Tugas Filsafat Pak Dwi
Tugas Filsafat Pak Dwi
Dosen Pengampu:
Dr. Dwi Fitri Wiyono, M.Pd.I
Disusun oleh :
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
MALANG – DESEMBER 2022
DAFTAR ISI
BAB I
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang........................................................................................... 1
1.2 Topik Pembahasan..................................................................................... 4
1.3 Tujuan Pembahasan................................................................................... 4
BAB II
2. Pembahasan
2.1 Hakikat Manusia........................................................................................ 5
2.2 Hakikat Kepribadian.................................................................................. 8
2.3 Hakikat Kepribadian Filsafat Barat...........................................................11
2.4 Hakikat Kepribadian Filsafat Islam...........................................................14
2.5 Aspek-Aspek Kepribadian ........................................................................17
2.6 Unsur-unsur Pembentuk Kepribadian ..................................................19
2.7 Faktor-faktor Pembentuk Kepribadian .....................................................27
2.8 Proses Pembentukan dan Pengembangan Kepribadian ............................31
BAB III
3. Penutup
3.1 Simpulan....................................................................................................35
DAFTAR RUJUKAN
i
BAB I
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna,
karena dibekali berbagai kelebihan dibanding dengan makhluk yang lain, yaitu
kelebihan nafsu, akal, dan sikap taat yang menjadi sifat dasar malaikat. Ketiga hal
tersebut membuat manusia mempunyai kedudukan tinggi di hadapan Allah SWT.
Ketika manusia mampu mengontrol dan memposisikan diri terhadap ketiga hal
tersebut maka manusia akan memperoleh kebahagiaan yang abadi. Dalam Q.S
Az-Zariyat (51) ayat 56, Allah SWT berfirman:
artinya “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka
beribadah kepada-Ku”.
Manusia juga merupakan makhluk sosial yang tidak akan dapat hidup
tanpa keberadaan manusia lainnya, dalam hal ini tiap manusia memiliki
kebutuhan atas manusia lainnya untuk hidup bersama secara harmonis dan saling
menguntungkan. Pembahasan tentang manusia, selalu mengarah pada suatu
keruwetan tertentu yang berhubungan dengan sifat dalam diri manusia.
Pemahaman tersebut berdasarkan pada kodrat manusia, dimana pada satu sisi
manusia merupakan individu yang berdiri sendiri sebagai subjek yang total, tetapi
di sisi lain setiap manusia juga tidak dapat terhindar dari berhubungan dengan
manusia lain1. Tidak hanya sampai itu, keinginan manusia untuk selalu menonjol
1
Suryosumunar, J. A. (2019). Konsep Kepribadian dalam Pemikiran Carl Gustav Jung dan
Evaluasinya dengan Filsafat Organisme Whitehead. Sophia Dharma: Jurnal Filsafat Agama
1
dalam kebermasyarakatan atau keberadaannya ingin diakui manusia lainnya
kemudian berkaitan juga dengan keberadaan praktik saling menguasai dan
dikuasai, mempengaruhi dan dipengaruhi, kehidupan umat manusia berada pada
suatu kondisi kompetitif untuk memperlihatkan eksistensinya sebagai manusia
yang lebih unggul dibandingkan manusia lainnya. Gambaran kompleks itulah
yang mewarnai tiap perkembangan sejarah peradaban umat manusia.
2
Pendidikan mempunyai urgensi untuk membentuk individual seseorang
secara kepribadian, akhlak, moral dan jati diri. Pendidikan yang saat ini tergerus
perkembangan teknologi masih harus dihadapkan kepada berbagai fenomena
sosial yang menjerumus kepada dekadensi moral dan akhlak. Korupsi yang seakan
menjadi budaya, pergaulan bebas para remaja yang meresahkan masyarakat, seks
bebas hingga penggunaan narkoba, serta menipisnya pedoman baik dan buruk
dalam bentuk norma dan adat istiadat dalam kehidupan masyarakat. Hal ini
terlihat melalui maraknya tindakan suap-menyuap di instansi pemerintahan, mulai
dari birokrasi yang terendah sampai ke yang tertinggi dimana persoalan ini sudah
dianggap lumrah oleh sebagian masyarakat. Adanya perlakuan khusus terhadap
pelaku gratifikasi dalam melakukan pelayanan mencederai nilai-nilai
profesionalitas dalam bekerja.
Hal mendasar dalam diri manusia yang harus menjadi cerminan dalam
melakukan hal baik atau buruk adalah kepribadiannya. Dalam membentuk
kepribadian yang berakhlak mulia membutuhkan proses yang panjang dalam
kehidupan. Tingkat kemuliaan akhlak sangat erat kaitannya dengan sejauh mana
tingkat keimanan. Hal ini berdasarkan Nabi Muhammad S.A.W mengemukakan
dalam sabdanya bahwa “orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah
orang mukmin yang paling baik akhlaknya”3.
3
Navlia Khulaisie, R. (2016). Hakikat Kepribadian Muslim , Seri Pemahaman Jiwa terhadap
Konsep. Jurnal Reflektika, 11(11), 39–57.
4
Mujib, Abdul. 1999. Fitrah dan Kepribadian Islam. Darul Fatah.
3
Terkait dengan konsep kepribadian yang diuraikan oleh para psikolog
barat, Abdul Mujib menganggap perlu adanya usaha untuk membangun makna
kepribadian dalam kontek psikologi Islam. Dari sisi pengembangan ilmu, upaya
ini sebagai pembanding atau bahkan membantah terhadap teori-teori kepribadian
yang dibangun dari paradigma psikologi barat. Karena masyarakat muslim
tentunya tidak cocok menggunakan teori-teori kepribadian yang bercorak
psikologi barat atau sekuler (pemisahan agama dari kehidupan).
4
Tujuan dari makalah ini adalah mengetahuai hakikat manusia, hakikat
kepribadian menurut filsafat barat dan islam, dan pembentukan kepribadian
menurut filsafat barat dan islam.
5
BAB II
2. Pembahasan
2.1 Hakikat Manusia
Pemahaman hakikat manusia sudah lama dilakukan namun belum
mendapat pernyataan yang tepat hingga saat ini. Hal ini dikarenakan adanya
perbedaan antara manusia satu dengan manusia lain, seperti perbedaan fisik,
ideologi, pemahaman, dan kepentingan. Semua itu menyebabkan satu pernyataan
definisi belum tentu bisa diterima oleh sebagian orang lain. Para ahli filsafat
memberikan pengertian manusia sesuai dengan kemampuan manusia di bumi ini.
Spiritualisme, aliran ini mengemukakan bahwa semua yang ada di alam ini
terdiri dari ruh, sukma, jiwa, yang terbentuk dan tidak menempati ruang. Jiwa
mempunyai kekuatan dan dapat melakukan tanggapan atau sesuatu yang bukan
berasal dari tangkapan pancaindra, yang datang secara tiba-tiba membentuk
gambaran melalui alam metafist di luar jangkauan rasio dan yang bersifat
material5.
