Anda di halaman 1dari 12

ZAKAT SEBAGAI PENGURANG PAJAK DI INDONESIA

Muhammad Qodzafi

Abstrak
Pajak dan zakat merupakan kewajiban material dari seorang warga negara pada negaranya
dan merupakan sumber pendapatan negara yang dipergunakan untuk membiayai pengeluaran
serta kebutuhan negara. kedudukan zakat tidak dapat digantikan oleh pajak. permasalahan di
Indonesia yang mayoritas masyarakatnya adalah muslim, selain sebagai wajib zakat mereka
juga dibebani dengan berbagai macam pajak, sehingga dapat diambil jalan tengah yaitu
mengurangi jumlah pajak dengan jumlah zakat yang telah dibayarkan. Dengan demikian
seorang wajib pajak tetap dapat membayar kewajiban sebagai warga negara dan tetap
memenuhi kewajiban agamanya.Metode penelitian yang digunakan adalah Penelitian yuridis
normatif dengan pendekatan perundangundangan (statute approach) dengan spesifikasi
penelitian deskriptis analitis yaitu menggambarkan secara analisismasalah-masalah hukum
yang berkaitan dengan pengelolaan zakat, pengurangan pajak dengan pembayaran pajak
melalui badan atau lembaga amil zakat pemerintah. Metode kualitatif sebagai prosedur
penelitian dengan pertanggungjawaban sistematika dalam pembahasan dikemukakan
selarasdengan tema pembahasan.

A. Pendahuluan
Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara, sebab 78% dari dana APBN
berasal dari pajak. Oleh karena pajak merupakan sumber utama penerimaan negara,
maka pemerintah berupaya terus menerus meningkatkan perolehan pajak. Namun
demikian walaupun terjadi peningkatan dalam penerimaan pajak, tax ratio Indonesia
yang 13,6% dari PDB masih di bawah rata-rata tax ratio negara-negara Eropa dan
Amerika yang mencapai 33%. Majalah Berita Pajak edisi April 2003 menyebutkan
baru 2,3 juta penduduk dari 210 juta potensi yang terdaftar sebagai obyek pajak.
Artinya sumber pajak di Indonesia cukup besar untuk digali (Hamidiyah, 2007).
Sumber pajak yang jumlahnya besar ini berada di tangan penduduk muslim.
Sebagaimana diketahui penduduk muslim di Indonesia berjumlah sekitar 87% dari
total penduduk. Walaupun penduduk muslim 87% dari penduduk Indonesia, tetapi
dalam pemasukan pajak tidak berbanding lurus dengan banyaknya jumlah penduduk
muslim yang ada. Hal ini mungkin saja disebabkan penduduk muslim enggan
membayar pajak, karena telah ada kewajiban pajak dalam agama Islam yang biasa
disebut zakat.

Di Indonesia, seorang muzakki (wajib zakat) adalah juga wajib pajak. Jika diminta
memprioritaskan, tentu saja umat Islam lebih rela membayar zakat dari pada pajak,
karena lebih bersifat profan dan didorong oleh motivasi beragama dan kesadaran atas
imannya (Hafidhuddin, 2006). Survey PIRAC (Publik Interest Research and
Advocacy Center) tahun 2004 terhadapresponden yang beragama Islam di 11 kota
besar di Indonesia yang meliputi Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan,
Padang, Denpasar, Manado, Makassar, Pontianak dan Balikpapan, menunjukkan
potensi zakat per tahun mencapai Rp4,45 triliun, dan diperkirakan pada tahun 2007
meningkat menjadi Rp9,09 triliun. Survey juga menunjukkan 94,5% responden
menyatakan dirinya sebagai muzakki dengan rata-rata nilai zakat sebesar
Rp416.000,00/muzakki/tahun dan tahun 2007 meningkat menjadi 95,5% dengan rata-
rata nilai zakat sebesar Rp684.550,00/muzakki/tahun. Peningkatan tersebut tidak
selalu linier dengan kesadaran membayar zakat dari golongan yang secara ekonomi
lebih mapan. Hasil survei tentang perilaku membayar zakat terhadap responden yang
secara ekonomi lebih mapan justru cenderung mengabaikan kewajiban berzakat.
Hanya 49,8% yang sadar zakat dan sedikit mengalami peningkatan menjadi 55%
ketika disurvey kembali pada tahun 2007. Memang, ketika besar zakat masih recehan,
orang tidak keberatan mengeluarkannya, tapi ketika zakat sudah mencapai jutaan,
orang mulai berpikir untuk menzakatkannya. Oleh karena itu adanya klausul zakat
mengurangi pajak menjadi begitu penting.

