Proposal Tesis Ode Tarwan
Proposal Tesis Ode Tarwan
I. PENDAHULUAN
I.1. Latarbelakang Masalah
Otonomi daerah yang di gulirkan sejak tahun 2001 sehingga peran
pemerintah pusat bergeser, yang semula, bersifat sentralistik menjadi
terdiversifikasi ke daerah, diharapkan pemerintah daerah dapat semakin aktif dan
dekat terhadap urusannya. Otonomi daerah tersebut tidak hanya sekedar
pemberian wewenang daerah untuk mengurus daerah dalam hal keuangan saja,
yaitu daerah diberikan kewenangan lebih untuk menggali potensi daerah dalam
kerangka kemandirian daerah, melainkan juga diharapkan dapat meningkatkan
peran dan fungsinya dalam melayani daerah.
Hal itu didasarkan argumen bahwa ketika urusan pemerintah dilakukan
secara sentralistik, sebagaimana terjadi sebelum era reformasi, dianggap
pemerintah kurang mampu menangkap aspirasi masyarakat, serta kurang dapat
menyerap kebutuhan dan persoalan masyarakat grass rooth. Namun, setelah
otonomi daerah, paradigma pengelolaan pemerintah bergeser dengan porsi
kewenangan yang bersifat desentralisasi oleh pemerintah daerah lebih tinggi,
dianggap pemerintah daerah lebih dekat pada masyarakat dan memahami secara
lebih detail problematikan yang terjadi di masyarakat, maka pelayanan pemerintah
daerah kepada masyarakat semakin dapat ditingkatkan.
Anjuran pemerintah untuk meningkatkan tingkat pelayanan publik kearah
yang lebih berkualitas di berbagai unit pelayanan baik di pemerintah Pusat
maupun Daerah, telah diamanatkan oleh Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS).
Dalam Undang-undang tersebut diinstruksikan, bahwa pemerintah baik pada level
pusat maupun daerah harus menyusun Indeks Kepuasan Masyarakat sebagai tolok
ukur kualitas pelayanan aparatur pemerintah dan sekaligus sebagai media evaluasi
terhadap masyarakat.
Anjuran peraturan pemerintah lain yang diperuntukkan agar lembaga
pemerinmtah baik pusat maupun daerah meningkatkan kualitas layana adalah
keputusan Menteri Pendayaguanaan Aparatur Negara, lewat keputusan Nomor.
KEP/25/M.PAN/2/2004 pada tanggal 24 Pebruari 2004 tentang Pedoman Umum
Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah,
menginstruksikan agar pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah melakukan
evaluasi kinerja pelayanan dan menentukan tingkat pelayanan. Inti dari berbagai
peraturan pemerintah tersebut sesungguhnya merupakan anjuran dan keharusan
1
lembaga pemerintah untuk memperhatikan tingkat pelayanan kepada masyarakat,
mengingat eksistensinya merupakan abdi negara untuk melayani masyarakat.
Proses peningkatan kualitas layanan tersebut menjadi bagian yang tidak
terpisah dari sistem pelayanan publik Indoinesia, karena sesungguhnya aparat
pemerintah adalah pihak pelayanan masyarakat dalam kerangka menjalan sistem
pemerimtahan negara. Namun demikian, fakta dilapangan serimg menunjukkan
kondisi berbeda, yaitu masih banyak kebincangan serta bentuk-bentuk pelayanan
yang tidak sesusi dengan harapan masyarakat.
Muqoddim (2006) berpendapat bahwa devisasi kualitas layanan yang
diberikan aparat pemerintah dan/atau yang diterima oleh masyarakat selama ini
muncul karena beberapa hal: (1) fasilitas yang tersedia dan menunjang tugas
aparat; (2) kepahaman masyarakat tentang posisi diri dan posisi aparat; (3)
tutuntan yang berlebihan, sementara birokrasi terdapat wilayah tahapan pelayanan
yang harus ditaati; dan (4) filosodi entity pemerintah yang berbeda dengan entitas
bisnis, sehingga mewarnai pola perilaku aparat yang menjalankan tugas.
Kontek empiris seperti ini juga terjadi di pelayanan tingkat desa
(kelurahan) sebagaimana yang diangkat dalam penelitian kali ini yaitu di
kelurahan Leysane Kecamatan Kota Masohi Kabupaten Maluku Tengah. Dilihat
dari proses dan pemberian pelayanan dipandang masih terjadi variasi cukup besar,
faktanya masih sering terjadi komplain dari masyarakat.
Menurut hasil grand tour observation (GTO) terhadap aparat pelaksana
pelayanan dan masayarakat yang memperoleh pelayanan menunjukkan terdapat
banyak faktor yang memunculkan belum terjadi equalitas pelayanan masayarakat,
seperti: (1) tuntutan masyarakat yang cukup tinggi, sementara aparat pemberi
pelayanan belum memiliki kapasitas; (2) dukungan alat; (3) variabilitas emosi
aparat sebagai akibat fluktuasi motif pribadi yang terganggu secara harian
sehingga dapat muncul sikap kurang emphaty; (4) responsivitas pegawai terhadap
kondisi masyarakat serta berbagai persoalan yang muncul, sehingga sering terjadi
gangguan disiplin aparat.
Kondisi tersebut sejalan dengan pendapat Deming dan Stamatis
sebgagaimana di kutip Tuty (2010) bahwa terdapat banyak faktor yang dapat
mempengaruhi kepuasan pasien untuk rawat inap, yang merupakan perpaduan
dari kualitas manusia yang dicerminkan oleh perilaku atau sikap pribadi
dalam berinteraksi dengan para pengguna, ketrampilan atau keahlian yang
merupakan penguasaan unsur-unsur teknik dan prosedur yang berkaitan
dengan tugas pekerjaannya, serta fasilitas fisik yang mendukung kerja pelayanan
Daviddow dan Ultah (1989) menyatakan pelayanan sebagai usaha apa saja
yang dapat mempertinggi tingkat kepuasan pelanggan (whatever enhances
customer satisfaction). Pelayanan pada dasarnya merupakan kegiatan yang
ditawarkan oleh organisasi atau perorangan kepada konsumen (customers), yang
bersifat tidak berwujud dan tidak dapat dimiliki (Sutopo dan Suryanto, 2003).
Evaluasi kualitas jasa layanan dapat dilakukan dengan menggunakan
kerangka pikir Total Quality Service dengan menggunakan beberapa dimensi
kualitas jasa di antaranya reliability (keandalan), responsiveness (daya tanggap),
assurance, (jaminan), empathy (pengenalan), tangible (keterukuran) (Parasuraman
2
dkk, 1985), organizations culture (budaya organisasi) (Shaskin, 1993), dan
leadership (kepemimpinan) (Philip Sadler, 1997)
Munjiati Munawaroh (2002) menunjukan bahwa terdapat empat variabel
(reliability, responsiveness, empathy, tangibles) yang menurut kajian teoretis
menentukan tingkat kepuasan masyarakat dalam perspektif kualitas layanan.
Lebih lanjut hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dari keempat variabel
tersebut, hanya responsiveness yang berpengaruh terhadap kepuasan jasa layanan
dengan nilai t hitung 0,041 pada p value 0,05, dengan koefisien diterminasi relatif
kecil yaitu sebesar 0.43148.
Zeithaml, dkk (1990) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi
terbentuknya harapan akan kualitas jasa. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahawa kualitas jasa yang dikehendaki tidak sebatas pada fasilitas fisik,
melainkan kualitas jasa yang diterima di luar yang merupakan aktifitas
pendukung, responsivitas, emphaty dan assdurance yang merupakan diomensi dari
kualitas itu sendiri.
Penelitian Utsman, dkk (2005) menunjukkan bahwa adanya gap negatif (-
29410) pelayanan dengan tingkat kesesuaian terpenuhi 49,28%, berarti masih
perlu dilakukan perbaikan dan peningkatan mutu sebesar 50,72%. Dilihat dari
faktor-faktor yang di teliti, ternyata tingkat kepuasan adalah terendah ada pada
faktor tangible (-0,59), responsiveness (-0,52), reliability (-0,47), dan, empathy (-
0,47) dan tertinggi ada pada faktor assurance (-0,35). Variabel tersebut hanya
memberi sumbangan sebesar r2 0,457 (45,7%) terhadap kepuasan pelanggan.
Penelitian menguji teori total quality management yang secara spesifik
adalah variabel emphaty, tamgible, responsivitas dan kedisiplinan pegawai
dalamm membentuk kualitas pelayanan yang dilakukan aparat kelurahan Leysane
Kecamatan Masohi Kabupaten Maluku Tengah. Pengujian pengaruh variabel
tersesbut diatas didasarkan fakta bahwa masih sering muncul komplain kualitas
layanan masyarakat, sementara aparat telah berusaha melakukan pelayanan prima
sesuai dengan kapasitas, fasilitas serta kesadaran yang ada.
