Anda di halaman 1dari 41

HAKIKAT KEPRIBADIAN

Dosen Pengampu:
Dr. Dwi Fitri Wiyono, M.Pd.I

Disusun oleh :

Muhammad Syafi’i (22102011054)


Kamal Mukhtar (22202011010)
Nurfahmi Afrian (22202011007)

PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
MALANG – DESEMBER 2022
DAFTAR ISI

BAB I
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang........................................................................................... 1
1.2 Topik Pembahasan..................................................................................... 4
1.3 Tujuan Pembahasan................................................................................... 4

BAB II
2. Pembahasan
2.1 Hakikat Manusia........................................................................................ 5
2.2 Hakikat Kepribadian.................................................................................. 8
2.3 Hakikat Kepribadian Filsafat Barat...........................................................11
2.4 Hakikat Kepribadian Filsafat Islam...........................................................14
2.5 Aspek-Aspek Kepribadian ........................................................................17
2.6 Unsur-unsur Pembentuk Kepribadian ..................................................19
2.7 Faktor-faktor Pembentuk Kepribadian .....................................................27
2.8 Proses Pembentukan dan Pengembangan Kepribadian ............................31

BAB III
3. Penutup
3.1 Simpulan....................................................................................................35

DAFTAR RUJUKAN

i
BAB I

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna,
karena dibekali berbagai kelebihan dibanding dengan makhluk yang lain, yaitu
kelebihan nafsu, akal, dan sikap taat yang menjadi sifat dasar malaikat. Ketiga hal
tersebut membuat manusia mempunyai kedudukan tinggi di hadapan Allah SWT.
Ketika manusia mampu mengontrol dan memposisikan diri terhadap ketiga hal
tersebut maka manusia akan memperoleh kebahagiaan yang abadi. Dalam Q.S
Az-Zariyat (51) ayat 56, Allah SWT berfirman:

َ ‫ت ۡال ِج َّن َوااۡل ِ ۡن‬


‫س اِاَّل لِيَ ۡعبُد ُۡو ِن‬ ُ ‫َو َما خَ لَ ۡق‬

artinya “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka
beribadah kepada-Ku”.

Tafsir dari ayat di atas menjelaskan bagaimana hakikat manusia yang


diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah SWT. Menjalankan segala apa
yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-Nya, namun masih banyak
manusia yang mengingkari apa yang telah dikaruniakan kepadanya dan tidak
mengetahui esensi atau hakikat dirinya diciptakan oleh Allah SWT.

Manusia juga merupakan makhluk sosial yang tidak akan dapat hidup
tanpa keberadaan manusia lainnya, dalam hal ini tiap manusia memiliki
kebutuhan atas manusia lainnya untuk hidup bersama secara harmonis dan saling
menguntungkan. Pembahasan tentang manusia, selalu mengarah pada suatu
keruwetan tertentu yang berhubungan dengan sifat dalam diri manusia.
Pemahaman tersebut berdasarkan pada kodrat manusia, dimana pada satu sisi
manusia merupakan individu yang berdiri sendiri sebagai subjek yang total, tetapi
di sisi lain setiap manusia juga tidak dapat terhindar dari berhubungan dengan
manusia lain1. Tidak hanya sampai itu, keinginan manusia untuk selalu menonjol
1
Suryosumunar, J. A. (2019). Konsep Kepribadian dalam Pemikiran Carl Gustav Jung dan
Evaluasinya dengan Filsafat Organisme Whitehead. Sophia Dharma: Jurnal Filsafat Agama

1
dalam kebermasyarakatan atau keberadaannya ingin diakui manusia lainnya
kemudian berkaitan juga dengan keberadaan praktik saling menguasai dan
dikuasai, mempengaruhi dan dipengaruhi, kehidupan umat manusia berada pada
suatu kondisi kompetitif untuk memperlihatkan eksistensinya sebagai manusia
yang lebih unggul dibandingkan manusia lainnya. Gambaran kompleks itulah
yang mewarnai tiap perkembangan sejarah peradaban umat manusia.

Di era globalisasi seperti sekarang, perkembangan ilmu pengetahuan dan


teknologi berkembang begitu pesat, kemerosotan moral dan akhlak manusia
sejalan dengan perkembangan teknologi. Dengan adanya media sosial
memudahkan untuk berkomunikasi dengan seseorang di tempat yang jauh,
keluarga, teman, sahabat bahkan dengan seseorang yang tidak saling mengenal.
Perkembangan tersebut membuat manusia mengalami perubahan di dalam
kehidupan.

Manusia memiliki berbagai dimensi dasar, baik secara pribadi, jiwa,


kelompok, dan lain sebagainya. Semua hal tersebut bercampur aduk menjadi
potensi dasar atau bawaan manusia, sehingga disadari ataupun tidak, manusia
telah mengembangkan potensi tersebut, baik secara maksimal atau tidak, dengan
baik atau buruk. Semuanya tergantung manusia itu sendiri dan lingkungan yang
mempengaruhinya. Berkaitan dengan hal tersebut, melalui akal manusia yang bisa
dikatakan jenius, mereka dapat menemukan berbagai jalan dan cara untuk
mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki dengan baik. Yaitu dengan
pendidikan. Manusia mulai sadar arti penting sebuah pendidikan dalam kehidupan
mereka2.

Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk membentuk pribadi


seseorang dalam memaknai kehidupan. Melalui pendidikan, manusia bisa
melakukan perubahan yang akan terlihat pada kepribadiannya yang baik atau
buruk dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Hindu Dan Masyarakat, 2(1), 18–34.
http://e-journal.stahn-gdepudja.ac.id/index.php/SD/article/view/171
2
Aryati, A. (2018). MEMAHAMI MANUSIA MELALUI DIMENSI FILSAFAT (Upaya
Memahami Eksistensi Manusia). EL-AFKAR : Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Tafsir Hadis,
7(2), 79. https://doi.org/10.29300/jpkth.v7i2.1602

2
Pendidikan mempunyai urgensi untuk membentuk individual seseorang
secara kepribadian, akhlak, moral dan jati diri. Pendidikan yang saat ini tergerus
perkembangan teknologi masih harus dihadapkan kepada berbagai fenomena
sosial yang menjerumus kepada dekadensi moral dan akhlak. Korupsi yang seakan
menjadi budaya, pergaulan bebas para remaja yang meresahkan masyarakat, seks
bebas hingga penggunaan narkoba, serta menipisnya pedoman baik dan buruk
dalam bentuk norma dan adat istiadat dalam kehidupan masyarakat. Hal ini
terlihat melalui maraknya tindakan suap-menyuap di instansi pemerintahan, mulai
dari birokrasi yang terendah sampai ke yang tertinggi dimana persoalan ini sudah
dianggap lumrah oleh sebagian masyarakat. Adanya perlakuan khusus terhadap
pelaku gratifikasi dalam melakukan pelayanan mencederai nilai-nilai
profesionalitas dalam bekerja.

Hal mendasar dalam diri manusia yang harus menjadi cerminan dalam
melakukan hal baik atau buruk adalah kepribadiannya. Dalam membentuk
kepribadian yang berakhlak mulia membutuhkan proses yang panjang dalam
kehidupan. Tingkat kemuliaan akhlak sangat erat kaitannya dengan sejauh mana
tingkat keimanan. Hal ini berdasarkan Nabi Muhammad S.A.W mengemukakan
dalam sabdanya bahwa “orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah
orang mukmin yang paling baik akhlaknya”3.

Kepribadian merupakan sesuatu yang menarik perhatian banyak pihak,


banyak teori-teori yang mencoba memberikan beberapa pengertian terkait makna
kepribadian tersebut dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Para ahli
psikologi barat berusaha memberi pengertian kepribadian yang bersifat psikologis
berdasarkan kata persona, namun sampai sekarang para ahli psikologi kepribadian
sendiri masih belum sepakat mengenai apa sebenarnya definisi kepribadian,
meskipun banyak definisi yang telah ditawarkan selama ini4.

3
Navlia Khulaisie, R. (2016). Hakikat Kepribadian Muslim , Seri Pemahaman Jiwa terhadap
Konsep. Jurnal Reflektika, 11(11), 39–57.

4
Mujib, Abdul. 1999. Fitrah dan Kepribadian Islam. Darul Fatah.

3
Terkait dengan konsep kepribadian yang diuraikan oleh para psikolog
barat, Abdul Mujib menganggap perlu adanya usaha untuk membangun makna
kepribadian dalam kontek psikologi Islam. Dari sisi pengembangan ilmu, upaya
ini sebagai pembanding atau bahkan membantah terhadap teori-teori kepribadian
yang dibangun dari paradigma psikologi barat. Karena masyarakat muslim
tentunya tidak cocok menggunakan teori-teori kepribadian yang bercorak
psikologi barat atau sekuler (pemisahan agama dari kehidupan).

Masyarakat muslim lebih tepat menggunakan teori kepribadian yang


berbasis keislaman, karena teori ini dapat mengakomodasi seluruh perilaku dan
perbuatannya. Namun, konsep dan metode pembentukan kepribadian islami
belum banyak dikembangkan oleh para ilmuan muslim itu sendiri, sehingga hal
ini mempengaruhi sulitnya penerapan kepribadian islami dan metode
pembentukannya.

Dengan demikian, sangat penting sekali untuk mengkaji dan menganalisis


konsep dan teori tentang kepribadian islami dalam pandangan ilmuan muslim.
Berpijak dari pandangan tersebut maka penulis tertarik untuk menyajikan sebuah
makalah dengan judul Hakikat Kepribadian yang berisi tentang penjelasan hakikat
kepribadian menurut ilmuwan barat dan islam secara komprehensif. Penulis juga
mencoba memperdalam pemahaman tentang hakikat manusia, kepribadian
manusia dan cara pembentukannya dalam pandangan filsuf islam dan barat.

1.2 Topik Pembahasan


Penulis telah mengidentifikasi hal-hal yang akan dibahas sebagai topik
dalam makalah ini, yaitu:
1.2.1 Bagaimana hakikat manusia?
1.2.2 Bagaimana hakikat kepribadian menurut filsafat barat?
1.2.3 Bagaimana hakikat kepribadian menurut filsafat islam?
1.2.4 Bagaimana cara pembentukan kepribadian?

1.3 Tujuan Pembahasan

4
Tujuan dari makalah ini adalah mengetahuai hakikat manusia, hakikat
kepribadian menurut filsafat barat dan islam, dan pembentukan kepribadian
menurut filsafat barat dan islam.

5
BAB II
2. Pembahasan
2.1 Hakikat Manusia
Pemahaman hakikat manusia sudah lama dilakukan namun belum
mendapat pernyataan yang tepat hingga saat ini. Hal ini dikarenakan adanya
perbedaan antara manusia satu dengan manusia lain, seperti perbedaan fisik,
ideologi, pemahaman, dan kepentingan. Semua itu menyebabkan satu pernyataan
definisi belum tentu bisa diterima oleh sebagian orang lain. Para ahli filsafat
memberikan pengertian manusia sesuai dengan kemampuan manusia di bumi ini.

Dalam kajian filsafat terdapat beberapa pendapat mengenai hakikat


manusia, sebagaimana dijelaskan berikut.

