Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH PERPAJAKAN

BEA MATERIAL DAN PAJAK DAERAH DAN RESTRIBUSI


DAERAH

Dosen Pengampuh : RANY GESTA PUTRI RAIS, S.E., M.Si

DI SUSUN OLEH KELOMPOK 12 :

PUTRI ANGGRAINI (200420018)

LENI MASTURA (200420040)

JUMILAWATI (200420004)

AKUNTANSI III-A

PRODI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MALIKULSALEH

2021/2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah menganugerahkan

kepada kita, sekian banyak nikmat, mau’nah, inayah serta hidayah-Nya.Sehingga

dengan itu semua kita mampu menjalankan segala bentuk amanah yang dibebankan

kepada kita, sekaligus kita mampu meningkatkan kualitas diri dan wujud manusiawi

sebagai khalifatullah di muka bumi ini.

Shalawat dan Salam senantiasa selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi

Agung Muhammad SAW yang telah mengajarkan kita bagaimana seharusnya

mengarungi kehidupan ini, sehingga nantinya kita bisa meraih derajat

“sa’adah”,bahagia dunia-akhirat.

Selanjutnya, syukur Alhamdulillah, makalah yang berjudul “Bea Material Dan

Pajak Daerah Dan Restribusi Daerah” ini dapat terselesaikan.Meskipun masih

banyak terdapat kekurangan disana-sini.Dengan harapan setelah dipresentasikan,

kekurangan yang ada bisa ditambahi dan disempurnakan.Demikianlah, semoga makalah

ini bisa memberikan manfaatkhususnya bagi penulis dan umumnya bagi semua pihak

yang berkepentingan.

Lhokseumawe, 20 September 2021

Kelompok 12,

i
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1

1.1..................................................................................................................Latar
Belakang..................................................................................................1
1.2..................................................................................................................Rumusan
Masalah...................................................................................................2
1.3..................................................................................................................Tujuan
.................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

2.1.................................................................................................................. Pengertia
n Materai.................................................................................................3
2.2.................................................................................................................. Jenis Bea
Materai....................................................................................................3
2.3.................................................................................................................. Subjek
Bea Materai.............................................................................................3
2.4.................................................................................................................. Objek
Bea Materai ............................................................................................3
2.5.................................................................................................................. Cara
Pelunasan Bea Materai ...........................................................................4
2.6.................................................................................................................. Ketentua
n Larangan Dan Pidana Dalam UU Bea Materai....................................5
2.7.................................................................................................................. Pajak
Daerah Dan Retribusi Daerah.................................................................7

ii
2.8.................................................................................................................. Dasar
Hukum.....................................................................................................13
2.9.................................................................................................................. Definisi
Pajak Daerah Dan Jenis- Jenis Pajak Daerah..........................................19

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.............................................................................................21
B. Saran........................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................22

iii
BAB I

PENAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah salah satu institusi pemerintah yang

mempunyai peran yang sangat penting dalam menggerakkan roda perekonomian nasional.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 1948, istilah Pejabatan Bea Cukai

berubah nama menjadi Jawatan Bea dan Cukai, yang bertahan sampai tahun 1965. Setelah

tahun 1965 hingga sekarang, namanya menjadi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).

Peran tersebut memiliki kontribusi yang siginifikan dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi

yang tinggi terutama dalam menggerakan pertumbuhan disector riil melalui kebijakan fiskal

yang diarahkan terutama untuk peningkatan dan melindungi industri dan investasi dalam

negeri serta meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar internasional dengan adanya

kebijakan dari Menteri Keuangan.

Bea Materai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang bersifat perdata dan

dokumen untuk digunakan di dalam pengadilan. Dokumen yang bisa dikenai bea meterai

adalah dokumen berbentuk surat yang memuat jumlah uang, dokumen yang bersifat perdata,

dan dokumen yang digunakan di muka pengadilan, misalnya dokumen kontrak pengadaan

perlengkapan kantor dan dokumen perjanjian pembangunan gedung kantor.

Nilai bea meterai yang berlaku adalah Rp3.000 dan Rp6.000 sesuai jenis dokumen

yang dikenai bea dan penggunaan dokumen. Pembayaran bea meterai dilakukan terlebih

dahulu daripada saat terutang.