Menurut survey ulang, serta beberapa riset terdahulu yang ternyata banyak
faktor yang berpotensi menentukan kualitas layanan tersebut. Namun setelah
dilakukan pengkajian lewt penelahaan ketika dilakukan grand tour observation,
maka penelitian memfokuskan pada variabel emphaty, tangible, responsifitas dan
kedsiplinan memiliki signifikansi dalam pembentukan kualitas layanan .
Atas dasar uraian tersebut diatas, penelitian ini mengambil judul
“Pengaruh Emphaty, Tangible, Responsivitas, kedisiplinan Pegawai terhadap
Kualitas Pelayanan Prima Pegawai di Kdeluarahan Leysane Kecamatan
Kota Masohi Maluku Tengah”.
3
2. Apakah kelengkapan dan kualitas sarana fisik yang mendukung kerja
(tangible) aparat pemberi pelayanan merupakan faktor yang meningkatkan
kualitas layanan?
3. Apakah tingkat tingkat sikap responsif para aparat pemberi pelayanan
terhadap masyarakat yang membutuhkan pelayanan merupakan faktor yang
meningkatkan kualitas layanan?
4. Apakah tingkat sikap displin pegawai pemberi pelayanan dalam memberikan
pekayanan terhadap masyarakat merupakan faktor yang menentukan tingkat
kualitas layanan?
4
b. Pengembangan secara teoretis kedua adalah bahwa bersinggungan dengan
perbedaan filosofis entitas tersebut, penelitian ini yang objek
penelitiannya adalah pelayanan publik, maka dimensi yang dikaji serta
ukuran variabelnya dikembangkan dalam kontek pelayanan publik,
khusus di pelayanan di kelurahan.
2. Secara Praktis
a. Memberikan kontribusi dan masukan terhadap para pemangkun
kepentingan, khusus pemerintah dan pemerintah di tingkat kelurahan
tentang arti penting peningkatan pelayanan terhadap masyarakat.
Mengingat, aparat pelayanan publik adalah abdi masyarakat.
b. Memnerikan kontribusi kepada pemerintah, terlebih pemerintah kelurahan
bahwa variabel emphaty, tangible, responsivitas kedsisiplinan merupakan
variabel determinajn dalam kmeningkatkan kualitas layanan, menujun
pelayanan prima sebagaimana anjuran peraturan perundangan yang
beralaku.
5
II. KAJIAN PUSTAKA
II.1. Total Quaity Mnagement
Standar mutu pelayanan berkembang dan telah menjadi satu pradigma
orientasi pelayanan dalam perusahaan. Pada akhirnya diadopsi oleh banyak
institusi termasuk pelayanan publik, lewat penemuan konsep Total Quality
Management oleh W. Edward Deming (1970). Total Quality Management (TQM)
telah berhasil mengatasi berbabagai permasalahan perusahaan, sehingga dapat
meningkatkan mutu dan sekaligus menekan biaya serta mengatasi permasalahan
lainnya.
Sebagaimana dengan tepri dibidang manajemen lain, pada awalnya,
Total Quality Management ditemukam dan diterapkan dalam lembaga swasta
(bisnis). Sejalan dengan perkembangan penelitian dibidang ini, maka banyak para
ahli meneliti dan mengadopsi Total Quality Management tersebut diaplikaskan
konsepnya pada instansi pemerintah, seperti Total Quality Management yang
diterapkan pada Angkatan Udara Amerika Serikat (Creech, 1996).
Total Quality Managament merupakan paradigma baru dalam
manajemen yang berusaha memaksimalkan daya saing organisasi melalui
perbaikan secara berkesinambungan atas mutu barang, jasa, manusia dan
lingkungan organisasi. Total Quality Mnaagemet berakar dari teori custimer
satisfaction dengan memberikan kualitas layanan pada masing-masing value
chance perusahaan. Aspek peningkatan kualitas tersebut baik yang bersufat psik
maupun asikis.
Tjiptono Hadi (1997) menyatakan bahwa Total Quality Management
hanya dapat dicapai manakala memperhatikan hala-hal, sebagai berikut: (1)
Berfokus pada pelanggan; (2) Obsesi terhadap mutu; (3) pegujian ilmiah; (4)
komitmen jangka panjang; (5) kerjasama tim; (6) perbaikan sistem secara
berkesinambungan; dan (7) pendidikan dan pelatihan.
Menurut Stamatis (1996) dalam perspektif perusahaan, Total Quality
Management dikembangkan dengan dimendi-dimensi pemberian jasa berlualitas
yang selanjutnya disebut Total Quality Service. Total Quality Service adalah
sebagai sistem manajemen strategik dan integratif yang melibatkan semua
manajer dan karyawan, serta menggunakan metode-metode kualitatif dan
kuantitatif untuk memperbaiki secara berkesinambungan proses-proses organisasi,
agar dapat memenuhi dan me- lebihi kebutuhan, keinginan, dan harapan
pelanggan. Sistem Total Quality Service dapat dirangkum dalam gambar berikut
ini.
6
Gambar 2.1
Sistem Total Quality Management
STRATEGI
PELANGGAN
SISTEM SDM
7
Principle Paramount Consistent customer Customer focus and
importance of satisfaction can be continuos
providing product attained only improvement area
and service that through rentless best achieved by
fulfill customer improvement of collaboration
needs, requires processes that createthroughout an
organization, on product and service organization as well
window focus on as with customer and
customer supplies
Practice Direct customer Process analysis the Search for
contact collection engineering problem arrangements that
information about solving benefit all unit
customer needs plan/do/chel/act involvement in a
using information process
to design and Formation of
deliver product various types of
and service team
Group skills
training
Techniqu Customer Flowcharts Organizational
e surveys and Pareto analysis development
focus group Statistics process methods such as
Quality function control the nominal group
deployment Fishbond diagram technique
(translates Team-building
customer methods (e.g, role
information into clarification and
product group feedback)
specification)
Konsep Dean dan Evan tersebut menunjukan bahwa inti dari pengelolaan
yang didasarkan Total Quality Service adalah bertopang dari tiga prinsip sehingga
dapat menciptakan value added perusahaan, termasuk upaya meningkatkan
customer satisfaction.
Penelitian ini tidak mencoba menguji konsep Total Quality Sservice secara
keseluruhan, tetapi hanya sebagian konsep Total Quality Service, yaitu tujuan dari
Total Quality Service yang berupa upaya memuaskan pelanggan (customer
satisfaction) dengan kualitas produk. Pembatasan ini dilakukan agar penelitian
lebih terfokus atau menghindari pembahasan penelitian semakin luas dan
ambiguitas.
Kualitas produk yang merupakan orientasi Total Quality Service dalam
prakteknya ternyata sering terjadi gap (ketidaksesuaian) yang berupa perbedaan
antara kualitas jasa yang diharapkan oleh konsumen dengan actual quality yang
diterima.
Berangkat dari berbagai konsep dan termasuk dalam konsep pelayanan
prima dan Total Quality Management, maka aparatur pemerintah hendaknya
8
mengedepankan pelayanan publik yang berkualitas serta berorentasi pada
masyarakat selaku pelanggan (customer orientation). Untuk itu pemerintah dalam
segenap jajarannya untuk merumuskan standar pelayanan yang akhirnya
diterapkan dalam setiap unit pelayanan publik dan sekaligus sebagai pedoman
operasional pelayanan publik.
9
5 ini dapat diukur dengan menggunakan dimensi kualitas layanan yaitu
Tangible, Empathy, Reability, Responsiveness, dan Assurance.
Kelima demensi tersebut di atas dapat digunakan untuk mengukur
kualitas layanan yang diberikan pada pelanggan/masyarakat. Indikator ini juga
dapat digunakan sebagai indikator akuntabilitas layanan secara konkrit, sesuai
dengan Keppres no:.... tentang Akuntabilitas
a. Tangible (Kasat Mata)
Tampak fisik atau sesuatu yang kelihatan. Tampak mata, tampak rasa, tampak
dengar dari peralatan atau petugas pelayanan serta alat-alat komunikasi
dengan pelanggan.
b. Reability
Kemampuan untuk memenuhi janji sesuai dengan yang telah diberikan
kepada konsumen. Jasa yang ditawarkan dapat diandalkan, dengan syarat
layanan harus akurat dan konsisten, serta harus dijamin baik produknya
maupun pelayanan petugasnya.
c. Responsiviness
Kecepatan/keikhlasan untuk memberikan layanan dengan benar.
d. Assurance
Pengetahuan dan keramahan dari para petugas dan kemampuan mereka untuk
menjaga kepercayaan dan kerahasiaane.
e. Empathy
Kepedulian dengan penuh perhatian secara individual terhadap pelanggan.