6
rasio. Namun, di sisi lain akal tidak dapat menemukan pengertian yang sempurna
tanpa adanya keterkaitan dengan pengalaman8.
a) Konsep al-Basyar
Makna al-basyar dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk
yang memiliki segala sifat kemanusiaan yang terbatas, seperti makan, minum,
seks, keamanan, kebahagiaan, dan lainnya. Penunjukkan kata al-basyar ditunjukan
Allah kepada seluruh manusia tanpa kecuali. Contohnya seperti firman Allah Swt.
dalam surat Al-Kahfi ayat 1109. Berdasarkan konsep al-basyar, manusia tak jauh
berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Dengan demikian kehidupan manusia
terikat kepada kaidah-kaidah prinsip kehidupan biologis lain seperti berkembang
biak serta mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan dalam mencapai
tingkat kematangan hingga kedewasaan.
b) Konsep al-Insan
8
Ibid
9
Ramayulis, H., & Nizar., S. (2009). Filsafat pendidikan Islam : telaah sistem pendidikan dan
pemikiran para tokohnya / H. Ramayulis, Samsul Nizar. Jakarta :: Kalam Mulia, 2009
7
Merujuk pada asal kata al-Insan dapat dipahami bahwa manusia pada
dasarnya memiliki potensi yang positif untuk tumbuh serta berkembang secara
fisik maupun mental spiritual. Manusia juga dibekali dengan sejumlah potensi lain
yang berpeluang untuk mendorongnya ke arah tindakan, sikap, serta perilaku
negatif dan merugikan10. Kata al-Insan digunakan Al-Quran untuk menunjukan
totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Harmonisasi kedua aspek
tersebut mengantarkan manusia sebagi makhluk Allah yang unik, istimewa,
sempurna, dan memiliki diferensiasi individual antara satu dengan yang lainnya
sebagai makhluk yang dinamis, sehingga mampu menyandang gelar khalifah
Allah di muka bumi.
c) Konsep an-Nas
Kosa kata an-Nas dalam Al-Quran umumnya dihubungkan dengan fungsi
manusia sebagai makhluk sosial. Manusia diciptakan sebagai makhluk
bermasyarakat. Manusia berawal dari pasangan laki-laki dan Wanita, kemudian
berkembang menjadi suku dan bangsa untuk saling mengenal dan berinterksi (QS.
49: 13). Hal ini sejalan dengan teori strukturalisme Giddens yang mengatakan
bahwa manusia merupakan individu yang mempunyai karakter serta prinsip
berbeda tetapi manusia juga merupakan agen sosial yang bisa memengaruhi atau
bahkan dibentuk oleh masyarakat dan kebudayaan di mana ia berada dalam
konteks sosial.
d) Konsep Bani Adam
Menurut Quraish Shihab, Adam berarti nabi Adam dan manusia. Manusia
disebut bani Adam karena: pertama, manusia dilebihkan oleh Allah dibandingkan
dengan makhluk lainnya, dan kedua manusia adalah makhluk yang berakal. Kata
bani Adam yang berarti anak Adam atau keturunan Adam, digunakan untuk
menyatakan manusia bila dilihat dari asal keturunannya11.
Menurut Thabathaba’i dalam Samsul Nizar, penggunaan kata bani Adam
menunjuk pada arti manusia secara umum. Dalam hal ini setidaknya ada tiga
aspek yang dikaji, yaitu: pertama, anjuran untuk berbudaya sesuai dengan
10
Jalaluddin. 2001. Teologi Pendidikan. PT. Raja Grafindo Persada
11
Hidayat, R. (2017). Konsep Manusia Dalam Alquran. Almufida: Jurnal Ilmu-Ilmu
Keislaman, 2(2). https://jurnal.dharmawangsa.ac.id/index.php/almufida/article/view/67
8
ketentuan Allah, seperti dengan berpakaian untuk menutup aurat. Kedua,
mengingatkan keturunan Adam agar jangan terjerumus pada bujuk rayu setan
yang mengajak kepada keingkaran. Ketiga, memanfaatkan semua yang ada di
alam semesta dalam rangka beribadah dan mengesakan Allah12.
Lebih lanjut Jalaluddin mengatakan konsep bani Adam dalam bentuk
menyeluruh mengacu pada penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusian.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia dalam konsep bani Adam
adalah sebuah usaha persatuan dan kesatuan yang tidak ada perbedaan sesamanya,
dan juga mengacu pada nilai penghormatan menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusian serta mengedepankan Hak Asasi Manusia. Pembeda antara manusia
hanyalah ketakwaannya kepada pencipta sebagaimana dalam QS. Al-Hujarat ayat
13.
Dalam QS. At-Tin ayat 4 “sungguh Kami telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Sebaik-baiknya bentuk penciptaan manusia
selain dari segi fisik, adalah manusia diciptakan dengan akal. Akal adalah karunia
yang Allah SWT berikan sebab dengan akal manusia berbeda dengan mahluk lain
ciptaan-Nya. Keistimewaan ini selain menjadi kelebihan namun juga harus
dipertanggung jawabkan. Karena perlu diingat juga, manusia adalah mahluk
lemah yang memiliki kekurangan. Dalam surat Al-Mukminun ayat 12 sampai 14
Allah berfirman tentang proses penciptaan manusia dari saripati berasal dari
tanah, kemudian air mani yang tersimpan di dalam rahim, lalu segumpal daging,
dan proses pertumbuhan fisik manusia di dalam rahim, segumpal daging, tulalng
belulang, sampai sempurna bentuk penciptaannya.
Imam Ghazali mengatakan,“Ketahuilah wahai kekasih, manusia tidakklah
diciptakan dengan main-main ataupun secara serampangan, namun diciptakan
secara mengagumkan untuk sebuah tujuan yang mulia.”.
2.2 Hakikat Kepribadian
Kepribadian adalah hal mendasar yang dimiliki manusia, kepribadian pada
diri manusia itu ditentukan oleh bagian mana yang paling mendominasi pada diri
manusia. Berdasarkan fungsi masing-masing komponen pembentuk kepribadian
12
Ibid
9
maka apabila yang mendominasi dalam diri manusia adalah fungsi kalbunya maka
dalam diri manusia itu akan terbentuk kepribadian yang tenang, sedangkan apabila
yang mendominasi adalah akalnya maka akan terbentuk kepribadian yang labil,
sementara apabila yang menguasai atau mendominasi adalah nafsunya maka akan
terbentuk sebuah kepribadian yang jahat atau buruk, lebih buruk dari iblis dan
binatang.
13
Silahudin, A. (2019). Perbandingan Konsep Kepribadian Menurut Barat Dan Islam. Al-
Fikra : Jurnal Ilmiah Keislaman, 17(2), 249. https://doi.org/10.24014/af.v17i2.6343
14
Karim, B. A. (2020). Teori Kepribadian dan Perbedaan Individu. Education and Learning
Journal, 1(1). https://doi.org/10.33096/eljour.v1i1.45
10
menyebutkan kepribadian merupakan cara yang unik dari masing-masing invidu
dalam memaknai bermacam pengalaman yang terjadi dalam hidupnya15.
b. Disposition (watak), yaitu karakter yang telah lama dimiliki dan sampai
sekarang belum berubah.
e. Type attribute (ciri), mirip dengan sifat, namun dalam kelompok stimuli
yang lebih terbatas.
g. Mentality (mental) yaitu kondisi dan situasi mental yang dikaitkan dengan
aktivitas mental (intelektual)
15
Sjarkawi. (2011). Pembentukan Kepribadian Anak Moral Intelektual, Emosional dan Sosial
Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri. PT Bumi Aksara.
