Anda di halaman 1dari 5

Berkembangnya SISI TEKNOLOGI BERUPA DRONE YANG DIJADIKAN

SEBAGAI ALAT BERSENJATA

Peralatan bersenjata merupakan salah satu sarana penunjang dalam konflik bersenjata
untuk mendapatkan sasaran yang ingin dicapai. Dalam perkembangannya peralatan
bersenjata yang dipakai telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada masa
sebelum orang mengenal senjata api, orang masih sangat bergantung pada penggunaan
senjata tajam seperti belati/pisau, pedang, tombak, panah, atau kapak. Kemudian dengan
ditemukannya senjata api dan teknologi persenjataan semakin berkembang maka orang
banyak beralih menggunakan senjata api seperti pistol atau senapan. Hal ini lebih
menguntungkan karena dapat melumpuhkan lawan lebih efektif dan lebih banyak.
perkembangan teknologi senjata pada tingkat yang sangat maju. Orang tidak perlu lagi berada
dalam arena konflik bersenjata untuk bertempur karena saat ini pertempuran dapat dilakukan
dengan menggunakan remote-controlled weapon systems dan robotic weapon systems. Salah
satu senjata yang termasuk dalam remote-controlled weapon systems adalah drone atau yang
juga dikenal dengan unmanned aerial vehicles, sedangkan contoh senjata yang menggunakan
robotic weapon systems adalah senjata penjaga otomatis (automated sentry guns), sensor-
fused munitions, dan beberapa kenderaan anti ranjau darat (anti-vehicle landmines).

Penggunaan drone dapat ditujukan untuk kegiatan yang tidak ditujukan untuk
digunakan sebagai senjata (non-elthal purpose) dan digunakan sebagai senjata (lethal
purpose). Contoh penggunaan dalam lingkup non-lethal purpose adalah pengawasan,
pengumpulan informasi, pengangkut bantuan kemanusiaan Contohnya Amerika

menggunakan drone untuk mengawasi perbatasnnya dengan Meksiko. Penggunaan


drone sebagai senjata banyak dilakukan oleh Amerika di beberapa negara seperti Yaman,
Pakistan dan Somalia. Council on Foreign Relation (CFR) menyebutkan bahwa dalam kurun
waktu 2012 hingga 2012 telah terjadi 411 serangan drone di Yaman, Pakistan dan Somalia.
The New America Foundation menyebutkan bahwa dalam kurun waktu tahun 2007 hingga
tahun 2010 terjadi peningkatan penggunaan drone. Pada tahun 2007 terjadi 4 serangan, tahun
2008 terjadi 36 serangan, tahun 2009 terjadi 54 serangan, dan tahun 2010 terjadi 122
serangan. Hal ini menunjukan bahwa dalam konflik bersenjata saat ini drone menjadi salah
satu pilihan senjata yang dianggap dapat membawa hasil yang signifikan. Namun dalam
penggunaan drone sebagai senjata tidak didasari pada suatu aturan khusus yang mengtur
mengenai drone.

Pada prinsipnya penggunaan senjata antar negara dilarang dalam hukum internasional.
Pasal 2 ayat (4) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa: “all
members of the United Nations shall refrain in their international relations from the threat or
use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any
other manner inconsistent with the purpose of the United Nations.” Dalam pasal ini
digunakan terminologi all members yang berarti bahwa aturan ini tidak hanya mengikat bagi
negara-negara anggota saja. Berdasarkan putusan International Court of Justice (ICJ) dalam
kasus Nicaragua vs Amerika Serikat bahwa Pasal 2 ayat (4) merupakan hukum internasional
kebiasaan (customary international law) yang diterapkan kepada semua negara bukan hanya
kepada negara anggota. Dari Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB dapat dilihat bahwa ada larangan
secara tegas untuk tidak mengunakan atau bahkan ancaman penggunaan kekerasan yang
mana melanggar intergritas teritorial atau kebebasan politik dari suatu negara, atau cara-cara
lain yang bertentangan dengan tujuan PBB. Dengan demikian dapat dilihat bahwa PBB tidak
menghendaki adanya penggunaan kekuatan bersenjata untuk menekan negara lain, bahkan
dalam bentuk yang lebih rendah dari itu yakni dalam bentuk ancaman kekerasan.

