Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

Kejang Demam Sederhana

Oleh :
dr. Rorrie Satria Subara,S.Ked

Pembimbing :
dr. Ni Putu Devy Handayani, S.Ked

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT KASIH IBU
TABANAN
PERIODE AGUSTUS 2022- AGUSTUS 2023
BAB I
PENDAHULUAN

Kejang demam adalah gangguan kejang paling umum yang terjadi pada
masa kanak-kanak, terjadi sekitar 2% hingga 5% pada anak usia 6 dan 60 bulan.
Gangguan ini didefinisikan sebagai bangkitan kejang yang terjadi pada anak
berumur 6 bulan hingga 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh serta tidak
disebabkan oleh proses intrakranial seperti infeksi, trauma kepala dan epilepsi.1,2
Data epidemiologi menyebutkan setidaknya 1 dari 25 anak akan
mengalami satu kali kejang demam dikarenakan anak yang masih berusia dibawah
5 tahun sangat rentan terhadap berbagai penyakit hal ini disebabkan sistem
kekebalan tubuh anak belum terbangun secara sempurna. Serangan kejang demam
pada anak yang satu dengan yang lain tidak sama, tergantung nilai ambang kejang
masing-masing. Untuk anak yang pernah mengalami kejang demam sederhana,
ada kemungkinan 4 komplikasi yang dapat dicegah dengan penanganan yang
efektif, yaitu:(1) penurunan IQ; (2) peningkatan risiko epilepsi; (3) risiko kejang
demam berulang; dan (4) kematian. Oleh karena itu, setiap serangan kejang harus
mendapat penanganan yang cepat dan tepat, apalagi kejang yang berlangsung
lama dan berulang. Keterlambatan dan kesalahan prosedur bisa mengakibatkan
gejala sisa pada anak, bahkan bisa menyebabkan kematian.1,3
Penatalaksanaan kejang demam meliputi pengobatan fase akut, mencari
dan mengobati penyebab, dan pengobatan profilaksis. Memberikan informasi
kepada orang tua tentang hubungan demam dan kejang itu sendiri merupakan hal
yang penting untuk menghilangkan stress dan cemas sehingga penanganan
selanjutnya terhadap anak bisa lebih baik.1 Faktor genetika, komorbiditas
(kelahiran prematur, retardasi pertumbuhan janin), dan faktor risiko lingkungan
(paparan nikotin dalam rahim) dapat meningkatkan risiko kejang demam selain
faktor usia. Kejang demam terjadi karena respon dari otak anak yang belum
matang terhadap terjadinya demam. Selama proses pematangan otak, ada
peningkatan rangsangan saraf yang menjadi predisposisi anak untuk terjadinya
kejang demam.2,4

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : An. K
Umur : 1 tahun, 4 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Tabanan
Agama : Hindu
Suku Bangsa : Bali/Indonesia

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama: Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD diantar oleh ibunya dengan keluhan kejang sejak 10
menit sebelum masuk rumah sakit, keluhan kejang tersebut berlangsung
selama kurang lebih 5 menit. Pasien sempat demam tinggi dirumah 6 jam
SMRS. Keluhan lainnya disangkal. BAB dan BAK dalam batas normal

Riwayat Penyakit Dahulu:


Ibu pasien mengatakan ini merupakan kejang pertama yang dialami pasien,
tidak ada riwayat kejang sebelumnya. Riwayat penyakit sistemik lainnya
disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Disangkal

Riwayat Alergi:
Disangkal

2
2.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (E4 V5 M6)
Nadi : 110 kali/ menit, reguler, kuat angkat
Respirasi rate : 24 kali/ menit, reguler
Tempt axilla : 39,9 C
Saturasi : 98%
Berat badan : 12 kg
Tinggi badan : 78 cm
BB/U (WHO) : (-3) – (-2) SD
PB/U (WHO) : (-2) – (-1) SD
BB/TB (WHO) : (-2) – (-1) SD
Status Generalis
Mata : Konjungtiva anemis -/-, ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor
THT
Telinga : Daun telinga normal, pendengaran normal
Hidung : Epitaksis (-), sekret (-), napas cuping hidung (-)
Tenggorok : Faring hiperemi (+), T1/T1 hiperemi (+), gusi berdarah (-)
Lidah : Mukosa kering (-), atropi papil lidah (-)
Bibir : Mukosa pucat (-), sianosis (-)
Leher : JVP 5 ± 0 cm H2O, pembesaran kelenjar getah bening (-),
tiroid ...normal
Thoraks : Simetris (+), retraksi (-)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis teraba
Perkusi : Batas kanan : Parasternal line dextra ICS IV
: Batas kiri : Mid clavicular line sinistra ICS V
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Paru-paru
Inspeksi : Bentuk normal, simetris saat statis dan dinamis

