyesalkan akibat negatif bagi perusahaan.

B. Kewajiban perusahaan terhadap karyawan

1. Perusahaan tidak boleh mempraktekkan diskriminasi

Dalam konteks Indonesia, diskriminasi terutama timbul berhubungan dengan


status asli atau tidak asli, pribumi atau non-pribumi, dari para warga negara. Jika
ditambah dengan negara lain Diskriminasi dilakukan karena alasan agama, jenis
kelamin, ras, dan warna kulit.

a. Diskriminasi dalam konteks perusahaan


Diskriminasi bisa berlangsung dalam semua sektor masyarakat, termasuk
dunia bisnis. Karena itu diskriminasi menjadi juga suatu topik bagi etika bisnis. Kita
berbicara tentang diskriminasi, bila beberapa karyawan diperlakukan dengan cara
berbeda, karena alasan yang tidak relevan. Biasanya alasan itu berakar dalam suatu
stereotip terhadap ras, agama, atau jenis kelamin bersangkutan.

b. Argumentasi etika melawan diskriminasi

Apa yang menjadi dasar etika untuk menolak diskriminasi? Berikut


Argumentasinya :

1. Dari pihak utilitarisme dikemukakan argumen bahwa diskriminasi merugikan


perusahaan itu sendiri. Terutama dalam rangka pasar bebas, menjadi sangat
mendesak bahwa perusahaan memiliki karyawan berkualitas yang menjamin
produktivitas terbesar dan mutu produk terbaik. Sumber daya manusia menjadi
kunci dalam kompetisi pasar bebas. Argumen yang lain tidak memfokuskan
konsekuensi untuk perusahaan-perusahaan individual, tetapi melihat
konsekuensi untuk masyarakat sebagai keseluruhan.
2. Deontologi menggarisbawahi bahwa diskriminasi melecehkan martabat dari
orang yang didiskriminasi. Dan tidak menghormati martabat manusia
merupakan suatu pelanggaran etika yang berat. Jika seseorang didiskriminasi
karena agama atau keyakinan politik, berarti hak-hak asasinya dilanggar.
Dengan itu martabatnya sebagai manusia dilecehkan juga.
3. Teori keadilan. Praktek diskriminasi bertentangan dengan keadlan, khususnya
keadilan distributif. Keadilan distributif menuntut bahwa kita memmperlakukan
semua orang dengan cara yang sama, selama tidak ada alasan khusus untuk
memperlakukan mereka dengan cara yang berbeda. Prinsip keadilan yang
kedua dari John Rawls: “ persamaan peluang yang fair” . Menurut prinsip ini,
kepada semua orang harus diberikan ppeluang yang sama secara fair,
misalnya dalam seleksi karyawan.
c. Beberapa masalah terkait

Tidak bisa disangkal, penilaian terhadap diskriminasi bisa berubah karena


keadaan historis, sosiall atau budaya dalam masyarakat. Mau tidak mau perlu kita
akui bahwa masalah diskriminasi sering ditandai relativitas.

Masalah yang berkaitan dengan diskriminasi tapi harus dibedakan dengannya


adalah favoritisme. Dalam konteks perusahaan, dengan favoritisme dimaksudkan
kecenderungan untuk mengistimewakan orang tertentu (biasanya sanak keluarga)
dalam menyeleksi karyawan, menyediakan promosi, bonus, fasilitas khusus, dan
sebagainya. Seperti diskriminasi, favoritisme pun merupakan bentuk memperlakukan
orang dengan cara yang tidak sama, tapi berbeda dengan Diskriminasi terjadi karena
prasangka buruk, favoritisme terjadi karena preferensi. Kalau diskriminasi bersifat
negatif (menolak orang tertentu) sedangkan favoritisme (mengutamakan orang
tertentu). Favoritisme terjadi bila perusahaan mengutamakan karyawan yang
berhubungan famili, berasaldari daerah yag sama, memeluk agama yang sama, dst.
Malah pada taraf manajemen bisa tampak gejala favoritisme, bila para manajer
semua dipilih dari lulusan perguruan tinggi yang sama.

Untuk menanggulangi akibat diskriminatif dulu, kini lebih banyak dipakai istilah
affirmative action, aksi afirmatif. Melalui aksi afirmatif, orang mencoba mengatasi
atau mengurangi ketertinggalan golongan yang dulunya didiskriminasi. Satu cara
adalah preferensi dalam menerima karyawan baru. Cara lain adalah menyusun
program jangka panjang, misal dalam jangka waktu 10 tahun jumlah karyawan wanita
harus mencapai 40%.

