Anda di halaman 1dari 8

“PEMBAHARUAN KUHP BERUJUNG LEGALISASI ABORSI SEBAGAI PRODUK DARI

LEMBAGA LEGISLATIF ”

Disusun oleh :
Nama : 1. Krisna Naufal F (2020-131)

Kelas : Hukum D
Mata Kuliah : Hukum Tata Negara III
Dosen Pengampu : Dr. Catur Widodo Haruni. S.H., M.Si., M.Hum.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2023
PEMBAHARUAN KUHP BERUJUNG LEGALISASI ABORSI SEBAGAI PRODUK DARI
LEMBAGA LEGISLATIF

Latar Belakang

Tertanggal 6 Desember 2022 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)


atau Wetboek van Strafrecht (WvS) buatan Belanda berangsur dikudeta dengan pembaharuan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana buatan Indonesia. Usaha pembaharuan hukum pidana
yang demikian sudah seharusnya dilakukan. Bukan tanpa alasan, KUHP buatan belanda sering
kali disalahtafsirkan oleh hakim karena substansi KUHP buatan belanda memang sudah tak
sesuai dengan zaman yang semakin kompleks. Kekakuan hukum pidana karena keterbatasan
materi-materi yang dimuat oleh KUHP buatan belanda mengakibatkan hukum pidana yang
membersamai nafas masyarakat, setidaknya dalam dua dekade terakhir, penulis kira sudah
menyimpang jauh dari apa yang dijadikan landasan dibentuknya hukum, terutama meciptakan
keadilan.1

Dalam tupoksinya sendiri DPR sebagai lembaga Legislatif merupakan ujung tombak
dari perancangan serta melegalkan kebijakan-kebijakan hukum yang berlaku di negara ini
oleh karnanya dalam kesempatan kali ini menjadi peluang tersendiri dalam pembuatan
Undang-undang guna mengikis stigmatis-stigmatis yang lahir di masyarakat pada perumusan
kali ini, selain itu DPR juga harus sadar terhadap urgensi permasalahan di masyarakat modern
yang pada zaman ini maraknya tindak kekerasan seksual terhadap wanita, kebijakan baru
yang dalam formatnya cukup memberikan harapan kepada masyarakat terkhususnya korban
tindak kekerasan seksual dalam implementasi hukumnya itu sendiri dimana dapat mengubah
dogma dogma stigmatis yang berlaku terhadap DPR itu sendiri yang mana dalam kebijakan
kebijakan sebelumnya dinilai kurang konkrit secara substansial dan seringkali kurang sesuai
dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Selain ketidaksesuaian substansi KUHP yang buatan belanda dengan zaman yang
semakin kompleks, setidaknya ada tiga alasan yang menjadi motif dan landasan KUHP buatan
belanda yang melegalkan bahwa sudah seharusnya dikudeta dengan KUHP buatan belanda,
yaitu motif politik, motif sosiologi, dan motif praktis.2 Secara politis harga diri bangsa terancam
karena selama ini bangsa Indonesia belum memiliki hukum pidana buatan sendiri,3 mengingat

1
Khilmatin Maulidah dan Nyoman Serikat Putra Jaya. 2019. KEBIJAKAN FORMULASI ASAS PERMAAFAN HAKIM
DALAM UPAYA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAL. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia.
2 Monang Siahaan, 2016, Pembaruan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta, PT Gramedia.
3 M. Ali Zaidan, 2015, “pembaruan hukum pidana” Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 59.
KUHP yang selama ini dikenal merupakan warisan budaya hukum Belanda, bentuk turunan
atau lanjutan dari Wetboek van Straafrecht (WvS). Motif praktis didasari oleh kurangnya ahli
hukum yang memahami konsep hukum pidana atau KUHP ala Belanda 4, mengingat sangat
dibutuhkannya ahli yang memahami konsep KUHP ala Belanda untuk menganalisis
kekurangan KUHP ala Belanda guna melakukan perubahan KUHP di masa yang akan datang.
Motif sosiologis sendiri digambarkan sebagai cermin, artinya derajat peradaban suatu negara
tercermin dalam sistem hukumnya, khususnya hukum pidananya.5