Sementara itu pelayanan prima di sektor publik masih terdapat tata
laksana yang digunakan dalam pelayanan umum, dengan sendi-sendi:
Kesederhanaan, Kejelasan dan Kepastian, Keamanan, Keterbukaan, Efisien,
Ekonomis, Keadilan yang merata, Ketepatan waktu.
Sendi-sendi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Kesederhanaan, yang meliputi prosedur/tata cara pelayanan, antara lain:
Mudah, Tidak berbelit-belit, Mudah dilaksanakan.
b. b. Kejelasan/Kepastian terhadap: prosedur, persyaratan, unit kerja tarif/biaya,
pejabat yang menerima keluhan akan pelayanan yang diberikan dalam suatu
organisasi.
c. Keamanan, yang menyangkut kepastian hukum terhadap apa yang dilayankan
oleh suatu organisasi.
d. Keterbukaan, menyangkut kesederhanaan dan kejelasan pelayanan yang
diinformasikan pada masyarakat.
e. Efisien, yang artinya pelayanan yang diberikan oleh suatu organisasi
hendaknya ada pembatasan terhadap persyaratan pada hal-hal yang dianggap
penting saja.
f. Ekonomis, yang artinya pembiayaan yang dibebankan pada masyarakat yang
dilayani itu sesuai dengan kewajaran, kemampuan masyarakat umum dan
peraturan perundangan yang berlaku. Disamping itu juga ekonomis dalam
penyelenggaraan pelayanannya itu sendiri (total Cost)
g. Keadilan, menyangkut jangkauan palayanan yang diberikan oleh suatu
organisasi diharapkan dapat seluas mungkin dan merata, artinya tidak ada
10
wilayah yang dibedakan pelayanannya. Dilihat dari keadilan vertikal dan
horizontal.
h. Ketepatan waktu, yang artinya bahwa pelayanan yang telah dijanjikan sesuai
dengan standar yang diberikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Penyelenggaraan tata laksana pelayanan umum sesuai dengan bentuk dan
sifat-sifatnya dapat menggunakan salah satu pola dibawah ini:
a. Pola Pelayanan Fungsional, yaitu pola pelayanan umum yang diberikan oleh
satu instansi pemerintah sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya.
b. Pola Pelayanan Satu Pintu, yaitu pola pelayanan umum yang diberikan secara
tunggal oleh satu instansi pemerintah berdasarkan pelimpahan wewenang dari
instansi pemerintah terkait lainnya yang bersangkutan.
c. Pola Pelayanan Satu Atap, yaitu pola pelayanan umum yang dilakukan secara
terpadu pada satu tempat/lokasi oleh beberapa instansi pemerintah yang
bersangkutan sesuai kewenangan masing-masing.
d. Pola pelayanan secara terpusat, yaitu pola pelayanan umum yang dilakukan
oleh satu instansi pemerintah yang bertindak selaku koordinator terhadap
pelayanan instansi pemerintah lainnya yang terkait dengan bidang pelayanan
umum yang bersangkutan.
Perkembangan dewasa ini terdapat beberapa Kabupaten dan Kota yang
menggunakan pola pelayanan satu atap, dengan harapan bahwa pelayanan yang
diberikan di suatu Kabupaten atau Kota dapat efisien dan efektif sesuai dengan
harapan masyarakat. Sejauh ini belum ada suatu penelitian apakah pola yang
berkembang saat ini memang memberikan dampak yang positif terhadap
pemerintah Kabupaten/Kota dan masyarakat ataukah malah sebaliknya menambah
beban pembiayaan, karena seolah-olah terdapat organisasi baru sebagai front liner.
Sebagai salah satu indikator untuk mengukur good governance, pelayanan
publik harus dikelola dengan professional sehingga menghasilkan pelayanan
publik yang berkualitas tinggi. Berkaitan dengan pelayanan, terdapat dua istilah
yang perlu diketahui, yaitu melayani dan pelayanan. Pengertian melayani adalah
“membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan seseorang”. Sedangkan
pengertian pelayanan adalah “usaha melayani kebutuhan orang lain” (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 1995).
Normann (1991) memberikan pembatasan karakteristik pelayanan, antara
lain: (1) pelayanan bersifat tidak dapat diraba; (2) pelayanan merupakan tindakan
nyata dan merupakan pengaruh dari sifat tindakan sosial; (3) produksi dan
konsumsi, yang mana keduannya merupakan bentuk pelayanan yang tidak secara
diametral dapat dipisahkan secara nyata, karena keduanya merupakan aktifitas
baik dari sisi waktu dan sifat terjadinnya adalah bersamaan.
Menurut keputusan MENPAN Nomor 81 Tahun 1993 yang dimaksud
dengan pelayanan umum (publik) adalah segala bentuk pelayanan umum yang
dilaksanakan oleh instansi pemerintah pusat maupun daerah, dilingkungan
BUMN/BUMD dalam bentuk barang dan jasa, baik dalam rangka pemenuhan
kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dengan demikian pelayanan yang dilakukan oleh
pemerintah dapat berupa pisik, non pisik dan administratif.
11
Berangkat dari batasan pelayanan, khususnya yang berlaku di
pemerintahan, maka pemerintah selaku pelayan publik (pelayan masyarakat),
terdapat tiga fungsi pelayanan yang melekat, yaitu: (1) environment service; (2)
development service; dan (3) protective service. Dengan demikian, konsep barang
layanan pada pemerintahan, terdiri atas: jenis barang layanan privat (private
goods) dan barang layanan yang dinikmati secara kolektif (public goods).
Olson, Didik J Rachbini (1994) menyatakan bahwa barang yang termasuk
dalam public goods umumnya memiliki tiga karakteristik, antara lain: (1)
penggunaanya tidak dimediasi oleh transaksi bersaing (non-rivalry) sebagaimana
barang ekonomi; (2) tidak dapat diterapkan prinsip pengecualian (non-
excludability); (3) individu yang menikmati barang tersebut tidak dapat dibagi
yang artinya digunakan secara individu (indisible).
David Osborne dan Ted Gaebler menyatakan upaya yang dapat dilakukan
pemerintah dalam rangka peningkatan pelayanan publik adalah dengan memberi
wewenang kepada swasta lebih banyak berpartsipasi, karena mereka menyadari
pemerintah itu milik rakyat bukan rakyat milik kekuasaan pemerintah. Lebih
lanjut dinyatakan bahwa untuk memperbaiki sistim pelayanan untuk mewujudkan
masyarakat yang lebih baik, paling tidak dendasarkan diri pada prinsip-prinsip,
antara lain:
1) Pemerintah ter,masuk lembaga turunannya sebagai pembuat kebijakan tidak
perlu harus selalu menjadi pelaksana dalam berbagai urusan pemerintahan
tetapi cukup sebagai penggerak
2) Sebagai badan yang dimiliki masyarakat luas, pemerintah dan lembaga
turunannya bukan hanya senantiasa melayani publik tetapi juga
memberdayakan segenap lapisan secara optimal.
3) Sebagai pemilik wewenang untuk mengkompetisikan berbagai lapisan,
pemerintah dan lembaga turunannya hendaknya tetap menyuntikkan ide
pembangunan tetapi dalam misinya ini tetap diberi kebebasan berkarya
kepada berbagai lapisan tersebut agar hasil dan berbagai masukan dapat
ditampung, dalam rangka pemenuhan kebutuhan bersama. Dengan demikian
berbagai pihak bukan hanya sekedar menghabiskan anggaran tetapi
menemukan pertumbuhan kembangnya.
4) Pemerintah dan lembaga turunannya sebagai pembangkit partisipasi seluruh
lapisan masyarakat juga mampu melihat dan mengantisipasi keadaan dalam
arti lebih baik mencegah akan terjadinya berbagai kemungkinan kendala
daripada menanggulangi di kemudian hari.
5) Dengan kewenangannya, pemerintah yang terdesentralisasi mampu
menyerahkan sebagian urusan pemerintahannya, sehingga kekakuan aturan
dari pemerintah pusat yang lebih atas dapat berganti mengikut sertakan
daerah-daerah, dimana diharapkan terbentuk tim kerja yang optimal dan
potensial.
6) Pemerintah sudah waktunya berorientasi pasar, dimana kecenderungannya
penyelewengan dan koruspsi relatif kecil sehingga untuk itu diperlukan
perubahan aturan agar lebih efektif dan efisien melalui pengendalian
mekanisme pasar itu sendiri.