2. Perusahaan harus menjamin kesehatan dan keselamatan kerja

a. Beberapa aspek keselamatan kerja

Keselamatan kerja bisa terwujud bilamana tempat kerja itu aman. Dan tempat
kerja itu aman, kalau bebas dari risiko terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan si
pekerja cedera atau bahkan mati. Kesehatan kerja dapat direalisasikan karena tempat
kerja dalam kondisi sehat. Tempat kerja dianggap sehat bila bebas dari risiko
terjadinya gangguan kesehatan atau penyakit sebagai akibat kondisi kurang baik di
tempat kerja.
Ada aneka macam kecelakaan kerja. Yang minta banyak korban adalah
kecelakaan industri di pabrik-pabrik atau tempat industri lain. Seandainya
dilaksanakan peraturan keselamatan yang mewajibkan memakai sabuk pengaman,
helm pengaman, atau setiap ruang kerja mempunyai pintu atau tangga darurat,
banyak kecelakaan semacam itu bisa dihindarkan.

Kalau kecelakaan kerja hampir selalu terjadi secara mendadak dan langsung
mengakibatkan kerugian, maka penyakit akibat pekerjaan baru tampak sesudah si
karyawan bekerja cukup lama. Selalu sudah diketahui bahwa beberapa macam
pekerjaan mempunyai faktor risiko khusus untuk kesehatan si karyawan.

b. Pertimbangan etika

Yang menjadi dasar etika bagi kewajiban perusahaan untuk melindungi


keselamatan dan kesehatan para pekerja:

Setiap pekerja berhak atas kondisi kerja yang aman dan sehat. Kalau belum
meyakinkan, kita bisa merujuk lagi kepada hak setiap manusia untuk tidak
dirugikan dan akhirnya hak untuk hidup.
Dalam deontologi Kant, khususnya dalam pikirannya bahwa manusia selalu
harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai
sarana belaka.
Sesuai argumentasi utilitarisme, bisa diperlihatkan bahwa tempat kerja yang
aman dan sehat paling menguntungkan bagi masyarakat sendiri, khususnya bai
ekonomi negara.

a. Kematian atau kerugian pekerja tidak secara langsung disebabkan oleh


tindakan pimpinan perusahaan

Bahwa perusahaan atau pimpinan perusahaan tidak boleh dianggap sebagai


penyebab langsung dari kecelakaan di tempat kerja. Karena pertama, kecelakaan
kerja pada umumnya disebabkan oleh banyak faktor sekaligus, termasuk juga
perbuatan para pekerja itu sendiri. Kedua, bahwa kemungkinan terjadinya kerugian
untuk pekerja kadang-kadang tidak bisa dihindarkan.

b. Si pekerja menerima risiko kerja dengan sukarela


Argumen ini menekankan bahwa pekerja tidak dipaksakan, tetapi dengan
sukarela menerima risiko. Kebebasan si pekerja adalah faktor yang membenarkan
moralitas pekerjaan berisiko. Syarat yang harus dipenuhi:

Harus tersedia pekerjaan alternatif, supaya si pekerja dapat memilih pekerjaan


lain tanpa risiko khusus, walaupun barangkali dengan pembayaran lebih rendah.
Supaya pekerja dapat mengambil keputusan bebas, ia harus diberi informasi
tentang risiko yang berkaitan dengan pekerjaannya.
Perusahaan selalu wajib berupaya agar risiko bagi pekerja seminimal mungkin

Keselamatan dan kesehatan pekerja tidak pernah boleh dikorbankan kepada


kepentingan ekonomis. Risiko memang tidak selalu bisa dihindari, tetapi harus selalu
dibatasi sampai seminimal mungkin, walaupun upaya itu biisa mengakibatkan biaya
produksi bertambah. Selain itu si pekerja harus menerima risiko ini dengan bebas,
setelah lebih dahulu ia diinformasikan secukupnya. Pekerja harus diberi imbalan
ekstra untuk mengimbangi risiko, baik dalam segi gaji langsung maupun dengan
asuransi khusus. Akhirnya pekerjaan berisiko itu hanya bisa ditolerir, jika
menghasilkan produk yang bermanfaat untuk masyarakat. Dengan cara iseng saja
membiarkan risiko kerja harus dinilai tidak etis.

c. Dua masalah khusus

Pertama, apakah pekerja boleh menolak perintah atasan untuk melaksanakan


suatu tugas yang dianggap terlalu berbahaya? Disini kita harus mengacu pada apakah
suatu perintah untuk mengerjakan tugas berbahaya bisa dianggap wajar atau tidak.