Spiritualisme, aliran ini mengemukakan bahwa semua yang ada di alam ini
terdiri dari ruh, sukma, jiwa, yang terbentuk dan tidak menempati ruang. Jiwa
mempunyai kekuatan dan dapat melakukan tanggapan atau sesuatu yang bukan
berasal dari tangkapan pancaindra, yang datang secara tiba-tiba membentuk
gambaran melalui alam metafist di luar jangkauan rasio dan yang bersifat
material5.

Idealisme, aliran yang dipelopori oleh Plato murid Socrates berpendapat


bahwa yang nyata hanyalah idea, idea selalu tetap, tidak mengalami perubahan
dan pergeseran6. Oleh karena itu alam merupakan gambaran dari idea karena
posisinya tidak menetap, termasuk manusia secara jasadiah.

Materialisme, menurut Thomas Hobbes sebagai salah satu pelopor aliran


ini, menyatakan bahwa akal merupakan hasil perkembangan yang disebabkan
adanya usaha manusia yang bukan pembawaan, melainkan ada oleh karena
berinteraksi dengan alamnnya7.

Rasionalisme, tokoh aliran ini Rene Descartes berpendapat bahwa sumber


pengetahuan yang dapat dijadikan patokan dan dapat diuji kebenarannya adalah
5
Abdullah, J. dan. 2009. Filsafat Pendidikan. Ar-Ruzz Media
6
Ibid
7
Ibid

6
rasio. Namun, di sisi lain akal tidak dapat menemukan pengertian yang sempurna
tanpa adanya keterkaitan dengan pengalaman8.

Berdasarkan hasil kajian pada sosok kompleks yang istimewa tersebut,


para filsuf barat memberikan berbagai predikat pada manusia diantaranya (a)
Manusia adalah homo sapiens, artinya makhluk yang mempunyai budi pekerti, (b)
Manusia adalah animal rational, artinya binatang yang berfikir, (c) Manusia
adalah homo laquen, artinya makhluk yang pandai menciptakan bahasa, (d)
Manusia adalah homo faber, artinya makhluk yang pandai membuat perkakas, (e)
Manusia adalah zoon politico, artinya makhluk yang pandai bekerja sama, (f)
Manusia adalah homo economicus, artinya makhluk yang tunduk pada prinsip-
prinsip ekonomi, (g) Manusia adalah homo religious, artinya makhluk yang
beragama, (h) Manusia adalah homo planemanet, artinya makhluk yang
diantaranya terdapat unsur ruhaniah-spritual, dan (i) Manusia adalah homo
educandum, artinya makhluk yang dapat menerima pendidikan.

Dalam pandangan filsafat islam hakikat manusia dijelaskan kepada 4


bentuk sesuai dengan konsep yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Perbedaan makna
tentang manusia dapat dilihat dari konsep berikut:

a) Konsep al-Basyar
Makna al-basyar dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk
yang memiliki segala sifat kemanusiaan yang terbatas, seperti makan, minum,
seks, keamanan, kebahagiaan, dan lainnya. Penunjukkan kata al-basyar ditunjukan
Allah kepada seluruh manusia tanpa kecuali. Contohnya seperti firman Allah Swt.
dalam surat Al-Kahfi ayat 1109. Berdasarkan konsep al-basyar, manusia tak jauh
berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Dengan demikian kehidupan manusia
terikat kepada kaidah-kaidah prinsip kehidupan biologis lain seperti berkembang
biak serta mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan dalam mencapai
tingkat kematangan hingga kedewasaan.
b) Konsep al-Insan
8
Ibid
9
Ramayulis, H., & Nizar., S. (2009). Filsafat pendidikan Islam : telaah sistem pendidikan dan
pemikiran para tokohnya / H. Ramayulis, Samsul Nizar. Jakarta :: Kalam Mulia, 2009

7
Merujuk pada asal kata al-Insan dapat dipahami bahwa manusia pada
dasarnya memiliki potensi yang positif untuk tumbuh serta berkembang secara
fisik maupun mental spiritual. Manusia juga dibekali dengan sejumlah potensi lain
yang berpeluang untuk mendorongnya ke arah tindakan, sikap, serta perilaku
negatif dan merugikan10. Kata al-Insan digunakan Al-Quran untuk menunjukan
totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Harmonisasi kedua aspek
tersebut mengantarkan manusia sebagi makhluk Allah yang unik, istimewa,
sempurna, dan memiliki diferensiasi individual antara satu dengan yang lainnya
sebagai makhluk yang dinamis, sehingga mampu menyandang gelar khalifah
Allah di muka bumi.
c) Konsep an-Nas
Kosa kata an-Nas dalam Al-Quran umumnya dihubungkan dengan fungsi
manusia sebagai makhluk sosial. Manusia diciptakan sebagai makhluk
bermasyarakat. Manusia berawal dari pasangan laki-laki dan Wanita, kemudian
berkembang menjadi suku dan bangsa untuk saling mengenal dan berinterksi (QS.
49: 13). Hal ini sejalan dengan teori strukturalisme Giddens yang mengatakan
bahwa manusia merupakan individu yang mempunyai karakter serta prinsip
berbeda tetapi manusia juga merupakan agen sosial yang bisa memengaruhi atau
bahkan dibentuk oleh masyarakat dan kebudayaan di mana ia berada dalam
konteks sosial.
d) Konsep Bani Adam
Menurut Quraish Shihab, Adam berarti nabi Adam dan manusia. Manusia
disebut bani Adam karena: pertama, manusia dilebihkan oleh Allah dibandingkan
dengan makhluk lainnya, dan kedua manusia adalah makhluk yang berakal. Kata
bani Adam yang berarti anak Adam atau keturunan Adam, digunakan untuk
menyatakan manusia bila dilihat dari asal keturunannya11.
Menurut Thabathaba’i dalam Samsul Nizar, penggunaan kata bani Adam
menunjuk pada arti manusia secara umum. Dalam hal ini setidaknya ada tiga
aspek yang dikaji, yaitu: pertama, anjuran untuk berbudaya sesuai dengan
10
Jalaluddin. 2001. Teologi Pendidikan. PT. Raja Grafindo Persada
11
Hidayat, R. (2017). Konsep Manusia Dalam Alquran. Almufida: Jurnal Ilmu-Ilmu
Keislaman, 2(2). https://jurnal.dharmawangsa.ac.id/index.php/almufida/article/view/67

8
ketentuan Allah, seperti dengan berpakaian untuk menutup aurat. Kedua,
mengingatkan keturunan Adam agar jangan terjerumus pada bujuk rayu setan
yang mengajak kepada keingkaran. Ketiga, memanfaatkan semua yang ada di
alam semesta dalam rangka beribadah dan mengesakan Allah12.
Lebih lanjut Jalaluddin mengatakan konsep bani Adam dalam bentuk
menyeluruh mengacu pada penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusian.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia dalam konsep bani Adam
adalah sebuah usaha persatuan dan kesatuan yang tidak ada perbedaan sesamanya,
dan juga mengacu pada nilai penghormatan menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusian serta mengedepankan Hak Asasi Manusia. Pembeda antara manusia
hanyalah ketakwaannya kepada pencipta sebagaimana dalam QS. Al-Hujarat ayat
13.
Dalam QS. At-Tin ayat 4 “sungguh Kami telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Sebaik-baiknya bentuk penciptaan manusia
selain dari segi fisik, adalah manusia diciptakan dengan akal. Akal adalah karunia
yang Allah SWT berikan sebab dengan akal manusia berbeda dengan mahluk lain
ciptaan-Nya. Keistimewaan ini selain menjadi kelebihan namun juga harus
dipertanggung jawabkan. Karena perlu diingat juga, manusia adalah mahluk
lemah yang memiliki kekurangan. Dalam surat Al-Mukminun ayat 12 sampai 14
Allah berfirman tentang proses penciptaan manusia dari saripati berasal dari
tanah, kemudian air mani yang tersimpan di dalam rahim, lalu segumpal daging,
dan proses pertumbuhan fisik manusia di dalam rahim, segumpal daging, tulalng
belulang, sampai sempurna bentuk penciptaannya.
Imam Ghazali mengatakan,“Ketahuilah wahai kekasih, manusia tidakklah
diciptakan dengan main-main ataupun secara serampangan, namun diciptakan
secara mengagumkan untuk sebuah tujuan yang mulia.”.
2.2 Hakikat Kepribadian
Kepribadian adalah hal mendasar yang dimiliki manusia, kepribadian pada
diri manusia itu ditentukan oleh bagian mana yang paling mendominasi pada diri
manusia. Berdasarkan fungsi masing-masing komponen pembentuk kepribadian

12
Ibid

9
maka apabila yang mendominasi dalam diri manusia adalah fungsi kalbunya maka
dalam diri manusia itu akan terbentuk kepribadian yang tenang, sedangkan apabila
yang mendominasi adalah akalnya maka akan terbentuk kepribadian yang labil,
sementara apabila yang menguasai atau mendominasi adalah nafsunya maka akan
terbentuk sebuah kepribadian yang jahat atau buruk, lebih buruk dari iblis dan
binatang.

Secara etimologi, Silahudin menyatakan bahwa kepribadian berasal dari


bahasa Inggris personality yang berasal juga dari Bahasa Latin “person” (kedok
dan “personare” (menembus). Person biasanya dipakai oleh para aktor drama atau
sandiwara pada zaman klasik untuk memerankan suatu bentuk tingkah laku dan
karakter tertentu, Para aktor ini menggunakan topeng untuk menonjolkan peran
atau berpenampilan tiruan13. Kemudian dalam beberapa bahasa kepribadian
disebut dengan istilah personality (Inggris), personalidad (Spanyol), dan
personalichkeit (Jerman), sedangkan personare adalah usaha para pemain drama
tersebut untuk menembus keluar dalam mengekspresikan suatu bentuk gambaran
manusia tertentu. Dapat disimpulkan bahwa, persona merupakan gambaran
pribadi dari suatu tipe manusia tertentu melalui kedok (person) yang dipakai oleh
pemain. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kepribadian berasal dari kata
pribadi yang berarti manusia sebagai perseorang. Istilah ini meliputi keseluruhan
sifat dan watak yang dimiliki orang tersebut. Adapun ketika kata dimulai dengan
tambahan “ke” dan akhiran “an” yaitu “ke-pribadi-an” artinya menjadi
karakteristik sifat hakiki yang mencerminkan tindakan seorang14.

Secara terminologis, kepribadian telah banyak didefinisikan dengan


berbagai ragam makna dan pendekatan. Kebaragaman makna ini pada dasarnya
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor perbedaan dalam hal
landasan keilmuan dan sudut pandang yang digunakan. Georgi Kelly

13
Silahudin, A. (2019). Perbandingan Konsep Kepribadian Menurut Barat Dan Islam. Al-
Fikra : Jurnal Ilmiah Keislaman, 17(2), 249. https://doi.org/10.24014/af.v17i2.6343
14
Karim, B. A. (2020). Teori Kepribadian dan Perbedaan Individu. Education and Learning
Journal, 1(1). https://doi.org/10.33096/eljour.v1i1.45

10
menyebutkan kepribadian merupakan cara yang unik dari masing-masing invidu
dalam memaknai bermacam pengalaman yang terjadi dalam hidupnya15.