Kini, Bangsa Indonesia tengah bersiap membuka lembaran baru dengan lahirnya
sebuah mahakarya baru dibidang hukum, yaitu pengesahan KUHP buatan Indonesia.
Meskipun ditengah dera arus penolakan atas beberapa pasal yang dimuat oleh KUHP buatan
Indonesia karena menurut penilaian dan analisis kalangan ahli hukum, beberapa pasal yang
dimuat tersebut merupakan pasal karet dan abstrak.6

Namun sebelum mahakarya itu diberlakukan, selaku akademisi, penulis ada urgensi
tersendiri yang mengharuskan penulis melakukan pengkajian terhadap KUHP yang baru
tersebut, salah satunya dengan memperbandingkan antara KUHP buatan Belanda dan KUHP
buatan Indonesia.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana perwujudan keadilan baru terhadap korban kekerasan seksual dengan


lahirnya KUHP baru sebagai produk hukum?

Pembahasan

KUHP baru, yang disahkan per tanggal 6 Desember 2022, menghembuskan angin
segar bagi banyak sosok perempuan yang tertindas haknya, terutama perihal permuatan pasal
463 ayat 2, yang berbunyi;

“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal
perempuan merupakan Korban Tindak Pidana perkosaan atau Tindak Pidana

4 Ibid.
5 Yoserwan dalam Ajie Ramdan. “KONTROVERSI DELIK PENGHINAAN PRESIDEN/WAKIL PRESIDEN DALAM
RKUHP Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006”. Jurnal Yudisial Vol. 13 No. 2, 2020,
hlm. 250
6 Makin Suram: Nasib Sipil setelah RKUHP Disetujui DPR | Narasi TV
kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan yang umur kehamilannya tidak
melebihi 14 (empat belas) minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis.”

Perlindungan hukum atas ketertindasan raga dan batin perempuan menjadi korban
atas berbagai bentuk deskriminasi seksual hingga kekerasan seksual mulai menemui titik
terangnya. Legalitas aborsi yang dihasil akibat adanya kekerasan seksual, kini hadir sudah.

Perempuan hingga saat ini masih terkungkung dengan bayang-bayang pidana akibat
aborsi. Meskipun ia seorang yang suci, namun karena bejatnya nafsu laki-laki yang diluar
kendali, memaksa seorang perempuan yang suci menanggung malu dan beban ekonomi
hingga ia mati.

Legalitas aborsi korban kekerasan seksual sudah menjadi hal lama menjadi bahan
diskusi di dunia, misalnya pada International Conference on Population and Development
(ICPD) Kairo 1994 dan Fourth World Conference on Women (FWCW) Beijing tahun 1995. ICPD
Secara eksplisit mengakui hak-hak reproduksi perempuan, bahwa perempuan memiliki hak
untuk mengontrol diri mereka sendiri, sementara FWCW pada prinsipnya menerima konsep
kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual dan hak-hak reproduksi, tetapi melangkah lebih
jauh untuk membahas hak-hak seksual.

Kemudian dipertegas kembali dari perspektif hak asasi manusia, perempuan memiliki
hak untuk mengakses layanan aborsi sebagai bagian dari hak kesehatan reproduksi yang
sangat mendasar.7 Pada dasarnya perempuan juga memiliki hak untuk mempertahankan
hidupnya tanpa gangguan dari pihak manapun. Hak reproduksi berarti hak perempuan untuk
memutuskan apakah dan kapan memiliki anak tanpa diskriminasi, paksaan dan kekerasan.8
Menurut kesepakatan International Conference on Population and Development, hak
reproduksi ditujukan untuk mencapai kesehatan individu secara keseluruhan, termasuk
kesehatan fisik dan mental, meliputi:9

1. Hak mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan dan reproduksi.


2. Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi.
3. Hak kebebasan berfikir tentang pelayanan kesehatan reproduksi.
4. Hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan.
5. Hak untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran anak.

