Anda di halaman 1dari 17

LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DAN MORAL

PESERTA DIDIK
Makalah Ini Di Susun Untuk Didiskusikan Pada
Mata Kuliah Menejemen Lembaga Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Dr. Edi Kusnadi, M. Fil.I

Disusun oleh:

Trio Dika Kurniawan 801220052

PROGRAM STUDI MENEJEMEN PENDIDIKAN


ISLAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM
NEGRI SULTAN TAHA SAIFUDDIN JAMBI
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil‘alamin Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha


Esa, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “lembaga pendidikan islam
dan moral peserta didik.” tak lupa penulis haturkan salam serta shalawat atas junjungan nabi
Muhammad SAW. Yang telah menuntun kita kejalan yang benar.

Makalah ini disusun untuk menyelesaikan tugas pada mata kuliah sejarah pendidikan
peradaban islam Maka besar harapan penulis untuk makalah ini dapat menjadi sumber informasi
dan tambahan pengetahuan bagi yang membacanya.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kesalahan dan jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis menantikan masukan berupa saran, usulan kritik dan
sebagainya.

Jambi 5 April 2023

Penulis.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................4
PEMBAHASAN..............................................................................................................................4
A. Latar belakang......................................................................................................................4
B. Rumusan masalah.................................................................................................................6
C. Tujuan masalah.....................................................................................................................6
BAB II.............................................................................................................................................7
PEMBAHASAN..............................................................................................................................7
A. Pengertian Lembaga Pendidikan Islam.............................................................................7
B. Pengembangan Moral Peserta Didik.................................................................................9
C. Lembaga Pendidikan Islam Sebagai Benteng Pertahanan Moral...................................12
BAB III..........................................................................................................................................16
PENUTUP.....................................................................................................................................16
A. Kesimpulan..................................................................................................................16
B. Saran............................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................16
BAB I
PEMBAHASAN
A. Latar belakang
Fenomena berkembangnya pembunuhan, perampokan sadis, meningkatnya kenakalan
remaja, berkembangnya pergaulan bebas dan praktek prostitusi, merosotnya kepedulian
sosial masyarakat, menyebabkan masyarakat mulai melirik kembali kepada lembaga
pendidikan Islam seperti madrasah, pondok pesantren dan perguruan tinggi Islam untuk
menyekolahkan putra-puri mereka.1 Kesadaran akan urgensi lembaga pendidikan Islam
sebagai model pendidikan moralitas bangsa yang kian kering di era modern ini sekaligus
benteng pembentukan karakter generasi masa depan, sudah seharusnya ini menjadi agenda
strategis dalam konsep pendidikan bangsa ini. Hal itu dilakukan dengan memposisikan
lembaga pendidikan Islam sejajar dengan model pendidikan umum.

Respon terhadap hal tersebut, lembaga pendidikan Islam harus meningkatkan mutu
pendidikannya agar dilirik oleh masyarakat sebagai model pendidikan utama dan bukan lagi
model pendidikan kelas dua. Untuk meningkatkan mutu lembaga pendidikan Islam perlu
dilakukan pemberdayaan untuk menyediakan sistem pendidikan bermutu kepada masyarakat
yang harus ditunjang oleh tiga apek, yaitu manajemen yang rapi, tenaga pendidik yang
profesional, serta dana dan fasilitas pendidikan yang memadai. 2 Lembaga pendidikan Islam
yang dikelola dengan tertib dan rapi akan memiliki kesempatan besar untuk menjadi sebuah
lembaga pendidikan yang berkualitas. Jika tiga apek tersebut dimiliki oleh lembaga
pendidikan Islam, lembaga pendidikan Islam akan dapat mencapai standar atau patokan
yang dijadikan pagu, yaitu standar nasional pendidikan.