Istilah kepribadian pada umumnya tidak dimengerti sebagai suatu konsep


yang mempunyai makna tertentu sehingga dalam berbagai kesempatan sering
disebutkan dengan berbagai konsep lain yang dianggap sepadan. Ada beberapa
konsep yang berhubungan erat dengan kepribadian bahkan seringkali dianggap
sama dengan kepribadian. Konsep-konsep tersebut adalah:

a. Character (karakter), yaitu penggambaran tingkah laku dengan


menonjolkan nilai (benar salah, baik-buru) baik secara eksplisit maupun
implisit.

b. Disposition (watak), yaitu karakter yang telah lama dimiliki dan sampai
sekarang belum berubah.

c. Temperament (temperamen), yaitu kepribadian yang berkaitan erat dengan


determinan biologis atau filosofis.

d. Traits (sifat-sifat), yaitu respon yang senada atau sama terhadap


sekelompok stimuli yang mirip dimana berlangsung dalam kurun waktu
relative lama.

e. Type attribute (ciri), mirip dengan sifat, namun dalam kelompok stimuli
yang lebih terbatas.

f. Habit (kebiasaan), merupakan respon yang sama dan cenderung berulang


untuk stimulus yang sama pula.

g. Mentality (mental) yaitu kondisi dan situasi mental yang dikaitkan dengan
aktivitas mental (intelektual)

15
Sjarkawi. (2011). Pembentukan Kepribadian Anak Moral Intelektual, Emosional dan Sosial
Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri. PT Bumi Aksara.

11
h. Individuality (Identity) yaitu ciri identic yang menjadikan sesorang
berbeda dengan orang lain dan menjadi benteng pertahanan dari factor
pengaruh luar16.

Konsep-konsep tersebut pada dasarnya merupakan aspek-aspek atau


komponen-komponen kepribadian karena pembicaraan mengenai kepribadian
senantiasa mencakup apa saja yang ada di dalamnya, seperti karakter, sifat-sifat,
dan sebagainya. Interaksi antara berbagai aspek tersebut kemudian terwujud
sebagai kepribadian17.

Istilah kepribadian baik dalam pandangan literatur Islam maupun Barat


sering diungkapkan untuk menggambarkan kondisi seorang manusia. Hal ini
menyebabkan banyak perbedaan mengenai definisinya serta menjadi sulit dalam
menentukan secara pasti dan tepat definisi kepribadian itu sendiri. Pendapat ini
didukung oleh pernyataan Allport bahwa terdapat tidak kurang dari lima puluh
pengertian kepribadian yang saling berbeda dimana sampai saat ini pengertian
tersebut akan terus bertambah dan berkembang18. Kepribadian ditinjau dari
pandangan evaluative dimaknai sebagai sebuah kesan (impression) seseorang
kepada orang lain. Hal ini merupakan sesuatu yag berhubungan dengan
keterampilan social (social skill), karisma dan kesukaan. Adapun kepribadian
dilihat dari sisi deskriptif bermaksud sebagai suatu karakter yang dominan dan
identik pada diri seseorang. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia disebut
bahwa kepribadian merupakan sisi khas dan hakiki seseorang yang membedakan
orang tersebut dengan orang lain.

2.3 Hakikat Kepribadian Filsafat Barat


Konsep kepribadian menurut pandangan filsuf barat memberi pengertian
dari kepribadian yang bersifat psikologis berdasar kata persona, namun sampai

16
Pohan, K. (2020). AKSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM: PEMBENTUKAN
KEPRIBADIAN MUSLIM DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM.
JIHAFAS, 3(2), 61–69
17
Maulana, A. S. (2019). Kepribadian Berbasis Imani Perspektif Psikologi Islam.
HIKMATUNA: Journal for Integrative Islamic Studies, 5(1), 84–98.
https://doi.org/https://doi.org/10.28918/hikmatuna.v5i1.1857
18
Pohan, K ….

12
sekarang para ahli psikologi kepribadian sendiri masih belum sepakat mengenai
apa sebenarnya defenisi kepribadian.
Berikut ini adalah definisi kepribadian secara terminologis dalam
pandangan ilmuan psikolog barat.
Allport, mendefinisikan bahwa kepribadian merupakan organisasi system
jiwa raga yang dinamis dalam individu sebagai sistem psikofisis yang menentukan
caranya yang khas dan unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan 19. Hal
ini berarti bahwa kepribadian merupakan keseluruhan sikap, perasaan, ekpresi,
temperamen, ciri khas dan perilaku sesorang yang muncul dan berkembang ketika
dihadapkan pada kondisi situasi tertentu. Setiap orang akan mempunyai
kecenderungan perilaku tertentu yang identic dan baku serta dilakukan secara
terus menerus dalam menghadapi berbagai situasi yang dia hadapi sehingga
menjadi ciri khas yang identic dengan pribadinya.
Sigmund Freud, mendefinisikan kepribadian adalah integrasi dari id, ego
dan super ego. Pertama, Id (das es) adalah sistem kepribadian biologis yang asli,
berisikan sesuatu yang telah ada sejak lahir. Berorientasi kepada kesenangan yang
merupakan sumber insting kehidupan atau dorongan biologis (makan, minum,
tidur, dsb.) prinsip kesenangannya merujuk pada pencapaian kepuasan yang
segera dari dorongan biologis tersebut. Kedua, Ego (das Ich) merupakan aksekutif
atau manajer dari kepribadian yang membuat keputusan tentang instinginsting
mana yang akan dipuaskan dan bagaimana caranya; atau sebagai sistem
kepribadian yang terorganisasi, rasional dan berorientasi kepada prinsip realitas.
Peran utamanya sebagai mediator yang menjembatani antara id dengan kondisi
dunia luar. Ketiga, Super Ego (das uber ich) merupakan komponen moral
kepribadian yang terkait dengan standar atau norma20.
Murray, mendefinisikan kepribadian adalah kesinambungan tingkah laku
lahiriyah dari lahir sampai mati. Kepribadian adalah abstraksi yang dirumuskan
oleh teorisi dan bukan semata-mata deskripsi tingkah laku orang, karena rumusan
itu didasarkan pada tingkahlaku yang dapat diobservasi dan faktor-faktor yang

19
Suryabrata, S. (1993). Psikologi Kepribadian. Raja Grafindo Persada
20
Mujib, A. (2017). Kepribadian dalam Psikologi Islam,. PT. Raja Grafindo Persada.

13
dapat disimpulkan dari observasi itu. Jadi, cara Murray merumuskan kepribadian
menunjukkan bahwa ia sangat berorientasi pada pandangan yang memberi bobot
memadai pada sejarah organisme, fungsi kepribadian yang bersifat mengatur, ciri-
ciri berulang dan baru pada tingkah laku individu, hakikat kepribadian yang
abstrak atau konseptual, dan proses-proses psikologis yang mendasari proses-
proses psikologis.
William Stern, mendefinisikan kepribadian sebagai aktualisasi dan
realisasi dari hal-hal yang sejak semula telah terkandung dalam jiwa seseorang.
Jadi menurut beliau kepribadian adalah suatu kesatuan banyak (unita multi
complex) yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu dan mengandung sifatsifat
khusus individu, yang bebas menentukan dirinya sendiri.
Carl Gustav Jung, mendefinisikan kepribadian adalah integrasi dari ego,
ketidaksadaran pribadi dan ketidaksadaran kolektif yang memunculkan tingkah
laku21. Disamping itu Carl Gustav Jung juga menambahkan bahwa kepribadian
merupakan keseluruhan pikiran, perasaan dan tingkah laku baik sadar maupun
tidak sadar. Kepribadian ini berfungsi untuk membimbing orang menyesuaikan
diri dengan lingkungannya berdasarkan hasil observasi diri terhadap lingkungan
yang ada. Pendapat ini sesuai dengan pernyataan Morrison yang mengatakan
bahwa kepribadian merupakan keseluruhan dari apa yang dicapai seseorang
individu dengan jalan menampilkan hasil-hasil kultural dari observasi social22.
George Herbert, mendefinisikan kepribadian ialah tingkah laku pada
manusia yang berkembang melalui perkembangan diri. Perkembangan
kepribadian dalam diri seseorang telah berlangsung seumur hidup, menurutnya
manusia akan berkembang dengan secara bertahap melalui interaksi dengan
anggota masyarakat23.
Menurut Fillmor H. Sandrof sebagaimana dirujuk Nur Syarifuddin,
kepribadian adalah susunan yang unik dari sifat-sifat seseorang yang berlangsung
lama. Sifat-sifat tersebut yang menggejala dalam tingkah laku seseorang yang
memiliki kepribadian tertentu menggambarkan aspirasi dan arah tujuan tertentu,
21
Pohan, K ….
22
Ibid
23
Parwin, L. A. (2015). Psikologi Kepribadian Teori dan Penelitian. Prenadamedia Group.

14
sehingga dalam jangka panjang kita dapat melihat bahwa seseorang telah
memiliki pandangan hidup24.
Teori-teori kepribadian memiliki banyak perbedaan menurut para ahli. Hal
ini dikarenakan meneliti suatu kepribadian manusia berarti meneliti tentang
hakikat manusia. Sebagai Gordon Allport mengatakan bahwa semua buku
psikologi kepribadian pada saat yang sama merupakan buku filsafat mausia, tidak
lain dan tidak bukan. Hal ini berarti teori-teori kepribadian merupakan teori
filsafat dan akan berimbas pada munculnya perbedaan sebagai teori filsafat pun
banyak terjadi perbedaan. Setiap teori memeriksa orang dengan lensa dan Batasan
pengalaman dari masa lalunya sendiri-sendiri.
Dari seluruh definisi teori kepribadian psikologi barat yang telah
dikemukakan di atas, terdapat berbedaan pandangan ilmuan psikologi barat dalam
mendefinisikan kepribadian. Namun dari keseluruhan definisi tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa kepribadian dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan
dimana manusia berinteraksi dengan pengalaman kehidupan yang dialami.
Kepribadian juga dapat berkembang sesuai dengan lingkungan yang
membentuknya. Menurut ilmuan barat kepribadian manusia tidak bisa dilepaskan
dari lingkungan dan pengalaman kehidupannya.