12
Berbagai prinsip pelayanaan publik tersebut mengandung essesnsi
mendasar bahwa pelayanan pemerintah hendaknya mendudukkan pelayanan
berbasis community, yang berakar dari pelayanan partisipatif. Hal sejalan dengan
kaidah dan tujuan layanan publik oleh pemerintah, dimana pada prinsipnya
ditujukan untuk:
1) mewujudkan kepastian hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan
seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik.
2) mewujudkan sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang baik sesuai
dengan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good
governance).
3) terpenuhinya hak-hak masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik secara
maksimal.
4) mewujudkan partisipasi dan ketaatan masyarakat dalam meningkatkan kuliatas
pelayanan publik sesuai dengan mekanisme yang berlaku
Parasuraman,et.all dalam Lupiyoadi (2001) mengemukakan bahwa
kualitas layanan dapat didefinisikan sebagai seberapa jauh perbedaan antar
kenyataan dan harapaan pelanggan atas pelayanan yang mereka terima atau
peroleh. Sedangkan menurut Kotler (dalam Subihaiani,2001) kualitas layanan
merupakan suatu bentuk penilaian konsumen terhadapa tingkat layanan yang
dipersepsikan (Perceived service) dengan tingkat pelayanan yang diharapakan
(expected value).
Menurut Wyckof (dalam Wisnalmawati, 2005) kualitas jasa
adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat
keunggulan untuk memenuhi keinginan pelanggan. Apabila jasa yang
diterima sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan
baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan
pelanggan, maka kualitas jasa dipersepsikan ideal. Sebaliknya jika jasa
yang diterima lebih rendah dari pada yang diharapkan, maka kualitas jasa
dianggap buruk (Tjiptono, 2005).
13
5. Tangibles (bukti fisik) yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukan
eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan saran dan
prasaranan fisik serta keadaan lingkuna sekitarnya adalah bukti nyata
dari palayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. Yang meliputi fasilitas
fisik (gedung, gudang dan lain sebagainya), perlengkapan dan peralatan
yang dipergunakan ( teknologi ) serta penampilan pegawainya.
Terkait dengan acuan dan standar pelayanan publik sebagaimana disitir
oleh konsep dasar Total Quality Sevice, Menteri Aparatur Negara (MENPAN)
menerbitkan Surat Keputusan Nomor 81 Tahun 1983 yang mengetengahkan
tentang sendi-sendi pelayanan, antara lain:
a. Kesederhanan, dalam arti bahwa prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan
secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah
dilaksanakan.
b. Kejelasan dan kepastian; yang meliputi:
1) prosedur/tatacara pelayanan umum
2) persyaratan-persyaratan umum, baik teknis maupun administratif
3) unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam
memberikan pelayanan umum
4) rincian biaya/tarif pelayanan umum dan tatacara pembayarannya
5) jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum
6) hak dan kewajiban baik pembeli maupun penerima pelayanan umum
berdasarkan bukti-bukti penerimaan oermohonan/kelengkapannya sebagai
alat untuk memaksimalkan mulai proses pelayanan umum hingga ke
penyelesaiannya.
c. Keamanan, dalam arti bahwa proses serta hasil pelayanan umum dapat
memberikan keamanan dan kenyamanan serta memberikan kepastian hukum
d. Keterbukaan, dalam arti prosedur/tatacara, persyaratan, satuan kerja pejabat
penaggungjawab pemberi pelayanan umum, waktu penyelesaian dan rincian
tarif dan hal-hal yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib di
informasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh
masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta
e. Efisien, dalam arti: (1) persyaratan pelayanan umum dibatasi hanya pada hal-
hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan
tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk
peleyanan umum yang diberikan; (2) dicegah adanya pengulangan
kelengkapan persyaratan pada konteks yang sama, dalam hal proses
pelayanannya, kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah
lain yang terkait
f. Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan
secara wajar dengan memperhatikan: (1) nilai barang dan atau jasa pelayanan
umum/tidak menuntut biaya yang tinggi di luar kewajaran; (2) kondisi dan
kemampuan masyarakat untuk membayar secara umum; (3) ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
g. Keadilan yang merata, dalam arti cakupan/jangkauan pelayanan umum harus
diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan
secara adil
14
h. Ketepatan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan
dalam waktu yang telah ditentukan
Gaspersz (1997) menyatakan bahwa ada beberapa dimensi yang harus
diperhatikan untuk meningkatkan mutu pelayanan, antara lain: (1) ketepatan
waktu pelayanan; (2) akuransi pelayanan; (3) kesopanan dan keramahan dalam
memberikan pelayanan; (4) tanggungjawab; (5) kelengkapan; (6) kemudahan
mendapatkan pelayanan; (7) variasi model peleyanan; (8) pelayanan pribadi; (9)
kenyamanan dalam memperoleh pelayanan; dan (10) atribut pendukung pelayanan
lainnya.
Menurut keputusan MENPAN Nomor. KEP/25/M.PAN/2/2004,
dinyatakan bahwa terdapat 14 unsur yang relevan, valid dan reliabel sebagai dasar
unsur minimal yang harus ada untuk dasar pengukuran indeks kepuasan
masyarakat, antara lain:
1. Prosedur pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan
kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan
2. Persyaratan pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administratif yang
diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanan
3. Kejelasan petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang
meberikan pelayanan (nama, jabatan serta kewenangan dan tanggungjawab).
4. Kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas pelayanan, yaitu
kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan terutama terhadap
konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku
5. Tanggungjawab petughas pelayan, yaitu kejelasan wewenang dan
tanggungjawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan
6. Kemampuan petugas peleyanan, yaitu tingkat keahlian dan ketrampilan yang
dimiliki petugas dalam memberikan/menyelesaikan pelayanan kepada
masyarakat
7. Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat selesaikan dalam
waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan
8. Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak
membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani
9. Kesopanan dan keramahan petugas, yaitu sikap dan perilaku petugas dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta
saling mengahargai dan menghormati
10. Kewajaran biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap
bersarnya biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan
11. Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayar dengan
biaya yang telah ditetapkan
12. Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan
13. Kenyamanan lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang
bersih, rapi, dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada
penerima pelayanan
14. Keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit
penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga
15
masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-
resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.
II.4. Emphaty
Dalam kehidupan ini banyak peristiwa yang lepas dari pandangan kita
yang sejatinya bisa memberikan banyak pelajaran bagi hidup kita. Peristiwa yang
mengharukan maupun membahagiakan tetap memiliki arti. Kemampuan kita
untuk memahami dan mengalami suatu perasaan positif dan negatif akan
membantu kita memahami makna kehidupan yang sebenarnya. Kemampuan ini
sering disebut sebagai atribut empati.
Empati merupakan bagian penting social competency (kemampuan
sosial). Empati juga merupakan salah satu dari unsur-unsur kecerdasan sosial. Ia
terinci dan berhubungan erat dengan komponen-komponen lain, seperti empati
dasar, penyelarasan, ketepatan empatik dan pengertian sosial. Empati dasar yakni
memiliki perasaan dengan orang lain atau merasakan isyarat-isyarat emosi non
verbal.
Penyelarasan yakni mendengarkan dengan penuh reseptivitas,
menyelaraskan diri pada seseorang. Ketepatan empatik yakni memahami pikiran,
perasaan dan maksud orang lain dan pengertian sosial yakni mengetahui
bagiamana dunia sosial bekerja (Goleman, Daniel, 2007) Sementara itu, secara
sederhana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), empati adalah
keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya
dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.
Empati adalah kemampuan seseorang dalam ikut merasakan atau menghayati
perasaan dan pengalaman orang lain.
Seseorang tersebut tidak hanyut dalam suasana orang lain, tetapi
memahami apa yang dirasakan orang lain itu. Secara lebih luas empati diartikan
sebagai ketrampilan sosial tidak sekedar ikut merasakan pengalaman orang lain
(vicarious affect response), tetapi juga mampu melakukan respon kepedulian
(concern) terhadap perasaan dan perilaku orang tersebut. Tidak heran jika latihan
memberikan sesuatu atau bersedekah, selain merupakan sarana beribadah, juga
bisa melatih empati anak pada orang lain yang memunculkan sifat berderma
(filantropi) (Frieda Mangunsong, 2010).
Dengan demikian penekanan empati tersebut menyatakan bahwa
kemampuan menyelami perasaan orang lain tersebut tidak membuat kita
tenggalam dan larut dalam situasi perasaannya tetapi kita mampu memahami
perasaan negatif atau positif seolah-olah emosi itu kita alami sendiri (resonansi
perasaan). Kemampuan berempati akan mampu menjadi kunci dalam keberhasilan
bergaul dan bersosialisasi di masyarakat.