3
Palpasi : Gerakan simetris, vokal fremitus normal.
Perkusi : Sonor / sonor
Auskultasi : Vesikuler ronkhi - - wheezing - -
+ +
- - - -
+ +
- - - -
+ +
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Genitalia : Laki-laki, kesan normal
+ +
Ekstremitas :Han + + gat - - Edema

- -

CRT < 2 detik

Kulit : Sianosis (-), ikterus (-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Darah Lengkap di RSKI Tabanan
Parameter Hasil Satuan
WBC 9.27 103/µL
RBC 4.85 106/µL
HGB 12.7 g/dL
HCT 35.1 %
MCV 79.6 fL
MCH 26.2 pg
MCHC 32.9 g/L
PLT 419 103/µL

4
RDW-CV 13.1 %
PDW 9.8 fL
MPV 9.4 fL
P-LCR 18.1 %
NEUT# 4.67 103/µL
NEUT% 50.4 %
LYM# 3.54 103/µL
MXD% 1.80 %
MXD# 0.80 103/µL
LYM% 38.2 %

Antigen SARS-CoV 2 di RS Bangli Medika Canti (13/12/21)


Jenis Pemeriksaan Hasil
Antigen SARS- NEGATIF
CoV 2

Jenis pemeriksaan Hasil Satuan


Elektrolyte
-Natrium L 136 mmol/L
-Kalium 3.8 mmol/L
-Chlorida 105 mmol/L

Parameter Hasil Satuan


Glukosa sewaktu 141 mg/dL

2.5 Resume
Pasien datang ke IGD diantar oleh ibunya dengan keluhan kejang sejak 10
menit sebelum masuk rumah sakit, keluhan kejang tersebut berlangsung
selama kurang lebih 5 menit. Ibu pasien mengatakan ini merupakan kejang
pertama yang dialami pasien.

5
2.6 Diagnosis Banding:
- Kejang demam sederhana
- Meningitis
- Encephalitis

2.7 Diagnosis Kerja:


- Kejang demam sederhana

2.8 Terapi:
- Stesolid 5 mg supp
- Drip paracetamol 15 cc (iv)
- IVFD: D5 ¼ NS 12 tpm makro
- Sanmol fls 120 mg tiap 6-8 jam (iv)
- Dexamethasone 3 x 1/3 ampul (iv)
- Stesolid syr 3 x I cth
- Jika suhu <38 C Sanmol syr 3 x I cth

2.9 Prognosis:
- Ad vitam : bonam
- Ad fungtionam : bonam
- Ad sanationam : bonam

6
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada anak umur 6

bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu diatas 38°C,

dengan metode pengukuran apapun) yang tidak disebabkan oleh suatu proses

intrakranial. Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai

dengan kejang berulang tanpa demam

Tidak dapat dikatakan kejang demam bila:

1. Kejang dikarenakan kenaikan suhu  tubuh  yang bukan disebabkan oleh

gangguan elektrolit atau metabolik.

2. Jika terdapat riwayat kejang tanpa demam, tidak dapat disebut sebagai

kejang demam.

