Anda di halaman 1dari 18

RINITIS ALERGI 1. ANATOMI Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Pangkal hidung (bridge) Batang hidung (dorsum nasi) Puncak hidung (hip) Ala nasi Kolumela Lubang hidung (nares anterior) Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit dan jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung . Kerangka tulang terdiri dari : 1. tulang hidung (os nasal) 2. prosessus frontalis os nasal 3. prosessus nasalis os frontal Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung , yaitu : 1. sepasang kartilago nasalis lateralis superior 2. sepasang kartilago lateralis inferior (kartilago ala mayor) 3. tepi anterior kartilago septum Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi cavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk cavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan cavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang

disebut vibrise. Tiap cavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.

Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah : 1. lamina perpendikularis os etmoid 2. vomer 3. Krista nasalis os maksilaris 4. Krista nasalis os palatine Bagian tulang rawan adalah : 1. Kartilago septum 2. kolumela Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalh konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior sedangkan yang terkecil adalah konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Berdasarkan letaknya, ada 3 meatus, yaitu :

1. meatus inferior, terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral ronggga hidung. Pada meatus inferior terdapat pula muara (ostium) duktus nasolakrimalis. 2. meatus medius, terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. 3. meatus superior merupakan ruangan di antara konka superior dan konka media. Terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Batas rongga hidung : 1. dinding anterior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum 2. dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kibriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kibriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap hidung dibentuk oleh os sfenoid. Kompleks osteomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus uncinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resessus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait. Perdarahan hidung, pada bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan a.Etmoid anterior dan posterior. Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris interna. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Persarafan hidung bagian depan dan atas rongga hdung mendapat persarafan sensoris dari n.Etmoidalis anterior. Rongga hidung lainnya , sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.Maksilaris melaui ganglion sfenopalatina. Fungsi penghidu berasal dari n.Olfaktorius.

2. DEFINISI Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut (Von Pirquest, 1986). Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejalabersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. 3. EPIDEMIOLOGI Meskipun insiden rhinitis alergi yang tepat tidak diketahui, tampaknya menyerang sekitar sekitar 10 % dari populasi umum. Dapat timbul pada semua golongan umur, terutam anak dan dewasa, namun berkurang berkurang dengan bertambahnya umur. Faktor herediter berperan, sedangkan jenis kelamin, golongan etnis dan ras tidak berpengaruh. 4. ETIOLOGI Penyebab tersering adalah allergen inhalan (dewasa) dan allergen ingestan (anak-anak). Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Dipeberat oleh faktor non-spesifik, seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembapan yang tinggi. Berdasarkan cara masuknya, allergen dibagi atas : 1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan dengan udara pernafasan, misalnya tungau debu rumah, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan serta jamur. 2. Alerge ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, dan kacang-kacangan. 3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah. 4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetika, perhiasan dan lain-lain.

5. PATOFISIOLOGI Rinitis alergika merupakan suatu penyakit inflamasi ang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi laergi terdiri dai 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlansung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Pada kontak pertama dengan alergn atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap allergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah dip roses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk kmpleks peptida MC kelas II yang kmudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti IL I yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berprolifersi menjadinTh 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin sepertin IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13, IL 4 da IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Ig E. Ig E di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di permukaan sel mastosit atau basofil sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan allergen yang sama, maka kedua rantai Ig E akan mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk terutama histamin. Selain histamin juga di keluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2, Leukotrien C4, bradikinin, Platelet Activating Factor dan berbagai sitokin (IL3,IL 4, IL 5, IL 6, GM-CSF) dan lainlain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang reseptor III pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin2. Histamin juga akan

menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain itu, histamine juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran ICAM I. Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinifil dan netrofil di jaringan target. Respon ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan.Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL 3, IL 4,IL 5 dan GM-CSF dan ICAM I pada secret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau responsive hidung adalah akibat peranan eosinofil dan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinohilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik, iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembapan udara yang tinggi. 6. GAMBARAN HISTOLOGIK Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan sub mukosa. Di luar serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi persisten sepanjang tahun, sehingga terjadi perubahan irreversible, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masunya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi berupa : 1. Respon primer, yaitu proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil selurunya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder, yaitu reaksi bersifat spesifik. Yang mempunyai 3

kemungkinan yaitu : system imunitas seluler atau humoral atau kedua-

duanya dibangkitkan. Bila Ag dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tertier. 3. Respon tertier, yaitu reaksi imunologik yang terjadi yang tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eleminasi Ag oleh tubuh. Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu : 1. Tipe 1 (reaksi anafilaksis/immediate hypersensitifity) 2. Tipe 2 (reaksi sitotoksik) 3. Tipe 3 (reaksi kompleks imun) 4. Tipe 4 (delayed hypersensitivity). 7. KLASIFIKASI Berdasarkan sifat berlangsungnya :
1. Rinitis alergi musiman (seasonal), terjadi pada Negara dengan 4 musim.

Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepung sari dan spora jamur. 2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial), timbul intermitten atau terus menerus, tanpa variasi musim, timbul sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan. Gangguan fisiologik pada golongan perennial lebih ringan dibandingkan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan. Klasifikasi WHO : 1. Intermitten : bila gejala kurang dari 4 hari/ minggu. 2. Persisten : bila gejala lebih dari 4 hari /minggu dan lebih dari 4 minggu. Berdasarkan berat ringannya penyakit :
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,

bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu. 2. Sedang-berat, bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas. 8. GEJALA KLINIK 1. Serangan bersin berulang lebih dari 5 kali dalam satu kali serangan. 2. Rinore yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, kadang disertai lakrimasi.

3. Gejala spesifik lain pada anak-anak bila penyakit berlangsung lama(lebih

dari 2 tahun) adalah bayangan gelap di daerah bawah mata (allergic shiner) akibat stasis vena sekunder karena obstruksi hidung. Anak sering menggosok-gosok hidung dengan punggung tangan (allergic salute). Lama- lama akantimbul garis melintang di dorsum nasi seperti bawah bawah (allergic crease). 4. Sering disertai penyakit alergi lainnya seperti asma, urtikaria, atau eksim. 9. DIAGNOSIS Diagnosis rhinitis alergi ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis

Gejala rhinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang, rinore yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal yang kadang disertai dengan banyaknya air mata kelur (lakrimasi). 2. Pemeriksaan Fisik Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak adalah allergic shiner, allergic salute, dan allergic crease, serta facies adenoid. Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue). 3. Pemeriksaan Penunjang Hitung jenis : peningkatan kadar Ig E RAST (Radio Immuno Sorbent Assay Test) ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test) Pemeriksaan stologi hidung Prick test Skin End-point Titration(SET) Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT) Diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test)

10. DIAGNOSIS BANDING 1. Rinitis non alergi 2. Rinitis infeksiosa 3. Common cold 11. PENATALAKSANAAN 1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebabnya. 2. Medikamentosa Antihistamin, dianjurkan AH-1 karen a bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sl target. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa, dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal.

Preparat kortikosteroid, diberikan bila respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan pengobatan sebelumnya. Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.

3. Operatif Tidakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau triklor asetat. 4. Imunoterapi Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari adalah pembentukan IgG

bocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual. 12. KOMPLIKASI Komplikasi rhinitis alergi yang sering adalah : 1. Polip hidung Alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknyapolip hidung dan kekambuhan polip hidung. 2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis Paranasal.

LAPORAN KASUS IDENTITAS PASIEN Nama Umur Pekerjaan Alamat ANAMNESIS Seorang pasien wanita berumur 17 tahun datang ke Poliklinik THT RS DR.M Djamil Padang tanggal 25 Oktober 2008 jam 09:30 dengan : Keluhan Utama : Bersin-bersin 5 jam yang lalu Keluhan Tambahan : Hidung sering gatal sejak 4 tahun yang lalu Riwayat penyakit Sekarang : : Nn. G : 17 tahun : Pelajar SMU : Cendana Mata Air

Jenis kelamin : Perempuan Suku bangsa : Minang

Bersin-bersin 5 jam yang lalu, keluhan ini sudah dirasakan pasien

sejak 4 tahun yang lalu. Bersin terus-menerus, selama lebih kurang 3 jam, setiap serangan lebih dari 5 kali dan lebih dari 4 hari dalam seminggu. Bersin-bersin didahului oleh hidung gatal-gatal dan kemudian keluar ingus encer dari hidung yang berwarna jernih, tidak berbau, tidak disertai darah dan membasahi beberapa helai tissue, kadang-kadang disertai dengan keluarnya air mata. Keluhan ini muncul saat pagi hari, cuaca dingin dan terkena debu sewaktu membersihkan rumah. bersin. Sakit kepala dirasakan setiap bersin. Demam tidak ada Wajah terasa penuh tidak ada Telinga terasa penuh dan berair tidak ada Riwayat sakit tenggorokan tidak ada Rasa menelan cairan di tenggorokan tidak ada Alergi makanan tidak ada Riwayat gatal-gatal dan bentol pada kulit atau kaligata tidak ada Sesak napas atau napas berbunyi menciut tidak ada Pasien pernah berobat ke dokter praktek lebih kurang 3 tahun yang Mata terasa gatal dan berair, sekitar bibir juga terasa gatal setiap

lalu, diberi obat makan namun pasien tidak tahu nama obatnya, setelah minum obat ada perbaikan. Setelah itu pasien tidak pernah lagi berobat ke dokter karena keadaan ini tidak mengganggu aktivitas sehari-hari dan sekolahnya serta keluhan dapat hilang dengan sendirinya. Riwayat penyakit dahulu Pasien menderita asma pada waktu masih anak-anak, namun sekarang tidak pernah kambuh lagi Riwayat Penyakit keluarga Adik dari ayah (tante) pasien menderita penyakit dengan keluhan yang sama

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, dan Kebiasaan Pasien seorang pelajar SMA Ventilasi rumah cukup baik Tidak ada memelihara binatang peliharaan dirumah Tidak menggunakan karpet dan kasur kapuk.

