Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

SYARAT-SYARAT SEORANG PERAWI DAN PROSES TRANSMISI


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

STUDI HADIST

Dosen Pembimbing: Suprapto, Lc, M.Ag

Disusun Oleh:

Dhea Sansalwa Ramadania : 20214711359

Lusi Andriani : 20214711316

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

MUHAMMADIYAH {STAIM}

TULUNGAGUNG

2023

11
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kamipanjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah,dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang syarat-syarat seorang perowi dan proses tranmisi.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.

Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Dan harapan kami semoga makalah
ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca untuk ke
depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi
lebih baik lagi. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami
yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini.

Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun
dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga
makalah tentang struktur hadist, sanad, matan, dan mukharij dapat memberikan
manfaat dan menambah pengetahuan terhadap pembaca.

1
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an. Ilmu
hadits adalah suatu ilmu tentang sabda, perbuatan, ketepatan, gerak-gerik dan
bentuk jasmaniyah Rasulullah SAW beserta sanad – sanadnya dan ilmu
pengetahuan untuk membedakan kesahihan, kehasanan dan kedha’ifannya
daripada lainnya, baik secara matan maupun sanadnya. Penghimpunan dan
periwayatan hadits tidak bersifat konvensional, tetapi dihimpun dan diriwayatkan
melalui tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya berdasarkan kaidah –
kaidah yang paling akurat. Suatu hadits tidak akan diterima, kecuali bila
pembawanya memenuhi syarat – syarat yang amat rumit yang telah ditetapkan
oleh ulama’ jumhur. Adapun salah satu ilmu yang sangat berpengaruh dalam
pemeliharaan, penejlasan, pemahaman, dan pengenalan terhadap para perawi
hadits adalah tahammul wa ‘ada’ul hadits.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja syarat dalam penerimaan hadits (tahammul)?
2. Apa saja syarat dalam penerimaan hadist (ada’)?
3. Bagaimana shighot dalam proses tahammul wal ‘ada dan kualitas
persambungannya?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui syarat dalam penerimaan hadist (tahammul)
2. Untuk mengetahui syarat penerimaan hadist (ada’)
3. Untuk mengetahui sighot dalam proses tahammul wal ‘ada dan kualitas
persambungannya

2
DAFTAR ISI
MAKALAH ............................................................................................................................ 0
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ 1
BAB I ....................................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN .................................................................................................................. 2
A. Latar Belakang ........................................................................................................... 2
B. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 2
C. Tujuan Masalah ......................................................................................................... 2
DAFTAR ISI............................................................................. Error! Bookmark not defined.
BAB II ..................................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN ..................................................................................................................... 4
A. Syarat Dalam Penerimaan Hadits (Tahammul) ...................................................... 4
B. Syarat Dalam Penyampaian Hadits (Ada’) .............................................................. 5
C. Shigot Dalam Proses Tahammul Wal Ada’ dan Kualitas Persambungannya ....... 6
BAB III PENUTUP .............................................................................................................. 10
A. Kesimpulan ............................................................................................................... 10
B. Saran ......................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 11

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Syarat Dalam Penerimaan Hadits (Tahammul)


Jumhur ulama ahli hadits berpendapat bahwa penerimaan periwayatan suatu
hadits oleh anak yang belum sampai umur (belum mukallaf) dianggap sah bila
periwayatan hadits tersebut disampaikan kepada orang lain pada waktu sudah
mukallaf.1 Hal ini didasarkan kepada keadaan para sahabat, tabi’in, dan ahli ilmu
setelahnya yang menerima periwayatan hadits, seperti Hasan, Abdullah bin
Zubeir, Ibnu Abbas, Nu’man bin Basyir, Salib bin Yazid, dan lain-lain dengan
tanpa mempersalahkan apakah mereka telah baligh atau belum Namun, sebagian
ahli ilmu tidak memperbolehkannya. Mereka yang memperbolehkan kegiatan
penerimaan atau mendengar hadits yang dilakukan oleh anak kecil, berbeda
pendapat tentang batas usianya.
Pertama, bahwa umur minimalnya adalah lima tahun.2 Hujjah yang
digunakan oleh pendapat ini adalah riwayat Imam Bukhari. Kedua, pendapat al-
Hafidz Musa Ibn Harun al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar yang
dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia telah mampu membedakan antara
sapi dengan himar.3 Ketiga, keabsahan kegiatan anak kecil dalam mendengar
hadits didasarkan pada adanya tamyiz. Bila anak telah memahami pembicaraan
dan mampu memberikan jawaban, maka ia sudah mumayyiz dan absah
pendengarannya, meski usianya di bawah lima tahun. Umumnya kemampuan
memahami pembicaraan dan kemampuan memberikan jawaban ada pada diri anak
yang sudah mumayyiz. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama
mutaqaddimin.4