3. Pada anak usia 1-6 bulan jarang sekali terjadi kejang demam

4. Pada bayi dengan umur kurang dari 1 bulan tidak masuk dalam

rekomendasi ini, dimasukan dalam kejang neonatus.3

Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) mendefinisikan


kejang demam sebagai kejang yang disertai demam (suhu rektal diatas 38°C atau
lebih dari 37.8°C per aksila) tanpa infeksi sistem saraf pusat (SSP) atau
ketidakseimbangan elektrolit akut, tidak berkaitan dengan kejang neonatal atau

7
kejang tanpa alasan sebelumnya, dan tidak memenuhi kriteria untuk gejala kejang
akut lainnya, yang terjadi pada bayi dan anak-anak setelah usia 1 bulan.2
Menurut American Academy of Pediatrics (AAP) menyebutkan kejang
demam sebagai kejang yang terjadi tanpa adanya infeksi intrakranial, gangguan
metabolik, atau riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.2

2.2 Epidemiologi
Kejadian kejang demam diperkirakan 2%–4% di Amerika Serikat,
Amerika Selatan dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira – kira
20% kasus merupakan kejang demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul
pada tahun kedua kehidupan (17–23 bulan) kejang demam sedikit lebih sering
pada laki – laki.2
Kejang demam terjadi pada 2–5% anak berusia 6 bulan–5 tahun dan
merupakan jenis kejang yang paling umum terjadi pada anak-anak berusia di
bawah 60 bulan. Secara umum, insiden kejang demam menurun drastis setelah
usia 4 tahun dan jarang terjadi pada anak berusia di atas 7 tahun.1
Insiden maupun prevalensi kejang demam umumnya hampir sama dari
berbagai laporan penelitian mengenai kejang demam yang sudah ada. Di Amerika
Serikat dan Eropa Barat tercatat angka kejadian kejang demam 2–5% per
tahunnya. Kejang demam lebih sering mengenai populasi Asia, dimana angka
kejadiannya dapat meningkat hingga dua kali lipat.1
Angka kejadian kejang demam di Indonesia sendiri mencapai 2–4% tahun
2008 dengan 80% disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan. Angka kejadian di
wilayah Jawa Tengah sekitar 2–5% pada anak usia 6 bulan–5 tahun disetiap
tahunnya. Dua puluh lima persen hingga lima puluh persen kejang demam akan
mengalami bangkitan kejang demam berulang.2
Laki-laki secara konsisten muncul memiliki frekuensi kejang demam yang
lebih tinggi (rasio laki-laki dan perempuan, 1.1: 1 hingga 2: 1). 2 Namun, beberapa
penelitian besar menunjukkan tidak ada perbedaan jenis kelamin yang signifikan.2
Kejadian kejang demam berkaitan dengan faktor genetik. Sekitar 25 –
40% anak dengan kejang demam mempunyai riwayat keluarga dengan kejang
demam.

1. Faktor Risiko Kejang Demam Pertama  


8
Riwayat kejang demam pada keluarga, problem disaat neonatus,
perkembangan terlambat, anak dalam perawatan khusus, kadar natrium
serum yang rendah, dan temperatur tubuh yang tinggi merupakan faktor
risiko terjadinya kejang demam.  Bila ada 2 atau lebih faktor risiko,
kemungkinan terjadinya kejang demam sekitar 30%.

2. Faktor Risiko Kejang Demam Berulang  

Kemungkinan berulangnya kejang demam tergantung faktor risiko :


adanya riwayat kejang demam dalam keluarga, usia kurang dari 12 bulan,
temperatur yang rendah saat kejang dan cepatnya kejang setelah demam.
Bila seluruh faktor risiko ada, kemungkinan 80 % terjadi kejang demam
berulang. Jika hanya terdapat satu faktor risiko hanya 10 – 20 %
kemungkinan terjadinya kejang demam berulang.

3. Faktor Risiko Menyadi Epilepsi 

Risiko epilepsi lebih tinggi dilaporkan pada anak – anak dengan kelainan
perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama, adanya riwayat
orang tua atau saudara kandung dengan epilepsi, dan kejang demam
kompleks. Anak yang tanpa faktor  risiko, kemungkinan terjadinya
epilepsi sekitar 2% , bila hanya satu faktor risiko 3% akan menjadi
epilepsi, dan kejadian epilepsi sekitar 13 % jika terdapat 2 atau 3 faktor
resiko

2.3 Klasifikasi Kejang


Klasifikasi

Kejang demam diklasifikasikan menjadi:

A. Kejang Demam Sederhana / Simple Febrile Seizure

1. Kejang demam < 15 menit (Biasanya <5 menit lalu stop dengan
sendirinya)

2. Bentuk kejang umum tonik dan atau klonik

3. Tidak berulang dalam waktu 24 jam

9
B. Kejang Demam Kompleks / Complex Febrile Seizure

1. Kejang > 15 menit

2. Kejang fokal atau parsial 1 sisi atau kejang umum yang didaului
kejang parsial

3. Berulang dalam waktu 24 jam

Definisi dari kejang lama itu sendiri merupakan kejang yang


berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan
diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8%
bangkitan kejang demam.