1
1.2 RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah yang di angkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

a. Apa Saja Yang Termaksud Dalam Objek Bea Materai ?

b. Bagaimanakah Tatacara Pelunasan Bea Materai ?

c. Apa Saja Ketentuan Khusus Dan Sanksi Dari Bea Materai ?

d. Pengertian Pajak Retribusi Daerah ?

e. Apa Saja Dasar Hukum Retribusi Daerah ?

f. Jenis-Jenis Pajak Retribusi Daerah ?

1.3. TUJUAN DAN MANFAAT

Untuk memenuhi tugas yang di berikan oleh dosen pengampuh mata kuliah

pengantar manajemen Ibu Linkdanawati. Selain itu adapun manfaat yang di dapat dari

pembuatan makalah ini adalah untuk menambah wawasan dan pemahaman atas materi yang

di bahas.

2
BAB II

PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Bea Meterai

Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang bersifat perdata dan


dokumen untuk digunakan di dalam pengadilan. Dokumen yang bisa dikenai bea meterai
adalah dokumen berbentuk surat yang memuat jumlah uang, dokumen yang bersifat perdata,
dan dokumen yang digunakan di muka pengadilan, misalnya dokumen kontrak pengadaan
perlengkapan kantor dan dokumen perjanjian pembangunan gedung kantor.

Nilai bea meterai yang berlaku adalah Rp3.000 dan Rp6.000 sesuai jenis dokumen
yang dikenai bea dan penggunaan dokumen. Pembayaran bea meterai dilakukan terlebih
dahulu daripada saat terutang.

2.2. Jenis Bea Meterai

a. Benda meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan Pemerintah
Republik Indonesia.
b. Pemeteraian kemudian adalah pelunasan bea meterai yang dilakukan oleh pejabat pos atas
dokumen dengan bea meterai yang belum dilunasi.

2.3. Subjek Bea Meterai


Berikut ini adalah subjek bea meterai:
a. Pihak yang menerima atau memperoleh manfaat dari dokumen yang bersangkutan, kecuali
jika pihak-pihak tersebut menentukan lain.
b. Dalam hal dokumen dibuat sepihak, bea meterai terutang oleh penerima. Misalnya pada
kuitansi.
c. Dalam hal dokumen dibuat oleh 2 pihak atau lebih, maka masing-masing pihak terkait
terutang bea meterai. Misalnya pada surat perjanjian di bawah tangan.

2.4. Objek Bea Meterai


Berikut ini adalah dokumen yang dikenakan bea meterai, yaitu:
a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya (surat kuasa, surat hibah, dan surat pernyataan)
yang dibuat sebagai alat pembuktian atas perbuatan, kenyataan, atau keadaan yang bersifat
perdata.
3
b. Akta-akta notaris dan salinannya.

c. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan rangkap-
rangkapnya.

d. Surat yang memuat jumlah uang di atas Rp250.000:


1. Yang menyebutkan penerimaan uang.
2. Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank.
3. Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank.
4. Yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi
atau diperhitungkan.
5. Lebih dari Rp250.000 sampai dengan Rp1.000.000 akan dikenakan bea meterai
Rp3.000.
6. Lebih dari Rp1.000.000 akan dikenakan bea meterai Rp6.000.

e. Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep, yang harga nominalnya di atas
Rp250.000.
1. Di atas Rp250.000 sampai dengan Rp1.000.000 akan dikenakan bea meterai Rp3.000.
2. Di atas Rp1.000.000 akan dikenakan bea meterai Rp6.000.
3. Jika harga nominal dinyatakan dalam mata uang asing, maka harga nominal harus
dikalikan dengan Kurs Menteri Keuangan.

f. Dokumen yang digunakan sebagai alat pembuktian dalam pengadilan, yaitu:


1. Surat-surat biasa dan surat kerumahtanggaan.
2. Surat-surat yang awalnya tidak dikenakan bea meterai berdasarkan tujuannya, jika
digunakan untuk tujuan lain atau oleh orang lain, selain dari tujuannya semula.
3. Jika dokumen awalnya tidak terutang bea meterai, tetapi kemudian digunakan sebagai
alat pembuktian di pengadilan, maka harus dilakukan pemeteraian kemudian.