1
Tihammi M.A, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), 176.
2
Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 201.
3
Ibid.
4
Ibid.

4
B. Syarat Dalam Penyampaian Hadits (Ada’)
Al-ada’ adalah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain.
Oleh karenanya, ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang
tentu memiliki pertanggungjawaban yang cukup berat, sebab sah atau tidaknya
suatu hadits juga sangat tergantung padanya.5 Mengingat hal-hal seperti ini,
jumhur ahli hadits, ahli ushul dan ahli fikih menetapkan beberapa syarat bagi
periwayatan hadits sebagai berikut:
1. Islam
Pada waktu meriwayatkan suatu hadits, maka seseorang perawi harus
muslim dan menurut ijma periwayatan kafir tidak sah.
2. Baligh
Baligh yang dimaksud adalah perawinya cukup usia ketika ia
meriwayatkan hadits, walaupun penerimaannya sebelum baligh.6 Usia baligh
merupakan usia dugaan adanya kemampuan menangkap pembicaraan dan
memahami hukum-hukum syari’at, karena pada umumnya tidak dijumpai
kemampuan menangkap pembicaraan dan berakal sebelum usia baligh. Ulama
mengecualikan penerimaan riwayat dari anak di bawah usia baligh, karena
khawatir akan kedustaannya. Kemudian, syara’ juga tidak memberikan
kekuasaan bagi anak kecil dalam masalah keduniaannya, apalagi dalam
masalah agama.
3. Adil (‘Adalah)
Adil yang dimaksud adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang
yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut tetap taqwa, menjaga
kepribadian, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, serta
menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah.
4. Dhabit
Dhabit yaitu keterjagaan seorang perawi ketika menerima hadits dan
memahaminya ketika mendengarkan serta menghafalnya sejak menerima

5
Tihammi M.A, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), 183.
6
Ibid.

5
sampai menyampaikannya kepada orang lain.7 Dhabit mencakup hafalan dan
tulisan. Adapun cara mengetahui kedhabitan seorang perawi adalah dengan
membandingkan haditsnya dengan hadits perawi-perawi yang lain yang tsiqat,
dhabit, dan teguh. Bila ia sejalan dengan mereka dalam hal riwayat pada
umumnya meski hanya dari segi makna, maka ia dinilai dhabit.
C. Shigot Dalam Proses Tahammul Wal Ada’ dan Kualitas Persambungannya
Para ulama ahli hadis menggolongkan metode menerima suatu periwayatan
hadis menjadi delapan macam:
a. Al-Sima’
Yaitu suatu cara penerimaan hadis dengan cara mendengarkan sendiri dari
perkataan gurunya dengan cara didektekan baik dari hafalannya maupun
tulisannya. Menurut jumhur ahli hadis cara ini merupakan cara penerimaan
hadis yang paling tinggi tingkatannya, sebab terjamin kebenarannya dan
terhindar dari kesalahan dibanding cara cara lainnya.8 Lafadz-lafadz yang
digunakan oleh rawi dalam menyampaikan hadis atas dasar sama’ adalah:

• ‫ أخبرنا‬،‫( أخبرنى‬seseorang mengabarkan kepadaku/kami)