Hamidiyah (2007) menyebutkan, Islam mengakui, pajak merupakan kewajiban


setiap warga negara. Sebagai warga negara, seorang muslim wajib taat kepada
pemerintah (ulil amri). Masalahnya, apakah pajak yang diterapkan sekarang telah
sesuai dengan ketentuan pajak secara syariah. Dualisme kewajiban pajak dan zakat
tersebut telah dikompromikan dengan Undang-undang nomor 38 tahun 1999 tentang
pengelolaan zakat dan Undang-undang nomor 17 tahun 2000 tentang pajak
penghasilan, dengan mengakui zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
Sayangnya, karena zakat hanya diakui sebagai biaya, maka dampak bagi kewajiban
pajak masih relatif kecil, sehingga belum cukup efektif untuk meningkatkan pajak
maupun zakat. Hafidhudin (2006) menambahkan, saat ini zakat baru ditetapkan
sebagai pengurang penghasilan kena pajak (PKP) dan bukan sebagai pengurang
langsung atas pajak.

B. Pembahasan

1. Perbedaan Zakat dan Pajak

Antara zakat dan pajak terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Perbedaan tersebut
adalah Pertama, dari aspek kewajiban. Zakat hanya diwajibkan bagi umat Islam,
sedangkan umat yang beragama lain tidak terkena kewajiban zakat. Sedangkan pajak,
wajib bagi setiap warga negara, baik yang beragama Islam maupun lainnya.

Kedua, dari aspek subyeknya. Subyek zakat adalah orang kaya. Hal ini dibuktikan
bahwa yang harus membayar zakat adalah orang yang hartanya telah mencapai
nishab. Sedangkan pajak nampaknya tidak pandang bulu, semua warga negara baik
kaya maupun miskin harus bayar pajak. Terutama pajak konsumsi, yaitu PPN (Pajak
Pertambahan Nilai). Setiap orang yang membeli suatubarang, secara otomatis
sebenarnya dia telah membayar pajak, karena harga yang dibayarnya itu sudah
termasuk PPN.

Ketiga, dari aspek peruntukan. Secara tegas, Al-Qur’an menyatakan bahwa zakat
hanya diperuntukkan bagi depatan golongan mustahik, yaitu fakir, miskin, amil zakat,
muallaf, riqob, gharimin, ibnu sabil, dan fi sabilillah (QS. At-Taubah: 60). Adapun
peruntukan pajak adalah sangat tergantung situasi dan kondisi negara pada saat itu.
Suatu saat digunakan untuk membangun infrastruktur, lain waktu untuk program
pendidikan, atau untuk membayar pokok dan bunga pinjaman.
Keempat, dari aspek pemanfaatan. Menurut agama Islam, zakat harus disalurkan
secara langsung kepada yang berhak (yaitu delapan asnaf mustahik), tidak boleh
ditahan-tahan terlalu lama. Sedangkan pajak, secara konsep dan praktek,
pemanfaatannya adalah secara tidak langsung. Jadi pembayar pajak tidak bisa
menuntut pemerintah untuk segera menggunakannya untuk kepentingan rakyat, tetapi
tergantung pada mekanisme yang ada di pemerintahan (pemerintah dan DPR).

Kelima, dari aspek tarif. Agama Islam sudah mengatur secara rinci tentang tarif zakat,
dan hal tersebut sudah baku, tidak bisa diubah-ubah. Sedangkan tarif pajak bisa
diubah disesuaikan dengan kondisi. Contoh, saat ini tarif pajak penghasilan adalah
progresif, bukan tidak mungkin suatu saat akan diubah menjadi tarif yang bersifat
flat.

2. Pajak dalam Perspektif Islam

Menurut Ilfi (2008: 43), dalam peradaban Islam dikenal dua lembaga yang menjadi
pilar kesejahteraan masyarakat dan kemakmuran negara yaitu lembaga zakat dan
lembaga pajak karena sifatnya adalah wajib. Pada prinsipnya zakat dan pajak adalah
dua kewajiban yang mempunyai dasar berpijak berlainan. Zakat mengacu pada
ketentuan syariat atau hukum Allah SWT baik dalam pemungutan dan
penggunaannya, sedang pajak berpijak pada peraturan perundang-undangan yang
ditentukan oleh Ulil Amri/pemerintah menyangkut pemungutan maupun
penggunaannya.

