Laporan PKL
Laporan PKL
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Balita atau yang dikenal juga dengan anak prasekolah adalah anak
yang berusia antara satu sampai lima tahun. Masa periode di usia ini, balita mempunyai
dorongan pertumbuhan yang biasanya bertepatan dengan periode peningkatan asupan
makan dan nafsu makan (Sulistyoningsih, 2012).
Pertumbuhan dan perkembangan pada masa balita terjadi dengan
sangat pesat sehingga membutuhkan suplai makanan dan gizi dalam jumlah yang cukup
(Tarigan, 2003). Pertumbuhan fisik sering dijadikan indikator untuk mengukur status gizi baik
individu maupun populasi, sehingga orang tua perlu memberikan perhatian pada aspek
pertumbuhan balitanya bila ingin mengetahui keadaan gizi mereka (Khomsan, 2003). Pola
asuh anak merupakan kemampuan keluarga dalam menyediakan waktu, perhatian dan
dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang dengan sebaik-baiknya.
Sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya
dengan anak, memberikan makan, merawat kebersihan, dan memberikan kasih sayang akan
berpengaruh terhadap fisik, mental dan sosial anak Pola asuh makan anak selalu berkaitan
dengan kegiatan pemberian makan yang akhirnya akan memberikan sumbangan status
gizinya.
Praktek pemberian makan pada anak memiliki peran yang sangat
besar
Masalah gizi di Indonesia pada hakekatnya merupakan masalah kesehatan
masyarakat, namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis
dan pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah dari banyak faktor,
oleh karena itu pendekatan penanggulanggannya harus melibatkan berbagai sector terkait
seperti dinas kesehatan, puskesmas, dan tenaga medis lainnya.
Berdasarkan perkembangan masalah gizi, menurut data Riskesdas pada
tahun 2013 preValensi gizi buruk di indonesia sebesar 5,7% dan gizi kurang sebesar 13,9%
wanita hamil berusia 15-49 tahun yang memiliki resiko mengalami KEK (kurang urang
energy krorik) sebesar 24,2%. kebijakan Indonesia sehat pada tahun 2010 menetapkan 3
pilar utama yaitu lingkungan sehat, perilaku sehat dan pelayanan kesehatan bermutu adil
dan merata.dalam tatanan otonomi daerah, visi Indonesia sehat pada tahun 2010 akan
dapat dicapai bila tercapai secara keseluruhan kabupaten atau kota sehat. oleh karena
itu,selain harus dikembangkan sistem kesehatan kabupaten atau kota yang termasuk
kedalam subsistem dari sistem kesehatan nasional, harus ditetapkan pula kegiatan minimal
yang harus dilaksanakan oleh kabupaten atau kot dalam asupan nutrisi anak.
Pemberian makan pada anak dan kebiasaan Puskesmas adalah
unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten atau kota yang bertanggung jawab
terhadap penyelenggaraan upaya kesehatan untuk jenjang tingkat pertama. Puskesmas
merupakan organisasi fungsional yang menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat
menyeluruh, terpadu, merata, dandapat diterima serta dijangkau oleh masyarakat, dengan
peran serta peran aktif masyrakat dan menggunakan hasil pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Puskesmas yang merupakan tombak dasar untuk menindak
lanjuti permasalahan gizi yang terjadi didalam masyarakat harus mempunyai kinerja
yangkuat, teliti dan tepat dalam mendeteksi, menganalisi dan memecahkan permasalahan
gizi yang ada, sehingga untuk menjangkau seluruh wilayah kerjanya, puskesmas diperkuat
dengan Puskesmas Pembantu -Pustu, dan Puskesmas keliling –Pusling, serta dilengkapi
dengan sasilitas Rawat Inap –RI. untuk daerah yang jauh dari saran pelayanan rujukan.
B.Tujuan
1.Tujuan Umum
Memberikan pengalaman kerja di puskesmas mengenai pelaksanaan
manajemen pelayanan gizi masyrakat serta mempelajari pengawasan penyelenggaraan
makanan yang berada diwilayah puskesmas Puuwatu.
2.Tujuan khusus
a.Memahami struktur organisasi dan tugas pokok puskesmas Puuwatu dalam melaksanakan
program pelayanan gizi masyarakat.
b. Memahami masalah kesehatan dan gizi puskesmas puuwatu
c. Memahami program pelayanan gizi puskesmas Puuwatu .
d. Memahami pelaksanaan pengawasan terhadap institusi penyelenggaraan makanan
massal.
e.Memahami perencanaan, pelaksanaan evaluasi program gizi di tingkat puskesmas.
f. Mampu menyusun dan menyajikan laporan mengenai Manajemen Pelayanan gizi
Masyarakat di tingkat Puskesmas.
