Anda di halaman 1dari 27

Kajian Perbandingan Aturan Zina (overspel) dan

Kumpul Kebo (Kohabitasi) Dalam KUHP dan


RKUHP Sebagai Tindak Pidana Kesusilaan

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas 1 sebelum UTS terkait Mata
Kuliah Kapita Selekta Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Nasional Tahun Akademik 2023.

Disusun oleh :

Marsha Febianinta Putri

NPM : 213300516111

Dosen Pengampu :

Ahmad Sobari, S.H., M.H., Ph.D.


KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat karunia dan rahmatnya
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kajian Perbandingan
Aturan Zina (overspel) dan Kumpul Kebo (Kohabitasi) Dalam KUHP dan
RKUHP Sebagai Tindak Pidana Kesusilaan”.

Makalah ini ditujukan untuk pemenuhan tugas dua sebelum ujian tengah
semester yang ditugaskan oleh Bapak Ahmad Sobari, S.H., M.H., Ph.D
selaku Dosen Pengampu pada mata kuliah Kapita Selekta Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Nasional.

Penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada Dosen Pengampu mata


kuliah Kapita Selekta Hukum Pidana yang telah membimbing selama
pembelajaran. Ucapan terimakasih kepada pihak terkait pembuatan makalah
ini yang telah menunjang selama penyelesaian penulisan ini.

Masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karenanya,


kritik dan saran terbuka untuk memperkaya isi makalah ini. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya dan sebagai
amal jariyah untuk penulis maupun pembaca.

Akhirul Qalam, Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jakarta, 15 Mei 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER ...................................................................................................... i

KATA PENGANTAR .............................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................ iii

BAB I : PENDAHULUAN.........................................................................1

A. Latar Belakang Masalah .........................................................................1

B. Rumusan Masalah ..................................................................................4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ...............................................................4

D. Metode Penulisan ...................................................................................5

E. Sistematika Penulisan .............................................................................5

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ............................................................6

A. Zina (overspel) ............................................................................................6


B. Faktor adanya penambahan Pasal dalam RKUHP ......................................6

BAB III : PEMBAHASAN ........................................................................8

A. Pengertian Zina dan Kohabitasi ..................................................................8


B. Pengaturan Tentang Perbuatan Kumpul Kebo (Kohabitasi) Di Masa
Mendatang ..................................................................................................12
C. Perbandingan Pengaturan Sanksi Zina dan Kohabitasi Dalam Lama dengan
Pengaturan Sanksi Zina dan Kohabitasi Dalam KUHP Baru ...................15

BAB IV : PENUTUP ...............................................................................17

Kesimpulan dan Saran ...............................................................................17

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................19

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara universal hukum adalah serangkaian atau sekumpulan


peraturan yang mengatur tingkah laku manusia untuk mewujudkan
keamanan dan ketertiban yang ada dalam sebuah masyarakat, yang
memiliki sifat mengatur, memaksa dan melindungi.1 Tentu di dalamnya
mengandung unsur larangan dan perintah, yang tujuannnya adalah untuk
mensejahtrakan rakyat. Hukum akan mengatur kehidupan masyarakat
dengan kaidah-kaidah yang begitu sangat sederhana dan terbatas yang
kemudian berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat tersebut.
Kaidah hukum tersebut akan terus bertambah dan teori-teorinya akan terus
berkembang sejalan dengan bertambah dan beragamnya kebutuhan
masyarakat serta majunya pemikiran, ilmu pengetahuan dan beradaban.
Hukum akan berevolusi dengan cepat apabila tatanan di dalam masyarakat
juga berkembang dengan cepat. Artinya masyarakatlah yang menciptakan
hukum relevan dengan kebutuhan dalam mengatur kehidupan antara
mereka. Hukum seperti ini terus berkembang yang bertalian dengan
perkembangan masyarakatnya.2

Faktor banyaknya perilaku zina disebabkan oleh perkembangan


budaya Barat di tanah air, masuknya budaya Barat ke Indonesia dipengaruhi
oleh pendekatan anggota masyarakat dan anggota luar atau masyarakat barat
yang masuk ke dalam masyarakat Indonesia ataupun melalui pengaruh
media massa, baik media cetak, media sosial, maupun media elektronik.
Kemudian dipengaruhi oleh perkembangan zaman, teknologi dan kemajuan

1
Syaiful Hadi. (2022). "Ketentuan Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Zina Dalam KUHP
dan Qanun Jinayat". Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-
RANIRY BANDA ACEH
2
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Istam Jilid I (Jakarta: Kharisma Ilmu,
2008), hlm. 38.

1
ilmu pengetahuan yang semakin berevolusi melahirkan kebebasan individu,
kemudian mengimflementasikan praktik kebebasan individu tersebut dalam
kehidupan sehari-hari yang menciptakan pergaulan yang bebas antar sesama
jenis kelamin dan mengakibatkan maraknya perbuatan zina sekalipun
mereka yang masih lajang atau sudah terikat dengan perkawinan.3

Pasca kemerdekaan Indonesia, seringkali diadakan perubahan guna


memperbaharui Undang-undang yang masih menganut Hukum kolonial
Belanda, seperti pasal-pasal yang sudah tidak relevan lagi. KUHP atau
Kitab Undang undang Hukum Pidana adalah peraturan perundang-
undangan yang mengatur perbuatan pidana secara materiil di Indonesia.
Sebagaimana yang sudah dijelaskan dari pernyataan penulis terdapat
beberapa perubahan undang-undang sejak pertama KUHP ini di sah kan dan
diberlakukan. Adapun perubahan undang-undang tersebut antara lain4 :

1. Pada Tahun 1915 wetboek van strafrecht voor nederlands-indie melalui


staatblad dan mulai diberlakukan pada 1 Januari Tahun 1918.
2. Setelah kemerdekaan Indonesia KUHP tetap diberlakukan diselarasi dengan
kondisi berupa pencabutan pasal-pasal yang sudah tidak relevan
berdasarkan pada ketentuan peralihan pasal II UUD 1945.
3. Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang
peraturan Hukum Pidana dan Undang-undang inilah yang menjadi dasar
perubahan wetboek van strafrecht voor nederlands-indie menjadi wetboek
van strafrecht, Undangundang ini hanya berlaku di wilayah pulau jawa dan
madura.
4. Kemudian diberlakukannya Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk
seluruh republic Indonesia pada tanggal 20 September 1958, dengan di
Undangkannya UU Nomor 73 tahun 1958.