Seperti halnya zakat yang merupakan rukun Islam, umat Islam sejak abad pertama
hijriah telah mengenal pajak dengan sebutan kharaj (pajak hasil bumi/tanaman),
sedang pajak dalam pengertian umum disebut dharibah (Inggris: tax). Dalam tradisi
Islam pajak terdiri atas Kharaj (pajak bumi/tanaman), Usyur (pajak perdagangan/bea
cukai), dan Jizyah (pajak jiwa terhadap non-muslim yang hidup di dalam naungan
negara/pemerintahan Islam). Dengan demikian, jika ada pendapat yang menyatakan
bahwa pajak tidak ada dalam Islam, pendapat semacam itu memiliki landasan yang
lemah.

Pajak memang tidak sama dengan zakat, namun membayar pajak yang dibebankan
oleh Negara pada warganya bukan sekedar kebolehan, tetapi merupakan kewajiban.
Hal ini dikarenakan, pertama taat pada ulul amri adalah kewajiban dengan catatan
ulul amri yang taat pada ajaran Islam. Jika pemerintah mewajibkan pajak, maka
sebagai warga Negara harus menaatinya. Kedua, solidaritas sesama muslim dan
sesama manusia dalam kebaikan dan ketakwaan adalah sebuah kewajiban. Jika dana
pajak digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum seperti pendidikan,
rumah sakit, sarana transportasi, dan lainnya, maka wajib hukumnya membayar
pajak. Ketiga berdasarkan hadist yang diriwayatkan Fatimah binti Qais: Turmudzi:

“Nabi ditanya tentang zakat, maka Ia bersabda: “sesungguhnya pada harta itu ada
kewajiban selain zakat”

Yang dimaksud kewajiban selain zakat dalam hadist tersebut adalah kewajiban sosial
lainnya yaitu berupa pajak, sedekah sunnah, infaq, hibah dan juga waqaf. Islam
mengajarkan agar tidak saja menunaikan zakat yang terbatas jumlah dan
pemanfaatannya, tetapi juga menganjurkan membayar pajak, menunaikan sedekah
sunnah, hibah dan juga infaq yang tak terbatas jumlahnya sesuai kemampuan yang
dimiliki, dan pemanfaatannya pun juga sangat luas dan sangat fleksibel.

3. Zakat dalam UU Perpajakan

Undang Undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan telah mencoba
mengakomodir zakat pada Pasal 9 ayat (1) point g:

“Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP) tidak boleh


dikurangkan harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan, kecuali
zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi
muslim dan atau badan milik muslim lepada BAZ dan LAZ yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah.”

dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.” Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa


zakat yang diakui oleh UU Perpajakan hanya zakat atas penghasilan. Zakat atas
penghasilan tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak. Menurut Agama
Islam, jenis zakat bukan hanya zakat atas penghasilan, tetapi juga zakat atas harta
benda lainnya. Implikasi lainnya adalah dalam perhitungan zakat perusahaan.
Menurut ketentuan syari’at Islam, zakat perusahaan dihitung dari Laporan Neraca,
bukan dari Laporan Laba Rugi. Harapannya adalah semua jenis zakat dapat
dikurangkan dari pajak. Akan tetapi, dalam pasal 9 ayat (1) poin g UU No. 17 tahun
2000 tersebut, zakat diposisikan mirip seperti biaya. Harapan para muzakki adalah
zakat dapat diposisikan sebagai pengurang pajak (tax deductable), sehingga prinsip
tidak ada pembayaran ganda, dapat menjadi kenyataan.