C.Manfaat
1.Manfaat Bagi Puskesmas puuwatu kendari
Memberikan informasi bagi pihak puskesmas mengenai permasalahan gizi.
2.Manfaat Bagi Mahasiswaa
a.Mahasiswa dapat mengetahui permasalahan kesehatan dan gizi di tingkat Puskesmas
puwatu kendari
b.Mahasiswa dapat mengetahui program-program gizi di Puskesmas puuwatu kendari
3.Tujuan.
1. Tujuan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi status gizi balita. Penelitian bersifat
observasional menggunakan cross sectional. Responden balita 12-59 bulan sebanyak 45
orang. Data determinan status gizi diperoleh melalui kuesioner, sedangkan status gizi
ditentukan berdasarkan indeks Berat Badan/Umur. Hasil penelitian menunjukkan
terdapat hubungan bermakna antara usia balita, riwayat pemberian ASI, asupan
makanan, persepsi ibu, pola pengasuhan dengan status gizi balita. Faktor dominan yang
mempengaruhi status gizi adalah asupan makanan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA.
▪ belum memadainya pola asuh ibu dan rendahnya akses keluarga terhadap pelayanan
kesehatan dasar
. Kejadian gizi kurang terjadi tidak hanya akibat kurangnya asupan gizi saat balita.
Namun, juga dikarenakan menderita penyakit infeksi seperti ISPA dan diare, bayi berat lahir
rendah, tidak diberikan asi secara eksklusif, serta pola asuh salah .
▪ didapatkan hasil bahwa, terdapat 5,9% balita mengalami masalah gizi balita. Masalah
gizi balita yang dialami balita di wilayah Puskesmas puuwatu meliputi stunting, tinggi,
sangat tinggi, gemuk, kurus ,gizi kurang, maupun gizi lebih .
Gizi tahun 2020, didapatkan hasil bahwa sebanyak 3,4% balita mempunyai status gizi
buruk dan 14,4% balita mempunyai status gizi kurang dan 1,5 mengalami obesitas
Sebanyak 27,5% balita mempunyai status gizi stunting. Total 17,8% balita menderita gizi
kurang diantara balita gizi kurang tersebut sebanyak 12,1% balita stunting dan dari total
balita yang mengalami stunting, sebanyak 23,4% balit mempunyai berat badan menurut
tinggi badan (BB/TB)normal. Balita tersebut berpotensi mengalami kegemukan
Daerah kendari sulawasi tenggaraa termasuk dalam bagian darimasalah gizi dengan
prevalensi 2,1% mengalami gizi buruk, 13,8% gizi kurang, 1,6% obesitas, dan 21,8%
mengalami stunting [3].
▪ Kedua terjadi setelah bayi dilahirkan hingga berusia 36 bulan. Ketika bayi lahi volume
otak sekitar 25% [5]. Ketika bayi usia 6 bulan, perkembangan otak mencapai 50%
melonjak hingga 80%
B. permasalahan gizi
Masalah gizi balita dapat disebabkan oleh faktor secara langsung dan faktor
secara tidak langsung.
▪ Faktor secara langsung seperti konsumsi makanan, dan riwayat penyakit yang diderita.
▪ Faktor secara tidak langsungnya seperti status ekonomi keluarga, sanitasi, pendidikan
● 2) ekonomi keluarga
Pemenuhan kebutuhan gizi anak yang dibesarkan dalam keluarga dengan status
ekonomi tinggi dan mapan pasti berbeda dengan anak dengan keluarga yang
perekonomiannya sedang atau kurang. Distribusi frekuensi berdasarkan tingkat ekonomi
mayoritas memang sudah diatas UMR, akan tetapi sisanya masih ada 37,1% yang dibawah
UMR. Hasil ini menunjukkan bahwa lebih dari ¼ responden mempunyai penghasilan yang
rendah. secara statistik terdapat hubungan yang signifikan dengan nilai sig. 0,044 antara
tingkat ekonomi dengan masalah gizi balita. Nilai OR nya adalah 2,79, berarti tingkat
ekonomi mempunyai risiko 2,79 kali untuk mengalami masalah gizi balita. Hasil penelitian
ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa, adanya hubungan pendapatan
keluarga
● 3.) imunisasi
Imunisasi sangat diperlukan untuk memberikan perlindungan,
pencegahan, sekaligus membangun kekebalan tubuh anak terhadap berbagai penyakit
menular maupun penyakit berbahaya yang dapat menyebabkan kecacatan, bahkan
kematian. Pemberian imunisasi secara lengkap dan sesuai jadwal bukan hanya bermanfaat
untuk mmenghasilkan kekebalan tubuh terhadap penyakit, melainkan juga dapat mencegah
penularan penyakit atau wabah . Apabila balita tidak rutin sesuai jadwal atau tidak
melakukan imunisasi sama sekali, maka kekebalan tubuh balita akan berkurang sehingga
rentan terkena penyakit.