2.5. Cara Pelunasan Bea Meterai


Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 mengatur tata cara pelunasan
bea meterai. Pada dasarnya pelunasan bea meterai dapat ditempuh dengan dua cara yaitu :
Dengan menggunakan benda meterai yaitu meterai tempel dan kertas meterai, pelunasan
dengan benda meterai ini bisa dilakukan dengan cara biasa yaitu oleh Wajib Pajak sendiri,

4
dan dapat pula dilakukan melalui pemeteraian kemudian oleh pejabat pos. Dalam
menempelkan meterai tempel dan menggunakan kertas meterai harus diperhatikan hal-hal
sebagai berikut ( pasal 7 ayat (3), (4), (5) dan (6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 ) :
a. Materai tempel harus direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen
yang dikenakan bea meterai.
b. Materai tempel direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibutuhkan.
c. Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun
dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan ada
di atas kertas dan sebagian lagi di atas meterai tempel
d. Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian di
atas semua meterai tempel dan sebagian di atas kertas.

Bila pelunasan bea meterai dilakukan dengan menggunakan kertas meterai maka harus
memperhatikan hal-hal sebagaimana yang tercantum dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 1985 sebagai berikut :

a. Kertas meterai yang sudah digunakan tidak boleh digunakan lagi ( ayat (7) )
b. Jika isi dokumen yang dikenakan bea meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya di
atas kertas meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat
digunakan kertas tidak bermeterai ( ayat (8) )
c. Bila ketentuan penggunaan dan cara pelunasan bea meterai tidak dipenuhi, dokumen yang
bersangkutan dianggap tidak bermeterai ( ayat (9) )

Cara pelunasan bea meterai dengan cara lain yang ditetapkan menteri keuangan, yaitu :

a. Membutuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan menggunakan mesin teraan meterai
b. Membutuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi percetakan
c. Membutuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi
d. Membutuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan alat lain dan teknologi tertentu.

2.6. Ketentuan Larangan dan Pidana dalam UU Bea Mat erai


Selain mengatur mengenai cakupan, jenis, dan tarif bea materai, Undang-Undang No.
10/2020 tentang Bea Materai (UU Bea Meterai) juga menetapkan ketentuan mengenai
larangan dan pidana. Ketentuan tersebut mengikat setiap subjek yang diatur dalam undang-
undang ini.

5
Larangan dan pidana yang diatur tidak hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang
terutang atas bea meterai saja, tetapi juga terhadap pejabat pemungut bea meterai. Namun,
ketentuan yang berlaku terhadap kedua subjek tersebut berbeda sesuai dengan kewajiban
mereka masing-masing yang diatur dalam UU Bea Meterai.

Larangan bagi pejabat yang berwenang dalam pemungutan bea meterai, secara khusus
diatur ketentuan mengenai larangan yang berlaku bagi mereka dalam Pasal 21 UU Bea
Meterai. Berdasarkan pasal tersebut, ditetapkan bahwa bagi pejabat yang berwenang dalam
pemungutan bea meterai, dilarang untuk menerima, mempertimbangkan, atau menyimpan
dokumen yang bea meterainya tidak atau kurang dibayar.

Ketentuan ini dimaksudkan agar setiap pejabat dalam menjalankan tugas atau fungsi
jabatannya, dapat memberi kepastian bahwa bea meterai yang terutang atas suatu dokumen
telah dibayar lunas atau belum. Selain itu, pejabat yang berwenang juga dilarang untuk
melekatkan dokumen yang dimaksud pada dokumen lain yang berkaitan.

Pasal 21 UU Bea Meterai juga menetapkan larangan bagi pajabat yang berwenang
dalam pemungutan bea meterai untuk membuat salinan, tembusan, rangkap, atau petikan; dan
memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang dimaksud. Pejabat berwenang yang
dimaksud meliputi hakim, panitera, jurusita, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, pegawai
aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik
Indonesia, dan pejabat negara.

Apabila seorang pejabat yang berwenang terbukti melakukan pelanggaran terhadap


ketentuan di atas maka pejabat tersebut akan dikenakan sanksi administratif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud
adalah segala peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai disiplin dan
kewajiban atau larangan pegawai aparatur sipil negara, pejabat negara, atau pejabat umum
lainnya.