2.4 Hakikat Kepribadian Filsafat Islam


Di dalam dunia Islam kata “kepribadian” secara etimologis, lebih dikenal
dengan kata al-Syakhshiyah yang berasal dari kata “syâkhsh” yang berarti
“pribadi”. Kata itu kemudian diberi yâ’ nisbah sehingga menjadi kata benda
buatan “syakhshiyah” yang berarti “kepribadian”. Dalam kamus bahasa Arab
modern, istilah syakhsiyah digunakan untuk maksud kepribadian. Namun, dalam
literatur keislaman pada khazanah klasik abad pertengahan, kata syakhshiyah
(sebagai padanan dari kepribadian) kurang begitu dikenal, pada masa itu para
tokoh ilmuan muslim lebih mengenal term akhlak daripada term syakhshiyah 25.
24
Khasanah, N., Hamzani, A. I., & Aravik, H. (2021). DINAMIKA KEPRIBADIAN DALAM
PERSPEKTIF PSIKOLOGI ISLAM; TELAAH KONSEP AMARAH, LAWWAMAH, DAN
MUTHMAINNAH SERTA KORELASINYA DENGAN IMAN, ISLAM, DAN IHSAN.
SALAM: Jurnal Sosial Dan Budaya Syar-I, 8(2). https://doi.org/10.15408/sjsbs.v8i2.20031
25
Mujib, Abdul …

15
Kata syakhsiyah baru populer diwacanakan dalam psikologi Islam khususnya
setelah terjadi singgungan antara psikologi kontemporer dengan kebutuhan
pengembangan wacana keislaman. Hal tersebut bukan karena kurangnya perhatian
para ulama atau sarjana muslim, melainkan karena pemaknaan fundamental Islam
mengenai nilai kepribadian juga merujuk kepada substansi manusia yang
melibatkan ruh tidak sekedar tampilan diri (syakhs) yang bersifat empiris saja26.
Sedangkan dalam literatur keislaman modern, term syakhshiyah telah
banyak digunakan untuk menggambarkan dan menilai kepribadian individu.
Sebutan syakhshiyah al-muslim memiliki arti kepribadian orang Islam. Pergeseran
makna ini menunjukkan bahwa term syakhshiyah telah menjadi kesepakatan
umum untuk dijadikan sebagai padanan dari kepribadian (personality).
Definisi kepribadian secara terminologi menurut Ilmuwan Muslim adalah
sebagai berikut:
1) Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam Yadi Purwanto, mendefinisikan
kepribadian adalah hasil kerja bareng dan dinamika integrasi dari unsur
kepribadian yang terdiri dari potensi nafsiyah (jasad dan naluri) dan
potensi akal dalam penggunaannya.
2) Abdul Mujib mendefinisikan kepribadian adalah satu kesatuan integrasi
dari sistem kalbu, akal dan hawa nafsu, yang menimbulkan tingkah
laku.
3) Hafidz Abdurrahman mendefinisikan kepribadian adalah
akumulasi dari cara berfikir seseorang dalam menghukumi realitas,
serta kecendrungan nafsiyah terhadap realitas tersebut.
4) Ustmanajati seorang teoritis muslim mendefinisikan kepribadian
sebagai suatu organisasi yang dinamis dari peralatan fisik dan psikis
dalam diri individu yang membentuk karakternya yang unik dalam
penyesuaiannya dengan lingkungan.
Ustmanajati berpendapat dikarenakan untuk membentuk kepribadian yang
unik harus ada unsur fisik maupun psikis yang terkompromikan.

26
Harahap, R. M. (2017). MANAJEMEN PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN MUSLIM.
FIKROTUNA : Jurnal Pendidikan Dan Manajemen Islam, 6(2), 637–654.

16
Pengkompromian antara kebutuhan tubuh dan jiwa di dalam Islam membutuhkan
adanya keseimbangan aspek material dan spiritual dalam diri manusia 27.
Sebagaimana Allah SWT berfirman di dalam surat al-Qashash ayat 77
َ h‫نَ هّٰللا ُ اِلَ ْي‬h‫ٓا اَحْ َس‬hh‫ ْن َك َم‬h‫ ُّد ْنيَا َواَحْ ِس‬h‫ك ِمنَ ال‬
‫ك َواَل‬ َ َ‫ص ْيب‬ِ َ‫س ن‬
‫وا ْبتَغ ف ْيمٓا ٰا ٰتى َ هّٰللا‬
َ ‫ك ُ ال َّدا َر ااْل ٰ ِخ َرةَ َواَل تَ ْن‬ َ ِ ِ َ
َ‫ض ۗاِ َّن هّٰللا َ اَل يُ ِحبُّ ْال ُم ْف ِس ِد ْين‬
ِ ْ‫تَب ِْغ ْالفَ َسا َد فِى ااْل َر‬
Artinya: Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di
dunia. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Hasil penelitian Muhimmatul Hasanah, yang dikutip oleh (Maulana,
2019)menyatakan bahwa kepribadian adalah integrasi sistem kalbu , akal dan
nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku. Aspek nafsani manusia memiliki
tiga daya yaitu: qalbu (fitrah ilahiyah) sebagai aspek suprakesadaran manusia
yang memiliki daya emosi (rasa), akal (fitrah insaniyah) sebagai aspek kesadaran
manusia yang memiliki emosi (cipta), nafsu (fitrah hayawinah) sebagai aspek pra
atau bawah kesadaran manusia yang memiliki konasi28.
Berdasarkan pemaparan di atas, dalam rangka menemukan titik temu
tentang definisi kepribadian manusia menurut ilmuan muslim, maka penulis
menggabungkan definisi dari pandangan ilmuan muslim tersebut sehingga dapat
mewakili dari seluruh definisi yang telah dikemukakan oleh ilmuan muslim.
Pandangan ilmuan muslim tentang kepribadian manusia tersebut, maka
kepribadian dapat penulis definisikan sebagai “satu kesatuan integrasi dari cara
kerja aqliyah dan nafsiyah berdasarkan akidah tertentu yang diyakini kemudian
melahirkan perbuatan”. Definisi inilah yang memenuhi syarat jâmi’
(komprehensif) dan mâni’ (protektif), sehingga dapat mewakili seluruh definisi
kepribadian dalam pandangan ilmuan muslim.
27
Zuyyina Candra Kirana. (2019). Pentingnya Gen dalam Membentuk Kepribadian Anak.
Dirasah : Jurnal Studi Ilmu Dan Manajemen Pendidikan Islam, 2(2).
https://doi.org/10.29062/dirasah.v2i2.59
28
Maulana, A. S. (2019). Kepribadian Berbasis Imani Perspektif Psikologi Islam.
HIKMATUNA: Journal for Integrative Islamic Studies, 5(1), 84–98.
https://doi.org/https://doi.org/10.28918/hikmatuna.v5i1.1857

17
Pada dasarnya kepribadian baik dalam pandangan barat ataupun islam
bukan terbentuk secara serta merta dalam waktu yang singkat, tetapi terbentuk
melalui proses kehidupan yang panjang. Kedua kutub keilmuan tersebut memiliki
persamaan bahwa kepribadian tumbuh dan berkembang menyesuaikan dengan
berbagai macam faktor yang bersinggungan dengannya. Dengan demikian, apakah
kepribadian orang tersebut baik, buruk, kuat, lemah, beradab, atau biadap
semuanya sepenuhnya ditentukan oleh berbagai faktor yang terjadi dan berefek
pada pengalaman hidup orang tersebut.
Perbedaan kedua kutub sudut pandang keilmuan tersebut hanya pada aspek
unsur pembentuk kepribadian orang. Keilmuan barat berfokus pada aspek materil
sesuai dengan rasionalitas dan pengalaman dalam kehidupan manusia sedangkan
Islam memasukkan unsur jiwa (emosi), ruh dan qalb dalam kepribadian. Hanya
saja keduanya bersepakat bahwa semua unsur tersebut akan terbentuk dan
berkembang sesuai dengan kondisi dan situasi lingkungan dimana manusia
tumbuh. Berkenaan dengan hal itu, kepribadian manusia pada dasarnya tidak
terlepas dari kehidupan lingkungan dan itu sudah menjadi sunnatullah dimana
Allah SWT berfirman dalam surat al-Hujurat ayat 13:
‫ َد هّٰللا‬h‫م ع ْن‬h ‫رم ُك‬hh‫ ۚ ا َّن اَ ْك‬h‫ارفُوْ ا‬hh‫ل لتَع‬h ‫عُوْ بًا َّوقَب ۤاى‬h‫ وجع ْل ٰن ُكم ُش‬h‫ر َّواُ ْن ٰثى‬hh‫ا النَّاسُ انَّا َخلَ ْق ٰن ُكم م ْن َذ َك‬hh‫ياَيُّه‬
ِ ِ ْ َ َ ِ َ َ ِ َ ِٕ َ ْ َ َ َ ٍ ِّ ْ ِ َ َ
‫اَ ْت ٰقى ُك ْم ۗاِ َّن هّٰللا َ َعلِ ْي ٌم خَ بِ ْي ٌر‬
Artinya: Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling
bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.
Ayat tersebut menunjukkan pada hakikatnya manusia tercipta dengan
kondisi dan situasi lingkungan yang berbeda-beda. Perbedaan lingkungan tersebut
bertujuan bagaimana manusia saling mengenal yang berartian manusia akan
membentuk dan mengembangkan kepribadiannya. Jadi, semakin manusia
bersinggungan dengan berbagai macam perbedaan dalam lingkungannya baik
lingkungan social, alam dan lain sebagainya kepribadiannya akan semakin
terbentuk dan berkembang. Namun sebaliknya, ketika manusia terlatih atau hidup

18
dengan sedikit perbedaan dalam lingkungannya maka kepribadiannya akan
semakin eksklusif dan sulit untuk berkembang.

2.5 Aspek-Aspek Kepribadian


Ahmad D. Marimba dan Dr. Abdullah Nashih Ulwan membagi aspek
kepribadian seseorang secara garis besarnya ke dalam tiga kategori besar yaitu29:
1. Aspek kepribadian jasmani.
Aspek kepribadian ini mencakup bermacam bentuk tingkah laku seseorang
yang mudah terlihat dari pandangan orang luar, seperti cara berbicara dan
bergerak. Aspek ini memasukkan juga tingkah laku yang berasal dari tenaga jasad,
seperti tenaga yang bersumber dari struktur anggota tubuh. Di dalam lingkungan
social kepribadian jasmani ini menjadi penilaian awal terhadap kepribadian
seseorang. Seseorang akan dinilai berkepribadian baik atau buruk dari aspek
jasmani yang tampak dari luar. Kepribadian jasmani juga menjadi perwujudan
dari respon manusia terhadap lingkungan pembentuknya.
2. Aspek kepribadian jiwa/kejiwaan atau di dalam istilah Abdullah Nashih
Ulwan di sebut dengan aspek psikologis (nafs).
Aspek kepribadian tersebut mengandung berbagai hal yang tersimpan dan
tidak dapat dengan cepat terlihat dalam pandangan luar, misalnya cara berfikir,
perasaan, kecenderungan dan minat seseorang. Aspek ini sering tidak terlihat di
hadapan luar kecuali ketika mereka bersinggungan secara intens dan terbuka
dengan orang tersebut.
3. Aspek kepribadian rohani yang luhur.
Aspek kepribadian ini meliputi berbagai macam aspek kejiwaan yang
sangat abstrak yaitu mengenai falsafah hidup dan kepercayaan. Aspek ini
meliputi sistem nilai yang telah meresap dan menjadi bagian erat dalam
kepribadian seseorang sehingga berdampak dalam pengarahan dan pemberian
corak di dalam seluruh kehidupan. Aspek ini bisa disebut dengan prinsip dan
keyakinan seseorang30.
29
Zuyyina Candra, …
30
Framanta, G. M. (2020). PENGARUH LINGKUNGAN KELUARGA TERHADAP
KEPRIBADIAN ANAK. Jurnal Pendidikan Dan Konseling (JPDK), 2(1).