7 Titon Slamet Kurnia, Hak Atas Derajat Kesehatan Optimal Sebagai HAM di Indonesia, (Bandung: Alumni, 2007),
35
8 Wiknjosastro, Ilmu Kandungan, (Jakarta: Bina Pustaka, 2006), 18
9 Widyastuti, Kesehatan Reproduksi, (Yogyakarta: Fitra Maya, 2009), 3
6. Hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan
reproduksinya.
7. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk
perlindungan dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan, dan pelecehan seksual.
8. Hak mendapatkan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan yang berkaitan
dengan kesehatan reproduksi.
9. Hak atas pelayanan dan kehidupan reproduksinya.
10. Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga.
11. Hak untuk bebas dari segala bentuk deskriminasi dalam kehidupan berkeluarga
dan kehidupan reproduksi.
12. Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan
dengan kesehatan reproduksi.

Disisilain, dampak dari perkosaan sangatlah kompleks, yaitu;

• Dampak fisik yang dialami oleh korban perkosaan

Dampak fisik yang dirasakan oleh korban perkosaan antara lain kerusakan
organ tubuh, seperti: robeknya selaput dara, iritasi di sekitar area vagina, korban
sangat mungkin terkena penyakit menular seksual (PMS), tertular HIV, kehamilan tidak
dikehendaki, bahkan kematian. Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan
adanya berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang akan
melakukannya. Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan
cara paksaan akan menyebabkan gangguan pada perilaku seksual.10

• Dampak psikologis yang dialami oleh korban perkosaan

Dari berbagai studi mengenai perkosaan yang telah dilakukan oleh Burgess dan
Holmstom tahun 1995, ada anggapan umum bahwa segera setelah mengalami
peristiwa perkosaan, korban perkosaan akan selalu menangis dan histeris. Sebuah
studi di Boston menemukan hal yang berbeda. Sampai beberapa jam sesudah
perkosaan korban akan menunjukkan bermacam-macam emosi secara ekstrim. Dalam
beberapa wawancara yang kemudian dilakukan, korban menunjukkan 2 tipe emosi,
yaitu ekspresif dan guarded (tertutup).11

10Ekandari Sulistyaningsih, “Dampak Sosial Psikologis Perkosaan”, Jurnal Buletin Psikologi, no.1
11Riza Yuniar Sari, 2013, ABORSI KORBAN PERKOSAAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA,
AL-HUKAMA.
Tidak seperti anggapan umum bahwa korban perkosaan akan merasakan malu
dan bersalah. Pada kenyataannya, perasaan utama yang dialami adalah takut.
Ketakutan yang dirasakan adalah ketakutan akan penganiayaan fisik, mutilasi, dan
kematian. Korban merasa sangat dekat dengan kematian dan merasa beruntung masih
hidup.Berbagai macam perasaan lain yang muncul antara lain, yakni: terhina, merasa
buruk, bersalah, malu, dan dorongan menyalahkan diri, marah, serta keinginan untuk
balas dendam.12

• Dampak sosial yang dialami oleh korban perkosaan

Dampak sosial yang diterima oleh korban perkosaan adalah adanya stigma.
Stigma di dalam masyarakat yang memandang bahwa perempuan korban perkosaan
adalah perempuan yang hina. Ada pula pandangan yang mengatakan bahwa dalam
kasus perkosaan yang salah adalah pihak perempuan. Perempuan korban perkosaan
seringkali dipojokkan dengan pandangan masyarakat ataupun mitosmitos yang salah
mengenai perkosaan. Pandangan yang salah tersebut membuat masyarakat memberi
label bahwa perempuan korban perkosaan sengaja menggoda dan menantang laki-
laki dengan memakai pakaian mini, rok ketat, berdandan menor ataupun berbusana
seksi, bahkan sengaja mengundang nafsu birahi laki-laki pemerkosa.