Lembaga pendidikan Islam seperti pesantren adalah salah satu elemen terpenting dari
arsitektur pendidikan nasional Indonesia. Pesantren, sebagai sampel institusi pendidikan
yang mengemas dua lingkup pendidikan formal dan non-formal dalam satu durasi kurikulum
full-time, terbukti telah sangat kontributif terhadap pengembangan pendidikan Indonesia,
dan bahkan, juga terhadap pengembangan idealisme pendidikan nasional. 3 Eksistensi dan

1
Husni Rahim, op. cit., h. 145
2
Azyumardi Azra, Upaya Menjawab Tantangan Zaman, op. cit., h. 89.
3
Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, h. 151
kontribusi pesantren telah mengakar kuat dalam sejarah pendidikan dan pembangunan
Indonesia. Di ranah pendidikan, pesantren memiliki identitas khas selaku key player yang
concern dalam mencetak generasi bermoral-baik, sesuai dengan tuntutan ideal sila pertama
Pancasila. Sementara di ranah sosial-masyarakat, para alumni pesantren tidak bisa juga
dinafikan peran multi-sektornya terhadap pembangunan bangsa. Madrasah merupakan salah
satu lembaga pendidikan Islam terpenting di Indonesia dalam menciptakan kader-kader
bangsa yang berwawasan keislaman. Salah satu kelebihan yang dimiliki madrasah adalah
adanya integrasi ilmu umum dan ilmu agama. Madrasah juga merupakan bagian penting dari
lembaga pendidikan nasional di Indonesia.

Peranannya begitu besar dalam menghasilkan generasi penerus bangsa yang bermoral.
Dalam sejarah perkembangannya, madrasah yang tadinya hanya dipandang sebelah mata,
secara perlahan-lahan telah berhasil mendapat perhatian dari masyarakat. Apresiasi ini
menjadi modal besar bagi madrasah untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa. Demikian
halnya dengan perguruan tinggi Islam (UIN, IAIN, STAIN, dan PTAIS) sebagai lembaga
pendidikan tinggi Islam, mempunyai kontribusi terhadap pengembangan pendidikan di
Indonesia sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Pengembangan studi keislaman
yang dikembangkan di perguruan tinggi Islam juga telah banyak memberikan kontribusi
dalam mencerdaskan bangsa Indonesia dan menjaga moralitas alumninya.
B. Rumusan masalah
1. Apa itu pendidikan islam?
2. Apa itu moral?
3. Apa kaitan antara pendidikan dan moral anak?

C. Tujuan masalah
1. Mengetahuai arti penting pendidikan.
2. Mengetahui apa itu moral.
3. Mengetahui hubungan antara pendidikan islam dengan moral anak.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Lembaga Pendidikan Islam

Secara etimologi lembaga adalah asal sesuatu, acuan, sesuatu yang memberi bentuk
pada yang lain, badan atau organisasi yang bertujuan mengadakan suatu penelitian keilmuan
atau melakukan sesuatu usaha. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa lembaga
mengandung dua arti, yaitu: 1) pengertian secara fisik, materil, kongkrit, dan 2) pengertian
secara non-fisik, non-materil, dan abstrak.4 Dalam bahasa inggris, lembaga
disebut institute (dalam pengertian fisik), yaitu sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan
tertentu, dan lembaga dalam pengertian non-fisik atau abstrak disebut institution, yaitu suatu
sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga dalam pengertian fisik disebut juga
dengan bangunan, dan lembaga dalam pengertian nonfisik disebut dengan pranata.5