Ketentuan Pidana, Pasal 24 UU Bea Meterai menetapkan ketentuan pidana yang


berlaku terhadap setiap orang. Hal-hal yang dilarang adalah meniru atau memalsukan meterai
yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan maksud untuk memakai atau meminta orang lain
memakai meterai tersebut. Selain itu, setiap orang dilarang untuk membuat meterai dengan

6
menggunakan cap asli dengan cara melawan hukum, termasuk membuat meterai elektronik
dan meterai dalam bentuk lain.

Bila seorang penanggung utang bea meterai terbukti melakukan salah satu dari dua
tindakan yang dimaksud maka dapat diancam pidana penjara paling lama tujuh tahun dan
pidana denda paling banyak Rp500 juta. Selain dua larangan tersebut, Pasal 25 UU Bea
Meterai menetapkan ancaman pidana penjara paling lama tujuh tahun dan pidana denda
paling banyak Rp500 juta bagi setiap orang yang memakai, menjual, menawarkan,
menyerahkan, mempunyai persediaan untuk dijual, atau memasukkan meterai yang
dipalsukan (atau dibuat dengan cara lain yang melawan hukum) ke wilayah Indonesia.

Ancaman pidana tersebut juga berlaku terhadap orang yang melakukan tindakan
serupa dengan barang yang telah dibumbuhi meterai tersebut. Terakhir, Pasal 26 UU Bea
Meterai juga menetapkan ancaman pidana penjara paling lama tiga tahun atau pidana denda
paling banyak Rp200 juta bagi setiap orang yang menghilangkan tanda yang dimaksudkan
untuk menunjukkan bahwa meterai tersebut tidak dapat dipakai lagi dan kemudian
menggunakannya atau meminta orang lain untuk menggunakan lagi meterai tersebut.

Ancaman pidana yang sama juga berlaku bagi setiap orang yang menghilangkan tanda
tangan, ciri, atau tanda saat dipakainya meterai yang telah dipakai; atau memakai, menjual,
menawarkan, menyerahkan, mempunyai persediaan untuk dijual, atau memasukan meterai
yang dimaksud ke wilayah Indonesia.

2.7. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah


PDRD adalah pungutan oleh daerah yang merupakan salah satu hak daerah dalam
menyelenggarakan otonomi daerah. Hak-hak daerah tersebut sebagaimana dimaksud dalam
pasal 21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Hasil PDRD merupakan sebagian sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Selain dari
PDRD, sumber PAD adalah hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain
PAD yang sah. PDRD ditetapkan dengan Undang-Undang, terbaru dengan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pemerintahan daerah
dilarang melakukan pungutan atau dengan sebutan lain di luar yang telah ditetapkan Undang-
Undang.

7
Pelaksanaan Undang-Undang PDRD di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Daerah (Perda). Penetapan rancangan Perda yang berkaitan dengan PDRD dikoordinasikan
terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan, dalam hal ini Direktorat Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah Ditjen Perimbangan Keuangan.

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah
yang penting guna membiayai pelaksanaan Pemerintahan Daerah. Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah diatur dengan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah mencabut dan tidak memberlakukan lagi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Pajak Daerah, atau Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah disahkan Presiden Doktor Haji Susilo Bambang Yudhoyono pada
tanggal 15 September 2009 di Jakarta. Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah diundangkan oleh Menkumham Andi Mattalatta pada tanggal
15 September 2009 di Jakarta. Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah diundangkan dan ditempatkan pada Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 130.

Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah ditempatkan pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5049. Agar setiap orang mengetahuinya. Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi mencabut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3685) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4048). Dan dinyatakan tidak berlaku.
8
Dengan diberlakukannya Undang-Undang ini, kemampuan Daerah untuk membiayai
kebutuhan pengeluarannya semakin besar karena Daerah dapat dengan mudah menyesuaikan
pendapatannya sejalan dengan adanya peningkatan basis pajak daerah dan diskresi dalam
penetapan tarif. Di pihak lain, dengan tidak memberikan kewenangan kepada Daerah untuk
menetapkan jenis pajak dan retribusi baru akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan
dunia usaha yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat
dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

a. Prinsip Umum
1. Keadilan (equity)
2. Kepastian (certainity)
3. Kemudahan (convenience)
4. Efisiensi (efficiency)
b. Pemungutan

1. Didasarkan pada peraturan daerah.

2. Daerah memiliki potensi penerimaan pajak dan/atau retribusi yang memadai.

3. Penetapan ariff memperhatikan kemampuan masyarakat dan aspek keadilan.

4. Administrasi pemungutan diatur secara efisien dan efektif.

5. Terdapat kepastian hukum dan pengaturan yang jelas mengenai hak dan kewajiban
pembayar dan pemungut pajak daerah dan retribusi daerah.