11
h. Individuality (Identity) yaitu ciri identic yang menjadikan sesorang
berbeda dengan orang lain dan menjadi benteng pertahanan dari factor
pengaruh luar16.
16
Pohan, K. (2020). AKSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM: PEMBENTUKAN
KEPRIBADIAN MUSLIM DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM.
JIHAFAS, 3(2), 61–69
17
Maulana, A. S. (2019). Kepribadian Berbasis Imani Perspektif Psikologi Islam.
HIKMATUNA: Journal for Integrative Islamic Studies, 5(1), 84–98.
https://doi.org/https://doi.org/10.28918/hikmatuna.v5i1.1857
18
Pohan, K ….
12
sekarang para ahli psikologi kepribadian sendiri masih belum sepakat mengenai
apa sebenarnya defenisi kepribadian.
Berikut ini adalah definisi kepribadian secara terminologis dalam
pandangan ilmuan psikolog barat.
Allport, mendefinisikan bahwa kepribadian merupakan organisasi system
jiwa raga yang dinamis dalam individu sebagai sistem psikofisis yang menentukan
caranya yang khas dan unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan 19. Hal
ini berarti bahwa kepribadian merupakan keseluruhan sikap, perasaan, ekpresi,
temperamen, ciri khas dan perilaku sesorang yang muncul dan berkembang ketika
dihadapkan pada kondisi situasi tertentu. Setiap orang akan mempunyai
kecenderungan perilaku tertentu yang identic dan baku serta dilakukan secara
terus menerus dalam menghadapi berbagai situasi yang dia hadapi sehingga
menjadi ciri khas yang identic dengan pribadinya.
Sigmund Freud, mendefinisikan kepribadian adalah integrasi dari id, ego
dan super ego. Pertama, Id (das es) adalah sistem kepribadian biologis yang asli,
berisikan sesuatu yang telah ada sejak lahir. Berorientasi kepada kesenangan yang
merupakan sumber insting kehidupan atau dorongan biologis (makan, minum,
tidur, dsb.) prinsip kesenangannya merujuk pada pencapaian kepuasan yang
segera dari dorongan biologis tersebut. Kedua, Ego (das Ich) merupakan aksekutif
atau manajer dari kepribadian yang membuat keputusan tentang instinginsting
mana yang akan dipuaskan dan bagaimana caranya; atau sebagai sistem
kepribadian yang terorganisasi, rasional dan berorientasi kepada prinsip realitas.
Peran utamanya sebagai mediator yang menjembatani antara id dengan kondisi
dunia luar. Ketiga, Super Ego (das uber ich) merupakan komponen moral
kepribadian yang terkait dengan standar atau norma20.
Murray, mendefinisikan kepribadian adalah kesinambungan tingkah laku
lahiriyah dari lahir sampai mati. Kepribadian adalah abstraksi yang dirumuskan
oleh teorisi dan bukan semata-mata deskripsi tingkah laku orang, karena rumusan
itu didasarkan pada tingkahlaku yang dapat diobservasi dan faktor-faktor yang
19
Suryabrata, S. (1993). Psikologi Kepribadian. Raja Grafindo Persada
20
Mujib, A. (2017). Kepribadian dalam Psikologi Islam,. PT. Raja Grafindo Persada.
13
dapat disimpulkan dari observasi itu. Jadi, cara Murray merumuskan kepribadian
menunjukkan bahwa ia sangat berorientasi pada pandangan yang memberi bobot
memadai pada sejarah organisme, fungsi kepribadian yang bersifat mengatur, ciri-
ciri berulang dan baru pada tingkah laku individu, hakikat kepribadian yang
abstrak atau konseptual, dan proses-proses psikologis yang mendasari proses-
proses psikologis.
William Stern, mendefinisikan kepribadian sebagai aktualisasi dan
realisasi dari hal-hal yang sejak semula telah terkandung dalam jiwa seseorang.
Jadi menurut beliau kepribadian adalah suatu kesatuan banyak (unita multi
complex) yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu dan mengandung sifatsifat
khusus individu, yang bebas menentukan dirinya sendiri.
Carl Gustav Jung, mendefinisikan kepribadian adalah integrasi dari ego,
ketidaksadaran pribadi dan ketidaksadaran kolektif yang memunculkan tingkah
laku21. Disamping itu Carl Gustav Jung juga menambahkan bahwa kepribadian
merupakan keseluruhan pikiran, perasaan dan tingkah laku baik sadar maupun
tidak sadar. Kepribadian ini berfungsi untuk membimbing orang menyesuaikan
diri dengan lingkungannya berdasarkan hasil observasi diri terhadap lingkungan
yang ada. Pendapat ini sesuai dengan pernyataan Morrison yang mengatakan
bahwa kepribadian merupakan keseluruhan dari apa yang dicapai seseorang
individu dengan jalan menampilkan hasil-hasil kultural dari observasi social22.
George Herbert, mendefinisikan kepribadian ialah tingkah laku pada
manusia yang berkembang melalui perkembangan diri. Perkembangan
kepribadian dalam diri seseorang telah berlangsung seumur hidup, menurutnya
manusia akan berkembang dengan secara bertahap melalui interaksi dengan
anggota masyarakat23.
Menurut Fillmor H. Sandrof sebagaimana dirujuk Nur Syarifuddin,
kepribadian adalah susunan yang unik dari sifat-sifat seseorang yang berlangsung
lama. Sifat-sifat tersebut yang menggejala dalam tingkah laku seseorang yang
memiliki kepribadian tertentu menggambarkan aspirasi dan arah tujuan tertentu,
21
Pohan, K ….
22
Ibid
23
Parwin, L. A. (2015). Psikologi Kepribadian Teori dan Penelitian. Prenadamedia Group.
14
sehingga dalam jangka panjang kita dapat melihat bahwa seseorang telah
memiliki pandangan hidup24.
Teori-teori kepribadian memiliki banyak perbedaan menurut para ahli. Hal
ini dikarenakan meneliti suatu kepribadian manusia berarti meneliti tentang
hakikat manusia. Sebagai Gordon Allport mengatakan bahwa semua buku
psikologi kepribadian pada saat yang sama merupakan buku filsafat mausia, tidak
lain dan tidak bukan. Hal ini berarti teori-teori kepribadian merupakan teori
filsafat dan akan berimbas pada munculnya perbedaan sebagai teori filsafat pun
banyak terjadi perbedaan. Setiap teori memeriksa orang dengan lensa dan Batasan
pengalaman dari masa lalunya sendiri-sendiri.
Dari seluruh definisi teori kepribadian psikologi barat yang telah
dikemukakan di atas, terdapat berbedaan pandangan ilmuan psikologi barat dalam
mendefinisikan kepribadian. Namun dari keseluruhan definisi tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa kepribadian dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan
dimana manusia berinteraksi dengan pengalaman kehidupan yang dialami.
Kepribadian juga dapat berkembang sesuai dengan lingkungan yang
membentuknya. Menurut ilmuan barat kepribadian manusia tidak bisa dilepaskan
dari lingkungan dan pengalaman kehidupannya.
15
Kata syakhsiyah baru populer diwacanakan dalam psikologi Islam khususnya
setelah terjadi singgungan antara psikologi kontemporer dengan kebutuhan
pengembangan wacana keislaman. Hal tersebut bukan karena kurangnya perhatian
para ulama atau sarjana muslim, melainkan karena pemaknaan fundamental Islam
mengenai nilai kepribadian juga merujuk kepada substansi manusia yang
melibatkan ruh tidak sekedar tampilan diri (syakhs) yang bersifat empiris saja26.