3
Muhammad Abdul Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta:
bulan bintanng, 2003), hlm. 5.
4
Riki Galih Anarky. (2021). "Kajian Perbandingan Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dalam
KUHP Dengan Tindak Pidana Kesusilaan Dalam RUU KUHP Tentang Hidup Bersama di Luar
Kawin/Kohabitasi (Kumpul Kebo)". Fakultas Hukum Universitas Lampung. Hlm. 1.

2
Kitab Undang-undang Hukum pidana Indonesia (KUHP) yang
aslinya adalah Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (WvSNI),
merupakan produk asli dan diadopsi dari bangsa Belanda yang diterapkan
bagi bangsa Indonesia. Baru kemudian dengan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandsch-Indie tersebut berubah nama menjadi Wetboek van Strafrecht
(WvS), dan dapat disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau
KUHP. Perubahan nama itu diikuti dengan perubahan istilah, penambahan
beberapa tindak pidana, dan perubahan ancaman hukuman. KUHP masih
menyisakan masalah sosial di Indonesia. Secara lebih mendasar KUHP
memang memiliki jiwa yang berbeda dengan jiwa bangsa Indonesia. KUHP
warisan Belanda ini berasal dari sistem hukum kontinental (Civil Law
System) atau disebut dengan the Romano- Germanic family.5 The Romano
Germanic family ini dipengaruhi oleh ajaran yang menonjolkan aliran
individualisme dan liberalisme (individualism, liberalism, and individual
right). Hal ini sangat berbeda dengan budaya bangsa Indonesia yang
menjunjung tinggi nilai-nilai sosial. Jika KUHP ini tidak diperbaiki sesuai
alam sosiologis dan budaya masyarakat Indonesia, benturan nilai dan
kepentingan yang muncul akan menimbulkan kejahatan-kejahatan baru.
Masalah delik perzinahan merupakan salah satu contoh aktual adanya
benturan antara pengertian dan paham tentang zina dalam KUHP dengan
kepentingan atau nilai sosial masyarakat. Benturan-benturan yang sering
terjadi di masyarakat, acapkali menimbulkan kejahatan baru seperti
pembunuhan, penganiayaan, atau main hakim sendiri.

“Kumpul kebo dalam Bahasa Belanda disebut Semen Leven dan di


dalam bahasa trendinya yaitu Living Together tetapi, yang dimaksud adalah
kumpul kebo.” Kata “Kumpul Kebo” “berasal dari masyarakat Jawa
tradisional (generasi tua) ”. Secara gamblangnya “pasangan yang belum

5
Ahmad Sobari. (2019). "Kesalahan Pengertian Terminologi Zina (overspel) Dalam KUHP".
National Jurnal of Law (NJL). Vol 1. No 1.

3
menikah tetapi tinggal di bawah satu rumah atau satu atap, perilakunya itu
dianggap sama seperti kerbau/sapi”. Secara anecdotal, “kerbau dianggap
binatang yang bersifat atau bersikap semaunya sendiri, jadi hidup bersama
tanpa ikatan perkawinan dianggap sebagai cermin perilaku semaunya
sendiri”. Perbuatan kumpul kebo (kohabitasi) menjadi salah satu perbuatan
yang dimasukan kedalam konsep Rancangan Undang-Undang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana sebagai bentuk peluasan dari delik
kesusilaan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang ada saat
ini.6 Dicantumkannya perbuatan kumpul kebo yang dikriminalisasikan
sebagai suatu delik menyebabkan berbagai pendapat mengalir terhadap
upaya kriminalisasi kumpul kebo ke dalam konsep Rancangan Undang-
Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Rumusan Masalah

Berdasarkan penelitian pustaka yang dilakukan oleh penulis, dapat diambil


beberapa rumusan masalah. Diantaranya :

1. Apa yang dimaksud dengan Zina dan Kumpul Kebo ?


2. Bagaimanakah Pengaturan Tentang Perbuatan Kumpul Kebo (Kohabitasi)
Di Masa Mendatang ?
3. Bagaimana Perbandingan Pengaturan Sanksi Zina dan Kohabitasi Dalam
Lama dengan Pengaturan Sanksi Zina dan Kohabitasi Dalam KUHP Baru ?

B. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Makalah ini dibuat dengan tujuan dan manfaat sebagai berikut :

1. Mengetahui Pengertian Zina dan Kohabitasi secara menyeluruh

6
Mahendra, Gede Bisma, and I. Gusti Ngurah Parwata. "Tinjauan Yuridis Terhadap
Perbuatan Kumpul Kebo (Samen Leven) Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Di
Indonesia." Jurnal Kertha Wicara Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Udayana 8, no. 06 (2019).

4
2. Memahami Pengaturan Tentang Perbuatan Kumpul Kebo (Kohabitasi) Di
Masa Mendatang
3. Memahami Perbandingan Pengaturan Sanksi Zina dan Kohabitasi Dalam
Lama dengan Pengaturan Sanksi Zina dan Kohabitasi Dalam KUHP Baru

C. Metode Penulisan

Penulisan makalah ini menggunakan metode penulisan secara kualitatif dan


sistematis berdasarkan pengakajian pustaka.

D. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan makalah ini, maka disusun


dengan sistematika penulisan yang terdiri dari empat bab, yaitu :

Bab I : Dalam bab ini diuraikan mengenai permasalahan atau latar belakang.
Perumusan masalah sebagai dasar dalam bab ini juga memberikan tujuan
penelitian, manfaat penelitian. Terdapat pula tinjauan pustaka, dan
metodologi penilitian yang digunakan sehingga lebih memberikan
gambaran fokus penelitian penulis terhadap penulisan ini.

Bab II : Dalam bab ini akan diuraikan tentang metode pendukung penulisan
makalah, seperti buku, jurnal dan sumber lain yang berkaitan erat dengan
skema penulisan makalah ini. Serta dilengkapi dengan deskripsi yang
didapat dari hasil pembacaan buku dan sumber tersebut dalam bentuk
penjabaran secara umum.

Bab III : Dalam bab ini akan menjelaskan hasil dari penelitian yang akan
dibahas secara rinci dan mendalam sesuai dengan penelitian kualitatif dan
pengkajian pustaka yang dilakukan. Pada bab ini, akan dikupas secara
menyeluruh apa yang menjadi dasar permasalahan dalam penulisan
makalah ini.

Bab IV : Dalam bab ini berisi Penutup, yaitu berisi tentang kesimpulan dan
saran dari penulis. Adapun isi dari kesimpulan adalah tentang jawaban dari

5
rumusan masalah. Saran merupakan rekomendasi penulis kepada dunia
ilmu pengetahuan di bidang hukum khususnya hukum tata negara. Penutup
ini ditempatkan pada bagian akhir penulisan makalah ini.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Zina (overspel)
Zina menurut fiqh adalah persetubuhan antara laki-laki dan
perempuan tanpa ada ikatan perkawinan yang sah, yaitu memasukkan
kelamin laki-laki ke dalam kelamin perempuan, minimal sampai batas
hasyafah (kepala zakar).7 Sedangkan zina di dalam pasal 411 adalah
persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah
menikah dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya.
Persetubuhan tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka dan tidak
merupakan paksaan dari salah satu pihak.8
Definisi zina perselingkuhan banyak ditulis dalam buku dan kamus
hukum; Penulis mencoba untuk mengambil definisi zina perselingkuhan
yang lebih umum, mengingat bahwa banyak negara yang menyatakan
bahwa zina perselingkungan bukanlah sebuah kejahatan dan Negara-negara
tersebut menghapus ketentuan pidana melawan zina perselingkuhan. Zina
perselingkuhan (overspel/adultery) adalah tindakan melakukan hubungan
intim yang dilakukan oleh orang-orang yang terikat dengan pernikahan,
kepada orang yang bukan istri atau suami. Zina selingkuh terdiri dari
tindakan hubungan seksual antara orang yang sudah menikah dan seseorang

7
Syamsul Huda, “Zina dalam Perspektif Hukum Islam dan Kitab Undang undang Hukum
Pidana” STAIN Kediri Jl. Sunan Ampel No. 7 Jawa Timur 64127, jurnal Vol. 12, No. 2, tahun
2015: 377-397. hlm.381.
8
Pasal 284 KUHP

6
yang bukan isteri atau suaminya, dimana hubungan seksual dilakukan
secara sukarela (suka sama suka, tidak ada unsur bayaran) Zina selingkuh
adalah 1) Seks di luar nikah yang dengan sengaja dan jahat mengganggu
hubungan pernikahan; 2) Ketidaksetiaan orang yang sudah menikah ke
tempat tidur nikah; Hubungan seksual dengan pria yang sudah menikah
dengan yg bukan istrinya, atau hubungan seksual sukarela oleh wanita yang
sudah menikah dengan selain suaminya.9

2. Faktor Penyebab adanya penambahan Pasal dalam RKUHP


Menurut Holland istilah perbandingan hukum dilakukan dengan cara
mengumpulkan, menganalisa, menguraikan gagasan-gagasan, doktrin,
peraturan dan pelembagaan yang ditemukan di setiap sistem hukum yang
berkembang, atau setidaknya pada hampir keseluruhan sistem, dengam
memberikan perhatian mengenai persamaan atau perbedaan dan mencari
cara untuk membangun suatu sistem secara alamiah, sebab hal tersebut
mencakup apa yang masyarakat tidak inginkan namun telah disetujui dalam
konteks hal-hal yang dianggap perlu dan filosofis sebab hal ini membawa
di bawah kata-kata dan nama-nama dan mendapatkan identitas dari substasi
di bawah perbedaan deskripsi dan bermanfaat, karena perbedaan tersebut
menunjukan secara khusus pengertian akhir bahwa seluruh atau sebagian
besar sistem mengejar untuk menerapkan sistem terbaik yang pernah
dicapai.10
Untuk menjawab permasalahan kedua, penulis menggunakan teori
tentang faktor-faktor penyebab adanya penambahan pasal. Penambahan
pasal dalam RKUHP atau Rancangan Kitab UndangUndang Hukum Pidana
bukan hanya karena perundang-undangan saja atau berupa keberlakuan
undang-undang dalam masyarakat, masalah pokok penambahan pasal yakni
pada faktor-faktor yang mempengaruhinya secara langsung maupun tidak

9
Ahmad Sobari. (2019). "Kesalahan Pengertian Terminologi Zina (overspel) Dalam KUHP".
National Jurnal of Law (NJL). Vol 1. No 1.
10
Studies in History and Jurisprudence.

7
langsung. Dari segi faktor penyebab penambahan pasal itu menjadikan agar
suatu Hukum dapat benar-benar berfungsi. Yurisprudensi sebagai suatu
ilmu hukum, esensi keistimewaannya yang terletak pada
para metode studi yang khusus, bukan pada hukum dari suatu Negara saja,
tetapi gagasan-gagasan besar dari hukum itu sendiri,11 yaitu hukum yang
berasal dari hamper keseluruhan Negara negara di dunia. Para ahli hukum
dan filasafat hukum telah mengemukakan butir butir pemikirannyasendiri
tentang studi hukum, filosofisnya, fungsi dan pendirian setelah melakukan
ekstensif dari sistem hukum mereka masing-masing dan sistem dari
berbagai Negara lainnya di dunia, dengan membandingkan antara satu
dengan yang lainnya.

