Anda di halaman 1dari 22

TUGAS MANDIRI

KEHIDUPAN BERAGAMA DI LINGKUNGAN KELUARGA

Mata Kuliah : Pendidikan Agama Buddha

Nama : Irvon Anggraini

NPM : 160810058

Prodi : Akuntansi

UNIVERSITAS PUTERA BATAM


FAKULTAS EKONOMI PRODI AKUNTANSI
TAHUN 2017

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur Saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, telah
menyelesaikan tugas mata kuliah Pendidikan Agama Buddha dengan
tema pembahasan mengenai “Pelaksanaan Agama Buddha Dalam
Kehidupan Sehari Hari Dalam Keluarga” dalam bentuk makalah.

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang
saya hadapi. Namun saya menyadari bahwa kelancaran dalam
penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan
orang tua, sehingga kendala-kendala dapat teratasi.

Saya berharap makalah ini dapat bermanfaat dan dapat menambah


wacana dan keilmuan bagi pembaca. Dan sangat bersyukur sekali dapat
dikembangkan menjadi hal yang bermanfaat lagi sesuai dengan
kebutuhannya.

Akhir saya menyadari tulisan ini memiliki banyak kekurangan, karena itu
sangat diharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca demi
perbaikan dan sekaligus memperbesar manfaat tulisan ini sebagai
referensi.

Sadhu…Sadhu…Sadhu…
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
(Semoga Semua Makhluk Bahagia)

Batam, 07 Juli 2017


Penyusun,

Irvon Anggraini

i
DAFTAR ISI

Kata Pengatar ............................................................................. ii

Daftar Isi ......................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................. 3

1.3 Tujuan ................................................................................ 3

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Pandangan Agama Buddha................................................ 4

2.2 Perayaan Hari-hari Suci...................................................... 5

2.3 Tradisi dan Adat Istiadat ..................................................... 6

2.4 Kehidupan Beragama dalam Keluarga ............................. 10

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Agama dalam Keluarga .................................................... 12

3.2 Kesadaran dalam Beragama ............................................ 14

3.3 Keluarga Harmonis Buddhis ............................................. 16

BAB IV KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan....................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA................................................................... 19

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Menurut KBBI Agama merupakan ajaran, sistem yang


mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada
Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan
pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Dan Agama
Juga dapat dikatakan sebagai pengalaman dan penghayatan dunia
dalam seseorang tentang ke-Tuhanan disertai keimanan dan
peribadatan. Pengalaman dan penghayatan itu merangsang dan
mendorong individu terhadap hakikat pengalaman kesucian,
penghayatan terhadap ke-Tuhanan atau sesuatu yang dirasakannya
supernatural dan diluar batas jangkauan dan kekuatan manusia.
Dan Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya
dan masyarakat.
Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara
keluarga, masyarakat dan pemerintah. Pendidikan agama merupakan
salah satu alat untuk dapat membimbing seseorang menjadi orang
yang baik terutama dalam pembentukan kepribadian. Dengan
pendidikan agama akan terbentuk karakter akhlakul karimah sehingga
mereka mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak
baik.
Tujuan daripada Pendidikan adalah menciptakan seseorang
yang berkwalitas dan berkarakter sehingga memiliki pandangan yang
luas kedepan untuk mencapai suatu cita- cita yang di harapkan dan

1
mampu beradaptasi secara cepat dan tepat di dalam berbagai
lingkungan. Karena pendidikan itu sendiri memotivasi diri kita untuk
lebih baik dalam segala aspek kehidupan.
Di Indonesia, pendidikan agama mempunyai tujuan kedua-
duanya. Selain untuk menciptakan manusia-manusia berilmu
pengetahuan dan menumbuhkan kohesi sosial, artinya mewujudkan
keseimbangan kehidupan di tengah masyarakat, pendidikan agama di
Indonesia juga untuk membentuk manusia yang shaleh. Pendidikan
Agama di Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam
membentuk karakter siswa disamping menumbuhkan keterampilan
ilmu pengetahuan. Itulah yang membedakan fungsi dan tujuan
pendidikan agama di Indonesia dengan negara-negara lain di Timur
Tengah, Eropa, dan Amerika.
Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama dimana anak
berinteraksi sebagai lembaga pendidikan yang tertua, karena sebagian
besar kehidupan atau aktifitas anak dilakukan didalam keluarga,
sehingga pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah dalam
keluarga dan disinilah dimulai suatu proses pendidikan. Sehingga
orang tua berperan besar sebagai pendidikan bagi anak-anaknya.
Proses pembentukan tingkah laku atau kepribadian ini hendaklah di
mulai dari masa kanak-kanak, karena masa ini termasuk masa yang
sangat sensitive bagi perkembangan kemampuan berbahasa, cara
berpikir dan sosislisasi anak. Di dalamnya terjadi proses pembentukan
jiwa anak yang menjadi dasar keselamatan mental dan moralnya.
Sering kali anak remaja kontradiksi dengan orang-orang disekitarnya,
seperti enggan bekerja sama, membantah dan menentang.
Di sini peran serta orang tua adalah harus memberikan
perhatian ekstra terhadap masalah pendidikan anak dan
mempersiapkannya untuk menjadi insane yang handal dan aktif di
masyarakatnya kelak.Dalam hal ini,keluarga sebagai peletak dasar
bagi perkembangan pribadi anak yang pertama dansebagai tempat
utama anak mengenal.Kehidupannya sangat berperan dalam