Pelarangan penggunaan kekerasan (penggunaan kekuatan senjata) sebagaimana


dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (4) dapat dimaknai bahwa baik penggunaan kekerasan itu
dalam skala besar seperti dalam perang atau tidak, tetap bertentangan dengan ketentuan pasal
ini. Namun dalam pasal ini tidak melarang penggunaan tekanan politik atau ekonomi kepada
negara lain.

Dalam Pasal 2 ayat (4) juga menekankan bahwa bentuk ancaman penggunaan
kekerasan (threat of use of force) merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal ini.
Contohnya pada Tahun 1994 artileri dan tank milik Irak ditempatkan di sekitar perbatasan
Irak dan Kuwait dengan posisi mengarah ke Kuwait dalam dalam jangkuan tembak ke sana
beserta amunisi yang berada dalam kondisi siap tembak. Kondisi ini dinyatakan oleh Inggris
sebagai ancaman terhdap Kuawait dan melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB.
Pelarangan penggunaan kekuatan bersenjata antar negara-negara anggota PBB juga kembali
ditegaskan dalam 1965 Declaration on The Inadmissibility of Intervention in The Domestic
Affairs of States and The Protection of Their Independence and Sovereignty. Dalam deklarasi
ini dinyatakan bahwa penggunaan kekuatan bersenjata untuk tujuan intervensi ke negara lain
dilarang untuk dilakukan.11 Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa dalam kerangka
PBB penggunaan kekuatan bersenjata terhadap suatu negara tidak dapat diterima dan dilarang
penggunaannya. Jelas dipahami dari penjelasan di atas bahwa penerapan suatu kekerasan
bersenjata antar negara dilarang oleh Piagam PBB, namun demikian ada keadaankeadaan
tertentu yang mana negara diperbolehkan untuk menggunakan kekuatan bersenjata terhadap
negara lain. Keadaan-keadaan yang dimaksud adalah tindakan bela diri (self defence) dari
suatu negara, penggunaan kekuatan bersenjata yang dilakukan berdasarkan otorisasi dari
Dewan Keamanan (DK) PBB, dan penggunaan kekuatan bersenjata dalam wilayah suatu
negara yang mana sudah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari negara yang
bersangkutan.

Hak bela diri (self defense) diatur dalam Pasal 51 Piagam PBB yang mana
memungkinkan untuk dilaksanakan secara sendiri (individual self defence) atau berkelompok
(collective sefl defence). Bela diri hanya dimungkinkan ketika suatu negara mengalami
serangan bersenjata sehingga harus mempertahankan diri dari serangan tersebut. Dengan kata
lain negara tersebut harus terlebih dahulu diserang. Penggunaan kekuatan bersenjata untuk
membela diri ini hanya dapat dilaksanakan sampai DK PBB mengambil alih situasi untuk
mengembalikan perdamaian dan keamanan internasional di wilayah tersebut. Oleh karenanya
pengunaan kekuatan bersenjata yang dilakukan oleh suatu negara untuk bela diri harus
dihentikan sesegera mungkin ketika DK PBB telah bertindak di wilayah tersebut. Tindakan
bela diri yang dilaksanakan tersebut, baik secara individu maupun berkelompok, harus
dilaporkan kepada DK PBB sesegera mungkin begitu dilaksanakan.
Penggunaan kekuatan bersenjata juga dimungkinkan dalam hal tindakan tersebut
dilakukan atas otorisasi dari DK PBB. Pasal 43-50 Piagam PBB memungkinkan
dilaksanakannya tindakan yang demikian. Setiap negara anggota PBB dapat diminta oleh DK
PBB untuk menyediakan pasukan bersenjata untuk digunakan dalam suatu konflik bersenjata
dengan tujuan mengembalikan perdamaian dan kemanan internasional di wilayah tersebut.
Namun tindakan yang demikian harus dilaksanakan dengan adanya otorisasi dari DK PBB.
Suatu negara tidak dibenarkan untuk melakukan penggunaan kekuatan bersenjata kepada
negara lain secara unilateral.