6. Pemungutan tidak dapat diborongkan.


7. Pemungutan tidak berlaku suruh.

c. Perbedaan antara Pajak dan Retribusi

1. Pembayar pajak tidak menerima imbalan langsung. Sedangkan pembayar retribusi


menerima imbalan/manfaat dari penerima retribusi.

2. Objek pajak bukan merupakan objek retribusi.

3. Pada retribusi berlaku sistem official assessment. Sedangkan pada pajak berlaku
sistem self assessment, official assessment, dan withholding.

9
d. Pajak Daerah
Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah Otonom (daerah) yang terutang
oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

e. Ciri-ciri
1. Dipungut oleh Pemda, berdasarkan kekuatan peraturan perundang-undangan.
2. Dipungut apabila ada suatu keadaan, peristiwa dan perbuatan yang menurut peraturan
perundang-undangan dapat dikenakan pajak daerah.
3. Dapat dipaksakan, yakni apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban pembayaran
pajak daerah, yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi (pidana dan denda).
4. Tidak terdapat hubungan langsung antara pembayaran pajak daerah dengan
imbalan/balas jasa secara perseorangan.
5. Hasil penerimaan pajak daerah disetor ke kas daerah.

f. Jenis Pajak Daerah

Pajak daerah terdiri atas pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota. Daerah dilarang
memungut pajak selain jenis pajak yang telah ditentukan, sebagaimana tersebut di bawah.
Pajak daerah dapat tidak dipungut apabila potensinya kurang memadai dan/atau disesuaikan
dengan kebijakan daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Khusus untuk daerah yang setingkat dengan daerah provinsi, tetapi tidak terbagi
dalam daerah kabupaten/kota otonom, seperti Daerah Khusus Ibukota Jakarta, jenis pajak
daerah yang dapat dipungut merupakan gabungan dari pajak untuk daerah provinsi dan pajak
untuk daerah kabupaten/kota.

Jenis pajak provinsi terdiri atas :

1. Pajak Kendaraan Bermotor;

2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;

3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;

4. Pajak Air Permukaan; dan

5. Pajak Rokok.

10
Jenis pajak kabupaten/kota terdiri atas :

1. Pajak Hotel.

2. Pajak Restora.;

3. Pajak Hiburan.

4. Pajak Reklame.

5. Pajak Penerangan Jalan.

6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan.

7. Pajak Parkir.

8. Pajak Air Tanah.

9. Pajak Sarang Burung Walet.

10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan

11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

g. Retribusi Daerah

Retribusi Daerah atau Retribusi adalah pungutan daerah (otonom) sebagai


pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan
dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

h. Ciri-ciri

1. Dipungut oleh pemerintah daerah, berdasarkan kekuatan peraturan perundang-


undangan.

2. Dapat dipungut apabila ada jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dan
dinikmati oleh orang atau badan.

3. Pihak yang membayar retribusi daerah mendapatkan imbalan/balas jasa secara


langsung dari pemerintah daerah atas pembayaran yang dilakukannya.

4. Wajib retribusi yang tidak memenuhi kewajiban pembayaran retribusi daerah dapat
dikenakan sanksi ekonomis, yaitu jika tidak membayar retribusi daerah tidak
memperoleh jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah.

5. Hasil penerimaan retribusi daerah disetor ke kas daerah.

11
i. Jenis Retribusi Jasa Umum adalah:

1. Retribusi Pelayanan Kesehatan;

2. Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan;

3. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil;

4. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat;

5. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;

6. Retribusi Pelayanan Pasar;

7. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;

8. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran;

9. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta;

10. Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus;

11. Retribusi Pengolahan Limbah Cair;

12. Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang;

13. Retribusi Pelayanan Pendidikan; dan

14. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi.