19
Di dalam kehidupan manusia, aspek kepribadian jasmani menjadi pokok
dan sesuatu yang utama. Bagaimana seorang bisa menampakkan kepribadian
jasmani yang baik di hadapan lingkungan meskipun jiwa dan rohaninya dapat
berbeda dengan kondisi jasmaninya. Di dalam lingkungan social multicultural
manusia dituntut untuk bisa menunjukkan kepribadian jasmani yang toleransi dan
bersikap baik terhadap segala perbedaan yang ada meskipun kepribadian kejiwaan
dan rohani tidak akan mungkin bisa sama antar manusia dengan lingkungannya.
Hal tersebut sudah menjadi sunnatullah karena perbedaan menjadi suatu kepastian
dalam hidup baik perbedaan keyakinan, kepercayaan, pemikiran dan lain
sebagainya namun perbedaan tersebut jangan sampai membuat kepribadian
jasmani menjadi saling bertentangan dan berbeda. Justru bagaimana segala
perbedaan yang ada dapat memunculkan suatu kepribadian jasmani yang saling
menghormati dan menghargai.

2.6 Unsur-unsur Pembentuk Kepribadian


St. Rahmatiah menyatakan bahwa dalam membicarakan unsur kepribadian
manusia tidak dapat terlepas dari pembahasan substansi manusia. Hal ini
dikarenakan melalui pembahasan substansial tersebut dapat diketahui hakikat dan
dinamika prosesnya. Unsur kepribadian manusia yang dimaksud di sini adalah
aspek-aspek atau elemen-elemen yang terdapat pada diri manusia yang karena
aspek-aspek ini kepribadian terbentuk31.
Menurut pandangan ilmuan barat di dalam psikologi kepribadian barat
modern, pembahasan mengenai unsur-unsur kepribadian manusia dibicarakan
oleh beberapa tokoh, diantaranya sebagai berikut (Silahudin, 2019):
1. Menurut Sigmun Freud.
Sigmun Freud membagi unsur kepribadian menjadi tiga unsur yaitu,
a. Id (das es).
Id adalah sistem kepribadian biologis. Id mencakup berbagai hal yang
telah ada sejak lahir dan berorientasi pada kepuasaan. Kepribadian ini

https://doi.org/10.31004/jpdk.v1i2.654
31
Rahmatiah, S. (2015). Konsep manusia menurut islam. Al-Irsyad Al-Nafs, Jurnal Bimbingan
Penyuluhan Islam, 2(1), 93–116

20
menjadi asal insting kehidupan, seperti makan, minum, tidur dsb.
Prinsip kepuasan bertujuan kepada pencaiapan kepuasan segera dari
dorongan biologis itu.
b. Ego (das Ich).
Ego adalah pengatur atau manajer dari kepribadian. Ego merupakan
unsur pembuat keputusan tentang insting kebutuhan kepuasan dan
bagaimana proses pemuasannya. Ego disebut juga sebagai sistem
kepribadian yang terorganisir, rasional dan berorientasi kepada prinsip
realitas. Peran utamanya sebagai mediator yang menjembatani antara id
dengan kondisi dunia luar.
c. Super Ego (das uber ich).
Super Ego adalah komponen moral kepribadian yang berkaitan dengan
standar atau norma masyarakat. Super ego berkaitan dengan baik buruk
atau benar-salah sesuai dengan standar norma yang berlaku dalam suatu
lingkup masyarakat. Dengan standar norma yang berlaku, super ego
bertujuan untuk mengontrol kepribadian seseorang dalam mencapai
kesempurnaan pribadi32.
Ketiga unsur tersebut akan membentuk kepribadian terhadap diri
seseorang yang akan melahirkan suatu perbuatan, ketika berlaku sesuai dengan
fungsinya. Maksudnya adalah di saat id mendorong kebutuhan pemuasan, ego
akan mempertimbangkan apakah kebutuhan id tersebut dipenuhi atau tidak
dengan menyesuaikan pertimbangan dari super ego yang didasarkan pada norma
di suatu lingkungan masyarakat. Keputusan dari pertimbangan super ego yang
akan menjadi penentu suatu perbuatan pada diri seseorang. Dengan keputusan itu,
muncullah kepribadian dalam diri seseorang sesuai dengan tingkah laku atau
perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pembentukan
kepribadian menurut Sigmund Freud ini terfokus pada kebutuhan alami manusia
yaitu pemenuhan pemuasan jasmani, kemudian ego dan super ego
mempertimbangkan pemenuhan atau tidak menyesuaikan norma yang berlaku.

32
Silahudin, A ….

21
Sigmun Freud memandang kepribadian manusia dengan terfokus pada hal yang
terlihat dari pandangan luar sebagaimana umumnya pendapat psikolog Barat. Hal
ini tampak dari ketiga unsur yang dikemukakan. Unsur-unsur itu hanya
memfokuskan diri pada bagaimana seorang menjadi suatu pribadi di hadapan
lingkungan dengan berbagai macam tingkah lakunya. Hasil pencapaian ketiga
unsur Freud ini adalah membentuk kepribadian yang baik dan sesuai dengan
lingkungan, tetapi tidak menyentuh unsur kejiwaan seseorang.
2. Menurut Carl Rogers.
Carl Rogers membagi unsur pembentuk kepribadian dalam diri seseorang
menjadi dua hal yaitu,
a. Diri (The Self).
Diri merupakan unsur yang merepresentasikan pola persepsi secara
terorganisir dan konsisten. Seseorang memahami objek dan pengalaman
yang akan memberikan makna sehingga membentuk konsep kepada
dirinya. Meskipun diri selalu berubah, tetapi akan senantiasa
mempertahankan kualitas yang sudah terpola dan terintegrasi menjadi
karateristik seseorang.
b. Diri Ideal (Ideal Self).
Diri ideal merupakan unsur yang sangat diinginkan oleh setiap individu.
Unsur itu meliputi persepsi yang relevan dan penting terhadap diri.
Dengan demikian, Rogers menyadari bahwa pandangan manusia
terhadap diri mengandung dua komponen yang saling berlawanan yaitu,
diri di saat ini dan diri yang akan dilihat sebagai bentuk ideal di masa
mendatang.
Dari kedua teori yang telah disebutkan di atas dapat ditarik beberapa
kesimpulan. Pertama, di dalam teori psikoanalitis Freud, unsur yang membentuk
dan mempengaruhi kepribadian bermula dari dorongan biologis bawah sadar dan
perkembangan karakter sesuai pengalaman dalam kehidupan berdasarkan
lingkungan yang terdiri dari id, ego dan super ego. Berdasarkan hal itu, Freud
memandang kepribadian manusia dibentuk oleh pandangan standar norma

22
lingkungan yang teraplikasikan oleh diri sehingga kemudian menjadi karakter
kepribadian dirinya.
Kedua, di dalam teori Rogers, unsur kepribadian bermula dari pandangan
terhadap interaksi sosial yang menjadi dasar untuk menilai dan memaknai diri
sendiri sehingga terbentuklah konsep diri saat ini (the self). Selanjutnya, keinginan
menjadi pribadi ideal (ideal self) di waktu yang akan datang muncul sesuai
dengan meningkatnya persepsi seorang dalam interaksi dan pandangannya
terhadap lingkungan. Berdasarkan hal itu, motif dari pengaktualisasian diri dan
proses perubahan terhadap diri (the self) adalah dalam rangka mencapai kondisi
diri ideal (ideal self). Dengan kata lain, Rogers memandang manusia memiliki dua
jenis kepribadian yang terbentuk oleh kondisi dan situasi lingkungan yaitu
kepribadian awal atau kepribadian diri (the self) dan kepribadian akhir atau
kepribadian ideal (ideal self). Hasil interaksi dengan lingkungan akan
mempengaruhi dan membentuk nilai persepsi seseorang yang pada kelanjutannya
membentuk suatu konsep diri ideal sesuai dengan keinginan.
Unsur-unsur inilah pembentuk kepribadian dalam pandangan ilmuan barat.
Kepribadian manusia diukur oleh ilmuan barat sesuai dengan pandangan yang
tampak oleh pandangan linkungan terhadap orang tersebut. Oleh karena itu, para
ilmuan barat menekankan interaksi dengan lingkungan hidup menjadi unsur yang
sangat dominan dalam pembentukan kepribadian manusia. Ilmuan barat kurang
menunjukkan peran ilmu pengetahuan dan agama dalam pembentukan
kepribadian. Ilmuan barat juga tidak menyentuh unsur kejiwaan atau rohani
sebagai unsur pembentukan kepribadian seseorang.
Dalam pandangan Islam kepribadian tidak terlepas dari fitrah manusia
sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Al-Qur’an sendiri banyak membahas
tentang fitrah manusia dengan berbagai macam penyebutan, ada fitrah yang
diungkap dengan potensi dan ada yang disebut dengan fitrah. Manusia diberikan
kepribadian untuk condong berbuat baik atau buruk. Jika manusia mengikuti

23
fitrah yang dimiliki maka akan dominan melakukan kebaikan-kebaikan hanya saja
seringkali pengaruh buruh senantiasa meracuni pemikiran manusia33.
Unsur kepribadian manusia di dalam al-Qur’an terdiri dari tiga hal yaitu
jismiyah, nafsiyah dan ruhaniyah.
a. Jasad (Jismiyah).
Jasad meliputi tingkah laku luar manusia yang mudah nampak dan
ketahuan dari luar, misalnya cara-cara berbuat dan cara-cara berbicara.
Aspek jasad ini adalah merupakan aspek biologis sebagai pelaksana
tingkah laku perbuatan manusia. Jasad di dalam proses pembentukan
kepribadian berfungsi sebagai pelaksana dari unsur lainnya berupa tingkah
laku atau perbuatan. Karakter dari jasad (al jisim) cenderung rendah dan
condong kepada materi karena berasal dari alam materi sehingga
membutuhkan unsur lain untuk menuntun dan mengendalikannya
sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-An’am
ٓ ٰ َ‫هُ َو الَّ ِذيْ خَ لَقَ ُك ْم ِّم ْن ِط ْي ٍن ثُ َّم ق‬
َ‫ضى اَ َجاًل َۗواَ َج ٌل ُّم َس ّمًى ِع ْند َٗه ثُ َّم اَ ْنتُ ْم تَ ْمتَرُوْ ن‬
Artinya: Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian Dia
menentukan batas waktu hidup (masing-masing). Waktu yang ditentukan
(untuk kebangkitan setelah mati) ada pada-Nya. Kemudian, kamu masih
meragukannya.
b. Nafsiyah.
Aspek nafsiah adalah keseluruhan kualitas khas kemanusiaan berupa
pikiran, perasaan, kemauan, dan kebebasan. Aspek ini merupakan
persentuhan antara aspek jismiah dan ruhaniah. Telah dikatakan
sebelumnya bahwa kedua aspek ini saling membutuhkan, dimana antara
keduanya saling berlawanan satu sama lainnya. Disinalah letak aspek
nafsiah berada, yang berusaha mewadahi kedua kepentingan yang berbeda
itu. Nafs memiliki potensi gharizah (insting, naluri, tabiat, perangai,
ciptaan, sifat bawaan).