Definisi kejang fokal merupakan kejang parsial satu sisi, atau kejang umum
yang didahului kejang parsial.7

Sedangkan kejang berulang merupakan kejang dua kali atau lebih dalam sau
hari diantara dua bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada
16% diantara anaka yang mengalami kejang demam.7

2.4 Etiologi
Penyebab langsung dari kejang demam tidak diketahui, tetapi faktor terkait
yang paling penting adalah demam, epilepsi, hipoglikemia, hipokalsemia, cedera
kepala, keracunan dan penggunaan obat berlebihan, infeksi pernapasan, atau
gastroenteritis.2 Semua infeksi di luar otak yang menimbulkan panas seperti
faringitis, tonsilitis, tonsilofaringitis, otitis media akut, bronkopneumonia dll
merupakan salah satu penyebab kejang.3
Kejang ini memiliki kecenderungan familial dalam beberapa kasus dan
bersifat sporadis pada kasus lain, ini menunjukkan bahwa baik unsur genetik dan
lingkungan berkontribusi pada generasi mereka. Pentingnya faktor genetik dalam
kejang demam telah lama diakui. Studi populasi telah menunjukkan bahwa kejang
demam terjadi pada insiden yang jauh lebih tinggi dari perkiraan bila kerabat
tingkat pertama dan kedua anak-anak mengidap kejang demam.2

10
Kejang demam didapatkan 25% hingga 40% pasien menunjukkan riwayat
keluarga positif untuk kejang demam; kejadian kejang demam menjadi 20.7% di
antara saudara kandung, 10.9% di antara orang tua, dan 14.1% di antara saudara
tingkat pertama dari proban. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan untuk
membandingkan angka-angka ini dengan subyek kontrol, kejadiannya adalah
8.4% pada saudara kandung, 1.6% pada orang tua, dan 3.8% pada kerabat tingkat
pertama dari kontrol.2

2.5 Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak,
diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk
metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi,
dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru – paru dan diteruskan
ke otak melalui kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang
melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO dan air. Sel dikelilingi oleh suatu
membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar
adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan
mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan
elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel
neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat
keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di
luar sel maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari
sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan
energi dan bantuan enzim Na–K–ATPase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya:6
a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
b. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi
atau aliran listrik dari sekitarnya.
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10% – 15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,

11
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu
tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron
dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium
melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas
muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel-sel
maupun membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmitter dan menyebabkan sel tereksitasi. Sel yang tereksitasi inilah yang
akan menimbukan kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda
dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang. Pada anak dengan ambang
kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38°C, sedangkan pada anak
dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40°C atau lebih.
Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih
sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam
penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.
Penelitian binatang menunjukkan bahwa vasopresin arginin dapat merupakan
mediator penting pada patogenesis kejang akibat hipertermia.6

2.6 Diagnosis
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya kejang
khas menyeluruh tonik-tonik lama beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan
periode mengantuk singkat pasca kejang. Kejang demam yang menetap lebih lama
15 menit menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik dan
memerlukan pengamatan menyeluruh. Umumnya kejang berhenti sendiri begitu
kejang berhenti untuk sesaat anak tidak memberikan reaksi apapun, tetapi setelah
beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa ada
kelainan neurologi.3
Anamnesis:3
a. Identifikasi/pastikan adanya kejang, jenis kejang, lama kejang, suhu
sebelum/pada saat kejang, frekuensi, penyebab demam di luar SSP
b. Tidak ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.
c. Riwayat kelahiran, tumbuh kembang, kejang demam, atau epilepsy dalam
keluarga

12
d. Singkirkan penyebab kejang yang lain.