Jenis Retribusi di atas dapat tidak dipungut apabila potensi penerimaannya kecil
dan/atau atas kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-
cuma.

Pertimbangan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan


Retribusi Daerah adalah:

1. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan


Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan
berkeadilan;
2. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan

12
Daerah, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan
kewenangan yang seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara;
3. bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan
daerah
4. yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah;
5. bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian
daerah, perlu dilakukan perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah dan
pemberian diskresi dalam penetapan tarif;
6. bahwa kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip
demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan
memperhatikan potensi daerah;
7. bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, perlu disesuaikan dengan kebijakan otonomi daerah;
8. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf
c, huruf d, huruf e, dan huruf f, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah;

2.8. Dasar Hukum

Dasar hukum Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20 ayat (2),
Pasal 22D, dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Penjelasan Umum UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik Indonesia


dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten
dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.

13
Untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut, Daerah berhak mengenakan
pungutan kepada masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan
kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan
lain yang bersifat memaksa diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian, pemungutan
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus didasarkan pada Undang-Undang.

Selama ini pungutan Daerah yang berupa Pajak dan Retribusi diatur dengan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Sesuai dengan Undang-Undang
tersebut, Daerah diberi kewenangan untuk memungut 11 (sebelas) jenis Pajak, yaitu 4
(empat) jenis Pajak provinsi dan 7 (tujuh) jenis Pajak kabupaten/kota. Selain itu,
kabupaten/kota juga masih diberi kewenangan untuk menetapkan jenis Pajak lain sepanjang
memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Undang-Undang tersebut juga
mengatur tarif pajak maksimum untuk kesebelas jenis Pajak tersebut. Terkait dengan
Retribusi, Undang-Undang tersebut hanya mengatur prinsip-prinsip dalam menetapkan jenis
Retribusi yang dapat dipungut Daerah. Baik provinsi maupun kabupaten/kota diberi
kewenangan untuk menetapkan jenis Retribusi selain yang ditetapkan dalam peraturan
pemerintah. Selanjutnya, peraturan pemerintah menetapkan lebih rinci ketentuan mengenai
objek, subjek, dan dasar pengenaan dari 11 (sebelas) jenis Pajak tersebut dan menetapkan 27
(dua puluh tujuh) jenis Retribusi yang dapat dipungut oleh Daerah serta menetapkan tarif
Pajak yang seragam terhadap seluruh jenis Pajak provinsi.

Hasil penerimaan Pajak dan Retribusi diakui belum memadai dan memiliki peranan
yang relatif kecil terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) khususnya
bagi daerah kabupaten dan kota. Sebagian besar pengeluaran APBD dibiayai dana alokasi
dari pusat. Dalam banyak hal, dana alokasi dari pusat tidak sepenuhnya dapat diharapkan
menutup seluruh kebutuhan pengeluaran Daerah. Oleh karena itu, pemberian peluang untuk
mengenakan pungutan baru yang semula diharapkan dapat meningkatkan penerimaan
Daerah, dalam kenyataannya tidak banyak diharapkan dapat menutupi kekurangan kebutuhan
pengeluaran tersebut. Dengan kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang hampir tidak
ada jenis pungutan Pajak dan Retribusi baru yang dapat dipungut oleh Daerah. Oleh karena
itu, hampir semua pungutan baru yang ditetapkan oleh Daerah memberikan dampak yang
kurang baik terhadap iklim investasi. Banyak pungutan Daerah yang mengakibatkan ekonomi

14
biaya tinggi karena tumpang tindih dengan pungutan pusat dan merintangi arus barang dan
jasa antardaerah.

Pengaturan kewenangan perpajakan dan retribusi yang ada saat ini kurang mendukung
pelaksanaan otonomi Daerah. Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada Daerah
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti
dengan pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan dan retribusi. Basis pajak
kabupaten dan kota yang sangat terbatas dan tidak adanya kewenangan provinsi dalam
penetapan tarif pajaknya mengakibatkan Daerah selalu mengalami kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan pengeluarannya. Ketergantungan Daerah yang sangat besar terhadap dana
perimbangan dari pusat dalam banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas Daerah.
Pemerintah Daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan anggaran secara efisien dan
masyarakat setempat tidak ingin mengontrol anggaran Daerah karena merasa tidak dibebani
dengan Pajak dan Retribusi.

Untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah


Daerah seharusnya diberi kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi.
Berkaitan dengan pemberian kewenangan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perluasan
kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut dilakukan dengan memperluas basis pajak
Daerah dan memberikan kewenangan kepada Daerah dalam penetapan tarif. Selain perluasan
pajak, dalam Undang-Undang ini juga dilakukan perluasan terhadap beberapa objek Retribusi
dan penambahan jenis Retribusi. Retribusi Izin Gangguan diperluas hingga mencakup
pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah
terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban
lingkungan dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja. Terdapat 4 (empat) jenis
Retribusi baru bagi Daerah, yaitu Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang, Retribusi Pelayanan
Pendidikan, Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, dan Retribusi Izin Usaha
Perikanan.

Berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif untuk menghindari


penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat menambah beban bagi masyarakat secara
berlebihan, Daerah hanya diberi kewenangan untuk menetapkan tarif pajak dalam batas
maksimum yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Selain itu, untuk menghindari perang

15
tarif pajak antardaerah untuk objek pajak yang mudah bergerak, seperti kendaraan bermotor,
dalam Undang-Undang ini ditetapkan juga tarif minimum untuk Pajak Kendaraan Bermotor.
Pengaturan tarif demikian diperkirakan juga masih memberikan peluang bagi masyarakat
untuk memindahkan kendaraannya ke daerah lain yang beban pajaknya lebih rendah. Oleh
karena itu, dalam Undang-Undang ini Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagai dasar
pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor masih
ditetapkan seragam secara nasional. Namun, sejalan dengan tuntutan masyarakat terhadap
pelayanan yang lebih baik sesuai dengan beban pajak yang ditanggungnya dan pertimbangan
tertentu, Menteri Dalam Negeri dapat menyerahkan kewenangan penetapan Nilai Jual
Kendaraan Bermotor kepada Daerah. Selain itu, kebijakan tarif Pajak Kendaraan Bermotor
juga diarahkan untuk mengurangi tingkat kemacetan di daerah perkotaan dengan memberikan
kewenangan Daerah untuk menerapkan tarif pajak progresif untuk kepemilikan kendaraan
kedua dan seterusnya. Khusus untuk Pajak Rokok, dasar pengenaannya adalah cukai rokok.
Tarif Pajak Rokok ditetapkan secara definitif di dalam Undang-Undang ini, agar Pemerintah
dapat menjaga keseimbangan antara beban cukai yang harus dipikul oleh industri rokok
dengan kebutuhan fiskal nasional dan Daerah melalui penetapan tarif cukai nasional.

Isi UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Berikut adalah isi Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (bukan format asli):

Dalam Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan:

1. Daerah Otonom, yang selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
3. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan Tugas
Pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara

16
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat Daerah
sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD, adalah lembaga
perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
6. Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah
kabupaten atau walikota bagi Daerah kota.
7. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan daerah dan/atau
retribusi daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
8. Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD
provinsi dan/atau daerah kabupaten/kota dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.
9. Peraturan Kepala Daerah adalah Peraturan Gubernur dan/atau Peraturan
Bupati/Walikota.
10. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
11. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN),
atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma,
kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
12. Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan
kendaraan bermotor.
13. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang
digunakan di semua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa
motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi
tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-
alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan
tidak melekat secara permanen serta kendaraan bermotor yang dioperasikan di air.

17
14. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penyerahan hak milik
kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau
keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan
ke dalam badan usaha.
15. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penggunaan bahan bakar
kendaraan bermotor.
16. Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang
digunakan untuk kendaraan bermotor.
17. Pajak Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air
permukaan.
18. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah, tidak termasuk
air laut, baik yang berada di laut maupun di darat.
19. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.
20. Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.
21. Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/ peristirahatan termasuk jasa terkait
lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk
pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta
rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh).
22. Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.
23. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut
bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan
sejenisnya termasuk jasa boga/katering.
24. Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan.
25. Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian
yang dinikmati dengan dipungut bayaran.
26. Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
27. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya
dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan,
atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan, yang
dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum.
28. Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang
dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.