2
pembentukan kepribadian anak.Kepribadaian orang tua memberi
pengaruh yang besar terhadap terbentuknyakepribadian anak, sebab
segala tingkah laku orang tua mempengaruhi anak. Olehkarena itu,
para orang tua harus menyadari, bahwa kepribadian muslim anak
hanya dapat dibentuk melalui pendidikan akhlak.

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana Pendidikan Agama dalam Keluarga
b. Kesadaran dalam beragama
c. Keluarga dalam Agama Buddhis

1.3 TUJUAN
Pendidikan agama Buddha bertujuan agar :
a. Agar lebih mengenal maksud daripada Agama dalam segala
lingkungan terutama dalam lingkungan keluarga.
b. Dapat mengembangkan keyakinan (Saddha) kepada Sang Trirtna
Buddha,Dhamma, dan Sangha, Para Bhodhisattva dan Mahasatva.
c. Mengembangkan manusia Indonesia yang memahami,
menghayati, dan mengamalkan/menerapkan dharma sesuai
dengan ajaran Buddha yang terkandung dalam kitab suci
tripitaka sehingga menjadi manusia yang bertanggung jawab sesuai
dengan prinsip
dharma dalam kehidupan sehari-hari.

3
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 PANDANGAN AGAMA BUDDHA

Buddha Dhamma sebagai suatu agama atau sebagai suatu


cara hidup yang benar dihargai oleh orang-orang berintelek tinggi di
banyak bagian dunia ini. Alasan yang sederhana ialah bahwa Sang
Buddha, pendiri agama ini, adalah guru yang telah mencapai
penerangan sempurna dan berpandangan luas. Cara hidup menurut
agama Buddha sangatlah sederhana; bebas dari kepercayaan
membuta dan dogma-dogma. Sayang sekali banyak orang yang belum
mengerti bagaimana menempuh cara hidup yang benar menurut
agama Buddha. Dewasa ini, di banyak bagian dunia ini, dan bahkan di
antara masyarakat beragama Buddha sendiri, berbagai kepercayaan
dan praktek masih dilakukan atas nama agama ini. Banyak diantara
praktek-praktek ini sama sekali bukan ajaran asli Sang Buddha dan
bahkan kadang-kadang bertentangan. Sebenarnya banyak orang telah
mengabaikan dan melupakan cara hidup yang benar menurut agama
Buddha. Banyak pula yang mempunyai pengertian yang keliru
mengenai segi-segi panting tertentu dari agama ini. Dengan harapan
untuk menghilangkan pandangan salah dan memberikan penerangan
kepada masyarakat inilah, maka buku kecil ini diterbitkan.
Mengerti cara hidup menurut agama Buddha berarti harus
menempuh cara hidup yang benar. Menghargai sifat kehidupan ini
berarti mencapai suatu kehidupan nan bahagia dan damai.
Orang-orang tertentu yang disebut kaum intelektuil
menggunakan Buddhisme hanya sebagai suatu dasar bagi pokok
pembicaraan mereka dalam membahas segi-segi metafisika dan
filsafat agama ini. Mereka mencemoohkan kebiasaan-kebiasaan
kebudayaan umat Buddha yang telah diterima, bahkan menyalahkan
kebiasaan-kebiasaaan demikian. Suatu agama tanpa pengertian dan