Pemeriksaan Fisik:3
a. Kesadaran, suhu tubuh, tanda rangsangan meningeal, tanda peningkatan
tekanan intrakranial, dan tanda infeksi di luar SSP
b. Pemeriksaan fisik neurologis harus dilakukan walaupun pada umumnya
tidak ditemukan adanya kelainan.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Elektroencefalografi (EEG)
Untuk pemeriksaan ini dirasa kurang mempunyai nilai prognostik. EEG
abnormal tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi
atau kejang demam yang berulang dikemudian hari. Saat ini pemeriksaan EEG
tidak lagi dianjurkan untuk pasien kejang demam yang sederhana. Pemeriksaan
EEG bisa dilakukan pada pada kejang demam yang tidak khas, seperti kejang
fokal, kejang demam kompleks frekuen dan kejang demam plus.8
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab
demam, atau keadaan lain misalnya dehidrasi karena gastroenteritis disertai
demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer,
elektrolit dan gula darah.8
3. Lumbal Pungsi
Pemeriksaan cairan serebrospinal di lakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis
adalah 0,6-6,7%. Lumbal pungsi sangat dianjurkan pada bayi kurang dari 12
bulan, dianjurkan pada bayi antara 12-18 bulan dan tidak dianjurkan pada bayi
lebih dari 18 bulan. Apabila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu
dilakukan lumbal pungsi. Indikasi dilakukannya lumbal pungsi adalah terdapat
adanya tanda dan gejala rangsangan meningeal, adanya kecurigaan infeksi sistem

13
saraf pusat dan anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah
mendapatkan antibiotik, dimana pemberian antibiotik dapat mengaburkan tanda
dan gejala meningitis.8

4. Pencitraan
Foto x-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-
scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak
rutin dan hanya atas indikasi seperti:8
(1) Kelainan neurologis fokal yang menetap (hemiparesis).
(2) Paresis nervus VI.
(3) Papil edema.

1.8 Diagnosis Banding


Infeksi susunan saraf pusat dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis
dan cairan cerebrospinal. Kejang demam yang berlangsung lama kadang-kadang
diikuti hemiperesis sehingga sukar dibedakan dengan kejang karena proses
intrakranial. Sinkop juga dapat diprovokasi oleh demam, dan sukar dibedakan
dengan kejang demam. Meningitis, ensefalitis, anak dengan demam tinggi dapat
mengalami delirium, menggigil, pucat dan sianosis sehingga menyerupai kejang
demam.7

1.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kejang demam meliputi pengobatan fase akut, mencari
dan mengobati penyebab, dan pengobatan profilaksis. Selain itu, memberikan
edukasi kepada orang tua juga memiliki peranan penting dalam tatalaksana kejang
demam.7

Pengobatan Fase Akut


1. Penanganan Kejang
Sering kali kejang berhenti sendiri. Pada waktu pasien sedang kejang
semua pakaian yang ketat dibuka, dan pasien dimiringkan apabila muntah untuk
mencegah aspirasi. Jalan nafas harus bebas agar oksigenasi terjamin. Penghisapan

14
lendir dilakukan secara teratur, diberikan oksigen, kalau perlu intubasi. Awasi
keadaan vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernafasan dan fungsi
jantung.8
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada saat datang ke
tempat pelayanan kesehatan, kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam
keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah
diazepam yang diberikan secara intravena dengan dosis 0,2-0,5 mg/kg/kali secara
perlahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit dengan dosis
maksimal 10 mg.8 Obat yang praktis dan dapat diberikan kepada orang tua atau di
rumah adalah diazepam intrarektal 5 mg untuk anak berat badan di bawah 12 kg
dan 10 mg untuk anak dengan berat badan diatas 12 kg.7
Kejang yang tetap belum berhenti dengan diazepam rektal dapat diulang
lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila 2 kali
dengan diazepam rektal masih kejang, dianjurkan orang tua untuk segera ke
rumah sakit. Di rumah sakit dapat dimulai pemberian diazepam intravena dengan
dosis 0,2 – 0,5 mg/kg IV (kecepatan 2 mg/menit max 10 mg) atau midazolam 0.2
mg/kg IM/buccal, max 10 mg. Bila kejang tetap belum berhenti, dapat diberikan
fenitoin 20 mg/kg IV diencerkan dalam 50 ml NaCl 0.9% selama 20 menit (2
mg/kg/menit) dosis max 1000 mg atau Fenobarbital 20 mg/kg IV degan kecepatan
10-20 mg/menit dengan dosis max 1000 mg. Bila kejang berhenti, selanjutnya
diberikan dosis rumatan fenitoin 5-10 mg/kg dalam 2 dosis atau Fenobarbital 1-5
mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Bila kejang belum berhenti, maka pasien harus
dirawat di ruang intensif dengan memberikan Midazolam atau Propofol ataupun
Fenobarbital. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung
dari jenis kejang demamnya dan faktor resikonya apakah kejang demam
sederhana atau kejang demam kompleks.8
2. Pemberian Obat pada Saat Demam
Tidak ditemukan adanya bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi
risiko terjadinya kejang demam, namun di Indonesia sepakat antipiretik tetap
dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali
diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Diindikasikan untuk anak yang
berumur diatas 2 bulan, suhu tubuh diatas 39 0C atau jika anak terlihat tidak