Sedangkan dalam literatur keislaman modern, term syakhshiyah telah
banyak digunakan untuk menggambarkan dan menilai kepribadian individu.
Sebutan syakhshiyah al-muslim memiliki arti kepribadian orang Islam. Pergeseran
makna ini menunjukkan bahwa term syakhshiyah telah menjadi kesepakatan
umum untuk dijadikan sebagai padanan dari kepribadian (personality).
Definisi kepribadian secara terminologi menurut Ilmuwan Muslim adalah
sebagai berikut:
1) Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam Yadi Purwanto, mendefinisikan
kepribadian adalah hasil kerja bareng dan dinamika integrasi dari unsur
kepribadian yang terdiri dari potensi nafsiyah (jasad dan naluri) dan
potensi akal dalam penggunaannya.
2) Abdul Mujib mendefinisikan kepribadian adalah satu kesatuan integrasi
dari sistem kalbu, akal dan hawa nafsu, yang menimbulkan tingkah
laku.
3) Hafidz Abdurrahman mendefinisikan kepribadian adalah
akumulasi dari cara berfikir seseorang dalam menghukumi realitas,
serta kecendrungan nafsiyah terhadap realitas tersebut.
4) Ustmanajati seorang teoritis muslim mendefinisikan kepribadian
sebagai suatu organisasi yang dinamis dari peralatan fisik dan psikis
dalam diri individu yang membentuk karakternya yang unik dalam
penyesuaiannya dengan lingkungan.
Ustmanajati berpendapat dikarenakan untuk membentuk kepribadian yang
unik harus ada unsur fisik maupun psikis yang terkompromikan.
26
Harahap, R. M. (2017). MANAJEMEN PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN MUSLIM.
FIKROTUNA : Jurnal Pendidikan Dan Manajemen Islam, 6(2), 637–654.
16
Pengkompromian antara kebutuhan tubuh dan jiwa di dalam Islam membutuhkan
adanya keseimbangan aspek material dan spiritual dalam diri manusia 27.
Sebagaimana Allah SWT berfirman di dalam surat al-Qashash ayat 77
َ hنَ هّٰللا ُ اِلَ ْيhٓا اَحْ َسhh ْن َك َمh ُّد ْنيَا َواَحْ ِسhك ِمنَ ال
ك َواَل َ َص ْيبِ َس ن
وا ْبتَغ ف ْيمٓا ٰا ٰتى َ هّٰللا
َ ك ُ ال َّدا َر ااْل ٰ ِخ َرةَ َواَل تَ ْن َ ِ ِ َ
َض ۗاِ َّن هّٰللا َ اَل يُ ِحبُّ ْال ُم ْف ِس ِد ْين
ِ ْتَب ِْغ ْالفَ َسا َد فِى ااْل َر
Artinya: Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di
dunia. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Hasil penelitian Muhimmatul Hasanah, yang dikutip oleh (Maulana,
2019)menyatakan bahwa kepribadian adalah integrasi sistem kalbu , akal dan
nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku. Aspek nafsani manusia memiliki
tiga daya yaitu: qalbu (fitrah ilahiyah) sebagai aspek suprakesadaran manusia
yang memiliki daya emosi (rasa), akal (fitrah insaniyah) sebagai aspek kesadaran
manusia yang memiliki emosi (cipta), nafsu (fitrah hayawinah) sebagai aspek pra
atau bawah kesadaran manusia yang memiliki konasi28.
Berdasarkan pemaparan di atas, dalam rangka menemukan titik temu
tentang definisi kepribadian manusia menurut ilmuan muslim, maka penulis
menggabungkan definisi dari pandangan ilmuan muslim tersebut sehingga dapat
mewakili dari seluruh definisi yang telah dikemukakan oleh ilmuan muslim.
Pandangan ilmuan muslim tentang kepribadian manusia tersebut, maka
kepribadian dapat penulis definisikan sebagai “satu kesatuan integrasi dari cara
kerja aqliyah dan nafsiyah berdasarkan akidah tertentu yang diyakini kemudian
melahirkan perbuatan”. Definisi inilah yang memenuhi syarat jâmi’
(komprehensif) dan mâni’ (protektif), sehingga dapat mewakili seluruh definisi
kepribadian dalam pandangan ilmuan muslim.
27
Zuyyina Candra Kirana. (2019). Pentingnya Gen dalam Membentuk Kepribadian Anak.
Dirasah : Jurnal Studi Ilmu Dan Manajemen Pendidikan Islam, 2(2).
https://doi.org/10.29062/dirasah.v2i2.59
28
Maulana, A. S. (2019). Kepribadian Berbasis Imani Perspektif Psikologi Islam.
HIKMATUNA: Journal for Integrative Islamic Studies, 5(1), 84–98.
https://doi.org/https://doi.org/10.28918/hikmatuna.v5i1.1857
17
Pada dasarnya kepribadian baik dalam pandangan barat ataupun islam
bukan terbentuk secara serta merta dalam waktu yang singkat, tetapi terbentuk
melalui proses kehidupan yang panjang. Kedua kutub keilmuan tersebut memiliki
persamaan bahwa kepribadian tumbuh dan berkembang menyesuaikan dengan
berbagai macam faktor yang bersinggungan dengannya. Dengan demikian, apakah
kepribadian orang tersebut baik, buruk, kuat, lemah, beradab, atau biadap
semuanya sepenuhnya ditentukan oleh berbagai faktor yang terjadi dan berefek
pada pengalaman hidup orang tersebut.
Perbedaan kedua kutub sudut pandang keilmuan tersebut hanya pada aspek
unsur pembentuk kepribadian orang. Keilmuan barat berfokus pada aspek materil
sesuai dengan rasionalitas dan pengalaman dalam kehidupan manusia sedangkan
Islam memasukkan unsur jiwa (emosi), ruh dan qalb dalam kepribadian. Hanya
saja keduanya bersepakat bahwa semua unsur tersebut akan terbentuk dan
berkembang sesuai dengan kondisi dan situasi lingkungan dimana manusia
tumbuh. Berkenaan dengan hal itu, kepribadian manusia pada dasarnya tidak
terlepas dari kehidupan lingkungan dan itu sudah menjadi sunnatullah dimana
Allah SWT berfirman dalam surat al-Hujurat ayat 13:
َد هّٰللاhم ع ْنh رم ُكhh ۚ ا َّن اَ ْكhارفُوْ اhhل لتَعh عُوْ بًا َّوقَب ۤاىh وجع ْل ٰن ُكم ُشhر َّواُ ْن ٰثىhhا النَّاسُ انَّا َخلَ ْق ٰن ُكم م ْن َذ َكhhياَيُّه
ِ ِ ْ َ َ ِ َ َ ِ َ ِٕ َ ْ َ َ َ ٍ ِّ ْ ِ َ َ
اَ ْت ٰقى ُك ْم ۗاِ َّن هّٰللا َ َعلِ ْي ٌم خَ بِ ْي ٌر
Artinya: Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling
bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.