4
agama yang tidak meresap ke dalam kebudayaannya tak akan dapat
bertahan, agama itu hanya akan menjadi filsafat kering dan
menghilangkan beberapa waktu kemudian. Toleransi adalah hal utama
dalam ajaran-ajaran Sang Buddha. Jika seserang tidak dapat
menerima pelaksanaan-pelaksanaan budaya tertentu, ia setidak-
tidaknya harus membiarkan pelaksanaan-pelaksanaan tersebut. Dalam
pada itu, seseorang harus meneliti makna dan arti yang mendasari
pelaksanaan tersebut daripada ia mengeluarkan kata-kata yang
gegabah dan tidak pada tempatnya.
Pengembangan batin adalah segi terpenting dari agama.
Untuk mencapai perkembangan batin ini, kita harus memulai dengan
menumbuhkan dasar moral yang kuat sehingga kita mempunyai dasar
yang teguh, dan dengan mengerti ajaran-ajaran Sang Buddha, kita
dapat memperoleh inspirasi batin yang diperlukan. Rasa terima kasih
dan penghormatan kita tertuju kepada Sang Guru Agung, Ajaran-
ajaranNya dan Sangha tidak boleh dilupakan. Dengan demikian kita
mempunyai tiga objek suci, Buddha, Dhamma dan Sangha, yang
dalam bahasa Buddhis biasa kita sebut Tiratana yang harus kita
hormati. Pencapaian pengembangan batin dan penghormatan pada
Sang Tiratana adalah jalan yang dapat membawa kita kepada
kehidupan yang benar menuju kedamaian, kebahagiaan dan
keselamatan akhir. Inilah tujuan setiap umat Buddha.

2.2 Perayaan Hari-Hari Suci

Penyelenggaraan upacara keagamaan untuk peringatan di


wihara atau di rumah merupakan suatu bentuk lain untuk menghormati
orang yang meninggal dunia. Ini dapat diikuti dengan perbuatan jasa
yang lain dengan memberikan dana kepada bhikkhu-bhikkhu dan
orang-orang miskin. Penyelenggaraan upacara peringatan biasanya
dilakukan pada hari ketujuh setelah seseorang meninggal dunia dan
juga pada bulan ketiga atau hari keseratusnya. Selanjutnya upacara
itu dapat dilakukan pada hari peringatan tanggal kematiannya. Bagi

5
mereka yang mampu, suatu bentuk perbuatan jasa yang lebih patut
dipuji adalah berdana kepada yayasan keagamaan atau panti derma
guna menghormati orang yang telah meninggal duniai atau
menerbitkan buku-buku keagamaan untuk dibagikan pada masyarakat
untuk memberi penerangan mengenai ajaran Sang Buddha nan
agung.

2.3 TRADISI DAN ADAT ISTIADAT

Pelaksanaan tradisi dan adat istiadat kebangsaan tidak perlu


dibuang bila seseorang menjadi umat Buddha atau mengikuti ajaran
Sang Buddha. Sesungguhnya Sang Buddha menasihati para
pengikutnya untuk menghormati tradisi dan adat istiadat mereka
sendiri jika hal itu mempunyai arti penting dan tidak merugikan.
Sebaliknya, jika praktik-praktik itu bertentangan dengan atau
melanggar prinsip-prinsip Buddhis yang fundamental, membahayakan
orang lain, atau menyusahkan, maka praktik-praktik itu hendaknya
dibuang, betapapun hal itu ditujukan untuk maksud baik. Beberapa
tradisi serta adat istiadat yang telah melekat dalam agama Buddha,
Seperti ;

Pemberkatan Rumah
Menempati suatu rumah baru atau pindah dari suatu rumah ke
rumah lainnya sering diikuti dengan sesuatu bentuk peringatan atau
upacara selamatan. Adalah suatu tradisi Buddhis bagi keluarga yang
bersangkutan untuk mengundang para bhikkhu untuk memberikan
berkah demi kedamaian, kesejahteraan dan keselarasan rumah
tangga itu.

Penghormatan Kepada Para Dewa Dan "Roh" Suci


Di banyak rumah umat Buddha, pesta-pesta tertentu atau
perayaan-perayaan khusus diadakan untuk menghormati berbagai
dewa dan "roh" suci yang dipuja di dalam rumah mereka atau di kuil-
kuil. Walaupun tidak ada keberatan khusus sepanjang hal itu tidak

6
melanggar azas-azas pokok Buddhis, namun harus ditarik suatu
perbedaan terhadap kenyataan bahwa perayaan-perayaan yang
demikian sifatnya tidaklah mernbantu dalam kemajuan batin kita
kecuali untuk kemajuan duniawi. Hal-hal itu harus dengan jelas
dibedakan dari Buddha Dhamma sendiri. Oleh karena itu kita jangan
memperkenalkan kebiasaan-kebiasaan menurut adat atau tradisi ini
sebagai kebiasaan-kebiasaan agama Buddha. Menurut ajaran-ajaran
Sang Buddha cara yang tepat untuk mengenang atau menghormati
dewa-dewa ini adalah melalui pemindahan jasa-jasa dengan jalan
melaksanakan perbuatan-perbuatan berjasa dan memancarkan cinta
kasih (Metta) kita kepada mereka melalui meditasi.