33
Nuruzzahri, N. (2022). Kepribadian Manusia Menurut Perspektif Pendidikan Islam.
Inteligensia, 9(2). https://doi.org/10.54604/itg.v9i2.75

24
Aspek nafsiah memiliki tiga dimensi utama, yaitu al-Nafs, al- ‘Aql,
dan al-Qalb (Afriyanto & Muhid, 2021). Ketiga dimensi inilah yang
menjadi sarana bagi aspek nafsiah untuk mewujudkan peran dan fungsinya
 Dimensi Akal (fitrah insaniyah).
Lafadz akal secara etimologi dapat berarti pengetahuan (al-idrak)
mengenai hakikat sesuatu. Akal juga merupakan lawan kata dari
kebodohan (didh al-humuq) atau dapat juga diartikan pengikat (rabth) atau
pelindung (habs). Sehingga di dalam Alquran kata kerja (fi’l) aql sering
diartikan sebagai keterangan yang mengikat tentang bagaimana
sesungguhnya keadaan orang yang berpikir, dibandingkan yang tidak
berpikir. Bahkan sejatinya, akal dan hati menjadi substansi manusia yang
saling berhubungan dalam proses mendapatkan hakikat kebenaran
(Harahap, 2017). Secara istilah akal adalah kekuatan yang digunakan
untuk menghukumi sesuatu. Atau dengan ungkapan lain, akal merupakan
kemampuan untuk menghukumi fakta/realitas tertentu, baik yang berkaitan
dengan perbuatan maupun benda yang dibangun berdasarkan pandangan
hidup. Dengan demikian, akal merupakan potensi yang dimiliki oleh
manusia yang berfungsi untuk berfikir atau menghukumi sebuah
fakta/realitas yang terindera baik melalui wahyu, ilmu pengetahuan
maupun pengalaman hidupnya. Dalam proses pembentukan kepribadian
manusia, akal berfungsi sebagai pembuat keputusan dan penentu
pelaksanaan perbuatan, apakah perbuatan tersebut dilakukan atau tidak.
 Dimensi Qalb (fitrah ilahiyah).
Kalbu merupakan materi organik yang memiliki sistem kognisi yang
berdaya emosi. Al Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menyebutkan bahwa
kalbu terdiri dari dua aspek, yaitu kalbu jasmani dan kalbu ruhani. Kalbu
jasmani adalah daging sanubari yang berbentuk seperti jantung pisang
yang terletak di dalam dada sebelah kiri. Sedangkan kalbu ruhani adalah
sesuatu yang bersifat halus (lathifah), ketuhanan (rabbaniyah) dan spiritual
(ruhaniyah). Kalbu ruhani ini memiliki insting yang disebut dengan nur
ilahi (cahaya ketuhanan) dan al-bashirah albatinah (mata batin) yang

25
memancarkan keimanan dan keyakinan (Hartati, 2004). Karakter dasar ruh
adalah suci dan cenderung pada dimensi spiritual, hal itu dikarenakan ruh
berasal dari alam suci yang Maha Tinggi dan Suci (alam ilahiyah). Hal ini
sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Hijr
ُ ‫فَاِ َذا َس َّو ْيتُهٗ َونَفَ ْخ‬
َ‫ت فِ ْي ِه ِم ْن رُّ وْ ِح ْي فَقَعُوْ ا لَهٗ ٰس ِج ِد ْين‬
Artinya: Maka, apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)-nya dan
telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, menyungkurlah kamu
kepadanya dengan bersujud.
 Dimensi Nafsu (fitrah hayawaniyah).
Nafsu memiliki makna sama dengan hawâ, yaitu kecenderungan atau
dorongan yang ada dalam diri manusia untuk melakukan sesuatu, baik
karena dorongan kebutuhan jasmani maupun naluri. Nafsu juga bisa
didefinisikan dengan cara (metode) yang digunakan oleh seseorang untuk
memenuhi dorongan (dawâfi) yang lahir dari kebutuhan jasmani dan naluri
berdasarkan standar landasan tertentu. Dalam proses pembentukan
kepribadian seseorang nafsu berfungsi untuk melahirkan berbagai
keinginan dan mendorong serta menunutut pemenuhan.
c. Ruhaniyah.
Ruh merupakan suatu struktur yang memiliki ciri khas tersendiri, karena
ruh menjadi pembedakan antara manusia dengan makhluk ciptaan Allah
SWT lainnya. Manusia diberikan ruh oleh Allah swt bertujuan supaya
tertanam sifat sifat ketuhanan dalam diri manusia yang nantinya sifat sifat
tersebut dapat membimbing manusia. Jadi, tidaklah mengherankan jika
manusia memiliki sifat sayang kepada sesamanya, senantiasa menolong
orang lain, dimana semua itu merupakan sifat-sifat Allah. Hal itu
dikarenakan memang Allah SWT telah menganugerahkannya kepada
manusia melalui unsur ruh tersebut. Para ilmuan muslim belum
menemukan kesepakatan dalam mendefinisikan istilah ruh. Alquran
sendiri menjelaskan bahwa ruh merupakan urusan dan atau hanya
dipahami oleh Allah SWT.
‫ح قُ ِل الرُّ وْ ُح ِم ْن اَ ْم ِر َرب ِّْي َو َمٓا اُوْ تِ ْيتُ ْم ِّمنَ ْال ِع ْل ِم اِاَّل قَلِ ْياًل‬ hَ َ‫َويَ ْسـَٔلُوْ ن‬
ِ ۗ ْ‫ك َع ِن الرُّ و‬

26
Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh
itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit". (Q.S. Al Isra:85)
Akan tetapi beberapa ahli tentang ruh menjelaskan bahwa ruh memiliki
beberapa ciri-ciri tersendiri yaitu (Nuruzzahri, 2022):
 Ruh menjadi kesempurnaan awal jisim (jasad) manusia yang tinggi dan
memiliki kehidupan dengan daya.
 Ruh berasal dari alam perintah yang mempunyai sifat berbeda dengan
jasad. Hal itu dikarenakan ia berasal dari Allah, kendatipun ia tidak
sama dengan zat-Nya.
 Ruh merupakan lathifah (sesuatu yang halus) yang bersifat ruhani. Ia
dapat berpikir, mengingat, mengetahui, dan sebagainya. Ruh juga
menjadi penggerak bagi jasad manusia serta sifatnya gaib.
Di dalam keilmuan Islam, kepribadian terbentuk ketika dorongan baik
berasal dari nafsu maupun isyarah ruh muncul kemudian dikaitkan dengan akal
yang akan menghukumi dorongan tersebut, lahirlah sebuah keputusan dan
diyakini oleh kalbu, kemudian dilakukan oleh jasad. Tiga bagian nafsani ini
berkoodinasi untuk memahami perilaku (Jannah, 2017). Di dalam nafsiah manusia
terdapat pertarungan antara nafsu dan akal yang kemudian terwujudkan dalam
kepribadian manusia. Ketika nafsiah manusia baik maka dengan mengikuti
petunjuk ruh dan akal maka kepribadian yang terwujud akan baik, namun
sebaliknya jika nafsiah manusia buruk dalam arti mengikuti pemikiran dari hawa
dan nafsu maka akan terwujud kepribadian manusia yang buruk. Hal ini selaras
dengan sabda baginda Nabi Muhammad SAW
ُ‫ َأاَل َو ِه َي القَ ْلب‬،‫َت فَ َس َد َساِئ ُر َج َس ِد ِه‬
ْ ‫صلُ َح َساِئ ُر َج َس ِد ِه َوِإ َذا فَ َسد‬ ْ ‫صلُ َح‬
َ ‫ت‬ َ ‫ِإ َذا‬. . . . .
Artinya: ketika segumpal darah itu baik maka akan baik seluruh
jasadnya dan ketika segumpal darah rusak maka akan rusak seluruh jasad,
ketika segumpal darah itu adalah qalb.
Berdasarkan pembahasan di atas, Islam menjadikan unsur nafsiah
sebagai unsur utama dalam pembentukan kepribadian dimana di dalam
nafsiah terdapat tiga dimensi pembentukan seperti qalb, ‘aqal dan nafsu yang

27
akan mengarahkan kecenderungan kepada kebaikan atau keburukan serta
memutuskan. Unsur kepribadian dalam Islam terlihat lebih komplit dalam
membangun unsur kepribadian manusia. Hal ini dikarenakan Islam
memandang kepribadian tidak hanya pada kondisi materil yang terlihat
dalam lingkungan tetapi juga memandang unsur kejiwaan manusia tersebut.
Pendapat ini lebih lengkap dikarenakan tidak menjadi keraguan lagi bahwa
kondisi kejiwaan manusia seringkali berpengaruh pada sikap kepribadian
manusia meskipun banyak manusia yang mampu menyembunyikan kondisi
kejiwaan dengan sikap sikap luarnya34.

2.7 Faktor-faktor Pembentuk Kepribadian


Di dalam filsafat barat faktor-faktor yang menentukan kepribadian ada tiga
aliran. Tiga aliran itu adalah empirisme, nativisme, dan konvergensi. Masing-
masing aliran ini memiliki asumsi psikologi tersendiri dalam melihat hakikat
manusia.

1. Aliran Empirisme.

Aliran ini disebut juga dengan Environmentalisme yaitu suatu aliran yang
menitik beratkan padangan pada peranan lingkungan sebagai penyebab timbulnya
suatu tingkah laku. Aliran ini pada mulanya dipelopori oleh seorang filosof
bernama John Loke yang berkebangsaan Inggris. Asumsi psikologis yang
mendasari aliran ini adalah bahwa manusia lahir dalam keadaan netral, tidak
memiliki pembawaan apapun. Ia bagaikan kertas putih (tabula rasa) yang dapat
ditulisi apa saja yang dikehendaki. Perwujudan kepribadian ditentukan oleh luar
diri yang disebut dengan lingkungan.

Aliran empirisme juga dikenal sebagai alian optimistic atau positifistik.


Hal ini dikarenakan suatu anggapan yang mengatakan bahwa suatu kepribadian
menjadi lebih baik apabila dirangsang oleh berbagai usaha nyata. Usaha kongkrit
yang disumbangkan oleh aliran ini adalah menciptakan berbagai teori belajar
untuk mengubah tingkah laku manusia menuju kepribadian ideal. Melalui teori
34
Ibid

28
belajar, semua kepribadian individu dapat dimodifikasi dan dan dibentuk sesuai
dengan apapun yang diinginkan.

2. Aliran Nativisme.

Aliran nativisme adalah aliran yang menitik beratkan padangannya pada


peranan sift bawaan dan keturunan (genetic) sebagai penentu tingkah laku
seseorang. Persepsi tentang ruang dan waktu tergantung pada factor-faktor
alamiah atau bawaan dari lahir serta kapasitas intelektual itu diwarnai sejak lahir.
Aliran ini dipelopori oleh Arthur Scopenhauer dan didukung pula oleh Frans
Joseph Gall.

Aliran nativisme memandang hereditas (heredity) sebagai penentu


kepribadian. Hareditas adalah totalitas sifat-sifat karakteristik yang dibawa atau
dipindahkandari orang tua ke anak keturunannya. Perpidahan genetic ini
merupakan fungsi dari kromosom dan gen. kromosom adalah bagian sel yang
mengandung sifat keturunan. Gen adalah sejenis partikel hipotetik yang terletak
sepanjang kromosom-kromosom yang diduga menjadi lamenter dari sifat
keturunan. James Drever menyebutkan bahwa hereditas sebagau anugerah alam
yang mempunyai hokum hokum sendiri.