Ayat tersebut menunjukkan pada hakikatnya manusia tercipta dengan
kondisi dan situasi lingkungan yang berbeda-beda. Perbedaan lingkungan tersebut
bertujuan bagaimana manusia saling mengenal yang berartian manusia akan
membentuk dan mengembangkan kepribadiannya. Jadi, semakin manusia
bersinggungan dengan berbagai macam perbedaan dalam lingkungannya baik
lingkungan social, alam dan lain sebagainya kepribadiannya akan semakin
terbentuk dan berkembang. Namun sebaliknya, ketika manusia terlatih atau hidup
18
dengan sedikit perbedaan dalam lingkungannya maka kepribadiannya akan
semakin eksklusif dan sulit untuk berkembang.
19
Di dalam kehidupan manusia, aspek kepribadian jasmani menjadi pokok
dan sesuatu yang utama. Bagaimana seorang bisa menampakkan kepribadian
jasmani yang baik di hadapan lingkungan meskipun jiwa dan rohaninya dapat
berbeda dengan kondisi jasmaninya. Di dalam lingkungan social multicultural
manusia dituntut untuk bisa menunjukkan kepribadian jasmani yang toleransi dan
bersikap baik terhadap segala perbedaan yang ada meskipun kepribadian kejiwaan
dan rohani tidak akan mungkin bisa sama antar manusia dengan lingkungannya.
Hal tersebut sudah menjadi sunnatullah karena perbedaan menjadi suatu kepastian
dalam hidup baik perbedaan keyakinan, kepercayaan, pemikiran dan lain
sebagainya namun perbedaan tersebut jangan sampai membuat kepribadian
jasmani menjadi saling bertentangan dan berbeda. Justru bagaimana segala
perbedaan yang ada dapat memunculkan suatu kepribadian jasmani yang saling
menghormati dan menghargai.
https://doi.org/10.31004/jpdk.v1i2.654
31
Rahmatiah, S. (2015). Konsep manusia menurut islam. Al-Irsyad Al-Nafs, Jurnal Bimbingan
Penyuluhan Islam, 2(1), 93–116
20
menjadi asal insting kehidupan, seperti makan, minum, tidur dsb.
Prinsip kepuasan bertujuan kepada pencaiapan kepuasan segera dari
dorongan biologis itu.
b. Ego (das Ich).
Ego adalah pengatur atau manajer dari kepribadian. Ego merupakan
unsur pembuat keputusan tentang insting kebutuhan kepuasan dan
bagaimana proses pemuasannya. Ego disebut juga sebagai sistem
kepribadian yang terorganisir, rasional dan berorientasi kepada prinsip
realitas. Peran utamanya sebagai mediator yang menjembatani antara id
dengan kondisi dunia luar.
c. Super Ego (das uber ich).
Super Ego adalah komponen moral kepribadian yang berkaitan dengan
standar atau norma masyarakat. Super ego berkaitan dengan baik buruk
atau benar-salah sesuai dengan standar norma yang berlaku dalam suatu
lingkup masyarakat. Dengan standar norma yang berlaku, super ego
bertujuan untuk mengontrol kepribadian seseorang dalam mencapai
kesempurnaan pribadi32.
Ketiga unsur tersebut akan membentuk kepribadian terhadap diri
seseorang yang akan melahirkan suatu perbuatan, ketika berlaku sesuai dengan
fungsinya. Maksudnya adalah di saat id mendorong kebutuhan pemuasan, ego
akan mempertimbangkan apakah kebutuhan id tersebut dipenuhi atau tidak
dengan menyesuaikan pertimbangan dari super ego yang didasarkan pada norma
di suatu lingkungan masyarakat. Keputusan dari pertimbangan super ego yang
akan menjadi penentu suatu perbuatan pada diri seseorang. Dengan keputusan itu,
muncullah kepribadian dalam diri seseorang sesuai dengan tingkah laku atau
perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pembentukan
kepribadian menurut Sigmund Freud ini terfokus pada kebutuhan alami manusia
yaitu pemenuhan pemuasan jasmani, kemudian ego dan super ego
mempertimbangkan pemenuhan atau tidak menyesuaikan norma yang berlaku.
32
Silahudin, A ….
21
Sigmun Freud memandang kepribadian manusia dengan terfokus pada hal yang
terlihat dari pandangan luar sebagaimana umumnya pendapat psikolog Barat. Hal
ini tampak dari ketiga unsur yang dikemukakan. Unsur-unsur itu hanya
memfokuskan diri pada bagaimana seorang menjadi suatu pribadi di hadapan
lingkungan dengan berbagai macam tingkah lakunya. Hasil pencapaian ketiga
unsur Freud ini adalah membentuk kepribadian yang baik dan sesuai dengan
lingkungan, tetapi tidak menyentuh unsur kejiwaan seseorang.
2. Menurut Carl Rogers.
Carl Rogers membagi unsur pembentuk kepribadian dalam diri seseorang
menjadi dua hal yaitu,
a. Diri (The Self).
Diri merupakan unsur yang merepresentasikan pola persepsi secara
terorganisir dan konsisten. Seseorang memahami objek dan pengalaman
yang akan memberikan makna sehingga membentuk konsep kepada
dirinya. Meskipun diri selalu berubah, tetapi akan senantiasa
mempertahankan kualitas yang sudah terpola dan terintegrasi menjadi
karateristik seseorang.
b. Diri Ideal (Ideal Self).
Diri ideal merupakan unsur yang sangat diinginkan oleh setiap individu.
Unsur itu meliputi persepsi yang relevan dan penting terhadap diri.
Dengan demikian, Rogers menyadari bahwa pandangan manusia
terhadap diri mengandung dua komponen yang saling berlawanan yaitu,
diri di saat ini dan diri yang akan dilihat sebagai bentuk ideal di masa
mendatang.
Dari kedua teori yang telah disebutkan di atas dapat ditarik beberapa
kesimpulan. Pertama, di dalam teori psikoanalitis Freud, unsur yang membentuk
dan mempengaruhi kepribadian bermula dari dorongan biologis bawah sadar dan
perkembangan karakter sesuai pengalaman dalam kehidupan berdasarkan
lingkungan yang terdiri dari id, ego dan super ego. Berdasarkan hal itu, Freud
memandang kepribadian manusia dibentuk oleh pandangan standar norma
22
lingkungan yang teraplikasikan oleh diri sehingga kemudian menjadi karakter
kepribadian dirinya.
Kedua, di dalam teori Rogers, unsur kepribadian bermula dari pandangan
terhadap interaksi sosial yang menjadi dasar untuk menilai dan memaknai diri
sendiri sehingga terbentuklah konsep diri saat ini (the self). Selanjutnya, keinginan
menjadi pribadi ideal (ideal self) di waktu yang akan datang muncul sesuai
dengan meningkatnya persepsi seorang dalam interaksi dan pandangannya
terhadap lingkungan. Berdasarkan hal itu, motif dari pengaktualisasian diri dan
proses perubahan terhadap diri (the self) adalah dalam rangka mencapai kondisi
diri ideal (ideal self). Dengan kata lain, Rogers memandang manusia memiliki dua
jenis kepribadian yang terbentuk oleh kondisi dan situasi lingkungan yaitu
kepribadian awal atau kepribadian diri (the self) dan kepribadian akhir atau
kepribadian ideal (ideal self). Hasil interaksi dengan lingkungan akan
mempengaruhi dan membentuk nilai persepsi seseorang yang pada kelanjutannya
membentuk suatu konsep diri ideal sesuai dengan keinginan.
Unsur-unsur inilah pembentuk kepribadian dalam pandangan ilmuan barat.