Kedua, segi etis dari risiko reproduktif atau risiko untuk keturunan si pekerja.
Kerugian kesehatan akibat kondisi kerja tidak dialami oleh si pekerja bagi dirinya
sendiri, melainkan bagi keturunannya. Seperti pada industri kimia, para pekerja wanita
bisa mengalami keguguran, kelahiran dini, atau melahirkan bayi cacat.

3. Kewajiban memberi gaji yang adil

a. Menurut keadilan distributif


Gaji karyawan berasal dari laba perusahaan dan laba itu dihasilkan oleh
produktivitas karyawan. Dalam produktivitas itu prestasi karyawan jelas tidak sama
dan hal itu anatara lain di ekspresukan dalam perbedaan besarnya gaji.

Pandangan liberalistis dikemukakan dari sudut pandang perusahaan yaitu yang


berprestasi diberi gaji besar, yang berprestasi rendah hanya diberi gaji yang
setimpal.
Pandangan sosialistis dikemukakan dari sudut pandang pekerja yaitu bahwa
gaji baru adil bila sesuai dengan kebutuhan si pekerja beserta keluarga.

Adil tidaknya gaji menjadi lebih kompleks lagi, jika kita akui bahwa imbalan
kerja lebih luas daripada take-home pay saja. Fasilitas khusus seperti kendaraan,
bantuan beras, dan lain-lain harus dipandang juga sebagai sebagian dari imbalan kerja.
Dan lebih penting lagi adalah asuransi kerja, jaminan kesehatan, prospek pensiun, dsb.
Gaji yang relatif rendah bisa mencukupi juga, asalkan dikompensasi oleh jaminan
sosial yang baik serta fasilitas-fasilitas lain.

b. Enam faktor khusus

6 kriteria yang perlu dipertimbangan agar gaji atau upah itu adil atau fair :

1. Peraturan hukum: ketentuan hukum tentang upah minimum.


2. Upah yang lazim dalam sektor industri tertentu atau daerah tertentu: gaji atau
upah bisa dinilai adil, jika rata-rata diberikan dalam sektor industri
bersangkutan.
3. Kemampuan perusahaan: perusahaan yang menghasilkan laba besar, harus
memberi gaji lebih besar pula daripada perusahaan yang mempunyai marjin
laba yang kecil saja.
4. Sifat khusus pekerjaan tertentu: beberapa tugas dalam perusahaan hanya bisa
dijalankan oleh orang yang mendapat pendidikan atauu pelatihan khusus,
kadang-kadang malah pendidikan sangat terspesialisasi. Kelangkaan tenaga
mereka boleh diimbangi dengan tingkat gaji yang lebih tinggi.
5. Perbandingan dengan upah/gaji lain dalam perusahaan: kalau pekerjaan tidak
mempunyai sifat khusus, sseperti menuntut pengalaman lebih lama atau
mengandung risiko tertentu, maka gaji atau upah harus sama.
6. Perundingan upah/gaji yang fair: di negara-negara berindustri maju, sejarah
telah membuktikan bahwa perundingan langsung antara perusahaan dan paara
karyawan merupakan cara ampuh untuk mencapai gaji dan upah yang fair.

c. Senioritas dan imbalan rahasia

Senioritas sebagai kriteria untuk menentukan gaji. Maksudnya orang yang


bekerja lebih lama pada suatu perusahaan atau instansi mendapat gaji yang lebih
tinggi. Pertimbangannya adalah bahwa gaji lebih tinggi berdasarkan senioritas itu
merupakan semacam penghargaan bagi kesetiaan si karyawan terhadap perusahaan
atau profesinya.

Masalah kedua yang ada segi etisnya adalah praktek pembayaran khusus atau
kenaikan gaji yang dirahasiakan terhadap teman-teman sekerja. Bagi para manajer,
cara ini mudah untuk dilaksanakan karena fleksibilitasnya. Tapi efektifitasnya
diragukan, karena kenaikan gaji atau bonus dimaksudkan sebagai stimulans bagi
semua karyawan. Menjadi tidak fair, kalau orang tidak diberitahukan dengan jelas
tentang kemungkinan dan kriteria untuk mendapat kenaikan gaji atau bonus.