Pemberkahan Bagi Anak Yang Baru Dilahirkan


Orang tua anak yang baru melahirkan diminta untuk
membawa anak itu ke wihara untuk menerima berkah Sang Tiratana
setelah anak itu berusia satu bulan. Persembahan bunga, dupa, lilin
atau buah-buahan boleh dilakukan di ruang pemujaan wihara itu dan
bhikkhu-bhikku yang tinggal di wihara itu diminta untuk membacakan
sutta-sutta untuk memberkahi anak tersebut. Jika dikehendaki, boleh
juga dimintakan nasihat para bhikku itu untuk memberikan nama
Buddhis yang cocok bagi anak tersebut.
Pernikahan
Biasanya di beberapa negara Buddhis pasangan yang
bertunangan mengundang para bhikkhu untuk memberikan
pemberkahan di rumah mereka ataupun di wihara sebelum hari
pernikahan. Jika dikehendaki, Persembahan sederhana berupa
bunga, dupa dan lilin adalah sernua yang diperlukan untuk kebaktian
Pemberkahan sederhana yang diikuti oleh orang tua kedua pihak dan
sanak keluarga serta kawan-kawan yang diundang. Pemberkahan
demikian, yang diberikan pada hari bertuah, akan menjadi suatu
sumbangan spiritual yang pasti untuk keberhasilan, langkah dan
kebahagiaan pasangan yang baru menikah.

7
Sakit
Pemberkahan seperti itu dapat menanamkan pengaruh
spiritual dan kejiwaan pada si pasien sehingga mempercepat
penyembuhannya. Khususnya bila penyakit itu kebetulan
berhubungan dengan sikap batin si sakit, suatu pelayanan spiritual
oleh seorang bhikkhu akan sangat menolong. Dalam hal terdapat
kepercayaan bahwa suatu penyakit disebabkan oleh pengaruh buruk
dari luar atau "roh-roh" jahat, maka suatu kebaktian Pemberkahan
dapat menjadi obat penawar yang baik. Tetapi, sebagai umat Buddha
yang mengerti, kita jangan menyerahkan diri pada kepercayaan atau
khayalan keliru bahwa "roh-roh" jahat merupakan sebab penyakit kita.

Nasihat Sang Buddha:"Bilamana badanmu sakit, jangan


biarkan pikiranmu menjadi sakit juga", sungguhlah benar. Sesuai
dengan nasehat ini, kita harus mempergunakan kecerdasan dan
pikiran sehat kita untuk mencari pengabatan medis yang cocok untuk
penyakit kita daripada menyerah pada tahyulan.

Pemakaman
Bertentangan dengan kepercayaan popular dalam
masyarakat, upacara pemakaman Tionghoa yang sangat ramai, rumit
dan kadang-kadang menyolok yang menelan biaya jutaan rupiah dan
sering dikatakan sebagai kebiasaan normal bagi umat Buddha
sebenarnya sama sekali bukanlah pelaksanaan Buddhis. Kebiasaan-
kebiasaan itu hanya merupakan pengabdian adat istiadat dan tradisi
kuno yang berasal dari generasi lampau. Meskipun agama Buddha
tidak berkeberatan terhadap penerusan pelaksanaan itu, sepanjang
praktik-praktik itu tidak bertentangan dengan ajaran Sang Buddha,

Upacara pemakaman secara Buddhis hendaknya sederhana,


khidmat, terhormat dan penuh arti. Bhikku-bhikku boleh diundang ke
rumah orang yang meninggal dunia untuk membacakan sutta-sutta
sebelum pemakaman. Pelayanan seperti ini diberikan dengan
sukarela oleh para bhikkhu tanpa sesuatu pembayaran. Persembahan

8
bunga-bunga dan pembakaran hio dan lilin adalah kebiasaan normal
dan dapat diterima.

Penguburan
Banyak umat Buddha mempersoalkan apakah seorang yang
meninggal dunia harus dikubur atau diperabukan. Buddha Dhamma
bersikap lunak dalam persoalan ini. Tidak ada aturan yang keras dan
ketat, meskipun di beberapa negara Buddhis perabuan merupakan
kebiasaan yang lazim. Pilihan atas sesuatu cara pada dasarnya
tergantung pada "permintaan terakhir" dari orang yang meninggal
dunia atau atas kebijaksanaan keluarga terdekat.

Namun, dalam pandangan modern, perabuan dianjurkan


sebagai suatu bentuk pengaturan mayat yang sesuai dengan syarat-
syarat kesehatan. Baik dalam penguburan atau perabuan, telah
diperhatikan bahwa orang-orang tertentu memasukkan benda-benda
berharga milik orang yang meninggal dunia ke dalam peti mati atau
tempat perabuan dengan harapan dan keyakinan bahwa orang yang
meninggal dunia mendapat keuntungan daripadanya.