Jika kedua hal di atas diyakini akan banyak kebaikan yang muncul, antara lain:

a. Akan terjadi peningkatan tax ratio, yaitu jumlah pembayar pajak akan makin
banyak. Para wajib pajak muslim akan makin bersemangat membayar zakat maupun
pajak, disebabkan sudah tidak ada lagi pembayaran ganda.

b. Masyarakat miskin akan makin terbantu. Dengan makin banyaknya dana zakat
yang disalurkan melalui lembaga, baik BAZ maupun LAZ, maka program-program
pemberdayaan masyarakat akan makin banyak bisa digulirkan. Tentunya hal ini juga
sangat membantu program pemerintah, terutama dalam pengentasan kemiskinan.

c. Akan terjadi tuntutan kepada lembaga pengelola zakat, baik BAZ maupun LAZ,
untuk menerapkan prinsip-prinsip good governance, yaitu amanah, profesionalitas,
dan transparan.

d. Penerapan zakat pengurang pajak selama ini hanya pada tataran zakat tersebut
sebagai biaya pengurang penghasilan. Pengaruhnya tentu tidak besar bagi para
pembayar pajak yang juga merupakan para pembayar zakat karena tidak dikreditkan
langsung pada pajak terutang. Akan tetapi tentu akan lebih terasa besarnya pengaruh
zakat terhadap pajak jika zakat tersebut dapat dikreditkan langsung ke pajak
penghasilan. Logika penggunaannya tentu sama saja. Pajak digunakan untuk
pembangunan dan kesejahteraan karyawan begitu juga zakat yang memiliki implikasi
kesejahteraan dunia dan akhirat.

4. Non Taxable Income – Non Deductible Expense

Kedua pasal tersebut di atas diatur perlakuan pajak bagi yang menerima zakat dan
sekaligus bagi yang membayar zakat yaitu: Bagi penerima zakat bukan merupakan
obyek pajak penghasilan. Penghasilan berupa zakat yang diterima badan/lembaga
amil zakat yang disahkan pemerintah dan para penerima zakat lainnya tidak
dikenakan pajak penghasilan (Non taxable income). Sedangkan bagi yang membayar
zakat bukan merupakan biaya (pengurang pajak), kecuali zakat penghasilan yang
dibayar ke badan/lembaga amil zakat yang disahkan pemerintah (Non deductible
expense).

Dengan prinsip Non taxable income dan Non deductible expense tidak ada
penghasilan yang tidak kena pajak, hanya saja pembebanan pajaknya dialihkan dari
pihak yang menerima penghasilan ke pihak yang membayar. Dalam hal zakat, maka
pajak dikenakan kepada pihak yang membayarkan zakat yaitu dengan tidak diakuinya
biaya (pembayaran) zakat sebagai pengurang pajak.

Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan tahun 2000 tidak sepenuhnya menganut


prinsip pengenaan pajak Non taxable income dan Non deductible expense, yaitu
dengan membuat beberapa perkecualian di antaranya adalah perkecualian atas
pembayar zakat yang berkenaan dengan penghasilan yang menjadi obyek pajak
penghasilan, zakat penghasilan ini dapat diakui sebagai pengurang pajak bagi pihak
yang membayar zakat penghasilan dan tidak dikenakan pajak bagi pihak yang
menerima zakat penghasilan.

Pemerintah membuat perkecualian atas zakat penghasilan saja dan tidak berlaku bagi
jenis zakat lainnya. Hal ini terkait dengan perhitungan pajak penghasilan itu sendiri,
di mana hanya pembayaran atau pengeluaran yang berhubungan dengan usaha
mendapatkan, menagih, dan memelihara

penghasilan kena pajak yang diakui sebagai pengurang pajak. Sedangkan zakat maal
(harta) dan zakat fitrah tidak terkait dengan penghasilan, melainkan terkait dengan
kekayaan atau harta yang dimiliki seorang muslim serta diri dan jiwa seorang muslim.

5. Syarat Zakat Penghasilan Sebagai Pengurang Pajak Penghasilan

Dalam UU Pajak Penghasilan tahun 2000, zakat penghasilan dapat diakui sebagai
pengurang pajak harus memenuhi beberapa persyaratan yang bersifat kumulatif dan
harus dilaporkan dalam laporan pajak penghasilan tahunan yaitu:

1) Zakat harus nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi pemeluk Islam
dan atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam

2) Zakat Dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah.

3) Zakat yang dibayar adalah zakat yang berkenaan dengan penghasilan yang
menjadi obyek pajak.