Dalam kehidupan berkelompok kita pasti mendapati orang dalam watak
yang beraneka ragam. Oleh karena itu, tidak mungkin kita memaksakan pendapat,
pikiran atau perasaan kepada orang lain. Di sinilah, empati sangat berperan
penting. Individu dapat diterima oleh orang lain jika ia mampu memahami kondisi
(perasaan) orang lain dan memberikan perlakuan yang semestinya sesuai dengan
harapan orang tersebut. Kemampuan empati perlu diasah setiap orang agar dirinya
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya.
16
Empati akan membantu kita bisa cepat memisahkan antara masalah
dengan orangnya. Kemampuan empati akan mendorong kita mampu melihat
permasalahan dengan lebih jernih dan menempatkan objektifitas dalam
memecahkan masalah. Banyak alternatif yang memungkinkan dapat diambil
manakala kita dapat berempati dengan orang lain dalam menghadapi masalah.
Tanpa adanya empati sulit rasanya kita tahu apa yang sedang dihadapi seseorang
karena kita tidak dapat memasuki perasaannya dan memahami kondisi yang
sedang dialami.
Penelitian Rosenthal membuktikan bahwa anak yang mampu membaca
perasaan orang lain melalui isyarat non verbal lebih pandai menyesuaikan diri
secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul dan lebih peka. Kemampuan
membaca pesan non verbal akan membantu seseorang melihat apa yang
sebenarnya sedang terjadi yang tidak dapat disampaikan secara verbal. Pesan non
verbal memberikan banyak peluang kita memahami apa yang sebenarnya terjadi
dalam diri seseorang karena pesan tersebut sulit untuk direkayasa. Begitu pula
dengan nada bicara, ekspresi wajah dan gerak-gerika tubuhnya. Seseorang yang
mampu membaca pesan ini akan menjadi mudah untuk memahami perasaan orang
lain.
Beberapa faktor, baik psikologis maupun sosiologis yang mempengaruhi
proses empati sebagai berikut, antara lain :
1. Sosialisasi. Dengan adanya sosialisasi memungkinkan seseorang dapat
mengalami sejumlah emosi, mengarahkan seseorang untuk melihat keadaan
orang lain dan berpikir tentang orang lain.
2. Perkembangan kognitif. Empati dapat berkembang seiring dengan
perkembangan kognitif yang bisandikatakan kematangan kognitif, sehingga
dapat melihat sesuatu dari sudutnpandang orang lain (berbeda)
3. Mood dan Feeling. Situasi perasaan seseorang ketika berinteraksi dengan
lingkungannya akan mempengaruhi cara seseorang dalam memberikan respon
terhadap perasaan dan perilaku orang lain
4. Situasi dan tempat. Situasi dan tempat tertentu dapat memberikan pengaruh
terhadap proses empati seseorang. Pada situasi tertentu seseorang dapat
berempati lebih baik dibanding situasi yang lain.
5. Komunikasi. Pengungkapan empati dipengaruhi oleh komunikasi (bahasa)
yang digunakan
6. seseorang. Perbedaan bahasa dan ketidakpahaman tentang komunikasi yang
terjadi akan menjadi hambatan pada proses empati.
II.5. Tangible
Tangibles atau pelengkapan sarana fisik yaitu kemampuan perusahaan
dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Yang dimaksud bahwa
penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan
lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dan pelayanan yang diberikan (Parasuraman
dalam Lupiyoadi, 2006).
Kelengkapam dan kualitas tangible mengandung makna bahwa
kelengkapamn sarana pendukung kerja serta fasilitas fisik lain yang dimiliki
peruzsahaan (instansi) dalam rangka kenyamanan masyarakat atau mempermudah
dan meperlancar proses pelayanan yang dilakukan karyawab (pegawai) (Kahar
17
Ustman, 2005). Dengan kelengkapan peralatan dan perlengkapan termsuk konsisi
fisik (kualitas) peralatan dan perlengkapan pelayanan publilk tersebut, maka
masyarakat merasa nyaman memperoleh pelayanan juga cepat dalam penyelesaian
pelayanan yang dibutuhkan.
Hasil penelitian kahar Ustman (2005) menunjukkan bahwa kelengkapan
sarana dan prasarana yang dimiliki inatansi, termasuk kualitas sarana tersebut maka
meningkatkan nkualitas pelayanan serta meningkatkan kepuasan masyarakt yang
dilayanani. Bentuk tangible yang sering memperoleh perhatiaan adalah yang
berkenaan lanhgsung dengan fasilitas yang dibutuhkan masyarakat, sperti kebersihan,
WC, tempat duduk, AC dan asejenisnya. Penelitian ini sejalan dengan Tity (2010)
bahwa tangible yang dimiliki rumah sakit, sepertri: WC umum, tempat antre pasien,
AC, kebersihan ruangan, serta fasilitas medis dan non medis lain mempenbgaruhi
kepuasan peasien rawat inap. Hasil penelitian memberikan mjustifikasi bahwa
masyarakat yang membutuhkan pelayanan publik menghendaki kenyamanan dengan
kelengkapan dan fasilitas layanan yang dimiliki intansi pemberi layanan.
II.6. Responsiveness
Era globalisasi yang dengan kondisi persaingan yang cukup ketat dan
penuh tantangan, aparatur pemerintah dituntut untuk bisa memberikan layanan
yang sebaik-baiknya kepada masyarakat dan berorientasi kepada kebutuhan
masyarakat. Kualitas layanan kepada masyarakat ini menjadi salah satu indikator
dari keberhasilan institusi pendidikan sebagai sebuah organisasi birokrasi publik.
Birokrasi publik, pada dasarnya dihadirkan untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Meskipun birokrasi publik memiliki ciri-ciri yang berbeda
dengan organisasi bisnis, tetapi dalam menjalankan misi, tujuan dan programnya
menganut prinsip-prinsip efisiensi, efektivitas, dan menempatkan masyarakat
sebagai stakeholder yang harus dilayani secara optimal. Layanan publik,
merupakan hak masyarakat yang pada dasarnya mengan-dung prinsip:
kesederhanaan, kejelasan, kepastian waktu, akurasi, keamanan, tanggung-jawab,
kelengkapan sarana, dan prasarana, kemudahan akses, kedisiplinan, kesopanan
keramahan, dan kenyamanan. Tangkilisan, (2005 : 224) menyebutkan bahwa
birokrasi publik tidak berorientasi langsung pada tujuan akumulasi keuantungan,
namun memberikan layanan publik dan menjadi katalisator dalam
penyelenggaraan pembangunan maupun penyelenggaraan tugas negara. Orientasi
pada pelayanan menunjuk pada seberapa banyak energi birokrasi dimanfaatkan
untuk penyelenggaraan pelayanan publik.
Responsivitas sebagai salah satu indikator pelayanan berkaitan dengan
daya tanggap aparatur terhadap kebutuhan masyarakat yang membutuhkan
pelayanan sebagaimana diatur di dalam aturan perundangan. Sementara itu,
Siagian (2000) dalam pembahasannya me-ngenai Teori Pengembangan Organisasi
mengindikasikan bahwa responsivitas menyangkut kemampuan aparatur dalam
menghadapi dan mengantisipasi aspirasi baru, perkembangan baru, tuntutan baru,
dan pengetahuan baru. Birokrasi harus merespon secara cepat agar tidak tertinggal
dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Dalam Keputusan Menpan No. 63/Kep./M.PAN/7/2003, tentang
Pedoman Umum Penyelenggaraan Layanan Publik, disebutkan bahwa layanan
publik oleh pemerintah dibedakan menjadi tiga kelompok layanan administratif,
18
yaitu : Pertama, kelompok layanan yang menghasilkan bentuk dokumen resmi
yang dibutuhkan oleh publik; Kedua, kelompok layanan yang menghasilkan
berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik; Ketiga, kelompok
layanan yang menghasilkan berbagai jasa yang dibutuhkan oleh publik. Layanan
publik dalam hal ini dipahami sebagai segala kegiatan yang dilaksanakan oleh
institusi pendidikan dalam rangka pencerdasan masyarakat sebagai pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, paling tidak terdapat tiga
pelaku yaitu : pembuat kebijakan, penyedia/pelaksana layanan publik, dan
penerima layanan. Dalam sistem pemerintahaan dominan, perumus dan pelaksana
layanan publik dilakukan oleh pemerintah, dan masyarakat sebagai penerima
layanan (Susanto : 2005). Tetapi, pelayanan publik oleh birokrasi seharusnya
digerakkan oleh visi dan misi pelayanan, namun pada kenyataannya justru
digerakkan oleh peraturan dan anggaran yang tidak dimengerti oleh publik karena
tidak disosialisasikan secara transparan (Dwiyanto, 2002 : 84).