Penggunaan drone sebagai senjata dilakukan melalui tiga cara yakni: sebagai bantuan
udara bagi pasukan di darat, melakukan patroli di udara untuk mencari akitivitas-aktivitas
yang mencurigakan, dan melakukan targeted killing terhadap militant yang dicurigai
(suspected militans). Pengoperasian penggunaan drone yang dilaksanakan dengan
menggunakan metode targeted killing menempatkan seseorang yang telah ditargetkan untuk
diserang oleh drone ditujukan untuk dibunuh. Hal ini bertentangan dengan prinsip
kemanusiaan yang dianut dalam hukum humaniter internasional. Seharusnya tujuanya adalah
untuk melemahkan bukan membunuh.

Resolusi DK PBB 1373 (2001) menyatakan bahwa negara-negara dapat mengambil


langkah-langkah yang dibutuhkan untuk melawan tindakan-tindakan terorisme. Hal ini dapat
menimbulkan penafsiran yang luas yang mana bisa saja negara akan melakukan tindakan
represif seperti penggunaan drone dalam menyerang orang yang masuk daftar target, atau
juga bisa ditafsirkan bahwa orang yang dicurigai sebagai teroris harus dibawa ke dalam
proses peradilan, yang mana akan lebih sejalan dengan tujuan Piagam PBB yang
menghendaki agar menghindari penggunaan kekuatan bersenjata dalam bentuk apapun, dan
menghormati hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional. Terlebih dahulu harus
diupayakan untuk menangkap, kalau tidak bisa baru kemudian dilukai, kalu juga tidak bisa
maka bisa dibunuh. Jatuhnya korban dalam hal ini harus ditekan seminimal mungkin.
Pengunaaan drone menganut metode targeted killing sehingga suatu target operasi dari drone
tujuannya adalah dihancurkan. Selain itu, Targeted killing juga dapat dipandang
menghilangkan hak seseorang untuk dapat membela diri dalam sebuah proses hukum yang
sah, karena seseorang yang dianggap bersalah dan menjadi target operasi dari drone tidak
ditujukan untuk ditangkap dan diadili. Proses penilaian bersalah atau tidak dirinnya telah
dilakukan oleh pemerintah tanpa melalui sebuah proses peradilan.

Penggunaan drone sebagai senjata merupakan konsekuensi dari berkembangnya


teknologi yang begitu pesat saat ini. Namun saat ini tidak ada satu aturan internasional yang
secara khusus mangatur mengenai penggunaan drone baik untuk digunakan sebagai senjata
maupun tidak. Meskipun demikian hukum humaniter internasional secara fleksibel bisa
diterapkan pada perkembangan teknologi senjata yang sangat maju sekalipun hal ini
didasarkan pada Pengaturan dalam Pasal 36 Protokol Tambahan I tahun 1977 yang
menyatakan bahwa: “In the study, development, acquisition or adoption of a new weapon,
means or method of warfare, a High Contracting Party is under an obligation to determine
whether its employment would, in some or all circumstances, be prohibited by this Protocol
or by any other rule of international law applicableto the High Contracting Party.” Dengan
demikian dapat dilihat bahwa aturan hukum internasional mencakup semua perkembangan
teknologi persenjataan, karena dalam pengembangan senjata atau metode berperang, negara
memiliki kewajiban untuk menyesuaikan agar perkembangannya tidak bertentangan dengan
hukum humaniter internasional. Kewajiban hukum yang termuat dalam Pasal 36 tidak hanya
berlaku bagi para pihak dalam perjanjian saja tapi semua negara yang mengembangkan
persenjataan dan metode berperang. Namun pengaturan dalam Pasal ini tidak secara spesifik
menyatakan mengenai bagaimana penentuan legalitas dari suatu senjata atau metode dan cara
berperang yang harus dilaksanakan. Selain itu aturan dalam Pasal 36 ini hanya mengatur
ketentuan secara umum saja tidak secara spesifik mengatur mengena teknologi atau metode
berperang tertentu. Kekosongan ini juga diakui oleh Jakob Kellenberger, presiden ICRC,
yang menyatakan bahwa : ”applying pre-existing legal rules to a new technology raises the
question of whether the rules are sufficiently clear in light of the technology's specific – and
perhaps unprecedented - characteristics, as well as with regard to the foreseeable
humanitarian impact it may have. In certain circumstances, States will choose or have chosen
to adopt more specific regulations.”