15
nyaman. Pilihan lain adalah ibuprofen dengan dosis 5-10 mg/kg/kali diberikan 3-4
kali sehari.8
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30-60% kasus. Begitu pula dengan
diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5 0C. Dosis tersebut
cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel, dan sedasi yang cukup berat pada
25-39% kasus. Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak
berguna untuk mencegah kejang demam.8 Selain itu dapat diberikan obat anti
inflamasi deksametason 0,6 mg/kgBB/hari intravena tiap 6 jam selama maksimal
3 hari.3

Mencari dan Mengobati Penyebab


Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.
Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada
kasus yang dicurigai mengalami meningitis atau bila kejang demam berlangsung
lama. Pemeriksaan laboratorium lain perlu dilakukan untuk mencari penyebab.7

Pengobatan Profilaksis
Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena bila sering
berulang dapat menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Profilaksis dapat
diberikan secara intermittent pada waktu demam atau profilaksis terus menerus
dengan antikonvulsan setiap hari.

1. Profilaksis Intermittent
Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan
ketentuan orang tua pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya
demam pada pasien. Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan
salah satu faktor risiko dibawah ini:
 Kelainan neurologis ringan (tidak nyata), misalnya keterlambatan
motorik, keterlambatan bicara, maupun retardasi mental.
 Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
 Usia < 6 bulan

16
 Bila kejang terjadi pada suhu < 39oC
 Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh
meningkat dengan cepat.
Obat yang diberikan harus cepat diabsorbsi dan harus cepat masuk ke otak.
Hal yang demikian sebenarnya sukar dipenuhi. Peneliti-peneliti sekarang tidak
mendapat hasil dengan fenobarbital intermittent. Diazepam intermittent
memberikan hasil lebih baik karena penyerapannya lebih cepat. Dapat digunakan
diazepam oral maupunn intrarektal. Diazepam diberikan secara oral dengan dosis
0,3 mg/kg/kali atau secara intrarektal dengan dosis 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk
pasien dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk pasien dengan
berat badan lebih dari 12 kg), sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksium
diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama
demam. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk, dan hipotonia.7

2. Profilaksis Terus Menerus dengan Antikonvulsan Setiap Hari


Pengobatan jangka panjang tidak dianjurkan pada kejang demam
sederhana, tetapi diberikan pada kejang demam yang dengan pengobatan
profilaksis intermittent masih sering terjadi kejang berulang. Obat yang dapat
diberikan untuk profilaksis jangka panjang adalah:
a. Fenobarbital
Pemberian fenobarbital 3-4 mg/kg/hari menunjukkan hasil yang
bermakna untuk mencegah berulangnya kejang demam. Namun
beberapa sumber mengatakan fenobarbital tidak lagi dianjurkan
sebagai pengobatan jangka panjang karena pemakaian fenobarbital
setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku (iritabel, hiperaktif,
pemarah, dan agresif) dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Efek
samping dapat diturunkan dengan menurunkan dosis fenobarbital.7,8
b. Asam Valproat
Obat pilihan profilaksis jangka panjang saat ini adalah asam valproat.
Dosis asam valproat yang digunakan adalah 15-40 mg/kg/hari dalam 2-
3 dosis. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari
2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.7