Pada kenyataannya, keinginan mewujudkan layanan publik secara
optimal, tidak dapat dijalankan dengan baik karena birokrasi tidak cukup
responsif terhadap dinamika semakin menguatnya kemampuan masyarakat, baik
melalui mekanisme pasar maupun mekanisme organisasi sosial kemasyarakatan
memungkinkan birokrasi meredefinisikan kembali misinya. Pengalaman
membuktikan bahwa birokrasi yang dikendalikan dari jauh hanya menghasilkan
penyeragaman yang seringkali tidak cocok dengan situasi dan kondisi pada
variabilitas antar daerah. Banyak program pemerintah gagal memperoleh
dukungan penuh dan partisipasi masyarakat karena karena tidak sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi daerah. Perbedaan kultural, geografis, dan ekonomis
melahirkan kebutuhan yang berbeda dan menuntut program-program
pembangunan yang berbeda pula.
Pandangan yang sejalan, dikemukakan oleh Susanto (2005), dalam
tulisannya tentang Manajemen Layanan Publik, bahwa layanan publik yang
biasanya menempel di tubuh lembaga pemerintah dinilai kurang dapat memenuhi
tugasnya sesuai dengan harapan khalayak, sebagai 'konsumen' mereka. Salah satu
yang dianggap sebagai biang keladinya adalah bentuk organisasi birokrasi,
sehingga birokrasi selalu mendapat pengertian yang negatif. Selain itu, penyedia
layanan masih belum patuh kepada ketentuan baku yang dibuatnya sendiri dalam
menjalankan tugasnya. Penyimpangan dari ketentuan yang telah ditetapkan
acapkali tanpa adanya konsekuensi pengenaan sanksi. Terjadinya berbagai
penyimpangan dalam pemberian layanan publik dapat disebabkan oleh : Pertama,
para birokrat yang bertanggungjawab pada penyelenggaraan layanan publik masih
terpaku pada paradigma lama dengan semangat pangreh praja yang masih
melekat; Kedua, peraturan atau ketentuan yang berlaku mengandung banyak
lubang (loopholes) atau kelemahan yang mendorong terjadinya penyimpangan;
Ketiga, pengguna jasa layanan publik juga sering memanfaatkan kelemahan
peraturan dan ingin menempuh jalan pintas; Keempat, pengguna jasa masih
berada pada posisi yang lemah. Kumorotomo (2005 : 7) Ada beberapa hal yang
dapat dikemukakan untuk menjelaskan mengapa selama ini banyak kebijakan,
program, dan pelayanan publik kurang responsif terhadap aspirasi masyarakat.
Pertama, para birokrat kebanyakan masih berorientasi kepada kekuasaan dan
19
bukannya kepada kepentingan publik. Birokrat menempatkan dirinya sebagai
penguasa. Budaya paternalistik seringkali juga mengakibatkan turunnya kualitas
pelayanan publik. Kedua, terdapat kesenjangan yang lebar antara apa yang
diputuskan oleh pembuat kebijakan dengan yang dikehendaki oleh rakyat. Dalam
pandangan lain, aspek perubahan politik ikut berpengaruh pada derajat layanan
publik, sebagaimana disinggung oleh Peters, B. Guy (1984) :
At least three of the old chestnuts that have guided our thinking about the
public service ini the process of governance are simply no longer as
canonical as they once were. The first of these principles is the assumption
of an apolitical civil service, and associated with it is the politis-
administration dichotomy and the concept of “neutral competence” within
the civil service. A second significant change in assumption about
government relevant to this discussion is a decline in assumption of
hierachical and rule-based management within the public service, and in
the outhority of civil servants to implement and eforce regulations outside
of public service. The third change in the assumptions about governance
and the public bureaucracy concerns the permanence and stability of the
organizations within government.
Dilulio, 1994 dalam Dwiyanto (2002), menekankan bahwa responsivitas
sangat diperlukan dalam pelayanan publik karena hal tersebut merupakan bukti
kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda
dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program pelayanan publik
sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Selanjutnya, dalam studinya
tentang reformasi birokrasi, Dwiyanto (2002), mengembangkan beberapa
indikator responsivitas pelayanan publik, yaitu : keluhan pengguna jasa, sikap
aparat birokrasi dalam merespon keluhan pengguna jasa, penggunaan keluhan
pengguna jasa sebagai referensi perbaikan layanan publik, berbagai tindakan
aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan, dan penempatan pengguna jasa
oleh aparat birokrasi dalam sistem pelayanan yang berlaku.
II.7. Kedisiplinan
Disiplin sangat penting untuk pertumbuhan organisasi, digunakan
terutama untuk memotivasi pegawai agar dapat mendisiplinkan diri dalam
melaksanakan pekerjaan baik secara perorangan maupun kelompok. Disamping
itu disiplin bermanfaat mendidik pegawai untuk mematuhi dan menyenangi
peraturan, prosedur, maupun kebijakan yang ada, sehingga dapat menghasilkan
kinerja yang baik.
Kurang pengetahuan tentang peraturan, prosedur, dan kebijakan yang
ada merupakan penyebab terbanyak tindakan indisipliner. Salah satu upaya
untuk mengatasi hal tersebut pihak pimpinan sebaiknya memberikan program
orientasi kepada tenaga perawat/bidan yang baru pada hari pertama mereka
bekerja, karena perawat/bidan tidak dapat diharapkan bekerja dengan baik dan
patuh, apabila peraturan/prosedur atau kebijakan yang ada tidak diketahui, tidak
jelas, atau tidak dijalankan sebagai mestinya. Selain memberikan orientasi,
pimpinan harus menjelaskan secara rinci peraturan peraturan yang sering
20
dilanggar, berikut rasional dan konsekwensinya. Demikian pula peraturann /
prosedur atau kebijakan yang mengalami perubahan atau diperbaharui, sebaiknya
diinformasikan kepada staf melalui diskusi aktif.
Tindakan disipliner sebaiknya dilakukan, apabila upaya pendidikan
yang diberikan telah gagal, karena tidak ada orang yang sempurna. Oleh sebab
itu, setiap individu diizinkan untuk melakukan kesalahan dan harus belajar dari
kesalahan tersebut. Tindakan indisipliner sebaiknya dilaksanakan dengan cara
yang bijaksana sesuai dengan prinsip dan prosedur yang berlaku menurut
tingkat pelanggaran dan klasifikasinya.
a. Disiplin berasal dari akar kata “disciple“ yang berarti belajar.
b. Disiplin merupakan arahan untuk melatih dan membentuk seseorang
melakukan sesuatu menjadi lebih baik.
c. Disiplin adalah suatu proses yang dapat menumbuhkan perasaan seseorang
untuk mempertahankan dan meningkatkan tujuan organisasi secara
obyektif, melalui kepatuhannya menjalankan peraturan organisasi.
Sanksi indisipliner dilakukan untuk mengarahkan dan memperbaiki
perilaku pegawai dan bukan untuk menyakiti. Tindakan disipliner hanya
dilakukan pada pegawai yang tidak dapat mendisiplinkan diri, menentang/tidak
dapat mematuhi praturan/prosedur organisasi. Melemahnya disiplin kerja akan
mempengaruhi moral pegawai maupun pelayanan pasen secara langsung, oleh
karena itu tindakan koreksi dan pencegahan terhadap melemahnya peraturan
harus segera diatasi oleh semua komponen yang terlibat dalam organisasi.
Menurut Simamora (1997) disiplin adalah prosedur yang mengoreksi
atau menghukum bawahan karena melanggar peraturan atau prosedur. Disiplin
kerja adalah suatu alat yang digunakan para manajer untuk berkomunikasi dengan
karyawan agar mereka bersedia untuk mengubah suatu perilaku serta sebagai
suatu upaya untuk meningkatkan kesadaran dan kesediaan seseorang menaati
semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku (Rivai, 2004).
Hasibuan (2004) berpendapat bahwa kedisiplinan adalah kesadaran dan
kesediaan seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial
yang berlaku. Berdasarkan pengertian diatas disimpulkan bahwa disiplin kerja
merupakan suatu sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang sesuai dengan peraturan
baik tertulis maupun tidak tertulis, dan bila melanggar akan ada sanksi atas
pelanggarannya.
Budi Setiyawan dan Waridin (2006) dalam Mohammad (2005), ada 5
faktor dalam penilaian disiplin kerja terhadap pemberian layanan pada
masyarakat, yaitu:
1. Kualitas kedisiplinan kerja, meliputi datang dan pulang yang tepat waktu,
pemanfaatan waktu untuk pelaksanaan tugas dan kemampuan
mengembangkan potensi diri berdasarkan motivasi yang positif.