18
29. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan
mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan
bumi untuk dimanfaatkan.
30. Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah mineral bukan logam dan batuan
sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan
batubara.

2.9. Definisi Pajak Daerah dan Jenis-jenis Pajak Daerah


Pengertian pajak secara luas perlu kita bahas dulu sebelum membahas definisi
pajak daerah dan pajak pusat. Mengutip buku berjudul "Perpajakan" tulisan Mardiasmo,
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

a. Pajak Daerah
Definisi pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pengertian pajak daerah di atas tertuang dalam UU N0. 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Aturan ini menggantikan UU N0. 18 Tahun 1997
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 34 Tahun 2000.

b. Pembagian Pajak Daerah


Dalam administrasi negara, pemerintah daerah terbagi menjadi pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Jenis-jenis pajak pun dikelompokkan
berdasarkan provinsi dan kabupaten/kota (Pasal 2 UU 28/2009).
Jenis Pajak provinsi terdiri atas:
1. Pajak Kendaraan Bermotor.
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
4. Pajak Air Permukaan; dan
5. Pajak Rokok.

19
Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri dari:
1. Pajak Hotel.
2. Pajak Restoran.
3. Pajak Hiburan.
4. Pajak Reklame.
5. Pajak Penerangan Jalan.
6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan.
7. Pajak Parkir.
8. Pajak Air Tanah.
9. Pajak Sarang Burung Walet.
10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; da.
11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
 
Khusus untuk daerah yang setingkat dengan daerah provinsi, tetapi tidak terbagi
dalam daerah kabupaten/kota otonom. Misalnya, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, jenis
Pajak yang dapat dipungut merupakan gabungan dari Pajak untuk daerah provinsi dan
Pajak untuk daerah kabupaten/kota (Pasal 2 ayat 5).
Demikian pembahasan tentang jenis pajak daerah. Semoga tidak ada lagi salah paham
mengenai perbedaan jenis pajak daerah dengan pajak pusat. 

20
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa bea materai merupakan pajak yang dikenakan atas


dokumen yang bersifat perdata dan dokumen untuk digunakan di dalam pengadilan.
Dokumen yang bisa dikenai bea meterai adalah dokumen berbentuk surat yang memuat
jumlah uang, dokumen yang bersifat perdata, dan dokumen yang digunakan di muka
pengadilan, misalnya dokumen kontrak pengadaan perlengkapan kantor dan dokumen
perjanjian pembangunan gedung kantor.

PDRD adalah pungutan oleh daerah yang merupakan salah satu hak daerah dalam
menyelenggarakan otonomi daerah. Hak-hak daerah tersebut sebagaimana dimaksud dalam
pasal 21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan
kewenangan perpajakan dan retribusi yang ada saat ini kurang mendukung pelaksanaan
otonomi Daerah. Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada Daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti dengan
pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan dan retribusi.

3.2. Saran

Penulis berharap agar makalah ini bermanfaat guna menunjang pemahaman terhadap

mata kuliah Pengantar Manajemen. Penulis juga mengharapkan kritikan dan saran untuk

menysun makalah kedepannya bisa menjadi jauh lebih baik.

21
DAFTAR PUSTAKA

https://kamus.tokopedia.com/b/bea-meterai/

https://www.pajakonline.com/cara-pelunasan-bea-meterai/ - :~:text=1.,pemeteraian
%20kemudian%20oleh%20pejabat%20pos

https://news.ddtc.co.id/ketentuan-larangan-dan-pidana-dalam-uu-bea-meterai-26562

https://www.wikiapbn.org/pajak-daerah-dan-retribusi-daerah/ - :~:text=Pajak%20Daerah
%20dan%20Retribusi%20Daerah%20atau%20PDRD%20adalah%20pungutan
%20oleh,Tahun%202004%20tentang%20Pemerintahan%20Daerah

https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-28-2009-pajak-daerah-retribusi-daerah?amp

https://www.pajakku.com/read/5d82eb4574135e0390823b09/Definisi-Pajak-Daerah-dan-
Jenis-jenis-Pajak-Daerah

22

Anda mungkin juga menyukai