Kepribadian manusia diukur oleh ilmuan barat sesuai dengan pandangan yang
tampak oleh pandangan linkungan terhadap orang tersebut. Oleh karena itu, para
ilmuan barat menekankan interaksi dengan lingkungan hidup menjadi unsur yang
sangat dominan dalam pembentukan kepribadian manusia. Ilmuan barat kurang
menunjukkan peran ilmu pengetahuan dan agama dalam pembentukan
kepribadian. Ilmuan barat juga tidak menyentuh unsur kejiwaan atau rohani
sebagai unsur pembentukan kepribadian seseorang.
Dalam pandangan Islam kepribadian tidak terlepas dari fitrah manusia
sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Al-Qur’an sendiri banyak membahas
tentang fitrah manusia dengan berbagai macam penyebutan, ada fitrah yang
diungkap dengan potensi dan ada yang disebut dengan fitrah. Manusia diberikan
kepribadian untuk condong berbuat baik atau buruk. Jika manusia mengikuti
23
fitrah yang dimiliki maka akan dominan melakukan kebaikan-kebaikan hanya saja
seringkali pengaruh buruh senantiasa meracuni pemikiran manusia33.
Unsur kepribadian manusia di dalam al-Qur’an terdiri dari tiga hal yaitu
jismiyah, nafsiyah dan ruhaniyah.
a. Jasad (Jismiyah).
Jasad meliputi tingkah laku luar manusia yang mudah nampak dan
ketahuan dari luar, misalnya cara-cara berbuat dan cara-cara berbicara.
Aspek jasad ini adalah merupakan aspek biologis sebagai pelaksana
tingkah laku perbuatan manusia. Jasad di dalam proses pembentukan
kepribadian berfungsi sebagai pelaksana dari unsur lainnya berupa tingkah
laku atau perbuatan. Karakter dari jasad (al jisim) cenderung rendah dan
condong kepada materi karena berasal dari alam materi sehingga
membutuhkan unsur lain untuk menuntun dan mengendalikannya
sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-An’am
ٓ ٰ َهُ َو الَّ ِذيْ خَ لَقَ ُك ْم ِّم ْن ِط ْي ٍن ثُ َّم ق
َضى اَ َجاًل َۗواَ َج ٌل ُّم َس ّمًى ِع ْند َٗه ثُ َّم اَ ْنتُ ْم تَ ْمتَرُوْ ن
Artinya: Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian Dia
menentukan batas waktu hidup (masing-masing). Waktu yang ditentukan
(untuk kebangkitan setelah mati) ada pada-Nya. Kemudian, kamu masih
meragukannya.
b. Nafsiyah.
Aspek nafsiah adalah keseluruhan kualitas khas kemanusiaan berupa
pikiran, perasaan, kemauan, dan kebebasan. Aspek ini merupakan
persentuhan antara aspek jismiah dan ruhaniah. Telah dikatakan
sebelumnya bahwa kedua aspek ini saling membutuhkan, dimana antara
keduanya saling berlawanan satu sama lainnya. Disinalah letak aspek
nafsiah berada, yang berusaha mewadahi kedua kepentingan yang berbeda
itu. Nafs memiliki potensi gharizah (insting, naluri, tabiat, perangai,
ciptaan, sifat bawaan).
33
Nuruzzahri, N. (2022). Kepribadian Manusia Menurut Perspektif Pendidikan Islam.
Inteligensia, 9(2). https://doi.org/10.54604/itg.v9i2.75
24
Aspek nafsiah memiliki tiga dimensi utama, yaitu al-Nafs, al- ‘Aql,
dan al-Qalb (Afriyanto & Muhid, 2021). Ketiga dimensi inilah yang
menjadi sarana bagi aspek nafsiah untuk mewujudkan peran dan fungsinya
Dimensi Akal (fitrah insaniyah).
Lafadz akal secara etimologi dapat berarti pengetahuan (al-idrak)
mengenai hakikat sesuatu. Akal juga merupakan lawan kata dari
kebodohan (didh al-humuq) atau dapat juga diartikan pengikat (rabth) atau
pelindung (habs). Sehingga di dalam Alquran kata kerja (fi’l) aql sering
diartikan sebagai keterangan yang mengikat tentang bagaimana
sesungguhnya keadaan orang yang berpikir, dibandingkan yang tidak
berpikir. Bahkan sejatinya, akal dan hati menjadi substansi manusia yang
saling berhubungan dalam proses mendapatkan hakikat kebenaran
(Harahap, 2017). Secara istilah akal adalah kekuatan yang digunakan
untuk menghukumi sesuatu. Atau dengan ungkapan lain, akal merupakan
kemampuan untuk menghukumi fakta/realitas tertentu, baik yang berkaitan
dengan perbuatan maupun benda yang dibangun berdasarkan pandangan
hidup. Dengan demikian, akal merupakan potensi yang dimiliki oleh
manusia yang berfungsi untuk berfikir atau menghukumi sebuah
fakta/realitas yang terindera baik melalui wahyu, ilmu pengetahuan
maupun pengalaman hidupnya. Dalam proses pembentukan kepribadian
manusia, akal berfungsi sebagai pembuat keputusan dan penentu
pelaksanaan perbuatan, apakah perbuatan tersebut dilakukan atau tidak.
Dimensi Qalb (fitrah ilahiyah).
Kalbu merupakan materi organik yang memiliki sistem kognisi yang
berdaya emosi. Al Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menyebutkan bahwa
kalbu terdiri dari dua aspek, yaitu kalbu jasmani dan kalbu ruhani. Kalbu
jasmani adalah daging sanubari yang berbentuk seperti jantung pisang
yang terletak di dalam dada sebelah kiri. Sedangkan kalbu ruhani adalah
sesuatu yang bersifat halus (lathifah), ketuhanan (rabbaniyah) dan spiritual
(ruhaniyah). Kalbu ruhani ini memiliki insting yang disebut dengan nur
ilahi (cahaya ketuhanan) dan al-bashirah albatinah (mata batin) yang
25
memancarkan keimanan dan keyakinan (Hartati, 2004). Karakter dasar ruh
adalah suci dan cenderung pada dimensi spiritual, hal itu dikarenakan ruh
berasal dari alam suci yang Maha Tinggi dan Suci (alam ilahiyah). Hal ini
sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Hijr
ُ فَاِ َذا َس َّو ْيتُهٗ َونَفَ ْخ
َت فِ ْي ِه ِم ْن رُّ وْ ِح ْي فَقَعُوْ ا لَهٗ ٰس ِج ِد ْين
Artinya: Maka, apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)-nya dan
telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, menyungkurlah kamu
kepadanya dengan bersujud.
Dimensi Nafsu (fitrah hayawaniyah).
Nafsu memiliki makna sama dengan hawâ, yaitu kecenderungan atau
dorongan yang ada dalam diri manusia untuk melakukan sesuatu, baik
karena dorongan kebutuhan jasmani maupun naluri. Nafsu juga bisa
didefinisikan dengan cara (metode) yang digunakan oleh seseorang untuk
memenuhi dorongan (dawâfi) yang lahir dari kebutuhan jasmani dan naluri
berdasarkan standar landasan tertentu. Dalam proses pembentukan
kepribadian seseorang nafsu berfungsi untuk melahirkan berbagai
keinginan dan mendorong serta menunutut pemenuhan.
c. Ruhaniyah.