2. . Kuantitas pekerjaan meliputi volume keluaran dan kontribusi.
3. Kompensasi yang diperlukan meliputi : saran, arahan atau perbaikan.
4. Lokasi tempat kerja atau tempat tinggal.
5. Konservasi meliputi penghormatan terhadapaturan dengan keberanian untuk
selalu melakukan pencegahan terjadinya tindakan yang bertentangan
denganaturan.
21
Terdapat empat perspektif daftar yang menyangkut disiplin kerja
menurut Rivai (2004):
a) Disiplin retributive (retributive discipline) yaitu berusaha menghukum orang
yang berbuat salah.
b) Disiplin korektif (corrective discipline) yaitu berusaha membantu karyawan
mengkoreksi perilakunya yang tidak tepat.
c) Perspektif hak-hak individu (individual right perspective) yaitu berusaha
melindungi hak-hak dasar individu selama tindakan-tindakan disipliner.
6. Perspektif utilitarian (utilitarian perspective) yaitu berfokus kepada
penggunaan disiplin hanya pada saat konsekuensi-konsekuensi tindakan
disiplin melebihi dampak-dampak negatifnya.
Rivai (2004) juga menyebutkan ada tiga konsep dalam pelaksanaan
tindakan disipliner, yaitu:
a) Aturan tungku panas yaitu pendekatan untuk melaksanakan tindakan
disipliner.
b) indakan disiplin progresif yaitu untuk memastikan bahwa terdapat hukum
minimal yang tepat terhadap setiap pelanggaran.
c) Tindakan disiplin positif yaitu dalam banyak situasi, hukuman tindakan
memotivasi karyawan mengubah suatu perilaku.
Untuk menjadikan budaya dissiplin terjadi pada organisasi, berikut ini
dijelaskan prinsip-prinsip disiplin, antara lain:
1. Pemimpin mempunyai prilaku positif. Untuk dapat menjalankan disiplin
yang baik dan benar, seorang pemimpin harus dapat menjadi role
model/panutan bagi bawahannya. Oleh karena itu seorang pimpinan harus
dapat mempertahankan perilaku yang positif sesuai dengan harapan staf.
2. Penelitian yang Cermat. Dampak dari tindakan indisipliner cukup serius,
pimpinan harus memahami akibatnya. Data dikumpulkan secara faktual,
dapatkan informasi dari staf yang lain, tanyakan secara pribadi rangkaian
pelanggaran yang telah dilakukan, analisa, dan bila perlu minta pendapat
dari pimpinan lainnya.
3. Kesegeraan. Pimpinan harus peka terhadap pelanggaran yang dilakukan
oleh bawahan sesegera mungkin dan harus diatasi dengan cara yang
bijaksana. Karena, bila dibiarkan menjadi kronis, pelaksanaan disiplin yang
akan ditegakkan dapat dianggap lemah, tidak jelas, dan akan mempengaruhi
hubungan kerja dalam organisasi tersebut.
4. Lindungi Kerahasiaan (privacy)
5. Tindakan indisipliner akan mempengaruhi ego staf, oleh karena itu akan
lebih baik apabila permasalahan didiskusikan secara pribadi, pada ruangan
tersendiri dengan suasana yang rileks dan tenang. Kerahasiaan harus tetap
dijaga karena mungkin dapat mempengaruhi masa depannya .
6. Fokus pada Masalah. Pimpinan harus dapat melakukan penekanan pada
kesalahan yang dilakukan bawahan dan bukan pada pribadinya, kemukakan
bahwa kesalahan yang dilakukan tidak dapat dibenarkan.
7. Peraturan Dijalankan Secara Konsisten. Peraturan dijalankan secara
konsisten, tanpa pilih kasih. Setiap pegawai yang bersalah harus dibina
22
sehingga mereka tidak merasa dihukum dan dapat menerima sanksi yang
dilakukan secara wajar.
8. Fleksibel. Tindakan disipliner ditetapkan apabila seluruh informasi tentang
pegawai telah di analisa dan dipertimbangkan. Hal yang menjadi
pertimbangan antara lain adalah tingkat kesalahannya, prestasi pekerjaan
yang lalu, tingkat kemampuannya dan pengaruhnya terhadap organisasi
9. Mengandung Nasihat. Jelaskan secara bijaksana bahwa pelanggaran yang
dilakukan tidak dapat diterima. File pegawai yang berisi catatan khusus
dapat digunakan sebagai acuan, sehingga mereka dapat memahami
kesalahannya.
10. Tindakan Konstruktif. Pimpinan harus yakin bahwa bawahan telah
memahami perilakunya bertentangan dengan tujuan organisasi dan jelaskan
kembali pentingnya peraturan untuk staf maupun organisasi. Upayakan
agar staf dapat merubah perilakunya sehingga tindakan indisipliner tidak
terulang lagi.
11. Follow Up (Evaluasi). Pimpinan harus secara cermat mengawasi dan
menetapkan apakah perilaku bawahan sudah berubah. Apabila perilaku
bawahan tidak berubah, pimpinan harus melihat kembali penyebabnya dan
mengevaluasi kembali batasan akhir tindakan indisipliner.
23
Emphaty
Tangible
Kualitas Layanan
Responsifitas
Kedisiplinan
24
Atas dasar uraian diatas, maka dapat disajikan hipotesis yang akan diuji
sebagai berikut ini:
25
3.9.3. Pengaruh Responsivitas Terhadap Kualitas Layanan
Responsiveness (ketanggapan) yaitu suatu kamauan untuk
membantu dan memberikan pelayanan yang cepat dan tepat kepada
pelanggan, dengan penyampaian informasi dengan jelas. Menurut Parasuraman.
dkk. (1998) menyatakan bahwa daya tanggap (responsiveness) yaitu suatu
kebijakan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat
(responsif) dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi
yang jelas, dan membiarkan konsumen menunggu merupakan persepsi yang
negatif dalam kualitas pelayanan.
Respon atau kesigapan karyawan dalam membantu pelanggan dan
memberikan pelayanan yang cepat dan tangap, yang meliputi kesigapan karyawan
dalam melayani pelanggan, kecepatan karyawan dalam menangani transaksi serta
penanganan keluhan pelanggan. Menurut Parasuraman. Dkk. 1998 (lupiyoadi &
amdani, 2006) daya tanggap (responsiveness) yaitu suatu kebijakan untuk membantu
dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat kepada pelanggan,
dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu
merupakan persepsi yang negatif dalam kualitas pelayanan. Berdasarkan banyak studi
yang dilakukan, ada satu hal yang sering membuat pelangan kecewa, yaitu pelanggan
sering dipingpong saat membutuhkan informasi. Dari staf yang satu dioper ke staf
yang lain kemudian staf yang lain tidak mengetahui atau menjawab hal apa yang
diinginkan oleh pelanggan. Sunguh pelayanan yang tidak tanggap dan pasti akan
membuat pelanggan merasa tidak puas. Daya tanggap / ketanggapan yang diberikan
oleh perusahaan dengan baik akan meningkatkan kepuasan yang dirasakan oleh
konsumen. Sedangkan atribut-atribut yang ada dalam dimensi (Pasuraman, 2005):
a. Memberikan palayanan yang cepat.
b. Kerelaan untuk membantu / menolong konsumen.
c. Siap dan tanggap untuk menangani respon permintaan dari para konsumen.
Hubungan daya tanggap dengan kepuasan konsumen adalah daya tanggap
mempunyai pengaruh positif terhadap kepuasan konsumen. Semakin baik persepsi
konsumen terhadap daya tanggap perusahaan maka kepuasan konsumen juga akan
semakin tinggi. Dan jika persepsi konsumen terhadap daya tanggap buruk maka
kepuasan konsumen juga akan semakin rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Hasan
(2006) menyebutkan bahwa variable compliance, assurance, tangibles, reliability,
responsiveness, empathy berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan
pelanggan.
Atas dasar uraian diatas, maka dapat disajikan hipotesis sebagai berikut
26
3.9.4. Pengaruh Kedisiplinan Terhadap Kualitas Layanan
Secara umum disiplin kerja adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk
melatih diri dalam melaksanakan kegiatan dengan baik dan benar. Untuk
memperkuat tentang pengertian disiplin kerja, maka ada beberpa pengertian
disiplin kerja menurut para ahli. Menurut Tohardi (2002) menyatakan Disiplin
kerja adalah perilaku seseorang yang sesuai dengan peraturan prosedur kerja yang
ada.