Pengaturan Abu
Pertanyaan sering diajukan tentang apakah yang harus
dilakukan terhadap abu jenazah yang telah diperabukan. Tidak ada
aturan yang keras dan ketat tentang pengaturannya. Abu itu dapat
disimpan dalam sebuah guci dan diletakkan dalam suatu pagoda yang
khusus didirikan dalam sebuah wihara untuk maksud itu atau dapat
disimpan di mana saja menurut kehendak keluarga terdekat. Pada
umumnya, setelah kebaktian singkat abu jenazah ditaburkan ke dalam
laut atau sungai.

Menghormati Orang Yang Meninggal Dunia


Persembahan bunga adalah suatu bentuk penghormatan yang
lazim untuk mengenang orang yang meninggal dunia. Namun, dalam
hubungan ini juga, dilakukan hal-hal yang berlebih-lebihan karena

9
pada upacara-upacara kita melihat karangan-karangan bunga bernilai
ratusan ribu rupiah bertumpuk-tumpuk diatas makam, yang hanya
dibersihkan sebagai sampah dalam satu atau dua hari berikutnya.
Untuk menghindari pemborosan seperti ini, suatu kebiasaan yang
lebih dapat diterima dan lebih layak telah disetujui oleh orang-orang
masa kini yang lebih mengerti.

Penghormatan kepada orang yang meninggal dunia biasanya


pertama-tama diberikan oleh keluarga terdekat orang yang meninggal
dunia itu.

Upacara Peringatan
Penyelenggaraan upacara keagamaan untuk peringatan di
wihara atau di rumah merupakan suatu bentuk lain untuk menghormati
orang yang meninggal dunia. Ini dapat diikuti dengan perbuatan jasa
yang lain dengan memberikan dana kepada bhikkhu-bhikkhu dan
orang-orang miskin. Penyelenggaraan upacara peringatan biasanya
dilakukan pada hari ketujuh setelah seseorang meninggal dunia dan
juga pada bulan ketiga atau hari keseratusnya. Selanjutnya upacara
itu dapat dilakukan pada hari peringatan tanggal kematiannya.

2.4 Kehidupan Beragama dalam Keluarga

Setiap keluarga mempunyai suatu aturan tersendiri. Baik


dalam hal pengaturan ekonomi ataupun dalam pola pengasuhan
anak. Dalam hal ini pola pengasuhan anak sangatlah penting karena
untuk menciptakan generasi penerus yang baik. Untuk masalah
agama juga harus menjadi hal yang utama, karena agamalah yang
akan menjadi pedoman dalam menjalani hidup. Agama mempunyai
banyak aturan yang baik untuk para umatnya. Agama tidak pernah
mengajarkan hal yang menyeleweng. Jika terjadi penyelewengan
dalam setiap perilaku anak atau manusia, itu mungkin karena pola
pengasuhan dan pendidikan agama yang diajarkan oleh orang tua
masih sangat kurang. Sebagai contoh ada suatu keluarga yang si

1
orang tua sangatlah taat pada agama, dan mereka mengajarkan
agama pada anaknya secara terus menerus dan selalu memberikan
contoh yang baik pada anaknya. Dan pada suatu keluarga yang lain si
orang tua tidak terlalu peduli pada ajaran agamanya sehingga
pengajaran untuk anaknya pun menjadi terbengkalai. Dari contoh
tersebut kita akan mengetahui hasil dari ajaran orang tua masing-
masing, dilihat dari perilaku si anak di lingkungannya. Pastinya akan
terdapat suatu perbedaan yang sangat mencolok. Untuk mengetahui
akibat yang ditimbulkan dengan pentingnya suatu pengajaran agama
dalam keluarga bagi kehidupan lingkungannya.

1
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Agama dalam Keluarga

Dalam keberagamaan, keluarga memiliki peran yang sangat


penting karena sebagai media pertama yang diterima oleh seorang anak.
Berdasarkan sabda Buddha, dapat dirumuskan bahwa perkawinan adalah
ikatan lahir dan batin dari dua orang yang berbeda jenis kelamin, yang
hidup bersama untuk selamanya dengan melaksanakan Dharma
(termasuk vinaya). Apa yang disebut kebahagiaan dalam kehidupan
sekorang ataupun kehidupan yang akan datang menghendaki adanya
keyakinan, sila, kemurahan hati, dan kebijaksanaan yang sebanding.

Saddha atau keyakinan dikatakan demikian apabila “ia percaya


pada penerangan agung dan Sang Buddha” (M.53).
Namun keyakinan ini harus “masuk akal dan berdasarkan pada
pengertian” (M.47), dengan demikian ia diharapkan untuk menyelidiki dan
menguji apa yang ia yakini (M.47-49). Sehubungan dengan pengertian
atau rumusan tentang keyakinan dalam Samyutta
Nikaya XLVIII.45 dikatakan “seorang yang memiliki pengertian,
mendasarkan keyakinannya sesuai dengan pengertian”. Jelaslah bahwa
saddha didasarkan pada pengertian, sehingga pengalaman (praktek),
penalaran, dan pengetahuan sangat menentukan tingkat keyakinan dari
yang bersangkutan.