BAB III

PEMBAHASAN

A. Pengertian Zina dan Kohabitasi


Dalam Pasal 411 KUHP didefinisikan tentang pengertian zina, Setiap
Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau
istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II. Penjelasan Pasal
411 KUHP zina diartikan sebagai persetubuhan yang dilakukan oleh laki-
laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki
yang bukan isterinya atau suaminya.12 Sedangkan yang dimaksud dengan
persetubuhan ialah perpaduan antara anggota kemaluan laki-laki dan
perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota
laki-laki masuk ke dalam anggota perempuan, sehingga mengeluarkan air
mani.13

11
G.W. Paton, A Text-Book on Jurisprudence,2nd Ed.,p.2
12
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentar komentarnya Lengkap
Pasal Demi Pasal (Bogor: Polites, 1996), hlm. 209.
13
Ibid.

8
R. Soesilo, menerangkan bahwa yang dimaksud dengan zina ialah
persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah
kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya,
supaya masuk pasal ini, maka persetubuhan itu harus dilakukan suka sama
suka, maka tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak. Menurut
Sahetapy, bersetubuh yang tidak sah ialah persetubuhan yang bukan saja
dilakukan oleh pasangan suami atau isteri di luar lembaga perkawinan,
tetapi juga persetubuhan yang dilakukan oleh pria dan wanita di mana
kondisi keduanya belum menikah, kendatipun sudah bertunangan. Sah
disini diinterpretasikan sah dalam ruang lingkup lembaga perkawinan.
Sehingga zina mencakup pula fornication yaitu persetubuhan yang
dilakukan secara suka rela antara seorang yang belum menikah dengan
seseorang dari sex yang berlawanan (yang belum menikah juga). Meskipun
persetubuhan itu bersifat volunter, atas dasar suka sama suka, namun
perbuatan bersetubuh itu tetap tidak sah.
Menurut anggota masyarakat, persetubuhan yang sah hanyalah
tercatat dalam lembaga perkawinan. Perzinaan secara yuridis formal adalah
persetubuhan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang telah
kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya, agar
masuk dalam pasal ini, maka persetubuhan itu harus dilakukan dengan suka
sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak. Perzinaan secara
sosiologis yaitu persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dan wanita
tanpa mempersoalkan status dan pelakunya. Sedangkan perzinaan secara
yuridis baik salah satu pelakunya terikat dalam suatu perkawinan dan ada
hukum yang mengaturnya.14 Maka secara umum zina dapat didefinisikan
sebagai hubungan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang tanpa
hubungan keterikatan status perkawinan diantara keduanya dan atas unsur
suka sama suka.

14
Rahmawati, “Tindak Pidana Perzinaan dalam Perspektif Perbandingan Antara Kitab
Undang-undang Hukum Pidana dan Hukum Pidana Islam” An Nisa, Vol. 8, No. 1, Tahun
2013: 13 – 26., hlm, 18.

9
Dari berbagai terjemahan WvS yang beredar di pasaran, para pakar
hukum Indonesia berbeda pendapat mengenai penggunaan istilah pengganti
dari overspel. Hal ini dikarenakan bahasa asli yang digunakan dalam KUHP
adalah bahasa Belanda.Ada pendapat yang menggunakan istilah zina.
Sedangkan pendapat lain menggunakan kata atau istilah mukah atau
gendak. Hal ini tampak dalam terjemahan KUHP hasil karya Moelyatno,
Andi Hamzah, R. Soesilo, Soenarto Soerodibroto atau terjemahan KUHP
dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman.
Menurut Van Dale’s Groat Woordenboek Nederlanche Taal kata overspel
berarti echbreuk, schending ing der huwelijk strouw yang kurang lebih
berarti pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan. Menurut putusan
Hooge Raad tanggal 16 Mei 1946, overspel berarti sebagai berikut: “is niet
begrepenvleeselijk gemeenschap met een derde onder goedkeuring van den
anderen echtgenoot. De daad is dan geen schending van de huwelijk strouw.
I.c. was de man souteneur; hij had zijn vrouw tot publiek vrouw gemaakt.
Hij keurde haar levenswijze zonder voorbehoud goed”. Demikian pula
overspel menurut Noyon-Langemayer yang menegaskan bahwa overspel
kan aller door een gehuwde gepleegd woorden; de angehuwde met wie het
gepleegd wordt is volgent de wet medepleger, yang artinya
perzinahanoverspel hanya dapat dilakukan oleh orang yang menikah; yang
tersangkut dalam perbuatan itu adalah turut serta (medepleger).15
Pengaturan perbuatan kumpul kebo (kohabitasi) tidak hanya ditinjau
atau dilihat dari sisi hukum atau aturan yang akan berlaku untuk dimasa
depan (Ius Constituendum), tetapi juga berdasarkan pada hukum positif
yang ada sekarang (Ius Constitutum). Tujuan yang hendak dicapai ialah
dengan melakukan suatu perbandingan yang bisa digunakan di masa yang
akan datang, yaitu sebagai bahan masukan perbaharuan hukum pidana
dengan tetap berorientasi kepada aspek budaya (kultural) dan filosofi
bangsa. Didalam hukum positif Indonesia belum ada aturan pasti mengenai

15
Ahmad Sobari. (2019). "Kesalahan Pengertian Terminologi Zina (overspel) Dalam
KUHP". National Jurnal of Law (NJL). Vol 1. No 1.