17
Pengobatan ini diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian
dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.8
Indikasi pemberian profilaksis terus menerus atau jangka panjang adalah7,8:
1. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah
kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi
mental, dan hidrosefalus
2. Kejang demam lebih dari 15 menit
3. Kejang fokal
4. Dapat dipertimbangkan pada kejang berulang > 2 kali dalam 24 jam,
bayi usia < 12 bulan dan kejang demam kompleks berulang > 4 kali.
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam lebih dari 15 menit
merupakan indikasi untuk profilaksis jangka panjang. Kelainan neurologis
misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan merupakan indikasi. Kejang
fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus
organik.8

Edukasi Kepada Orang Tua


Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua.
Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara memberikan informasi kepada orang
tua, yang meliputi:8
1. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis
yang baik
2. Memberitahu cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif namun
harus diingat adanya efek samping
Selain itu, penting hal nya untuk memberitahu orang tua beberapa hal yang
harus dikerjakan apabila kembali kejang, yaitu:8
1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring.
Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun

18
kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu ke dalam
mulut
4. Ukur suhu, observasi, dan catat lama dan bentuk kejang
5. Tetap bersama pasien selama kejang
6. Berikan diazepam rektal dan jangan diberikan bila kejang telah
berhenti
7. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau
lebih
Sejauh ini tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap
anak yang mengalami kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi
sangat jarang. Angka kejadian pasca vaksinasi DPT adalah 6-9 kasus per 100.000
anak yang divaksinasi sedangkan setelah vaksinasi MMR 25-34 per 100.000
dianjurkan untuk memberikan diazepam oral atau rektal bila anak demam,
terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR. Parasetamol juga direkomendasikan
pada saat vaksinasi hingga 3 hari kemudian.8

1.10 Prognosis
Terdapat empat potensi dampak buruk kejang demam yang secara teori
dapat diubah dengan penatalaksanaan yang efektif yaitu penurunan IQ, risiko
terjadinya kejang demam berulang, peningkatan risiko epilepsi, dan kematian.9
Penurunan IQ, penurunan prestasi akademik, menurunnya neurokognitif
atau gangguan perilaku belum terbukti sebagai sekuele dari kejang demam.
Sebuah penelitian yang membandingkan kemampuan akademik anak dengan
kejang demam dan anak tanpa kejang demam tidak menemukan adanya
perbedaan. Risiko defisit intelektual hanya terdapat pada anak yang sebelumnya
sudah memiliki kelainan neurologis dan perkembangan serta anak yang
selanjutnya mengalami kejang tanpa demam.9,10
Apabila kejang demam tidak diterapi dengan baik, maka kejang demam
dapat berkembang menjadi kejang demam berulang dan epilepsi. Kejang demam
akan terjadi kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya kejang
demam adalah:

19
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Temperatur yang rendah saat kejang
4. Cepatnya kejang setelah demam
Bila semua faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam
adalah 80%. Sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan
berulangnya kejang demam hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang
demam paling besar pada tahun pertama. 8 Faktor risiko lainnya adalah terjadinya
epilepsi di kemudian hari. Faktor risiko menjadi epilepsi meliputi:
1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi
sampai 4-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan
epilepsi menjadi 10-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah
dengan pemberian obat profilaksis pada kejang demam.8 Secara teori, terdapat
risiko terjadinya kematian saat kejang demam, namun belum ada data yang
membuktikan hal tersebut.9