Ruh merupakan suatu struktur yang memiliki ciri khas tersendiri, karena
ruh menjadi pembedakan antara manusia dengan makhluk ciptaan Allah
SWT lainnya. Manusia diberikan ruh oleh Allah swt bertujuan supaya
tertanam sifat sifat ketuhanan dalam diri manusia yang nantinya sifat sifat
tersebut dapat membimbing manusia. Jadi, tidaklah mengherankan jika
manusia memiliki sifat sayang kepada sesamanya, senantiasa menolong
orang lain, dimana semua itu merupakan sifat-sifat Allah. Hal itu
dikarenakan memang Allah SWT telah menganugerahkannya kepada
manusia melalui unsur ruh tersebut. Para ilmuan muslim belum
menemukan kesepakatan dalam mendefinisikan istilah ruh. Alquran
sendiri menjelaskan bahwa ruh merupakan urusan dan atau hanya
dipahami oleh Allah SWT.
ح قُ ِل الرُّ وْ ُح ِم ْن اَ ْم ِر َرب ِّْي َو َمٓا اُوْ تِ ْيتُ ْم ِّمنَ ْال ِع ْل ِم اِاَّل قَلِ ْياًل hَ ََويَ ْسـَٔلُوْ ن
ِ ۗ ْك َع ِن الرُّ و
26
Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh
itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit". (Q.S. Al Isra:85)
Akan tetapi beberapa ahli tentang ruh menjelaskan bahwa ruh memiliki
beberapa ciri-ciri tersendiri yaitu (Nuruzzahri, 2022):
Ruh menjadi kesempurnaan awal jisim (jasad) manusia yang tinggi dan
memiliki kehidupan dengan daya.
Ruh berasal dari alam perintah yang mempunyai sifat berbeda dengan
jasad. Hal itu dikarenakan ia berasal dari Allah, kendatipun ia tidak
sama dengan zat-Nya.
Ruh merupakan lathifah (sesuatu yang halus) yang bersifat ruhani. Ia
dapat berpikir, mengingat, mengetahui, dan sebagainya. Ruh juga
menjadi penggerak bagi jasad manusia serta sifatnya gaib.
Di dalam keilmuan Islam, kepribadian terbentuk ketika dorongan baik
berasal dari nafsu maupun isyarah ruh muncul kemudian dikaitkan dengan akal
yang akan menghukumi dorongan tersebut, lahirlah sebuah keputusan dan
diyakini oleh kalbu, kemudian dilakukan oleh jasad. Tiga bagian nafsani ini
berkoodinasi untuk memahami perilaku (Jannah, 2017). Di dalam nafsiah manusia
terdapat pertarungan antara nafsu dan akal yang kemudian terwujudkan dalam
kepribadian manusia. Ketika nafsiah manusia baik maka dengan mengikuti
petunjuk ruh dan akal maka kepribadian yang terwujud akan baik, namun
sebaliknya jika nafsiah manusia buruk dalam arti mengikuti pemikiran dari hawa
dan nafsu maka akan terwujud kepribadian manusia yang buruk. Hal ini selaras
dengan sabda baginda Nabi Muhammad SAW
ُ َأاَل َو ِه َي القَ ْلب،َت فَ َس َد َساِئ ُر َج َس ِد ِه
ْ صلُ َح َساِئ ُر َج َس ِد ِه َوِإ َذا فَ َسد ْ صلُ َح
َ ت َ ِإ َذا. . . . .
Artinya: ketika segumpal darah itu baik maka akan baik seluruh
jasadnya dan ketika segumpal darah rusak maka akan rusak seluruh jasad,
ketika segumpal darah itu adalah qalb.
Berdasarkan pembahasan di atas, Islam menjadikan unsur nafsiah
sebagai unsur utama dalam pembentukan kepribadian dimana di dalam
nafsiah terdapat tiga dimensi pembentukan seperti qalb, ‘aqal dan nafsu yang
27
akan mengarahkan kecenderungan kepada kebaikan atau keburukan serta
memutuskan. Unsur kepribadian dalam Islam terlihat lebih komplit dalam
membangun unsur kepribadian manusia. Hal ini dikarenakan Islam
memandang kepribadian tidak hanya pada kondisi materil yang terlihat
dalam lingkungan tetapi juga memandang unsur kejiwaan manusia tersebut.
Pendapat ini lebih lengkap dikarenakan tidak menjadi keraguan lagi bahwa
kondisi kejiwaan manusia seringkali berpengaruh pada sikap kepribadian
manusia meskipun banyak manusia yang mampu menyembunyikan kondisi
kejiwaan dengan sikap sikap luarnya34.
1. Aliran Empirisme.
Aliran ini disebut juga dengan Environmentalisme yaitu suatu aliran yang
menitik beratkan padangan pada peranan lingkungan sebagai penyebab timbulnya
suatu tingkah laku. Aliran ini pada mulanya dipelopori oleh seorang filosof
bernama John Loke yang berkebangsaan Inggris. Asumsi psikologis yang
mendasari aliran ini adalah bahwa manusia lahir dalam keadaan netral, tidak
memiliki pembawaan apapun. Ia bagaikan kertas putih (tabula rasa) yang dapat
ditulisi apa saja yang dikehendaki. Perwujudan kepribadian ditentukan oleh luar
diri yang disebut dengan lingkungan.
28
belajar, semua kepribadian individu dapat dimodifikasi dan dan dibentuk sesuai
dengan apapun yang diinginkan.
2. Aliran Nativisme.
3. Aliran Konvergensi
29
Di dalam filsafat Islam segala tindakan dan perbuatan manusia yang
memiliki corak berbeda antara satu dengan lainnya tersebut pada dasarnya
merupakan akibat dari adanya pengaruh dalam diri manusia (insting) dan motivasi
yang disuplai dari luar dirinya seperti milieu, Pendidikan dan aspek warotsah
(genetic). Untuk itu berikut ini akan dibahas faktor-faktor yang mempengaruhi
dan memotivasi pembentukan kepribadian, diantaranya:
1. Instink (naluri).
2. Warotsah (keturunan/genetic/hereditas).
30
kesimpulan yang sama yaitu kepribadian dapat dipengaruhi oleh factor
bawaan (Hidayat, 2015). Meskipun demikian, dalam kenyataannya
predisposisi genetic banyak dipengaruhi oleh keadaan lingkungan dan
sosialnya.
3. Hati Nurani.
4. Lingkungan.
Salah satu faktor yang turut menentukan kelakuan sesorang atau suatu
masyarakat adalah lingkungan (milleu). Misalnya lingkungan alam mampu
mematahkan atau mematangkan pertumbuhan bakat yang dibawa oleh
seseorang, lingkungan pergaulan mampu mempengaruhi pikiran, sifat dan
tingkah laku. Dalam pandangan Adler, perbedaan lingkungan rumah akan
memberikan pengaruh kepada perbedaan kepribadian. Lingkungan dimana
menjadi tempat seorang anak tumbuh dan berkembang akan sangat
berimbas pada kepribadian anak tersebut. Hal ini didukung oleh Allport
dan Cattell yang menekankan urgensi faktor lingkungan terhadap
pembentukan kepribadian. Menurut Allport, meskipun faktor genetik
menjadi dasar dari kepribadian, namun lingkungan social yang akan
membentuk bahan dasar itu menjadi produk akhir. Di sisi lain Cattel
mengatakan bahwa hereditas memang menjadi factor penting pembentuk
31
kepribadian akan tetapi pada perjalanan akhirnya lingkungan akan
memberikan pengaruh besar dalam perkembangan kepribadian.