10
kumpul kebo (kohabitasi) ini, yang diatur hanya aturan tentang perzinahan.
Perzinahan sendiri diatur didalam Pasal 284 ayat (1) Kitab UndangUndang
Hukum Pidana dengan penjelasannya sebagai berikut:
(1) “Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
1) a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel),

padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;

b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal


diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku padanya;

2) a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal


diketahui bahwa turut bersalah telah kawin;
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan
itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan
pasal 27 BW berlaku baginya.”
Apabila dicermati ketentuan perzinahan di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana yang berlaku “bertujuan untuk mengkriminalisasi
pelaku perselingkuhan yang dimana salah satu dan/atau kedua pelaku
persetubuhan tersebut merupakan pasagan yang sudah terikat
pernikahan/perkawinan sebelumnya. ” “Selain itu ketentuan Pasal 284
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan delik aduan absolut yang
tidak memungkinkan bahwa perbuatan tersebut dapat dipidana jika tidak
ada pengaduan dari pihak yang dirugikan (suami/istri yang bersangkutan)
dan selama perkara itu belum diperiksa dimuka pengadilan, maka dari itu
pengaduan dapat ditarik kembali.”
Sedangkan persepsi atau pandangan “masyarakat tidak
mempersoalkan apakah pelaku perzinahan sudah berkeluarga atau belum,
bagi pria ataupun wanita yang melakukan perbuatan perzinahan inintetap
dikategorikan sebagai pelaku perzinahan. ” Di lihat dari segi penjatuhan
sanksi yang terdapat pada Pasal 284 ini seolah-olah sanksi “bagi pelaku
tindak pidana perzinahan tidak memberikan efek jera kepada pelaku tindak

11
pidana tersebut dan tidak dapat meminimalisir terjadinya tindak pidana yang
dimaksud.
Akibat yang ditimbulkan dari perbuatan kumpul kebo (kohabitasi)
beragam dan berkaitan dengan kondisi dan tanggapan masyarakat tentang
perbuatan kumpul kebo (kohabitasi). Jika masyarakat yang pro dengan
kumpul kebo (kohabitasi), maka mereka akan membiarkan pasangan
kumpul kebo untuk diam dan tinggal satu atap atau satu rumah tanpa adanya
intervensi terhadap segala urusan yang menjadi bagian dari kehidupan
bersama dari pasangan kumpul kebo tersebut.

B. Pengaturan Tentang Perbuatan Kumpul Kebo (Kohabitasi) Di Masa


Mendatang
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RUU KUHP) sebagai pengganti Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana/WvS, menurut Barda Nawawi Arief pada hakikatnya merupakan
sebuah upaya pembaharuan,restrukturisasi/rekontruksi keseluruhan sistem
pidana substantive yang terdapat pada ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (WvS) dimasa colonial Hindia-Belanda.16 “Kebijakan
kriminalisasi adalah suatu kebijakan pemerintah untuk menetapkan
dan/atau mengangkat suatu perbuatan yang semula tidak merupakan suatu
tindak pidana menjadi kategori tindak pidana”.17
“Kebijakan kriminalisasi tersebut berada di ranah kebijakan criminal
(criminal policy), yang merupakan suatu bentuk pembaharuan hukum
pidana (penal reform) yang nantinya berorientasi kepada pembaharuan
hukum nasional (law reform).” Pembaharuan hukum didalam “Rancangan
Undang-Undang Kitab UndangUndang Hukum Pidana sejak
dikeluarkannya pada tahun 1964 hingga saat ini tentang delik perzinahan
mengalami perubahan yang signifikan. ” Setelah dikaji, pembahasan secara

16
Arief, Barda Nawawi, Sebuah Restrukturisasi/Rekontruksi Sistem Hukum Pidana
Indonesia (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponogoro, 2012), 24
17
Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1989), 38.

12
positifisik tersebut ternyata memperjelas pemahaman bahwa delik
perzinahan sebagaimana yang disebutkan di dalam ketentuan pasal 284
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memiliki banyak kelemahan secara
moril.
Tindak pidana kumpul kebo/perzinahan di dalam Rancangan
UndangUndang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana saat ini diatur dalam
Pasal 417, 418, dan Pasal 419. Berikut adalah bunyi dari pasal-pasal
tersebut:
Pasal 417
(1). “Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang
bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinahan dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II (Rp.
10.000.000,-).”
(2). “Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau
anaknya.”

(3). “Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak


berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan
Pasal 30. ”

(4). “Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang


pengadilan belum dimulai.”

Pasal 418
(1). “Laki-laki yang bersetubuh dengan seorang perempuan yang
bukan istrinya dengan persetujuan perempuan tersebut karena janji
akan dikawini, kemudian mengingkari janji tersebut dipidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak
Kategori III.”
(2). “Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kehamilan dan laki-laki tersebut tidak bersedia

13
mengawini atau ada halangan untuk kawin yang diketahuainya
menurut peraturan perundang-undangan dibidang perkawinan
dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Kategori IV. ”
(3). “Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan perempuan
yang dijanjikan akan dikawini.”
(4). “Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang
pengadilan belum dimulai.”

Pasal 419
“Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan seseorang yang
diketahuinya bahwa orang tersebut merupakan merupakan anggota keluarga
sedarah dalam garis lurus atau kesamping sampai derajat ketiga dipidana
dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun”.
Rumusan dari rancangan Pasal 417, 418, dan Pasal 419 atau mengenai
perbuatan tindak pidana perzinahan atau kumpul kebo (kohabitasi) “dapat
disimpulkan bahwa rumusan Undang-Undang telah melakukan
overkriminalisasi terhadap semua pelaku persetubuhan yang tidak terikat
perkawinan menjadi tindak pidana zina.” “Dalam hal ini, delik zina dalam
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terlalu
jauh mengatur warga negaranya yang bersifat privat (pribadi) dan personal
menjadi urusan yang bersifat publik.”
“Negara seharusnya tidak mencapuri urusan pribadi atau urusan
privat dari warga negaranya, tetapi negara bisa menjaga hak-hak serta
privasi dari warga negaranya.” “Dalam hal tindak pidana perzinahan ini,
negara telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan pelanggaran
kebebasan terhadap warga negaranya bila tetap memaksakan ketentuan
mengenai perzinahan ini tetap berlaku. ” Selain itu, “ketentuan pemidanaan
terhadap tindak pidana perzinahan di dalam Rancangan Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga dianggap terlalu berat, dimana