6. Zakat Mengurangi Pajak

Mengenai proses hingga zakat mengurangi pembayaran pajak (dalam hal ini pajak
penghasilan), sudah diatur sejak adanya UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan
zakat, dan kemudian dipertegas oleh UU zakat terbaru yang menggantikan UU No.
38 Tahun 1999 yaitu UU No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. Latar
belakang dari pengurangan ini dijelaskan dalam penjelasan pasal 14 ayat (3) UU No.
38 Tahun 1999 bahwa pengurangan zakat dari laba atau pendapatan sisa kena pajak
adalah membayar zakat dan pajak. Ketentuan ini masih diatur dalam UU terbaru
yakni dalam pasal 22 UU No. 23 Tahun 2011 "Zakat yang dibayarkan oleh muzakki
kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak". hal ini
ditegaskan pula dalam ketentuan perpajakan sejak adanya UU No. 17 Tahun 2000
tentang perubahan ketiga atau UU No. 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan,
yakni diatur dalam pasal 4 ayat (3) huruf a nomor 1 yang berbunyi: " yang tidak
termasuk sebagai objek pajak adalah bantuan sumbangan, termasuk zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak”.

Ada kesamaan hukum antara zakat dan pajak, yaitu sama-sama wajib yang
harus ditunaikan oleh umat Islam dan warga negara Indonesia, dan samasama berdosa
manakala tidak dibayar. Bahwa memang ada kasus mega korupsi di kalangan
pegawai perpajakan, itu kenyataan yang tentunya menjadi tanggung jawab pejabat
instansi perpajakan dan aparat penegak hukum untuk menuntaskannya. Tapi soal
kewajiban membayar pajak tidak gugur karenanya. Mengenai prioritas
pembayarannya, mengingat bahwa zakat adalah kewajiban hukum syar'iy dari Allah
SWT sedangkan pajak merupakan kewajiban hukum shinaa'iy buatan manusia, maka
membayar zakat harus lebih diprioritaskan dan didahulukan daripada membayar
pajak.

Beberapa fuqaha' (ulama ahli fiqih) antara lain Ahmad bin Hanbal, an-Nawawy dan
Ibn Taimiyah berpendapat, bahwa jika pajak itu dikenakan secara berlebihan, maka
orang yang terkena pajak tersebut boleh sekaligus meniatkannya sebagai zakat. Hal
ini didasarkan pada pertimbangan agar tidak memberatkan (Daf'an lil Kharaj). Hanya
masalahnya adalah kadar pajak yang berlebihan itu berapa, para fuqaha' (ulama ahli
fiqih) tidak menetapkannya, sehingga sandaranya adalah common sense (kesan
umum) di masyarakat. Menurut saya pajak yang ditetapkan di atas 20 % adalah
termasuk kategori berlebihan, sebab kadar zakat tertinggi dalam fiqih adalah 20 %,
yaitu mengenai harta karun dan barang tambang (rikaaz wal ma'aadin).

C. Kesimpulan

1. Zakatdapat mengurangi pembayaran pajak sebagaimana yang tertuang dalam


UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan pasal 9 ayat (1) UU
Pajak Penghasilan. Sedangkan badan atau lembaga yang ditetapkan sebagai
penerima zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER15/PJ/2012 yang berlaku sejak tanggal 11 juni 2012 yang
sebelumnya diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.
PER-33/PJ/2011 yang diantaranya adalah BAZNAS, LAZ, LEMSAKTI,
BDDN YADP dan lain-lain.
2. Esensi dari zakat dan pajak adalah sama yaitu untuk kesejahteraan atau
kepentingan bersamaapalagi kadar pajak selalu lebih tinggi dari kadar zakat
sehingga bisa dikatakan orang yang telah membayar pajak secara otomatis
telah membayar zakat,sedangkan orang yang membayar zakat belum tentu
telah membayar pajak.
Daftar Pustaka
Andriani, S., & Fathya, F. (2013). Zakat Sebagai Pengurang Pajak Penghasilan Pada
Badan Amil Zakat. JRAK: Jurnal Riset Akuntansi dan Komputerisasi
Akuntansi, 4(1), 13-32.

Ahmad, M. (2018). Persepsi Aparatur Sipil Negara (ASN) Terhadap Aturan


Pemerintah Tentang Zakat Sebagai Pengurang Pajak Penghasilan di Dinas
Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kab. Sleman DI Yogyakarta.
Muktiyanto, A. (2008). Zakat Sebagai Pengurang Pajak. Jurnal Organisasi dan
Manajemen, 4(2), 100-112.

Widarno, B. (2006). Zakat Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak. Jurnal


Akuntansi dan Sistem Teknologi Informasi, 5(1).

Anda mungkin juga menyukai