4. Perusahaan tidak boleh memberhentikan karyawan dengan semena-mena

Ada 3 alasan mengapa perusahaan akan menghentikan karyawan :

1. Alasan internal perusahaan (restrukturasi, otomatisasi, merger dengan


perusahaan lain)
2. Alsan eksternal (konyungtur, resesi ekonomi)
3. Kesalahan karyawan

Menurut Garret dan Klonoski, ada 3 kewajiban majikan dalam memberhentikan


karyawan :

1. Majikan hanya boleh memberhentikan karena alasan yang tepat

Kalau karyawan diberhentikan karena alasan ekonomis, seperti mendesaknya


pelangsingan untuk memperbaiki kinerja perusahaan, pimpinan harus
sungguh-sungguh yakin akan perlunya tindakan itu.
Kalau karyawan diberhentikan karena kesalahannya, keputusan itu seluruhnya
tergantung pada kemauan si majikan, asalkan alasannya tepat. Namun juga tidak
boleh ekstrem, sebaiknya diberi peringatan dulu jika karyawan bersalah.

2. Majikan harus berpegang pada prosedur yang semestinya

Dalam hal ini peraturan hukum harus dipegang dengan seksama. Di samping
itu perusahaan besar sebaiknya mempunyai aturan-aturan internal yang menjamin
prosedur pemberhentian yang jelas dan terbuka.

Dari perusahaan kecil tidak bisa diharapkan bahwa mereka memiliki


aturan-aturan yang rinci tentang pemberhentian karyawan yang bersalah. Pimpinan
perusahaan harus berpegang pada kearifan pribadi, selain pada peraturan hukum atau
peraturan organisasi majikan, atau sebagainya.

Bagi perusahaan besar atau kecil, berlaku prinsip-prinsip berikut:

a. Tuduhan terhadap karyawan harus dirumuskan dengan jelas dan didukung oleh
pembuktian yang meyankinkan
b. Karyawan harus diberi kesempatan untuk bertatap muka dengan orang yang
menuduhnya, untuk membantah tuduhan dan memperlihatkan bahwa
pembuktiannya tidak tahan uji, kalau ia memang tidak bersalah.
c. Harus tersedia kemungkinan untuk naik banding dalam salah satu bentuk,
sehingga keputusan terakhir diambil oleh orang atau instansi yang tidak
secaara langsung berhubungan dengan karyawan bersangkutan.

3. Majikan harus membatasi akibat negatif bagi karyawan sampai seminimal


mungkin

Di banyak negara, kepada karyawan yang diberhentikan karena kesalahannya


pun, menurut peraturan hukum harus diberikan pesangon. hal itu tidak enak baagi
majikan bersangkutan, tetapi tidak dapat dinilai kurang adil, karena karyawan yang
bersalah pun tidak boleh dibiarkan terlantar.

Satu cara yang banyak membantu untuk meringankan efek-efek buruk dari PHK
adalah memberitahukan prospek itu kepada karyawan beberapa waktu sebelumnya.
Sengan demikian diberikan kesempatan kepada karyawan untuk mencari pekerjaan
lain.
C. Beberapa Kasus

Contoh kasus Favoritisme dalam Perusahaan

Perusahaan farmasi PT. Cepat Sembuh berkembang pesat. Mereka membutuhkan


salesman baru. Setelah dipasang iklan dalam koran, diterima 15 orang, diantaranya
Narto, keponakan dari manajer personalia. Tujuh orang yang mempunyai prestasi
paling baik akan ditawari training di luar negeri. Sesudah 3 bulan bekerja, prestasi
Narto sedang-sedang saja. Dianatara salesman baru itu, Narto menduduki ranking 10,
tetapi manajer personalia memilih keponakannya untuk diberangkatkan ke luar negeri.
Prestasi kerja dari mereka semua hanya diketahui oleh manajer personalia.

Menurut pandangan kami,

Dari segi etika, kasus ini kami nilai tidak boleh dilakukan, karena dengan secara
sengaja manajer melakukan kecurangan dan melanggar peraturan yang telah dibuat
dan tentunya menimbulkan pandangan diskriminasi antar karyawan karena lebih
mengutamakan keluarganya daripada kemampuan yang lebih kompeten berdasarkan
hasil ranking tersebut,

Anda mungkin juga menyukai