PEMERIKSAAN FISIK Status Generalisata Keadaan Umum Kesadaran Tekanan Darah Frekuensi Nafas Frekuensi Nadi Suhu Pemeriksaan Sistemik Kepala Mata Thorak Abdomen Ekstremitas STATUS LOKALIS THT Telinga Pemeriksaan Daun telinga Kelainan Kel. Congenital Trauma Radang Kel. Metabolik Nyeri tarik Nyeri tekan tragus Cukup lapang (N) Sempit Hiperemis Edema Dekstra Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Cukup lapang Tidak ada Tidak ada Sinistra Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Cukup lapang Tidak ada Tidak ada : tidak ada kelainan : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik : Jantung dan paru dalam batas normal : Hepar dan lien tidak teraba, normal, distensi tidak ada bising usus (+) : Baik : CMC : 110/80 mmHg : 78 x/ menit : 18 x/menit : afebris

: Edema tidak ada, perfusi jaringan baik

Dinding Liang Telinga

Massa Bau Warna Jumlah Jenis Membrana Timpani : sukar dinilai Mastoid Tanda radang Fistel Sikatrik Nyeri tekan Nyeri ketok Tes Garpu Tala Rinne Schwabach Sekret/serumen Weber Kesimpulan Hidung Pemeriksaan Hidung luar

Tidak ada Tidak berbau kecoklatan Banyak lunak Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Positif Sama dengan

Tidak ada Tidak berbau Kecoklatan Banyak Keras Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Positif Memanjang

pemeriksa Lateralisasi ke kiri Tuli konduktif auris sinistra

Kelainan Dekstra Deformitas Tidak ada Kel. kongenital Tidak ada Trauma Tidak ada Radang Tidak ada Massa Tidak ada Allergic shiner + Allergic salute : tidak ada Nyeri tekan Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Cukup lapang Meatus media Serous Sedang Tidak berbau Eutrofi Livide Licin Tidak ada Eutrofi Livide

Sinistra Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada + Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Cukup lapang Meatus media Serous Sedikit Tidak berbau Eutrofi Livide Licin Tidak ada Eutrofi Livide

Sinus Paranasal Rhioskopi Anterior Vestibulum Vibrise Radang Cavum Nasi Cukup lapang (N) Sempit Lapang Sekret Lokasi Jenis Jumlah Bau Konkha inferior Ukuran Warna Permukaan Edema Konkha media Ukuran Warna

Septum

Permukaan Edema Cukup lurus/deviasi Permukaan Warna Spina Krista Abses Perforasi

Licin Tidak ada Cukup lurus Licin Merah muda Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Licin Tidak ada Cukup lurus Licin Merah muda Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Massa : tidak ada Rhinoskopi Posterior (Nasofaring) Pemeriksaan Koana Mukosa Konkha inferior Kelainan Cukup lapang (N) Sempit Lapang Warna Edema Jaringan granulasi Ukuran Warna Permukaan Edema Ada/tidak Tertutup sekret Edema mukosa Ada/tidak Jenis Dekstra Cukup lapang Merah muda Tidak ada Tidak ada Eutrofi Merah muda licin Tidak ada Tidak ada tidak Tidak ada Tidak ada Sinistra Cukup lapang Merah muda Tidak ada Tidak ada Eutrofi Merah muda Licin Tidak ada Tidak ada Tidak Tidak ada Tidak ada -

Adenoid Muara tuba eustachius Massa : tidak ada Post Nasal Drip

Orofaring dan Mulut Pemeriksaan Palatum Mole + Arcus Faring Dinding Faring Kelainan Simetris/tidak Warna Edema Bercak/eksudat Warna Permukaan Dekstra simetris Merah muda Tidak ada Tidak ada Merah muda bergranul Sinistra Simetris Merah muda Tidak ada Tidak ada Merah muda Bergranul

Tonsil

Ukuran Warna Permukaan Muara kripti Detritus Eksudat Perlengketan dengan pilar Warna Edema Abses

T1 Merah muda Rata Tidak melebar Tidak ada Tidak ada Tidak ada Merah muda Tidak ada Tidak ada Merah muda normal Tidak ada Tidak ada