Sila atau pelaksanaan latihan peraturan moral. Sila bukan


peraturan larangan, tetapi ajaran moral dengan tujuan agar umat Buddha
menyadari akan akibat yang baik bila melaksanakannya dan akibat buruk
bila tidak melaksanakannya. Seseorang adalah bertanggung-jawab penuh
pada setiap perbuatannya. Sehingga menurut Buddha Dhamma.

Caga atau kemurahan hati, kedermawanan, kasih sayang yang


dinyatakan dalam bentuk pertolongan melalui perbuatan atau kata-
kata,

1
serta tanpa ada perasaan bermusuhan dan iri hati, agar mahluk lain dapat
hidup dengan tenang, damai dan bahagia.
Panna atau kebijaksanan adalah sebagai hasil dari pengalaman,
penalaran, dari pengetahuan pribadi.Secara ideal, yang dimaksudkan
dengan panna adalah pengertian benar dari penembusan tentang anicca
(ketidak kekalan), dukkha (sulit mempertahankan sesuatu karena sesuatu
itu tidak kekal), dan anatta (tanpa inti atau jiwa yang
kekal) sampai mencapai penerangan sempurna.
Tugas seorang ibu adalah mengasihi, memperhatikan, dan
melindungi anaknya, sekali pun dengan akibat-akibat yang sangat buruk.
Umat Buddha mengikuti ajaran bahwa orang tua mesti memberi perhatian
kepada anaknya seperti bumi mengasihi semua tanaman dan binatang.

Orang tua bertanggung-jawab untuk merawat dan membesarkan


anak-anak mereka. Anak yang tumbuh menjadi kuat, sehat, dan berguna
bagi masyarakat, merupakan hasil dari usaha orang tua. Anak tumbuh
menjadi penjahat, orang tualah yang harus bertanggung-jawab. Tugas
orang tua untuk menuntun anak-anaknya ke jalan yang benar. Seorang
anak pada usianya yang muda, paling mudah terpengaruh, memerlukan
cinta yang lembut, dan perhatian dari orang tuanya. Tanpa kasih-sayang
dan petunjuk orang tua, anak akan menghadapi banyak rintangan, dan
melihat dunia ini sebagai tempat yang ruwet untuk ditinggali.

Buddha memberikan sejumlah kewajiban dan tugas utama yang


harus diperhatikan oleh para orang tua. Salah satunya adalah sikap dan
tindakan untuk menjauhkan anak dari perbuatan yang tidak baik.
Hubungannya dengan hal ini, orang tua harus memberikan perhatian yang
sangat besar bagi anak-anaknya. Bukan apa yang dikatakan, tetapi apa
yang dilakukan orang tua, yang akan diserap oleh anak-anak dengan
polos dan tanpa disadari. Mengikuti kaidah demikian, kebaikan
menghasilkan yang baik dan keburukan membawa yang buruk. Pada
saatnya anak-anak terjun ke masyarakat, tetap membawa sifat-sifat yang
dipelajari dari perilaku orang tuanya.

1
Kewajiban orang tua adalah untuk menyejahterakan anaknya.
Sesungguhnya orang tua yang penuh tanggung-jawab dan kasih sayang
akan memikul tanggung jawab dengan senang hati. Memimpin anak ke
jalan yang benar, orang tua pertama-tama memberi contoh dengan
menjalankan hidup yang benar. Tidak mungkin mengharapkan anak yang
baik namun orang tua tak bermartabat. Di samping hasil karma dari
kehidupan masa lampau yang dibawa oleh seorang anak, mereka juga
akan mewarisi sifat-sifat baik dan jelek dari orang tuanya. Orang tua yang
bertanggung-jawab selayaknya membuat pencegahan dimana dibutuhkan
untuk tidak menularkan hal-hal yang tidak diinginkan kepada
keturunannya.

Sesuai dengan Sigalovada Sutta (D.III.189) orang tua mempunyai


kewajiban terhadap anaknya yaitu (1) mencegah anak berbuat jahat, (2)
menganjurkan anak berbuat baik, (3) memberikan pendidikan profesional
kepada anak, (4) mencarikan pasangan yang sesuai untuk anak, (5)
menyerahkan harta warisan kepada anak pada saat yang tepat.