3. Aliran Konvergensi

Aliran ini adalah aliran yang menggabungkan dua aliran di atas.


Konvergensi adalah interaksi antara factor hereditas dan factor lingkungan dalam
proses pemunculan kepribadian. Menurut aliran ini, hereditas tidak akan
berkembang secara wajar apabila tidak diberi rangsangan dari factor lingkungan.
Sebaliknya, rangsangan lingkungan tidak akan membina kepribadian ideal tanpa
didasari factor hereditas. Penentuan kepribadian seseorang ditentukan kerja yang
integral antara internal (potensi bawaan) meupun factor eksternal (lingkungan).
Kepribadian manusia ditentukan oleh factor dasar dan ajar. Kedua factor ini
mempengaruhi perkembangan kehidupan manisa. Aliran ini dipelopori oleh
William Stern dan Adler.

29
Di dalam filsafat Islam segala tindakan dan perbuatan manusia yang
memiliki corak berbeda antara satu dengan lainnya tersebut pada dasarnya
merupakan akibat dari adanya pengaruh dalam diri manusia (insting) dan motivasi
yang disuplai dari luar dirinya seperti milieu, Pendidikan dan aspek warotsah
(genetic). Untuk itu berikut ini akan dibahas faktor-faktor yang mempengaruhi
dan memotivasi pembentukan kepribadian, diantaranya:

1. Instink (naluri).

Instink (naluri) adalah kesanggupan melakukan hal-hal kompleks tanpa


latihan sebelumnya, terarah pada tujuan yang berarti bagi subjek, tidak
disadari dan berlangsung secara mekanis. Ahli-ahli psikologi menerangkan
berbagai naluri pada manusia yang mendorong tingkah lakunya,
diantaranya naluri makan, naluri berjodoh, naluri keibu-bapakan, naluri
berjuang, naluri berTuhan dan lain sebagainya.

2. Warotsah (keturunan/genetic/hereditas).

Ahmad Amin mengatakan bahwa terdapat perpindahan sifat-sifat tertentu


dari orang tua kepada turunannya. Oleh karena itu, hal ini disebut juga
dengan waratsah yang berarti warisan. Warisan sifat orang tua kepada
keturunnya ada yang secara langsung dan tidak langsung. Artinya
langsung kepada anaknya dan tidak langsung kepada anaknya, missal
kepada cucunya atau keturunan selanjutnya. Sebagai contoh, ada seorang
ayah pahlawan belum tentu anaknya seorang pemberani bagaikan
pahlawan,, bisa jadi sifat tersebut turun kepada cucunya. Pengaruh ini bisa
berbentuk macam-macam yang merupakan sifat bawaan, seperti pemarah,
penyabar, santun, nakal, keras kepala, kuat kemauan dan hal lain yang
sangat berpengaruh cepat atau lambat dalam pembentukan kepribadian
seseorang (Framanta, 2020). Pendekatan sifat (trait) yang menekankan
dampak dari hereditas masih dianggap penting sampai hari ini, meskipun
masih terus dilakukan penelitian mengenai hal itu sampai hari ini dimana
terdapat kecenderungan bahwa penelitian ke depan akan tetap menelurkan

30
kesimpulan yang sama yaitu kepribadian dapat dipengaruhi oleh factor
bawaan (Hidayat, 2015). Meskipun demikian, dalam kenyataannya
predisposisi genetic banyak dipengaruhi oleh keadaan lingkungan dan
sosialnya.

3. Hati Nurani.

Pada diri manusia terdapat suatu kekuatan yang sewaktu-waktu


memberikan peringatan atau petunjuk (isyarat) apabila tingkah laku
tersebut berada pada ambang bahaya dan keburukan. Kekuatan tersebut
adalah “suara batin” atau “suara hati” dimana dalam Bahasa Arab disebut
dengan “dhamir”. Dalam Bahasa Inggris disebut dengan “conscience”.
Conscience adalah system nilai moral seseorang atau kesadaran akan benar
dan salah dalam tingkah laku. Fungsi hati Nurani adalah memperingati
bahayanya perbuatan buruk dan berusaha mencegahnya. Jadi, hati Nurani
termasuk salah satu factor yang ikut membentuk kepribadian manusia.

4. Lingkungan.

Salah satu faktor yang turut menentukan kelakuan sesorang atau suatu
masyarakat adalah lingkungan (milleu). Misalnya lingkungan alam mampu
mematahkan atau mematangkan pertumbuhan bakat yang dibawa oleh
seseorang, lingkungan pergaulan mampu mempengaruhi pikiran, sifat dan
tingkah laku. Dalam pandangan Adler, perbedaan lingkungan rumah akan
memberikan pengaruh kepada perbedaan kepribadian. Lingkungan dimana
menjadi tempat seorang anak tumbuh dan berkembang akan sangat
berimbas pada kepribadian anak tersebut. Hal ini didukung oleh Allport
dan Cattell yang menekankan urgensi faktor lingkungan terhadap
pembentukan kepribadian. Menurut Allport, meskipun faktor genetik
menjadi dasar dari kepribadian, namun lingkungan social yang akan
membentuk bahan dasar itu menjadi produk akhir. Di sisi lain Cattel
mengatakan bahwa hereditas memang menjadi factor penting pembentuk

31
kepribadian akan tetapi pada perjalanan akhirnya lingkungan akan
memberikan pengaruh besar dalam perkembangan kepribadian.

Psikologi Islam mengakui adanya peran lingkungan dalam penentuan


perkembangan kepribadian manusia. Banyak ayat al-Qur’an yang
menjelaskan tentang peran lingkungan, misalnya seruan amar ma’ruf nahi
munkar (Qs. Ali Imran ayat 104, 110, 114), belajar menuntut ilmu agama
kemudian mendakwahkan kepada orang lain (Qs al Taubah ayat 122),
seruangkepada orang tua agar memelihara diri dan keluarganya dari
tingkah laku yang memasukkan ke dalam neraka (Qs al-Tahrim ayat 6).
Factor penentu perkembangan manusia yang berikutnya yang dibahas juga
dalam psikologi Islam adalah factor-faktor bawaan yang merupakan
sunnatullah atau taqdir Allah SWT untuk manusia. Misalnya bawaan
memikul amanat (Qs al-Ahzab ayat 72), bawaan menjadi khalifah di muka
bumi (QS al-Baqarah ayat 30), bawaan menjadi hamba Allah SWT agar
selalu beribadah kepada-Nya (Qs al-Zariyat ayat 56), bawaan untuk
mentauhidkan Allah SWT (Qs al-A’raf ayat 172). Dan juga factor-faktor
perbedaan individu, misalnya perbedaan baat, minat dan watak (QS al-
Isra’ ayat 84), perbedaan jenis kelamin, bangsa dan negara (Qs al-Hujurat
ayat 13) dan perbedaan karunia yang diberikan (Qs An-Nisa ayat 32).

5. Pengasuhan (keluarga).

Freud berpendapat bahwa pengasuhan anak merupakan factor penting


yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian anak. Hal ini
ditegaskan kembali oleh Allport dan Cattel yang berpendapat bahwa factor
orang tua akan berimbas pada pembentukan kepribadian anak. Allport
berpendapat bahwa hubungan ibu dan bayi merupakan sumber utama dari
perasaan (afeksi). Cattel menambahkan pandangan bahwa masa bayi
merupakan fase penting dalam pertumbuhan kepribadian dimana perilaku
orang tua, saudara dan orang-orang di sekitar akan berperan dalam
pembentukan kepribadian anak. Factor pengasuhan dalam membentuk

32
kepribadian sangat besar yang terbagi menjadi beberapa fase yaitu fase
embrio, bayi, anak dan fase dewasa.

Al Ghazali menuliskan di dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin bahwa melatih


pemuda merupakan suatu hal yang terpenting dan sangat perlu
diperhatikan. Anak anak merupakan amanah orang tuanya. Hati mereka
masih suci ibarat sebuah permata yang mahal harganya. Apabila anak
dibiasakan dan dididik dengan sesuatu yang baik, maka dia akan tumbuh
dengan sifat-sifat yang baik pula. Tetapi sebaliknya, jika anak terbiasa dan
terdidik dengan kebiasaan yang buruk atau tidak diperdulikan maka dia
akan hancur dan binasa. Pengasuhan ini bukan hanya memberikan makan
dan minum saja tetapi pengasuhan kepada anak meliputi mendidik,
mengasuh, mengajarkan moral dan akhlak yang baik serta menghindarkan
anak dari komunitas yang tidak baik35.

2.8 Proses Pembentukan dan Pengembangan Kepribadian


Proses pembentukan kepribadian menurut Ahmad D. Marimba terdiri atas tiga
taraf, yaitu pembiasaan, pembentukan pengertian, sikap dan minat serta pembentukan
kerohanian yang luhur.

1. Pembiasaan.
Pembiasaan ini bertujuan membentuk aspek kejasmanian dari kepribadian
atau memberi kecakapan berbuat dan mengucapkan sesuatu (pengetahuan
hafalan) caranya dengan mengontrol dan menggunakan tenaga-tenaga
kejasmanian dan dengan bantuan tenaga kejiwaan, terdidik dibiasakan
dalam amalan-amalan yang dikerjakan dan diucapkan, misalnya, puasa dan
shalat.

2. Pembentukan pengertian, sikap dan minat.


Pada taraf kedua ini diberikan pengertian atau pengetahuan tentang
amalan-amalan yang dikerjakan dan diucapkan.taraf ini perlu ditanamkan
dasar-dasar kesusilaan yang erat hubungannya dengan kepercayaan, yang

35
Maulana, A. S, ….

33
mana perlu menggunakan tenaga-tenaga kejiwaan (karsa, rasa dan cipta).
Dengan menggunakan pikiran (cipta) dapatlah ditanamkan tentang
amalan-amalan yang baik.
Dengan adanya pengertian-pengertian terbentuklah pendirian (sikap) dan
perundangan mengenai hal-hal keagamaan, misalnya menjauhi dengki,
menepati janji, ikhlas, sabar, bersyukur, dan lain-lain. Begitu juga dengan
adanya rasa (Ketuhanan) disertai dengan pengertian, maka minat dapat
diperbesar dan ikut serta dalam pembentukan kepribadian muslim.

3. Pembentukan kerohanian yang luhur.


Pembentukan ini menanamkan kepercayaan terhadap rukun iman, yaitu
iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada Rasul-Nya, iman
kepada kitab-Nya, iman kepada hari akhir dan iman kepada qadha dan
qadar. Pada taraf ini muncul kesadaran dan pengertian yang
mendalam.Segala yang dipikirkan, dipilih, diputuskan serta dilakukan
adalah berdasarkan keinsyafan dari dalam diri sendiri dengan disertai rasa
tanggung jawab.Oleh karena itu disebut juga pembentukan sendiri
(pendidikan sendiri).