Menurut Sondang (2002) menyatakan bahwa isiplin adalah suatu bentuk
peraturan pelatihan yang berusaha memperbaiki dan membentuk pengatahuan,
sikap dan perilaku karyawan sehingga para karyawan tersebut secara sukarela
berusaha bekerja secara teratur dengan para karyawan yang lain serta
meningkatkan prestasi kerjanya.
Menurut Maman Rachman (1999) menyatakan bahwa disiplin sebagai
upaya mengendalikan diri dan sikap mental individu atau masyarakat dalam
mengembangkan kepatuhan dan ketaatan terhadap peraturan dan tata tertib
berdasarkan dorongan dan kesadaran yang muncul dari dalam hatinya.
Menurut Soegeng Prijodarminto (1994) menyatakan disiplin adalah suatu
kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang
menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan
ketertiban. Nilai-nilai tersebut telah menjadi bagian perilaku dalam kehidupannya.
Perilaku itu tercipta melalui proses binaan melalui keluarga, pendidikan dan
pengalaman. Dari definisi di atas dapat di simpulkan bahwa disiplin kerja adalah
pelatihan untuk mengendalikan kebiasaan, kesopanan dan ketaatan terhadap
peraturan-peraturan yang berhubungan langsung dengan pekerjaan.
Kedisiplinan merupakan satiu bentuk perilaku pelayanan publik yang
mampu menciptakan tingkat keoauasan pasien. Suwanta Basu (1995) menyatakan
sikap diplin pegawai meningkat kualitas layanan, lewat ketepatan, keakuratan,
keceoatan dan kesesuaian dengan standar prosedur.
Hasil penelitian Zaenul (2010) menujuukkan bahwa tingkjat kiedisplinan
guru dalam menjalankan tugas menentukan tingkat kualitas pembelajaran dan
keoauasan peserta didik.
Atas dasar uraian tersebut diatas, hipotesis penelitian yang akan diuji
dalam penelitian ini adalah:
H4 = tingkat kedisilinan pegawai dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat merupakan faktor yang menentukan tingkat
kepuasan masyarakat.
27
Tengah. Data primer penelitian berupa pendapat dari responden yaitu masyarakat
yang membutuhkan pelayanan di Kelurahan Leysane Kecamatan Kota Masohi
Maluku Tenga
32.2.1. Tangible
Indikator variabel tangible meliputi:
1. Tata ruang
2. Kondisi peralatan dan ruangan
3. Kelengkapan fasilitas
4. Kebersihan ruangan
5. Fasilitas MCK
6. Fasilitas ruang tunggu
1. Kecepatan dan ketepatan kontrol dokter
3.2.2.2. Responsiveness
Indikator variabel responsiveness antara lain:
1. Kutu layanan
2. Cepat tanggap keluhan
3. Memahami kondisi pasien
4. Keramahan pegawai
5. Memahami sistem dan prosedur
28
3.2.2.3. Kedisplinan
Indikator varuiabek kedisilinan meliputi:
1. Ketepatan datang kerja menurut jam kedatangan
2. Keberadaan ditempoat saat selama jam pelayanan
3. Ketepatan dalam pelayanan
4. Ketepatan kerja sesuai dengan Standard Operasional Prosedur
5. Kedisplinan dala pelayanan
3.2.2.4. Emphaty
Indikator variabel emphaty meliputi:
1. Respek terhadap pasien
2. Penyuluhan
3. Penampilan pegawai
4. Ramah dalam pelayanan
5. Dekat secara pasikologis dengan pasien
Dimana :
Z = tingkat keyakinan yang dibutuhkan dalam penelitian sampel
Moe = Margin of error, atau tingkat kesalahan maksimum yang dapat di
tolerir
N = besarnya sampel
29
b. Metode Dokumentasi, digunakan nuntuk memperoleh data sekunder yaitu
dengan membaca profile lembaga, membaca struktur organisasi, job diskripsi,
serta data lain terkait.
30
positif.
- Bila nilai DW lebih rendah dari pada batas bawah atau lower bound (dl), maka
koefisien autokorelasi lebih besar dari pada nol, berarti ada autokorelasi
positif.
- Bila nilai DW lebih besar dari pada (4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih
kecil dari pada nol, berarti ada autokorelasi negatif.
- Bila nilai DW terletak diantara batas atas (du) dan batas bawah (dl) atau DW
terletak antara (4-du) dan (4-dl), maka hasilnya tidak dapat disimpulkan.
3.8.1. Uji F
Sebelum dilakukan analisis lebih lanjut, terlebih dahulu dilakukan uji
statistik terhadap hasil estimasi, untuk melihat ketepatan fungsi regresi dalam
menaksir nilai aktualnya, diukur dari godness of fit-nya. Penilaian dilakukan
dengan melihat nilai statistik t, nilai statistik F dan koefisien determinasinya.
(Gujarati, 2003).
Uji statistik F pada dasarnya menunjukan apakah semua Variabel bebas
yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama
31
terhadap variabel terikat. Artinya apakah semua variabel penjelas secara
bersamaan merupakan variabel-veriabel penjelas yang signinifan atau tidak
signifikan terhadap variabel dependennya. Secara statistik formulasi uji F adalah
(Gujarati, 2003):
F= . . .................................................
(3.3)
Bila F hitung > F tabel pada tingkat derajat kepercayaan 5% dan tingkat
kepercayaan tertentu atau nilai probabilitas signifikansi lebih kecil dari 0,05 maka
H0 ditolak yang berarti variabel bebas secara bersama-sama mempengaruhi
variabel terikat.
3.8.2. Uji t
Uji statistik t pada dasarnya adalah menunjukkan seberapa jauh
pengaruh satu variabel penjelas secara individual dalam mempengaruhi variabel
terikat. Apakah suatu variabel indipenden merupakan penjelas yang signifikan
atau tidak signifikan terhadap variabel dependen. Dalam statistik dapat dicari
melalui rumus (Gujarati, 2003) :
t= ......................................(3.4).
dimana t = nilai yang dicari; βi = koefisien regresi dan se = standar eror
koefisien regresi. Bila t hitung > t tabel pada tingkat kepercayaan 5% atau nilai
probabilitas signifikansi lebih kecil dari 0,05 (taraf nyata 5%) maka H0 ditolak
dengan kata lain variabel bebas berpengaruh secara signifikan terhadap variabel
terikat.
R2 = 1- ...............................................................................
(3.5)
Selanjutnya penyelesaian analisis ini menggunakan program SPSS,
sehingga untuk menilai hasil regresi dilakukan dengan melihat nilai masing-
masing koefisien dari keluaran program SPSS tersebut.
32
DAFTAR PUSTAKA
33
Marriner,A.T. (1995) ,Nursing Management and Leadership ( 5 th ed), Mosby
St Louis, Baltimore.
Nanang Tasunar. 2006. ”Kualitas Layanan Sebagai Strategi
Menciptakan Kepuasan pada Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI)
Morodemak”. Jurnal Sains Pemasaran Indonesia, Vol. V, No. 1 Mei
2006, h. 41-62
Rachmadi. 2008. Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan
Pasien Rawat Inap Kelas III di RSUD Kabupaten Karimun.
Tugas Akhir program Magister Universitas Terbuka tidak
dipublikasikan. Jakarta
Rambat Lupiyoadi dan A. Hamdani. 2001. Manajemen Pemasaran Jasa.
Salemba Empat. Jakata.
Rambat Lupiyoadi dan A. Hamdani. 2006. Manajemen Pemasaran Jasa.
Salemba Empat. Jakarta.
Subihaini. 2001. Analisis Konsekuensi Kualitas Layanan pada
Perilaku Konsumen. Jurnal Bisnis dan Strategi. Tahun VI,h.99-115
Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. ALFABETA. Bandung.
Sunarto. 2003. Perilaku Konsumen. AMUS Jogyakarta dan CV
Ngeksigondo Utama. Yogyakarta
Surya Utama. 2005. Memahami Fenomena Kepuasan Pasien Rumah Sakit.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. 09 (1). 1-7
Sri Suratno F.G. dan Nursya’ Bani Purnama. 2004. ”Analisis Tingkat
Kepuasan Wajib Pajak Terhadap Kualitas Layanan Kantor
Pelayanan Pajak Yogyakarta Dua”. Sinergi Kajian Bisnis dan
Manajemen, Vol. 7, No. 1, h. 69-87
Umar, Husein. 2000. Metode Penelitian untuk Pemasaran. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Wisnalmawati. 2005. Pengaruh Persepsi Dimensi Kualitas Layanan
Terhadap Niat pembelian Ulang. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, No.
3 Jilid 10 2005, h. 153-165
Yamit, Zulian. (2005). Manajemen Kualitas Produk danJasa. Edisi
Pertama,cetakan keempat, Penerbit Ekonisia Kampus Fakultas
Ekonomi UII Yogyakarta.
34