3.2 Kesadaran dalam Beragama


Kesadaran beragama dalam makalah ini meliputi rasa keagamaan,
pengalaman Buddha Dhamma, keimanan, sikap dan tingkah laku
keagamaan, yang terorganisasi dalam sistem mental dari kepribadiaan.
Keterlibatan fungsi afektif dan konatif terlihat di dalam pengalaman ke-
Tuhanan, rasa keagamaan dan kerinduan kepada Tuhan. Aspek kognitif
nampak dalam keimanan dan kepercayaan. Sedangkan keterlibatan
fungsi motorik nampak dalam perbuatan dan gerakan tingkah laku
keagamaan.
Penggambaran tentang kemantapan kesadaran beragama tidak
dapat terlepas kriteria kematangan kepribadian. Kesadaran beragama
yang mantap hanya tedapat pada orang yang memiliki kepribadian yang
matang. Akan tetapi kepribadian yang matang belum tentu disartai
kesadaran beragama yang mantap. Seseorang yang tidak beragama

1
(atheis) mungkin saja memiliki kepribadian yang matang walaupun ia tidak
memiliki kesadaran beragama.
Kepribadian yang menyakut salah tafsir dan jenis kelamin, bagi
seorang yang mempunyai kepribadian introvert, maka kegagalan dalam
mendapatkan pertolongan tuhan akan menyebabkan salah tafsir akan
sifat tuhan yang maha asih dan penyayang. Perbedaan jenis kelamin dan
kematangan merupakan pula factor yang menentuhkan dalam keraguan
agama. Wanita yang lebih matang dalam perkembangan nya lebih cepat
menunjukan keraguan keraguan dari pad remaja pria, tetapai sebaliknya
dalam kualitas dan kuantitas keraguan remaja putriu lebih kecil jumlahnya,
disamping itu keraguan wanita bersifat alami dan pria bersifat intelek.

Keadaan jiwa remaja yang demikian itu nampak pula dalam dalam
kehidupan agama yang mudah goyah, timbul kebimbangan, kerisauaan
dan konflik batin. Di samping itu remaja mulai menemukan pengalaman
dan penghayatan yang bersifat indiividual dan sukar digambarkan kepada
orang lain seperti dalam pertobatan. Kepercayaannya mulai otonom,
hubungannya dengan tuhan makin disertai kesadaran dan kegiatannya
dalam bermasyarakat makin diwaranai oleh rasa keagamaan.

Perpecahan dan kegoncangan kepribadian yang dialami remaja


terlihat pula dala lapangan peribadatan. Ibadahnnya secara berganti-ganti
ditentukan oleh sikap terhadap dunia dalam dirinya sendiri. Keseimbangan
jasmaniah yang terganggu menyebabkan ketidaktenagan pada diri
remaja. Ia serin tidak tahu sendiri, apa kemauannya. Kalau hari ini ia ingin
kebaktian dengan hikmah, besoknya ia tidak kebaktian lagi. Tetapi dapat
pula remaja menjadi orang yang menghindari peribadatan. Ia menolak
pengikatan norma-norma agama, menolak keharusan-keharusan agama,
malahan ingin mencoba melanggar larangan agama.

Hal ini dapat menimbulakan disorientasi norma dan menimbulkan


usaha penghayatan terhadap norma-norma agama. Ia berusaha mencari-
cari pegangan baru yang lebih mendasar dan lebih mantap. Nilai-nilai

1
pribadi dan hati nuraninya mengalami pembaruan, restrukturalisasi dan
pematangan. Walaupun moral dan agama tidaklah identik, tapi keduanya
berhubungan erat.

3.3 Keluarga Harmonis Buddhis

Kebahagian dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga adalah


sasaran yang dicari-cari dan didambakan oleh setiap keluarga. Paul
Pearsall (1997) menulis sebuah buku „rahasia kekuatan keluarga‟,
mengilustrasikan kekuatan hidup keluarga untuk memperkokoh,
membangkitkan, dan menyembuhkan. Masing-masing individu
mempunyai rumusan tentang kehidupan keluarga yang harmonis tidak
sama, dimana batasan atau kecenderungan setiap individu berbeda-beda.
Begitu pula ajaran agama memberikan rumusan dan cara untuk
merealisasikan kehidupan keluarga yang harmonis dengan uraian dan
metodenya masing-masing.

Hubungan demikian merupakan pertalian dua kepentingan dan


pengorbanan dilakukan demi kepentingan kedua belah pihak. Saling
pengertianlah rasa aman dan puas dalam perkawinan dapat tercapai. Tak
ada jalan pintas kepada kebahagiaan dalam perkewinan. Tak ada dua
orang anak manusia yang bisa hidup bersama dalam hubungan
emosional yang intim dalam waktu yang lama, tanpa harus berhadaban
dengan kesalahpahaman dan perselisihan yang timbul dari waktu ke
waktu. Pengertian dan toleransi dibutuhkan untuk mengatasi perasaan
cemburu, kemarahan, dan curiga. Demikianlah di dunia ini, hidup sesuai
dengan petunjuk Dhamma, pasangan suami istri yang sepadan
kebaikannya, di alam dewa bersuka cita mencapai kebaha•giaan yang di
idam-idamkan” (A. II.61).