14
ancaman hukum kepada pelaku perzinahan/kumpul kebo (kohabitasi)
adalah penjara dari 1 (satu) sampai 12 (dua belas) tahun.” Sedangkan
didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana saat ini ancaman tindak
pidana hanyalah 9 (Sembilan) bulan. Akibatnya yang akan terjadi adalah
penyalahgunaan wewenang dan/atau kekuasaan dan juga kekacauan.”
Negara dalam hal ini melakukan tugasnya untuk menjamin
kesejahteraan warga negaranya dan hak-hak asasi manusia. Permasalahan
ketentuan mengenai pengaduan pengaduan dalam tindak pidana perzinahan
ini yaitu permasalahan dari delik perzinahan, sedangkan permasalahan lain
yaitu mengenai pengaduan dalam Pasal 284 ayat (2) dan ayat (3) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Pertama, “mengenai ketentuan Pasal 284
ayat (2) dimana disebutkan bahwa tindak pidana zina tidak dilakukan
penuntuan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang
tercemar.” “Dalam ketentuan tersebut terdapat beberapa hal yang rancu
(tidak jelas) dimana pihak ketiga yang tercemar dapat melakukan
pengaduan terhadap mereka yang diduga melakukan perzinahan. ”
“Hal ini sangat berbahaya karena ada batasan mengenai pihak ketiga
yang tercemar juga belum jelas dan tidak memiliki kepastian hukum. ”
Siapapun yang merasa tercemar karena terdapat perbuatan perzinahan atau
perbuatan persetubuhan yang dilakukan oleh orang lain dapat mengadukan
pasangan tersebut kepada pihak yang berwajib dengan atas dugaan tindak
pidana perzinahan. “Selain permasalahan tersebut, pada ketentuan Pasal 419
ayat (4) menyebutkan bahwa pengaduan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.”
Adapun ketentuan pasal 25, yaitu: “(1) dalam hal korban Tindak
Pidana aduan belum berusia 16 (enam belas) tahun, yang berhak mengadu
merupakan Orang Tua atau Walinya. ” “(2) dalam hal Orang Tua atau wali
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ada atau orang tua atau wali itu
sendiri yang harusnya diadukan, pengaduan dilakukan oleh keluarganya
sedarah dalam garis lurus.” “(3) Dalam hal keluarga sedarah dalam garis
lurus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada, pengaduan dilakukan

15
oleh keluarga sedarah dalam garis menyamping sempai derajat ketiga. ” “(4)
dalam hal anak tidak memiliki orang tua, wali, atau keluarga sedarah dalam
garis lurus ke atas ataupun menyamping sempai derajat ketiga, pengaduan
dilakukan oleh diri sendiri dan/atau pendamping.”
Sedangkan ketentuan pasal 26, yaitu: “(1) dalam hal korban Tindak
Pidana aduan berada dibawah pengampuan, yang berhak mengadu
merupakan pengampunya, kecuali bagi korban Tindak Pidana aduan yang
berada dalam pengampuan karena boros.” “(2) dalam hal pengampu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ada atau pengampu itu sendiri
yang harus diadukan, pengaduan dilakukan oleh suami atau istri korban atau
keluarga sedarah dalam garis lurus.”
“(3) dalam hal suami istri korban atau keluarga sedarah dalam garis
lurus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada, pengaduan dilakukan
oleh keluarga sedarah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga”.
Selanjutnya, ketentuan Pasal 30, yaitu: “(1) pengaduan dapat ditarik
kembali oleh pengadu dalam waktu 3 (tiga) Bulan terhitung sejak tanggal
pengaduan diajukan. ” “(2) Pengaduan yang ditarik kembali tidak dapat
diajukan lagi.”

C. Perbandingan Pengaturan Sanksi Zina dan Kohabitasi Dalam Lama


dengan Pengaturan Sanksi Zina dan Kohabitasi Dalam KUHP Baru
Perbandingan sebagaimana dimaksud Kitab Undang-undang Hukum
Pidana atau disingkat KUHP sebagai sebuah produk hukum kolonial sudah
dirasa tidak relevan lagi untuk diberlakukan karena kehidupan masyarakat
yang terus berkembang. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
dalam Kejahatan Terhadap Kesusilaan terutama tentang perzinahan
(kohabitasi/kumpul kebo) tidak terdapat ataupun tidak mengatur tentang
perzinahan (kohabitasi/kumpul kebo), dan perzinahan didalam KUHP dapat
dipatahkan atas dasar suka sama suka kemudian dikawinkan dengan sah
menurut negara. Dalam RUU KUHP (Rancangan Undang-Undang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana) sangat membantu dan memperkuat

16
Hukum yang berlaku di Indonesia. Sehingga dibuatlah Rancangan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana atau disingkat RKUHP tentang hidup
bersama di luar Kawin/kohabitasi (kumpul kebo) dalam Pasal 419
diterangkan bahwa setiap orang yang tinggal 1 atap layaknya seorang
pasangan suami istri dapat dikenakan pidana penjara selama-lamanya 6
(enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 7.500.000,- (kategori II),
dan cukup jelas pengecualian Pasal 419 tertera didalam Buku I Pasal 25,
Pasal 26, dan Pasal 30 RKUHP memberi penjelasan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) tentang kejahatan kesusilaan.
Faktor penyebab adanya penambahan pasal yakni kurangnya
kesesuaian antara KUHP dengan nilai yang hidup di dalam masyarakat pada
era saat ini. Hal tersebut merupakan faktor utama penambahan pasal atau
faktor yang menyebabkan dibuatnya Rancangan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (RKUHP). Ketentuan hukum yang berlaku harus seiring
sejalan dengan kehidupan masyarakat karena hukum merupakan aturan
dalam hidup bermasyarakat yang harus ditaati sehingga harus ada
kesesuaian antara hukum dan masyarakat
KUHP lama merupakan warisan peninggalan pemerintah kolonial
Belanda sehingga mencerminkan kultur masyarakat barat. Salah satunya
tidak mempersoalkan sepasang pria dan wanita melakukan hubungan
suami-istri dan hidup bersama di luar pernikahan sepanjang keduanya saling
suka sama suka. Perilaku ini tidak sesuai dengan norma masyakat timur,
sehingga hubungan seks di luar pernikahan dimasukkan ke dalam delik zina.