• ‫ حدثنا‬،‫( حدثنى‬seseorang telah bercerita kepadaku/kami)
• ‫ سمعنا‬،‫( سمعت‬saya telah mendengar, kami telah mendengar)
b. Al-Qira’ah “Ala Al-Syaikh atau ‘Aradh Al-Qira’ah
Yaitu suatu cara penerimaan hadis dengan cara seseorang membacakan
hadis di hadapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang
lain, sedangkan sang guru mendengarkan atau menyimaknya, baik guru itu
hafal maupun tidak tetapi dia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya.
Para ulama sepakat bahwa cara seperti ini dianggap sah, namun mereka
berbeda pendapat mengenai derajat al-qira’ah. Diantara mereka, seperti Al-
Lais bin Sa’ad, Syu’ban, Ibnu Juraih, Sufyan Al-Tsauri, serta Abu Hanifah
menganggap bahwa al-qira’ah lebih baik jika dibanding al-sama’, sebab dalam

7
Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 203.
8
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakata: Rajagrafindo PERSADA, 2013).

6
al-sama’ bila bacaan guru salah, murid tidak leluasa menolak kesalahan, tetapi
dalam al-qira’ah bila bacaan murid salah, guru segera membenarkannya. Imam
Malik, Bukhori sebagian besar ulama Hijaz dan Kufah menganggap bahwa
antara al-qira’ah dengan al-sama’ mempunyai derajat yang sama. Sementara
Ibnu Al-Shalāh, Imam Nawawi dan Jumhur ulama memandang bahwa al-
sama’ lebih tinggi derajatnya dibanding dengan cara al-qira’ah.9 Lafadz-lafadz
yang digunakan untuk menyampaikan hadis-hadis yang berdasarkan al-qir’ah
diantaranya:

• ‫( قرآت عليه‬aku telah membacakan dihadapannya)


• ‫( قرئ على فالن و أنا أسمع‬dibacakan seseorang dihadapannya sedang aku
mendengarkannya)
• ‫( حدثنا أو أخبرنا قراءة عليه‬telah mengabarkan/menceritkan padaku secara
pembacaan dihadapannya)
c. Al-Ijāzah
Yaitu seorang guru memberika izin kepada muridnya untuk meriwayatkan
hadis atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun murid
tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya.10
Lafadz-lafadz penyampaiannya ialah:
• ‫( أﺠاﺯلﻲ فالن‬seseorang telah memberikan kepadaku untuk meriwayatkan
hadits)
• ‫( ﺤﺩﺜنا ﺇﺠاﺯة‬telah menyampaikan riwayat kepadaku dengan disertai izin,
untuk meriwayatkan kembali)
• ‫( أﺨبﺭنا ﺇﺠاﺯة‬telah mengabarkan kepada kami dengan ijazah). Kode ini
sering dipakai oleh ulama hadits generasi akhir atau mutaakhirin.
d. Al-Munāwalah
Yaitu seorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis kepada
muridnya untuk diriwayatkan. Hadits yang diperoleh dengan
metode munawalah yang disertai ijazah, boleh untuk diriwayatkan sedang

9
Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010)
10
Ibid.

7
yang tanpa ijazah tidak diperbolehkan (menurut pendapat yang shahih).11
Adapun lafadz-lafadz yang digunakan adalah:

• ‫( ناوﻟنﻲ‬seseorang guru hadits telah memberikan naskahnya kepadaku)


• ‫( ناوﻟنﻲ وﺇﺠاﺯنﻲ‬seorang guru hadits telah memberikan naskahnya kepadaku
dengan disertai ijazah)
• ‫( ﺤﺩﺜنا مناوﻟﺔ‬telah menyampaikan riwayat kepadaku secara munawalah)
• ‫( أﺨبﺭنا مناوﻟﺔ ﺇﺠاﺯة‬telah menyampaikan berita kepadaku secara munawalah
disertai ijazah
e. Al-Mukātabah
Yaitu seorang guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk
menuliskan sebagian hadisnya guna diberikan kepada murid yangada
dihadapannyaatau yang tidak hadir dengan jalan dikirimi surat melalui
orang yang dipercaya untuk menyampaikannya.12 Metode Mukatabah
apabila disertai ijazah maka hukumnya sah dan mempunyai martabat kuat,
sedangkan mukatabah yang tidak disertai ijazah menimbulkan perbedaan
pendapat tentang sah dan tidaknya. adapun ungkapan untuk metode ini yaitu
:

• ‫( كتابﺔ فالن حدثنى‬seseorang telah bercerita padaku dengan surat menyurat)