Kekuatan keluarga pertama adalah kegiatan ritual keluarga, hal ini


dimaksudkan adalah kesanggupan keluarga untuk mengembangkan
ketetapan dan kelanjutan dengan menyediakan waktu untuk sepenuhnya
melakukan aktivitas keluarga yang paling sederhana, „tidak sekedar
menyelesaikan apa saja‟ guna menikmati kebersamaan melakukan hal
apapun; dengan bertindak atas dasar rasa hormat dalam aktivitas
kehidupan keluarga, yang bukan merupakan tugas atau kewajiban,
melainkan kesempatan untuk bersama.

Pertimbangan keluarga berupa memahami bahwa kita menciptakan


dunia kita sendiri dengan cara yang kita pilih untuk berpikir mengenai
dunia itu, dan bahwa kehidupan keluarga yang rasional membutuhkan

1
tanggung jawab pribadi untuk perasaan dan pikiran kita, serta kepedulian
bahwa kita bukanlah reaktor melainkan interaktor atas kejadian dan
orang-orang dalam kehidupan kita.

Kenangan keluarga adalah tidak pernah melupakan apa yang


diwariskan keluarga kita, dan sanggup melihat masa depan keluarga
sambil memberikan kepercayaan atas senioritas anggota keluarga, respek
atas sejarah/riwayat keluarga serta nilai, dan belajar dari tahap-tahap
perkembangan dan konflik yang telah dilalui anggota-anggota keluarga
demi kita.

Ketegaran keluarga merupakan keberadaan sistem keluarga yang


diterima bersama dengan suara bula untuk menjernihkan tekanan hidup,
kesanggupan untuk tabah dan tetap tumbuh dalam ketidakpastian dan
ketidaktenteraman yang berkepanjangan, serta kesetiaan bahwa
semangat kekeluargaan tak terkalahkan.

Resonansi keluarga harus dibina, berupa kesanggupan


mendengarkan, merasakan, dan berbagi energi spiritual dengan anggota
keluarga, memberikan energi kepada keluarga untuk melangkah dengan
bebas di antara perkembangan individu dan kesatuan keluarga, dan
memandang keluarga sebagai sistem aliran energi alih-alih sekumpulan
orang yang saling terpisah.

Penghormatan keluarga penting dimana berbagi sistem keyakinan


berkenaan dengan tujuan hidup dan komitmen pad kesatuan keluarga
selamanya, yang ditunjukkan dengan sikap anggota keluarga sehari-hari.

1
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan

Keluarga merupakan sekelompok manusia yang terdiri dari suami,


istri, anak-anak (bila ada) yang terikat atau didahului dengan
perkawinan.Perkewinan merupakan persekutuan antara dua individu,
yang diperkaya dan ditinggikan jika perkawinan itu membolehkan
kepribadian yang bersangkutan tumbuh.

Rumah adalah sekolah pertama, dan orang tua sebagai guru yang
pertama bagi anak-anak. Orang tua adalah guru di rumah; guru adalah
orang tua di sekolah. Baik orang tua maupun guru bertanggung-jawab
atas masa depan yang baik bagi anak-anak, yang akan menjadi
sebagaimana mereka dibentuk. Melalui pengembangan batin yang
berdasarkan kebijaksanaan, perilaku moral (sila), konsentrasi, dan belas
kasih. Menyadari betapa pentingnya keterkaitan antara manusia dengan
lingkungan secara luas, sehingga manusia tidak dapat hidup sendiri.
Menjaga keseimbangan antara dunia kecil (diri manusia) dan dunia besar
(lingkungan yang luas).

Membangun keluarga yang harmonis diutuhkan keselarasan dari


semua komunitas anggota keluarga berdasarkan norma keluarga dan
norma dharma sebagai guru keluarga.

1
DAFTAR PUSTAKA

Pearsall P., 1996, Rahasia Kekuatan Keluarga, Jakarta: Pustaka


Delapratasa.

YM. Bhikkhu K. Sri. Dhammananda Nayake Mahathera,


2010, Pelaksanaan Agama Buddha dalam Kehidupan Sehari-hari.
http://bimasbuddha.kemenag.go.id

Mahathera Nyanasuryanadi,2013, Nasihat Buddha untuk


Keluarga. http://surganimmanarati.blogspot.co.id

Dikibhante, 2012, Keharmonisan Keluarga dalam Pandangan Agama


Buddha. https://dikibhante.wordpress.com

Artikel Buddhis, 2011 , Karma Orang Tua dan Anak.


http://artikelbuddhist.com

Anda mungkin juga menyukai