Secara terminologi, Amir Daiem mendefinisikan lembagapendidikan  dengan orang atau


badan yang secara wajar mempunyai tanggung jawab terhadap pendidikan. Rumusan
definisi yang dikemukakan Amir Daiem ini memberikan penekanan pada sikap tanggung
jawab seseorang terhadap peserta didik, sehingga dalam realisasinya merupakan suatu
keharusan yang wajar bukan merupakan keterpaksaan. Definisi lain tentang lembaga
pendidikan adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-pola tingkah
laku, peranan-peranan relasi-relasi yang terarah dalam mengikat individu yang mempunyai
otoritas formal dan sangsi hukum, guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar. 6
Daud Ali dan Habibah Daud menjelaskan bahwa ada dua unsur yang kontradiktif dalam
pengertian lembaga, pertama pengertian secara fisik, materil, kongkrit dan kedua pengertian
secara non fisik, non materil dan abstrak. Terdapat dua versi pengertian lembaga dapat
dimengerti karena lembaga ditinjau dari segi fisik menampakkan suatu badan dan sarana
yang didalamnya ada beberapa orang yang menggerakkannya, dan ditinjau dari aspek non
fisik lembaga merupakan suatu sistem yang berperan membantu mencapai tujuan.7

4
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), Cet ke.9, hlm. 277
5
Ibid.,
6
Ibid., hal 278
7
Ibid.,
Adapun lembaga pendidikan islam secara terminologi dapat diartikan suatu wadah atau
tempat berlangsungnya proses pendidikan islam. Dari definisi diatas dapat disimpulkan
bahwa lembaga pendidikan itu mengandung pengertian kongkrit berupa sarana dan
prasarana dan juga pengertian yang abstrak, dengan adanya norma-norma dan peraturan-
peraturan tertentu, serta penananggung jawab pendidikan itu sendiri. 8 Pendidikan Islam
termasuk masalah sosial, sehingga dalamkelembagaannya tidak terlepas dari lembaga-
lembaga sosial yang ada.Lembaga tersebut juga institusi atau pranata, sedangkan lembaga
sosialadalah suatu bentuk organisasi yang tersusun realatif tepat atas pola-polatingkah laku,
peranan-peranan dan relasi-relasi yang yang terarah dalammengikat individu yang
mempunyai otoritas formal dan sangsi hukum,guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial
dasar.

Menurut Pius Partanto, M. Dahlan Al Barry ”lembaga adalah badanatau yayasan yang
bergerak dalam bidang penyelenggaraan pendidikan,kemasyarakatan dan sebagainya” 9
Menurut Muhaimin ”lembaga pendidikan Islam adalah suatu bentukorganisasi yang
mempunyai pola-pola tertentu dalam memerankanfungsinya, serta mempunyai struktur
tersendiri yang dapat mengikatindividu yang berada dalam naungannya, sehingga lembaga
ini mempunyaikekuatan hukum sendiri”.10 Merujuk dari pendapat di atas lembaga
pendidikan Islam adalahtempat berlangsungnya proses pendidikan Islam bersama dengan
prosespembudayaan serta dapat mengikat individu yang berda dalamnaungannya, sehingga
lembaga ini mempunyai kekuatan hukum.Pendidikan Islam yang berlangsung melalui proses
operasionalmenuju tujuannya, memerlukan sistem yang konsisten dan dapatmendukung
nilai-nilai moral spiritual yang melandasinya. Nilai-nilaitersebut diaktualisasikan
berdasarkan otentasi kebutuhan perkembanganfitrah siswa yang dipadu dengan pengaruh
lingkungan kultural yang ada.

8
Ibid.,
9
Pius Partanto, M. Dahlan Al Barry, kamus ilmiah populer (Surabaya: Arkola, 1994) hlm. 406
10
Muhimin, Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 231
B. Pengembangan Moral Peserta Didik

Di dalam kehidupan bermasyarakat arti nilai sebuah moral sangat penting. Dalam hal
ini orang dapat dikatakan bermoral apabila dalam menjalani kehidupan Hurlock, istilah
moral berasal dari kata latin mos(moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan,
peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan
untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai- nilai atau prinsip-prinsip moral
(Yusuf,2002). Konsep moral sudah dapat dibentuk sejak masa anak yaitu lebih kurang awal
dari usia 2 tahun. Meskipun sudah dipelajari sejak kecil, namun setelah dewasa manusia
tetap berhadapan dengan masalah-masalah moral dan meningkatkan konsep moralnya dalam
berhubungan dengan orang lain. Bahwa perkembangan moral seorang anak sejalan dengan
perkembangan kognitifnya. Dengan makin bertambahnya tingkat pengetahuan, makin
banyak pula nilai-nilai moral. Menurut Hurlock (dalam Sianawati,dkk, 1992) meskipun
perkembangan peserta didik melewati pentahapan yang tetap, namun usia mereka dalam
mencapai tahapan tertentu berbeda menurut tingkat perkembangan kognitif mereka