Kesimpulan

Dengan ini, dapat saya simpulkan yang dilandasi pada sudut pandang Hak Asasi
Manusia, bahwa pemuatan pasal yang memuat legalisasi aborsi bagi kaum perempuan yang
menjadi korban kekerasan seksual merupakan sebuah langkah terobosan yang mewakili
kondisi keadilan hak asasi perempuan dimasa kini dan menjadikannya sebuah pembeda dari
KUHP pendahulunya selain itu dalam proses legalitasnya sendiri dapat menjadi pengekisan
terhadap stigma dogmatis yang berlaku dalam masyarakat saat ini.

Saran

Saya rasa dalam profesionalitas kerja yang diterapkan dalam kinerja Dewan Perwakilan
Rakyat kali ini sudah cukup progresif dengan adanya pembaharuan KUHP yang telah disahkan

12
Heri Widodo, “Rape Trauma Syndrome Dalam Perspektif Psikologi dan Hukum”, dalam
http://www.freewebs.com/heri_rts/,
ini, harapan saya selaku penulis artikel ini kedepannya DPR agar dapat mengembakan
kebijakan dengan dasar kepentingan publik yang ditekankan dan di prioritaskan terlebih
dahulu sebelum merambah kepada kebijakan kebijakan yang berkepentingan lainnya.

Daftar Pustaka

Buku

Kurnia. T. S., 2007, Hak Atas Derajat Kesehatan Optimal Sebagai HAM di Indonesia, Bandung:
Alumni
Muhtaj, M. E., “Hak Asasi manusia Dalam Konstitusi Indonesia Dari UUD 1945 Sampai Dengan
Perubahan UUD 1945 Tahun 2002”. Jakarta: Kencana. 2015.
Siahaan, M., 2016, Pembaruan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta, PT Gramedia.
Widyastuti, Kesehatan Reproduksi, (Yogyakarta: Fitra Maya, 2009)
Wiknjosastro, Ilmu Kandungan, (Jakarta: Bina Pustaka, 2006
Zaidan, M. A., 2015, “pembaruan hukum pidana” Jakarta: Sinar Grafika.
Jurnal
Maulidah, K dan N, S, P, Jaya. 2019. KEBIJAKAN FORMULASI ASAS PERMAAFAN HAKIM
DALAM UPAYA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAL. Jurnal Pembangunan
Hukum Indonesia.
Ramdan, A. “KONTROVERSI DELIK PENGHINAAN PRESIDEN/WAKIL PRESIDEN DALAM
RKUHP Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006”. Jurnal
Yudisial Vol. 13 No. 2, 2020, hlm. 250
Ramdan, A., “KONTROVERSI DELIK PENGHINAAN PRESIDEN/WAKIL PRESIDEN DALAM
RKUHP Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006”. Jurnal
Yudisial Vol. 13 No. 2, 2020.
Sakina, A. I., dan D. H. Siti A., 2017, MENYOROTI BUDAYA PATRIARKI DI INDONESIA,
SOCIAL WORK JURNAL
Sari, R. Y., 2013, ABORSI KORBAN PERKOSAAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAK ASASI
MANUSIA, AL-HUKAMA.
Sulistyaningsih, E., “Dampak Sosial Psikologis Perkosaan”, Jurnal Buletin Psikologi, no.1
Szczucki, K., “Ethical legitimacy of criminal law”, International Journal of Law, Crime and
Justice 53, 2018,
Website
Makin Suram: Nasib Sipil setelah RKUHP Disetujui DPR | Narasi TV
Widodo, H., “Rape Trauma Syndrome Dalam Perspektif Psikologi dan Hukum”, dalam
http://www.freewebs.com/heri_rts/,

Anda mungkin juga menyukai