Berdasarkan data kelengkapan imunisasi balita masih ada 10,3% balita yang
status imunisasinya tidak lengkap. Untuk hasil analisis multivariat, ternyata tidak ada
keterkaitan antara status kelengkapan imunisasi dengan masalah gizi balita dengan nilai
p > 0,05 dan nilai OR nya kurang dari 1 yaitu 0,25. Kelengkapan imunisasi balita hampir
tidak mempunyai risiko terhadap masalah gizi balita.
Hasil ini tidak sesuai dengan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan Wahyudi, Sriy
ono, dan Indarwati (2015), bahwa riwayat imunisasi yang tidak lengkap mempunyai risiko
tinggi untuk mengalami gizi buruk . Perbedaan hasil penelitian ini dikarenakan mayoritas
balita sudah lengkap untuk kelengkapan imunisasinya, sehingga sudah tidak lagi menjadi
penyebab masalah gizi pada balita. Promosi tentang imunisasi sudah digencarkan di
posyandu-posyandu, sehingga ibu yang mempunyai balita tidak kesulitan jika ingin
berkonsultasi mengenai imunisasi.
● 4).pemberian ASI
. Komposisi dalam ASI sudah cukup untu pertumbuhan dan perkembangan bayi
jika diberikan secara tepat dan benar sampai bayi berusia 6 bulan. Namun pada
kenyataannya, 60% bayi yang belum genap umur 4 tahun sudah diberikan susu sapi.
Pencernaan bayi menjadi matur ketika sudah berusia 6 bulan. Usus bayi setelah berumur 6
bulan mampu menolak faktor alergi ataupun kuman yang masuk. Sehingga bayi yang sudah
diberi susu formula atau susu sapi dibawah 6 bulan, akan lebih rentan dan sering mengalami
diare. Hal ini menjadi salah satupenyebab masalah gizi balita ].
ASI mengandung nutrisi lengkap, hormon, unsur kekebalan faktor pertumbuhan,
anti alergi, serta anti inflamasi. Kolostrum mengandung zat kekebalan 10-17 kalilebih
banyak dari susu matur. Zat kekebalan yang terdapat dalam ASI antara lain dapat mencegah
bayi diare. Suatu studi di Brasil Selatan bayi yang tidak diberikan ASI secara eksklusif
mempunyai kemungkinan meninggal karena diare 14,2 kali lebih banyak daripada bayi yang
diberi ASI eksklusif. ASI juga dapat menurunkan risiko terjadinya infeksi telinga, batuk, flu,
dan alergi. Bayi yang diberi ASI ekslusif akan lebih sehat dan jarang sakit . Hal ini mempunyai
dampak yang tidak langsung dengan kejadian gizi .
Pemberian ASI eklusif mayoritas balita sudah mendapatkan ASI eklusif sebesar
87,6%. Riwayat pemberian ASI Eklusif juga mempunyai pengaruh terhadap masalah gizi
balita dengan nilai sig. < 0,05 dengan nilai OR sebesar 4,81, berarti riwayat balita yang
tidak mendapatkan ASI Eklusif meningkatkan risiko 4,81 kali untuk mengalami masalah
gizi balita, dibandingkan dengan balita yang mendapatkan ASI eklusif. Hasil ini sesuai
dengan hasil penelitian Wahyudi, Sriyono, dan Indarwati (2015), bahwa riwayat balita yang
mendapat ASI eklusif mempunyai risiko yang rendah untuk mengalami gizi buruk . Hasil ini
juga didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lestari (2016), bahwa ASI
eksklusiyang diberikan kurang dari 6 bulan merupakan faktor risiko kejadian gizi buruk
DAFTAR PUSTAKA
[3] R. Kemenkes, “Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) Tahun 2016,” Kementerian Kesehatan
[4] W. S. H. T. Par'i HM, Bahan Ajar Gizi Penilaian Status Gizi, Jakarta: Kementerian Kesehatan
[6] N. Hidayati, 1000 Hari Emas Pertama dan Persiapan Kehamilan sampai Balita, Yogyakarta:
[7] B. Utomo, “Gizi Menjadi penentu Masa Depan Bangsa,” Warta Kesmas Kemenkes RI, pp.
[8] S. M. Kosim, Buku Ajar Neonatologi Edisi 1, Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2008.
[9] B. Murti, Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang
departement, 2010.
[12] H. Hutagalung, “Faktor-faktor yang Memengaruhi Status Gizi Balita (12-59 Tahun)di
Desa Bojonggede Kota Bogo Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012.
[13] S. W. Khasanah NA, “karakteristik ibu dengan kejadian gizi kurang pada balita 6-24
bulan di kecamatan selat kabupaten Kapuas,” Strada Jurnal Ilmiah Kesehatan, vol. 7, n,
Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat, Jakarta: EGC, 2000.