Pola asuh adalah perlakuaan orang tua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberi
perlindungan, dan mendidik anak dalam kehidupan sehar-ihari (Meichati,1978). Menurut
Gunarsa (1989) keluarga merupakan lingkungan kehidupan yang dikenal anak untuk
pertama kalinya, dan untuk seterusnya peserta didik banyak belajar di dalam kehidupan
keluarga. Karena itu peranan orang tua dianggap paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangaan moral seorang anak. Dalam hal ini dapat dilihat perbedaan perkembangan
moral anak ditinjau dari persepsi pola asuh, yaitu pada orang tua yang menerapkan pola asuh
anak yang duduk di TK mulai memperlihatkan keinginan untuk menjadi “anak baik” dan
menunjukkan kesetiaan/loyalitas terhadap orang-orang tertentu. Ia sedang memasuki suatu
tahap penting perkembangan moral, yang oleh ahli teori Lawrence Kohlberg disebut sebagai
tahap “norma-norma interpersonal”. Anak mulai menginternalisir moral-moral sebagaimana
yang orang dewasa tunjukan.

Menurut Piaget, perkembangan moral anak menengah dan akhir berada dalam suatu
transisi antara dua tahap yaitu tahap realisme moral atau heteronomous morality dan tahap
moralitas berdasarkan hubungan timbal balik atau disebut juga autonomous morality. Dalam
tahap realisme moral, anak melihat peraturan dari orang tua dan orang dewasa lainnya
sebagai sesuatu yang tidak akan pernah berubah sehingga mereka harus senantiasa mentaati
tanpa perlu mempertanyakannya. Mereka juga cenderung menaati peraturan secara kaku dan
menilai kebenaran atau kebaikan berdasarkan konskuensi perilaku, bukan berdasarkan
maksud atau motivasi si pelaku. Pada tahap ini juga berkembang ide immanent justice
(keadilan abadi), yaitu suatu pemikiran bahwa pelanggaran peraturan pasti akan
mendapatkan hukuman dengan segera, maupun itu dari orang, objek atau tuhan. Misalnya
peserta didik yang berbohong kepada ibunya dan kemudian jatuh dari sepeda sehingga
lututnya terluka, akan berpikir bahwa kecelakaan itu terjadi sebagai hukuman karena ia telah
berbohong kepada ibunya.

Pada tahap moralitas berdasarkan hubungan timbal balik, anak sudah menyadari
bahwa peraturan merupakan kesepakatan sosial yang dapat berubah dan dapat
dipertanyakan. Anak juga sudah mampu melihat bahwa ia tidak perlu patuh terhadap
keinginan orang lain dan bahwa pelanggaran peraturan tidak merupakan kesalahan atau pasti
akan mendapat hukuman. Dalam menilai perilaku orang lain, anak sudah mampu
mempertimbangkan perasaan dan melihat dari sudut pandang orang tersebut. Pada tahap ini
juga berkembang ide equalitarianisme, dimana anak percaya bahwa keadilan hukum harus
ditetapkan pada semua orang. Anak sudah menyadari bahwa pemberian hukuman harus
berdasarkan pertimbangan maksud si pelaku dan kondisi saat terjadinya pelanggaraan, dan
hukuman yang diberikan tidak harus berbentuk kekerasan, namun juga dapat berupa
pembelajaran agar si pelaku menjadi lebih baik dikemudian hari