Berdasarkan KUHP baru, perbuatan zina baru menjadi pidana bila


salah satunya sudah menikah, atau kedua pasangan itu sudah sama-sama
menikah. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 415 ayat 1 KUHP baru bagian
keempat tentang Perzinaan. Dalam pasal tersebut, orang yang melakukan
hubungan seks di luar pernikahan dapat diancam pidana penjara satu tahun.
Menurut pasal 415 ayat 1, “Setiap Orang yang melakukan persetubuhan
dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan

17
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling
banyak kategori II“.
Meski begitu, ancaman itu baru bisa berlaku apabila ada pihak yang
mengadukan (delik aduan). Aturan itu juga mengatur pihak yang dapat
mengadukan antara lain suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan,
orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan, seperti
yang disebutkan dalam ayat 2, yaitu;
“Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak
dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan :
• suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan.
• orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan”.
Penjelasan Pasal 415 ayat 1 menyebutkan, “Yang dimaksud dengan
“bukan suami atau istrinya” adalah:
laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan
dengan perempuan yang bukan istrinya; perempuan yang berada dalam
ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan
suaminya; laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan
persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan
tersebut berada dalam ikatan perkawinan; perempuan yang tidak dalam
ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal
diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau
laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam
perkawinan melakukan persetubuhan.
Sedangkan Pasal 415 ayat 2 menyatakan bahwa “Yang dimaksud
dengan “anaknya” dalam ketentuan ini adalah anak kandung yang sudah
berumur 16 (enam belas) tahun.”
Pasal ini dikategorikan sebagai delik aduan, sehingga hal ini baru
bisa dipidana atau dilakukan penuntutan jika timbul adanya pengaduan dari
suami atau istri yang sah, atau oleh orang tua atau anak. Selama tidak ada
pengaduan sesuai dengan penjelasan ayat 2, hal tersebut tidak dapat
dituntut.

18
Sama halnya dengan pasal yang mengatur kohabitasi (kumpul kebo) dalam
Pasal 416 yang menyebutkan bahwa:
“(1) setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri
di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau orang Tua
atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
Alasan dari sudut sosiologi, bahwa suatu pengaturan dalam hukum
pidana merupakan pencerminan dari ideologi politikbangsa dimana hukum
itu berkembang, ini berarti bahwa nilai-nilai sosial dan kebudayaan dari
bangsa itu mendapat tempat dalam pengaturan hukum pidananya. Ukuran
untuk mengkriminalisasikan suatu perbuatan tergantung dari nilai–nilai dan
pandangan yang terdapat dalam masyarakat tentang apa yang baik,yang
benar, yang bermanfaat atau sebaliknya. Karena itu, pandangan masyarakat
tentang kesusilaan dan pengetahuan agama akan berpengaruh dalam
pembentukan hukum, dalam hal ini hukum pidana. Kriminalisasi berarti
suatu proses dimana perbuatan yang semula bukan tindak pidana
kemudiandiancam denganpidana dalam perundang udangan”.
Dengan demikian, kriminalisasi merupakan proses penetapan suatu
perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses ini diakhiri
dengan terbentuknya undang-undang dimana perbuatan itu diancam dengan
suatu sanksi berupa pidana. Pengertian kriminalisasi dapat pula dilhat dari
perspektif nilai. Dalam hal ini yang dimaksud dengan kriminalisasi adalah
perubahan nilai yang menyebabkan sejumlah perbuatan yang sebelumnya
merupakan perbuatan yang tidak tercela dan tidak dituntut pidana, berubah
menjadi perbuatan yang dipandang tercela dan perlu dipidana. Dengan

19
demikian, perbuatan sex bebas di luar overspel dan prostitusi dikemudian
hari dapat dikenakan sanksi pidana. Diharapkan dengan adanya Rancangan
KUHP terkait pasal 483 ayat (1) huruf (e) yang menyatakan “bahwa laki-
laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan
yang sah melakukan persetubuhan dapat dipidana dengan ancaman penjara
paling lama lima tahun”.
Rancangan Pasal ini merupakan penyelesaian dalam menyelesaikan
permasalahan terkait delik perzinaan secara luas dimana pelaku perzinaan
yang keduanya tidak ada ikatan perkawinan dapat terkena pidana, dalam arti
mengkriminalisasi hubungan seksual diluar nikah jika dilakukan oleh laki-
laki dan perempuan yang sama-sama lajang. Rumusan Pasal 284 KUHP
yang hanya memidana overspel atau adultery - dan itupun jika ada
pengaduan daripihak suamiatau istri -,dan tidak memidana fornication
(hubungan sex bebas bagi yang belum terikat perkawinan), merupakan
kebijakan yang tidak berorientasi pada pendekatan nilai, yakni nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat yang karenanya harus segera
dilakukan perubahan agar sesuai dengan falsafah dan nilai nilai sosial
religious masyarakat Indonesia.
Pada Konsep/Rancangan KUHP 2004, delik perzinaan masuk pada
Bab XVI tentang tindak pidana kesusilaan yang diatur pada bagian keempat,
khusus mengenai perzinaan diatur pada pasal 484 berbunyi: “(1).Dipidana
karena zina,dengan pidana penjara paling 5 (lima) tahun:
a. Laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan
persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;
b. Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan
persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya;
c. Laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan
persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan
tersebut berada dalam ikatan perkawinan;

20
d. Perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan
persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki
tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau
e. Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam
perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.
(2).Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak Dilakukan
penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang
tercemar.

BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan penulisan diatas, dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut :
a. Perzinaan secara yuridis formal adalah persetubuhan yang dilakukan
antara laki-laki dan perempuan yang telah kawin dengan perempuan
atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya, agar masuk dalam pasal
ini, maka persetubuhan itu harus dilakukan dengan suka sama suka,
tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak. Perzinaan secara
sosiologis yaitu persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dan wanita
tanpa mempersoalkan status dan pelakunya. Sedangkan perzinaan
secara yuridis baik salah satu pelakunya terikat dalam suatu perkawinan
dan ada hukum yang mengaturnya.
b. Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RUU KUHP) sebagai pengganti Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana/WvS, menurut Barda Nawawi Arief pada hakikatnya merupakan
sebuah upaya pembaharuan,restrukturisasi/rekontruksi keseluruhan
sistem pidana substantive yang terdapat pada ketentuan Kitab Undang-

21
Undang Hukum Pidana (WvS) dimasa colonial Hindia-Belanda.18
“Kebijakan kriminalisasi adalah suatu kebijakan pemerintah untuk
menetapkan dan/atau mengangkat suatu perbuatan yang semula tidak
merupakan suatu tindak pidana menjadi kategori tindak pidana”
c. Perbandingan terkait delik pidana zina (overspel) dan kumpul kebo
(kohabitasi) antara KUHP Baru yang akan diberlakukan mulai tahun
2025 dengan KUHP Lama yang masih berlaku saat ini terletak pada
periode hukuman penjara, denda, serta kategori delik tersebut. Dalam
KUHP baru, sanksi untuk orang yang berzina adalah kurungan penjara
selama 1 tahun dengan denda kategori II senilai dengan 10 juta rupiah
yang terletak dalam Pasal 417 KUHP tentang Tindak Pidana Kesusilaan.
Sedangkan dalam KUHP lama yang saat ini masih berlaku di Indonesia,
sanksi untuk orang yang melakukan perzinahan atau kohabitasi hanya
berupa penjara selama 9 bulan sesuai dengan Pasal 284 KUHP. Dalam
KUHP baru maupun KUHP lama, kasus perzinahan sudah menjadi delik
aduan yang hanya dapat dilakukan Tindakan jika mendapat aduan dari
orang yang bersangkutan. Pengertian zina dalam KUHP lebih sempit
dibandingkan dengan pengertian dan istilah zina dalam hukum Islam
maupun pada masyarakat Indonesia.Pengertian zina dalam KUHP saat
ini overspel yang lebih dekat pada istilah perselingkuhan. Rumusan
delik perzinaan dimasa datang harus meliputi semua bentuk perzinaan
baik yang telah terikat perkawinan maupun bagi yang masih lajang.

18
Arief, Barda Nawawi, Sebuah Restrukturisasi/Rekontruksi Sistem Hukum Pidana
Indonesia (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponogoro, 2012), 24

22
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Istam Jilid I (Jakarta:
Kharisma Ilmu, 2008)
Arief, Barda Nawawi, Sebuah Restrukturisasi/Rekontruksi Sistem Hukum
Pidana Indonesia (Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponogoro, 2012)
Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Hukum Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989)
Kementrian Hukum dan HAM, Kamus Hukum Pidana ( Jakarta: PT Cicero
Indonesia,1988).
Muhammad Abdul Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan
KUHP, (Jakarta: bulan bintanng, 2003)
Rahmawati, “Tindak Pidana Perzinaan dalam Perspektif Perbandingan
Antara Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Hukum Pidana
Islam” An Nisa, Vol. 8, No. 1, Tahun 2013: 13 – 26.
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentar
komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (Bogor: Polites, 1996)
Syamsul Huda, “Zina dalam Perspektif Hukum Islam dan Kitab Undang-
undang Hukum Pidana” STAIN Kediri Jl. Sunan Ampel No. 7 Jawa
Timur 64127, jurnal Vol. 12, No. 2, tahun 2015: 377-397.

Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Jurnal elektronik
Ahmad Sobari. (2019). "Kesalahan Pengertian Terminologi Zina (overspel)
Dalam KUHP". National Jurnal of Law (NJL). Vol 1. No 1. Link :
http://journal.unas.ac.id/law/issue/view/133 diakses pada 15 May
2023
Mahendra, Gede Bisma, and I. Gusti Ngurah Parwata. "Tinjauan Yuridis
Terhadap Perbuatan Kumpul Kebo (Samen Leven) Dalam
Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia." Jurnal Kertha Wicara
Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Udayana 8, no. 06 (2019). Link :
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthadesa/article/download/66392
/37179/ diakses pada 15 May 2023

23
Riki Galih Anarky. (2021). "Kajian Perbandingan Kejahatan Terhadap
Kesusilaan Dalam KUHP Dengan Tindak Pidana Kesusilaan
Dalam RUU KUHP Tentang Hidup Bersama di Luar
Kawin/Kohabitasi (Kumpul Kebo)". Fakultas Hukum Universitas
Lampung. Link :
http://digilib.unila.ac.id/60654/3/SKRIPSI%20FULL%20TANPA
%20PEMBAHASAN%20-%20riki%20galih.pdf diakses pada 15
May 2023
Syaiful Hadi. (2022). "Ketentuan Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Zina Dalam KUHP dan Qanun Jinayat". Skripsi Fakultas Syari’ah
dan Hukum UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH. Link : https://repository.ar-
raniry.ac.id/id/eprint/26798/1/Saiful%20Hadi,%20170106017,%20
FSH,%20IH.pdf diakses pada 15 May 2023

24

Anda mungkin juga menyukai