• ‫( كتابﺔ فالن أخبرنى‬seseorang telah mengkhabarkan padaku)
f. Al-I’lam
Yaitu pemberitahuan seorang guru kepada muridnya, bahwa hadis yang
diriwayatkannya dia terima dari seseorang (guru) dengan tanpa memberikan
izin kepada muridnya untuk meriwatkannya. Dalam hal ini, mayoritas ulama
mengatakan bahwa metode ini di anggap sah, sekalipun sebagian kecil
menganggapnya tidak sah.13 Lafadz-lafadz yang dipakai adalah :

• ‫( أعلمنﻲ ﺸيﺨﻲ بﻜﺫا‬guru hadits telah memberitahukan sebuah riwayat hadits)

11
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakata: Rajagrafindo PERSADA, 2013).
12
Ibid.
13
Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010)

8
g. Al-Wāsiyāh
Yaitu seorang guru, ketika akan meninggal atau berpergian meninggalkan
pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan hadis, setelah sang guru
meninggal atau berpergian. Periwayatan hadis dengan cara ini oleh jumhur
dianggap lemah, sementara Ibnu Sirin membolehkan mengamalkan hadis yang
diriwayatkan dengan cara ini.14 Lafadz yang digunakan ialah :
• ‫( حدثنى فالن بكذا‬seseorang telah memberitahukan kepadaku begini)
h. Al-Wijadah
Yaitu seorang memperoleh hadis orang lain dengan mempelajari kitab-
kitab hadis, tetapi ia tidak mengenal sang guru tersebut. Haditsnya pun belum
pernah didengar ataupun ditulis oleh si perawi. Para ulama berpendapat
mengenai cara ini. Kebanyakan ahli hadis dan ahli fiqih dari madzab malikiyah
tidak memperboleh meriwayatkan hadis dengan cara ini. Imam syafi’i dan
segolong pengikutnya memperbolehkan beramal dengan hadis dengan
periwayatannya melalui cara ini. Ibnu Al-shalah mengatakan, bahwa sebagaian
ulama muhaqqiqin mewajibkan mengamalkan bila diyakini kebenarannya.15
Lafadz-lafadz yang digunakan adalah:

• -‫( وﺠﺩت بﺨﻁ فالن‬aku telah menemukan tulisan seorang guru hadits)
• ‫( قﺭأت بﺨﻁ فالنﻜﺫ‬aku telah membaca hadits tulisan seorang guru).

14
Tihammi M.A, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010)
15
Tihammi M.A, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010)

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Jumhur ulama ahli hadits berpendapat bahwa penerimaan periwayatan suatu


hadits oleh anak yang belum sampai umur (belum mukallaf) dianggap sah bila
periwayatan hadits tersebut disampaikan kepada orang lain pada waktu sudah
mukallaf. Jumhur ahli hadits, ahli ushul dan ahli fikih menetapkan beberapa
syarat bagi periwayatan hadits sebagai berikut:
1. Islam
2. Baligh
3. Adil (‘Adalah)
4. Dhabit
Para ulama ahli hadis menggolongkan metode menerima suatu periwayatan
hadis menjadi delapan macam yaitu Al-Sima’, Al-Qira’ah “Ala Al-Syaikh atau
‘Aradh Al-Qira’ah, Al-Ijāzah, Al-Munāwalah, Al-Mukātabah, Al-I’lam, Al-
Wāsiyāh, dan Al-Wijadah.
B. Saran
Demikianlah makalah mengenai materi rasm utsmani, tentunya banyak
kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan kurangnya rujukan
atau referensi yang saya peroleh hubungannya dengan makalah ini Penulis
banyak berharap kepada para pembaca yang budiman memberikan kritik saran
yang membangun kepada saya demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi penulis para pembaca khusus pada penulis.

10
DAFTAR PUSTAKA

Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj. 2007. Ushul Al-Hadits. Jakarta: Gaya Media

Pratama.

M.A, Tihammi. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia.

Suparta, Munzier.2013. Ilmu Hadis. Jakata: Rajagrafindo PERSADA.

Khaeruman, Badri. 2010. Ulum Al-Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia.

11

Anda mungkin juga menyukai