Ketiga taraf ini saling mempengaruhi. Taraf yang lebih rendah akan
menjadi landasan taraf berikutnya dan menimbulkan kesadaran dan keinsyafan
sehingga memunculkan pelaksanaan amalan-amalan yang lebih sadar dan khusu’.

Pembentukan kepribadian muslim berawal dari individu, kemudian ke


masyarakat (ummah). Dalam pembentukan kepribadian muslim sebagai individu,
pembentukan diarahkan kepada peningkatan dan pengembangan faktor dasar
(bawaan) dan faktor lingkungan yang berpedoman pada nilai-nilai keislaman.
Faktor dasar dikembangkan dan ditingkatkan kemampuannya melalui bimbingan
dan pembiasaan berfikir, bersikap dan bertingkah laku menurut norma- norma
Islam. Sedangkan faktor lingkungan dilakukan dengan cara mempengaruhi
individu dengan menggunakan usaha membentuk kondisi yang mencerminkan
pola kehidupan yang sejalan dengan norma Islam, seperti teladan yang baik dan
lingkungan yang serasi.

34
Dalam upaya membentuk kepribadian muslim sebagai individu maupun
sebagai ummah, tampaknya tidak mungkin dapat dielakkan adanya keberagamaan
(heterogen) dan homogen (kesamaan). Walaupunsebagai individu masing-masing
kepribadian itu berbeda, tapi dalam pembentukan kepribadian sebagai ummah
perpaduan itu dipadukan karena baik pembentukan secara individu maupun
ummah diwujudkan dari dasar dan tujuan yang sama. Sumber yang menjadi dasar
dan tujuannya adalah ajaran wahyu. Kepribadian secara utuh hanya mungkin
dibentuk melalui pengaruh lingkungan, khususnya pendidikan.Adapun sasaran
yang dituju dalam pembentukan ini adalah kepribadian yang memiliki akhlak
yang mulia.Dan tingkat kemuliaan akhlak erat hubungannya dengan tingkat
keimanan.Iman sebagai konsep dan akhlak adalah implikasi dari konsep tersebut
dalam hubungannya dengan sikap dan perilaku sehari-hari.

Dengan kesempurnaan iman dan akhlak, maka konsep kepribadian muslim


secara menyeluruh akan terwujud yaitu pembentukan yang meliputi berbagai
aspek, antara lain:

1. Aspek ideal (dasar), bersumber dari ajaran wahyu.

2. Aspek material (bahan), berupa pedoman dan ajaran yang


terangkum dalam materi bagi pembentukan akhlak al-karimah.
3. Aspek sosial, yaitu hubungan yang baik antara sesama
makhluk khususnya sesama manusia.
4. Aspek teologi, yaitu pembentukan nilai-nilai tauhid.

5. Aspek teleologis (tujuan), yaitu pembentukan kepribadian


muslim yang mempunyai tujuan yang jelas.

6. Aspek duratif (waktu), pembentukan kepribadian muslim


dilakukan sejak lahir hingga meninggal dunia.
7. Aspek dimensional, pembentukan kepribadian muslim didasarkan
atas penghargaan terhadap faktor-faktor bawaan yang berbeda
(perbedaan individu).
8. Aspek fitrah manusia, yaitu pembentukan kepribadian muslim

35
meliputi bimbingan terhadap peningkatan dan pengembangan
kemampuan jasmani dan rohani.
Dengan demikian akan terbentuk kepribadian yang paripurna, menyeluruh,
terarah dan berimbang. Seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani. Jadi,
pembentukan kepribadian muslim pada dasarnya adalah upaya untuk mengubah
sikap ke arah kecenderungan terhadap nilai-nilai keislaman. Perubahan sikap ini
tidak terjadi secara spontan, tetapi dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.

36
BAB III

3. Penutup
3.1 Simpulan
Definisi tentang kepribadian terus menjadi perbincangan dan memunculkan
banyak perbedaan. Namun, meskipun banyak terjadi perbedaan, semua pendapat
tersebut memiliki persamaan yaitu kepribadian muncul sebagai respon diri
terhadap lingkungan. Kepribadian juga merupakan identitas diri yang khas dimana
masing-masing individu akan memiliki perbedaan. Dengan kaitannya yang erat
antara kepribadian dengan lingkungan maka keluasan lingkungan sangat
dibutuhkan untuk membentuk kepribadian yang luas.
Disamping lingkungan, terdapat faktor-faktor lain yang membentuk dan
membangun suatu kepribadian seperti pola pengasuhan, genetis orang tua,
ataupun insting nurani individu. Faktor-faktor tersebut membentuk pola pemikiran
dan persepsi individu yang kemudian akan menjadi referensi pembentukan
kepribadiannya. Apabila faktor pembentukan itu baik maka akan terbentuk
kepribadian yang baik namun sebaliknya jika faktor faktor tersebuk buruk akan
berimbas pada bentuk kepribadian yang buruk.

37
DAFTAR RUJUKAN

Abdul Aziz, A. (1987). Psikologi Agama. Sinar Baru.


Abdullah, J. dan. (2009). Filsafat Pendidikan. Ar-Ruzz Media.
Afriyanto, F., & Muhid, A. (2021). DINAMIKA KEPRIBADIAN DALAM
PRESPEKIF PSIKOLOGI ISLAM: TELAAH KRITIS PEMIKIRAN IMAM AL –
GHOZALIE. Zawiyah: Jurnal Pemikiran Islam, 7(2).
https://doi.org/10.31332/zjpi.v7i2.3036
Aryati, A. (2018). MEMAHAMI MANUSIA MELALUI DIMENSI FILSAFAT
(Upaya Memahami Eksistensi Manusia). EL-AFKAR : Jurnal Pemikiran
Keislaman Dan Tafsir Hadis, 7(2), 79.
https://doi.org/10.29300/jpkth.v7i2.1602
Bakran, A.-D. (2006). Psikologi Kenabian. Daristy.
Didin, O. :, Universitas, S., Wahab, K. H. A., & Jombang, H. (2018). Aktualisasi
Humanisasi Pendidikan dalam Pembentukan Kepribadian (Karakter)
Muslim. QALAMUNA: Jurnal Pendidikan, Sosial, Dan Agama, 10(01).
https://ejournal.insuriponorogo.ac.id/index.php/qalamuna/article/vie
w/138
Fay, B. (2002). Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer (I ed). Jendela.
Frager, R. (2014). Psikologi Sufi untuk Transformasi Hati, Diri dan Jiwa, Terj:
Hasmiyah Rouf. Penerbit Zaman.
Framanta, G. M. (2020). PENGARUH LINGKUNGAN KELUARGA TERHADAP
KEPRIBADIAN ANAK. Jurnal Pendidikan Dan Konseling (JPDK), 2(1).
https://doi.org/10.31004/jpdk.v1i2.654
Harahap, R. M. (2017). MANAJEMEN PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN
MUSLIM. FIKROTUNA : Jurnal Pendidikan Dan Manajemen Islam, 6(2),
637–654.
Hidayat, R. (2017). Konsep Manusia Dalam Alquran. 02.
Hidayat, D. R. (2015). Teori dan Aplikasi Psikologi Kepribadian dalam
Konseling. Penerbit Ghalia Indonesia.
Jalaluddin. (2001). Teologi Pendidikan. PT. Raja Grafindo Persada.
Jannah, R. (2017). Upaya Meningkatkan Keberhasilan Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam dapat mengamalkan serta menjadikan Islam
sebagai pandangan hidup . Dengan demikian dan bertaqwa kepada Allah
dengan mengamalkan ajaran agama dalam setiap kehidupan.
1(November), 47–58. https://doi.org/10.21070/madrosatuna.v1i1.1211
Karim, B. A. (2020). Teori Kepribadian dan Perbedaan Individu. Education
and Learning Journal, 1(1). https://doi.org/10.33096/eljour.v1i1.45
Khasanah, N., Hamzani, A. I., & Aravik, H. (2021). DINAMIKA KEPRIBADIAN
DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI ISLAM; TELAAH KONSEP AMARAH,
LAWWAMAH, DAN MUTHMAINNAH SERTA KORELASINYA DENGAN
IMAN, ISLAM, DAN IHSAN. SALAM: Jurnal Sosial Dan Budaya Syar-I, 8(2).
https://doi.org/10.15408/sjsbs.v8i2.20031
Maulana, A. S. (2019). Kepribadian Berbasis Imani Perspektif Psikologi Islam.
HIKMATUNA: Journal for Integrative Islamic Studies, 5(1), 84–98.

38
https://doi.org/https://doi.org/10.28918/hikmatuna.v5i1.1857
Mujib, A. (1999). Fitrah dan Kepribadian Islam. Darul Fatah.
Mujib, A. (2017). Kepribadian dalam Psikologi Islam,. PT. Raja Grafindo
Persada.
Navlia Khulaisie, R. (2016). Hakikat Kepribadian Muslim , Seri Pemahaman Jiwa
terhadap Konsep. Jurnal Reflektika, 11(11), 39–57.
Nuruzzahri, N. (2022). Kepribadian Manusia Menurut Perspektif Pendidikan
Islam. Inteligensia, 9(2). https://doi.org/10.54604/itg.v9i2.75
Parwin, L. A. (2015). Psikologi Kepribadian Teori dan Penelitian. Prenadamedia
Group.
Pohan, K. (2020). AKSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM: PEMBENTUKAN
KEPRIBADIAN MUSLIM DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN
ISLAM. JIHAFAS, 3(2), 61–69.
Rahmatiah, S. (2015). Konsep manusia menurut islam. Al-Irsyad Al-Nafs,
Jurnal Bimbingan Penyuluhan Islam, 2(1), 93–116.
Ramayulis, H., & Nizar., S. (2009). Filsafat pendidikan Islam : telaah sistem
pendidikan dan pemikiran para tokohnya / H. Ramayulis, Samsul Nizar.
Jakarta :: Kalam Mulia, 2009.
Silahudin, A. (2019). Perbandingan Konsep Kepribadian Menurut Barat Dan
Islam. Al-Fikra : Jurnal Ilmiah Keislaman, 17(2), 249.
https://doi.org/10.24014/af.v17i2.6343
Sjarkawi. (2011). Pembentukan Kepribadian Anak Moral Intelektual,
Emosional dan Sosial Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri. PT
Bumi Aksara.
Sulaiman. (2019). View of Hakikat Manusia Sebagai Pendidik dalam Perspektif
Filsafat Pendidikan Islam.pdf.
Suryabrata, S. (1993). Psikologi Kepribadian. Raja Grafindo Persada.
Suryosumunar, J. A. (2019). Konsep Kepribadian dalam Pemikiran Carl Gustav
Jung dan Evaluasinya dengan Filsafat Organisme Whitehead. Sophia
Dharma: Jurnal Filsafat Agama Hindu Dan Masyarakat, 2(1), 18–34.
http://e-journal.stahn-gdepudja.ac.id/index.php/SD/article/view/171
Zuyyina Candra Kirana. (2019). Pentingnya Gen dalam Membentuk
Kepribadian Anak. Dirasah : Jurnal Studi Ilmu Dan Manajemen
Pendidikan Islam, 2(2). https://doi.org/10.29062/dirasah.v2i2.59

39

Anda mungkin juga menyukai