Harus diakui bahwa aturan yang telah ada sebelumnya mungkin saja tidak cukup
untuk mengikuti perkembangan teknologi secara spesifik dan juga dampak yang bisa
ditimbulkan dari perkembangan tersebut. Oleh karenanya negara didesak untuk bisa membuat
aturan yang lebih spesifik mengenai perkembangan teknologi senjata yang dibuat. Termasuk
dalam hal ini adalah mengenai penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata.

Adapun Masalah transparansi penggunaan drone sebagai senjata menjadi sebuah


masalah tersendiri contahnya di Amerika Serikat karena penggunaan drone dalam menyerang
target-target yang telah ditetapkan tidak disertai dengan pertanggung jawaban kepada publik
secara transparan. Publik tidak pernah diberi tahu mengenai siapa-siapa saja yang termasuk
dalam target serangan drone dan berapa jumlah serangan yang telah dilakukan oleh
pemerintah.

Ketiadaan aturan hukum yang secara spesifik mengatur mengenai penggunaan drone,
khususnya yang berkaitan dengan penggunaannya sebagai senjata, membuka peluang
terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum humaniter internasional ketika drone yang telah
dipersenjatai digunakan dalam suatu konflik bersenjata.

Menurut pasal 9 UU No. 8 Tahun 1948, setiap orang atau warga sipil yang
mempunyai dan memakai senjata api harus mempunyai surat izin pemakaian senjata
api menurut contoh yang ditetapkan oleh Kepala Kepolisian Negara.

Ketiadaan aturan mengenai penggunaan drone mengikis batasan antara perang dan
kondisi damai. Hal ini sangat nyata dalam penggunaan drone yang dilakukan contohnyq oleh
Amerika Serikat dalam perang melawan terror. Penggunaan drone sebagai senjata nyata
dilakukan namun tidak pernah ada deklarasi perang yang dinyatakan.

Maka dari itu negara-negara yang saat ini menggunakan teknologi drone, terutama
negara-negara yang menggunakannya sebagai senjata harus merumuskan suatu aturan khusus
mengenai penggunaan drone baik sebagai senjata (lethal purpose) maupun yang digunakan
untuk kepentingan lainnya (non-lethal purpose). Perumusan aturan hukum mengenai
penggunaan drone khususnya yang berkaitan dengan penggunaannya sebagai senjata menjadi
sangat penting saat ini karena perkembangan teknologi saat ini mengarah kepada drone yang
bersifat otonom. Artinya tidak lagi diperlukan seseorang untuk mengontrol drone, karena
drone akan beroprasi sendiri secara komputerisasi sesuai dengan misi yang telah
diprogramkan padanya. Memang drone yang bersifat otonomi tidak berarti tidak dapat
dioperasikan sesuai dengan prinsip pembedaan dalam hukum humaniter internasional, karena
pendeteksian dan pengidentifikasian target akan dilakukan melalui sensor yang mempunyai
kemampuan untuk membedakan antara target militer dan bukan target militer, namun dengan
menggantungkan kuasa untuk membedakan pada mesin sesungguhnya telah menghilangkan
unsur kemanusiaan dalam sebuah konflik bersenjata dan berpotensi terjadi machine error
yang berakibat fatal dalam konflik bersenjata.

Hal ini Penggunaan drone sebagai senjata telah dilakukan tanpa adanya suatu aturan
hukum yang memadai mengenai hal ini. Pasal 36 Protokol Tambahan I Tahun 1977 hanya
memuat hal yang bersifat umum mengenai perkembangan teknologi persenjataan dan metode
berperang namun tidak secara spesifik mengatur mengenai penggunaan drone. Penggunaan
drone sebagai senjata harus dirumuskan dalam suatu atura hukum tertentu. Oleh karenanya
negara-negara yang saat ini menggunakan teknologi drone harus bersepakat untuk
menetapkan aturan hukum tersebut, sehingga tidak ada kekosongan hukum dalam pengaturan
mengenai penggunaan drone tertuma yang berkaitan dengan penggunaanya sebagai senjata
dalam konflik bersenjata. Perumusan aturan hukum ini harus juga memperhatikan hukum
humaniter internasional.

Anda mungkin juga menyukai