5. Pengasuhan (keluarga).
32
kepribadian sangat besar yang terbagi menjadi beberapa fase yaitu fase
embrio, bayi, anak dan fase dewasa.
1. Pembiasaan.
Pembiasaan ini bertujuan membentuk aspek kejasmanian dari kepribadian
atau memberi kecakapan berbuat dan mengucapkan sesuatu (pengetahuan
hafalan) caranya dengan mengontrol dan menggunakan tenaga-tenaga
kejasmanian dan dengan bantuan tenaga kejiwaan, terdidik dibiasakan
dalam amalan-amalan yang dikerjakan dan diucapkan, misalnya, puasa dan
shalat.
35
Maulana, A. S, ….
33
mana perlu menggunakan tenaga-tenaga kejiwaan (karsa, rasa dan cipta).
Dengan menggunakan pikiran (cipta) dapatlah ditanamkan tentang
amalan-amalan yang baik.
Dengan adanya pengertian-pengertian terbentuklah pendirian (sikap) dan
perundangan mengenai hal-hal keagamaan, misalnya menjauhi dengki,
menepati janji, ikhlas, sabar, bersyukur, dan lain-lain. Begitu juga dengan
adanya rasa (Ketuhanan) disertai dengan pengertian, maka minat dapat
diperbesar dan ikut serta dalam pembentukan kepribadian muslim.
Ketiga taraf ini saling mempengaruhi. Taraf yang lebih rendah akan
menjadi landasan taraf berikutnya dan menimbulkan kesadaran dan keinsyafan
sehingga memunculkan pelaksanaan amalan-amalan yang lebih sadar dan khusu’.
34
Dalam upaya membentuk kepribadian muslim sebagai individu maupun
sebagai ummah, tampaknya tidak mungkin dapat dielakkan adanya keberagamaan
(heterogen) dan homogen (kesamaan). Walaupunsebagai individu masing-masing
kepribadian itu berbeda, tapi dalam pembentukan kepribadian sebagai ummah
perpaduan itu dipadukan karena baik pembentukan secara individu maupun
ummah diwujudkan dari dasar dan tujuan yang sama. Sumber yang menjadi dasar
dan tujuannya adalah ajaran wahyu. Kepribadian secara utuh hanya mungkin
dibentuk melalui pengaruh lingkungan, khususnya pendidikan.Adapun sasaran
yang dituju dalam pembentukan ini adalah kepribadian yang memiliki akhlak
yang mulia.Dan tingkat kemuliaan akhlak erat hubungannya dengan tingkat
keimanan.Iman sebagai konsep dan akhlak adalah implikasi dari konsep tersebut
dalam hubungannya dengan sikap dan perilaku sehari-hari.
35
meliputi bimbingan terhadap peningkatan dan pengembangan
kemampuan jasmani dan rohani.
Dengan demikian akan terbentuk kepribadian yang paripurna, menyeluruh,
terarah dan berimbang. Seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani. Jadi,
pembentukan kepribadian muslim pada dasarnya adalah upaya untuk mengubah
sikap ke arah kecenderungan terhadap nilai-nilai keislaman. Perubahan sikap ini
tidak terjadi secara spontan, tetapi dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
36
BAB III
3. Penutup
3.1 Simpulan
Definisi tentang kepribadian terus menjadi perbincangan dan memunculkan
banyak perbedaan. Namun, meskipun banyak terjadi perbedaan, semua pendapat
tersebut memiliki persamaan yaitu kepribadian muncul sebagai respon diri
terhadap lingkungan. Kepribadian juga merupakan identitas diri yang khas dimana
masing-masing individu akan memiliki perbedaan. Dengan kaitannya yang erat
antara kepribadian dengan lingkungan maka keluasan lingkungan sangat
dibutuhkan untuk membentuk kepribadian yang luas.
Disamping lingkungan, terdapat faktor-faktor lain yang membentuk dan
membangun suatu kepribadian seperti pola pengasuhan, genetis orang tua,
ataupun insting nurani individu. Faktor-faktor tersebut membentuk pola pemikiran
dan persepsi individu yang kemudian akan menjadi referensi pembentukan
kepribadiannya. Apabila faktor pembentukan itu baik maka akan terbentuk
kepribadian yang baik namun sebaliknya jika faktor faktor tersebuk buruk akan
berimbas pada bentuk kepribadian yang buruk.
37
DAFTAR RUJUKAN
38
https://doi.org/https://doi.org/10.28918/hikmatuna.v5i1.1857
Mujib, A. (1999). Fitrah dan Kepribadian Islam. Darul Fatah.
Mujib, A. (2017). Kepribadian dalam Psikologi Islam,. PT. Raja Grafindo
Persada.
Navlia Khulaisie, R. (2016). Hakikat Kepribadian Muslim , Seri Pemahaman Jiwa
terhadap Konsep. Jurnal Reflektika, 11(11), 39–57.
Nuruzzahri, N. (2022). Kepribadian Manusia Menurut Perspektif Pendidikan
Islam. Inteligensia, 9(2). https://doi.org/10.54604/itg.v9i2.75
Parwin, L. A. (2015). Psikologi Kepribadian Teori dan Penelitian. Prenadamedia
Group.
Pohan, K. (2020). AKSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM: PEMBENTUKAN
KEPRIBADIAN MUSLIM DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN
ISLAM. JIHAFAS, 3(2), 61–69.
Rahmatiah, S. (2015). Konsep manusia menurut islam. Al-Irsyad Al-Nafs,
Jurnal Bimbingan Penyuluhan Islam, 2(1), 93–116.
Ramayulis, H., & Nizar., S. (2009). Filsafat pendidikan Islam : telaah sistem
pendidikan dan pemikiran para tokohnya / H. Ramayulis, Samsul Nizar.
Jakarta :: Kalam Mulia, 2009.
Silahudin, A. (2019). Perbandingan Konsep Kepribadian Menurut Barat Dan
Islam. Al-Fikra : Jurnal Ilmiah Keislaman, 17(2), 249.
https://doi.org/10.24014/af.v17i2.6343
Sjarkawi. (2011). Pembentukan Kepribadian Anak Moral Intelektual,
Emosional dan Sosial Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri. PT
Bumi Aksara.
Sulaiman. (2019). View of Hakikat Manusia Sebagai Pendidik dalam Perspektif
Filsafat Pendidikan Islam.pdf.
Suryabrata, S. (1993). Psikologi Kepribadian. Raja Grafindo Persada.
Suryosumunar, J. A. (2019). Konsep Kepribadian dalam Pemikiran Carl Gustav
Jung dan Evaluasinya dengan Filsafat Organisme Whitehead. Sophia
Dharma: Jurnal Filsafat Agama Hindu Dan Masyarakat, 2(1), 18–34.
http://e-journal.stahn-gdepudja.ac.id/index.php/SD/article/view/171
Zuyyina Candra Kirana. (2019). Pentingnya Gen dalam Membentuk
Kepribadian Anak. Dirasah : Jurnal Studi Ilmu Dan Manajemen
Pendidikan Islam, 2(2). https://doi.org/10.29062/dirasah.v2i2.59
39