20
BAB IV
PEMBAHASAN

Kejang demam merupakan bangkitan kejang yang terjadi pada anak usia 6
bulan hingga 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu diatas 38°C)
yang tidak disebabkan oleh suatu proses intrakranial. Kejang demam terjadi pada
2–5% anak berusia 6 bulan–5 tahun dan merupakan jenis kejang yang paling
umum terjadi pada anak-anak berusia di bawah 60 bulan. Penyebab langsung dari
kejang demam tidak diketahui, semua infeksi di luar otak yang menimbulkan
panas seperti faringitis, tonsilitis, tonsilofaringitis, otitis media akut, maupun
bronkopneumonia merupakan salah satu penyebab kejang. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik berupa kenaikan suhu tubuh dan
kejang khas menyeluruh tonik-tonik lama beberapa detik sampai 10 menit.
Pemeriksaan penunjang dilkukan untuk menyingkirkan diagnosis lainnya. Pada
pasien, ditemukan pasien mengalami kejang umum tonik klonik selama sekitar 5
menit. Setelah kejang pasien sadar. Pasien mengalami demam sebelum kejang
dengan suhu mencapai 39,9oC dan ditemukan adanya eritema pada tonsil dan
faring. Pada pasien dilakukan pemeriksaan laboratorium yaitu darah lengkap,
Glukosa sewaktu serta Antigen Covid 19 untuk menyingkirkan adanya Covid 19.
Kejang demam sendiri harus dibedakan dengan meningitis maupun
ensefalitis, anak dengan demam tinggi dapat mengalami delirium, menggigil,
pucat dan sianosis sehingga menyerupai kejang demam. Penatalaksanaan kejang
demam meliputi pengobatan fase akut, mencari dan mengobati penyebab, dan
pengobatan profilaksis. Pada fase akut, pasien diberikan obat stesolid supp 5 mg
dan untuk masalah penyebab kejangnya diberikan obat drip Paracetamol 15 cc.
Profilaksis untuk kejang demam sederhana berupa profikasis intermiten pada
pasien diberikan stesolid sirup 3 x I cth diberikan selama 48 jam pertama demam.

21
BAB V
SIMPULAN

Kejang demam merupakan bangkitan kejang yang terjadi pada anak usia 6 bulan
hingga 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh dan tidak disebabkan oleh
proses intrakranial. Etiologi dari kejang demam yaitu semua infeksi di luar otak
yang menimbulkan panas seperti faringitis, tonsillitis, tonsilofaringitis, dan
lainnya. Secara patofisiologis, bila suhu tubuh meningkat akan terjadi gangguan
fungsi otak yang berakibat pada terganggunya potensial membran pada sel,
terjadilah difusi K+ dan Na+ yang menimbulkan lepas muatan listrik. Lepas
muatan listrik yang besar inilah yang mampu menimbulkan kejang fokal maupun
general. Kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 yaitu kejang demam sederhana
dan kejang demam kompleks. Manifestasi klinis berupa kejang yang didahului
panas badan. Tidak ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya serta
kemungkinan penyebab kejang lainnya. Pemeriksaan fisik neurologis biasanya
tidak ditemukan adanya kelainan. Pemeriksaan penunjang seperti lumbal pungsi
apabila terdapat indikasi kerurigaan infeksi SSP, pemeriksaan laboratorium
lainnya tidak rutin dilakukan. Tatalaksana sesuai dengan algoritma kejang akut
serta tatalaksana penyabab dan pemeberian profilaksis.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Untari, Ervina T, Irdawati, Kartinah. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Ibu


Tentang Kejang Demam Dengan Frekuensi Kejang Anak Toddler Di Rawat Inap
Puskesmas Gatak Sukoharjo. Universitas Muhammadiyah Surakarta.2013.
2. Chung S. Febrile seizures. Korean Journal of Pediatrics. 2014;57(9):384-395.
3. Hodgson ES, Glade CGB, Harbaugh NC, dkk. Febrile seizure : clinical practice
guideline for longterm management of child with simple febrile seizure. Pediatric
2008;121:1281-6
4. Delpisheh A, Veisani Y, Sayehmiri K, Fayyazi A. Febrile Seizures: Etiology,
Prevalence, and Geographical Variation. Iran J Child Neurol. 2014 Summer;
8(3):30-37.
5. Dubé CM, Brewster AL, Baram TZ. Febrile seizures: Mechanisms and
relationship to epilepsy. Brain & development. 2009;31(5):366-371.
6. Saharso D, dkk. Kejang Demam, dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi
Bag./SMFIlmu Kesehatan Anak RSU dr. Soetomo, Surabaya. 2006.
7. Talsim. SS, Sofyan I. Buku Ajar Neurologi Anak. IDAI. Jakarta. 1999.
8. Sofyan I, Hardiono DP, dkk. Konsesus Penanganan Kejang Demam. IDAI.
Jakarta. 2016.
9. Chung S. Febrile Seizures. Korean J Pediatr. 2014; 57(9): 384-395.
10. Wong V, dkk. Clinical Guideline on Management of Febrile Convulsion. HK J
Paediatr. 2002; 7: 143-151.

23

Anda mungkin juga menyukai