T1 Merah muda Rata Tidak melebar Tidak ada Tidak ada Tidak ada Merah muda Tidak ada Tidak ada Merah muda Normal Tidak ada Tidak ada

Peritonsil

Tumor : tidak ada Gigi : karies tidak ada Lidah Warna Bentuk Deviasi Massa Laringoskopi Indirek Pemeriksaan Epilotis Kelainan Bentuk Warna Edema Pinggir rata/tidak Massa Warna Edema Massa Gerakan Warna Edema Massa Warna Gerakan Pinggir medial Massa Massa Sekret ada/tidak Massa Sekret Massa Sekret

Aritenoid

Ventrikular band Plica vokalis

Subglotis/trakeaa Sinus piriformis Valekule

Dekstra Normal Merah muda Tidak ada Rata Tidak ada Merah muda Tidak ada Tidak ada Normal Merah muda Tidak ada Tidak ada Putih Normal Normal Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Sinistra Normal Merah muda Rata Tidak ada Merah muda Tidak ada Tidak ada Normal Merah muda Tidak ada Tidak ada Putih Normal Normal Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher

Inspeksi Palpasi

: Tidak terlihat pembesaran kelenjar getah bening : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening

Diagnosis Kerja : 1.Rinitis Alergi persisten derajat ringan 2.Tuli konduktif auris sinistra Diagnosis Banding : - Rinitis vasomotor - Rhinitis infeksi Pemeriksaan Anjuran : Tes Alergi Terapi : - Antihistamin : Methydrolin napadisylat 3 x 50 mg - Metil prednisolon 3 x 4 mg - Tetes telinga karbogliserin 10% Terapi Anjuran : Prognosis Nasihat : Quo ad vitam Quo ad sanam : bonam : bonam

: - Hindari faktor-faktor pencetus alergi - Saat membersihkan rumah, gunakan masker - Menjaga daya tahan tubuh seperti makan teratur dan cukup gizi, istirahat yang cukup.

DISKUSI Telah dilaporkan seorang wanita usia 17 tahun dengan diagnosis kerja Rhinitis Alergi Persisten derajat ringan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yaitu seragan bersin berulang dengan keluarnya ingus yang encer dan banyak, hidung dan mata gatal, kadang-kadang keluar air mata. Keluhan ini timbul pada pagi hari, cuaca dingin dan saat terkena debu. Keadaan ini timbul karena histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin.Histamin juga akan menyebabakan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi rinore (keluar ingus). Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Catonic Protein (ECP), Eosinophilic Derivate Protein (EDP), Mayor Basic Protein (MBP), Eosinophilic Peroxidase (EP). Faktor risiko pada pasien ini adalah pasien mempunyai riwayat asma pada saat anak-anak namun sekarang tidak pernah kambuh lagi. Dari riwayat penyakit keluarga juga diketahui bahwa adik ayah pasien juga menderita penyakit dengan gejala yang sama. Berdasarkan klasifikasi rhinitis alergi menurut WHO tahun 2000, pasien digolongkan pada rinitis alergi persisten karena gejala yang timbul lebih dari 4 hari/minggu, sedangkan untuk tingkat berat ringan penyakitnya digolongkan pada derajat ringan karena keadaan ini tidak mengganggu aktivitas harian, berolahraga, sekolah, belajar dan hal-hal lain. Pada pemeriksaan hidung luar, ditemukan allergic shiner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasisvena sekunder akibat obstruksi hidung. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan konkha inferior dan media dekstra dan sinistra berwarna livide akan tetapi masih dalam ukuran normal. Ditemukan sekret pada meatus media dekstra dan sinistra berwarna bening, encer.

Penatalaksanaan pada pasien ini adalah dengan memberikan antihistamin H1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H1 sel target. Antihistamin berguna untuk mengatasi gejala pada respon cepat seperti rinore, bersin dan gatal. Selain itu juga diberikan kortikosteroid untuk mengatasi inflamasi. Selain itu pasien disarankan untuk menghindari faktor-faktor pencetus dan menjaga daya tahan tubuh. Pasien dianjurkan untuk melakukan tes alergi untuk mengetahui faktor penyebab rhinitis alerginya sehingga penanganan pasien dapat lebih terarah. Pada pasien juga ditemukan serumen yang banyak dan keras di telinga kiri. Dari tes dengan penala ditemukan Rinne positif, Schwabach memanjang dan Weber lateralisasi ke kiri. Berdasarkan pemeriksaan tersebut pasien didiagnosis tuli konduktif auris sinistra. Rinne masih positif jika tuli konduktif< 30 dB. Penatalaksanaan pada pasien ini adalah dengan memberikan tetes karbogliserin 3%.

Anda mungkin juga menyukai