Piaget berpendapat bahwa seraya berkembang, anak juga menjadi lebih canggih dalam
berfikir tentang persoalan-persoalan sosial. Piaget yakin bahwa peningkatan pemahaman
sosial ini terjadi melalui interaksi peserta didik dengan lingkungannya, terutama orang tua
dan teman sebaya. Sejalan dengan Piaget yang melihat perkembangan moral dari segi
kognitif, Kohberg juga menjelaskan tahapan perkembangan peserta didik . Hanya saja lebih
kompleks dari teori piaget . Menurut Kohlberg, perkembangan moral peserta didik
menengah dan akhir secara umum berada pada tingkat prakonvensional dan konvensional.
Menurut Hurlock (1993), perkembangan moral anak yang sesungguhnya dapat dilihat dari
dua aspek yaitu perkembangan konsep moral dan perkembangan perilaku moral.      
Perkembangan konsep moral, seperti yang dijelaskan oleh Piaget dan Kohlberg, tidak
menjamin timbulnya tingkah laku moral, karena tingkah laku moral tidak hanya semata-
mata dipengaruhi oleh pengetahuan tentang konsep moral, tetapi juga ditentukan oleh
banyak faktor seperti tuntutan sosial, konsep diri anak, dan sebagainya. Salah satu faktor
yang penting dalam menentukan prilaku moral anak adalah adanya self regulation
(pengaturan diri) yaitu kemampuan mengontrol perilaku perilaku sendiri tanpa harus diawasi
atau diingatkan oleh orang lain. Dengan adanya pengaturan ini, anak akan mampu
menunjukan atau menahan perilaku tertentu secara tepat sesuai dengan kondisi yang
dihadapinya.Dibawah ini diberikan contoh aspek moral dan nilai-nilai agama yang perlu
dikembangkan pada jenjang pendidikan anak usia ini yang dikutif dari Standar Kompetensi
Taman Kanak-Kanak (TK) /Raodhatul Anfhal (RA) tahun 2004 (Depdi8knas, 2004).

Review artikel tentang perkembangan peserta didik.

Dari artikel di atas setelah saya pelajari terlintas bahwa seseorang yang menulis artikel
tersebut memfokuskan bahasan yang di tulis tentang perkembangan moral peserta didik.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwasanya konsep moral sudah dapat dibentuk sejak masa anak
yaitu lebih kurang awal dari usia 2 tahun atau pada tahapan pertumbuhan kedua yakni
berkisar pada usia 2 sampai 3 tahun menurut teorinya Erikson salah satu pakar
perkembangan psikologi.Anak juga menjadi lebih canggih dalam berfikir tentang persoalan-
persoalan sosial sehingga anak itu lebih matang dalam menananmkan moral yang telah
terwujud sejak usia dini agar perkrmbanganya menjadi lebih baik dan sempurna sesuai
dengan apa yang diharapkan sebelumnya.Namun setelah dewasa manusia tetap berhadapan
dengan masalah-masalah moral dan meningkatkan konsep moralnya dalam berhubungan
dengan orang lain. Bahwa perkembangan moral seorang anak sejalan dengan perkembangan
kognitifnyamaka dari itu dengan makin bertambahnya tingkat pengetahuan, makin banyak
pula nilai-nilai moral yang didapat oleh anak tersebut.

Anak juga harus sudah mengerti tentang adanya tahapan-tahapan dalam peraturan
karena merupakan kesepakatan sosial yang dapat berubah dan dapat dipertanyakan. Anak
juga sudah mampu melihat bahwa ia tidak perlu patuh terhadap keinginan orang lain dan
bahwa pelanggaran peraturan tidak merupakan kesalahan atau pasti akan mendapat
hukuman. Dalam menilai perilaku orang lain, anak sudah mampu mempertimbangkan
perasaan dan melihat dari sudut pandang orang tersebut sehingga anak menjadi mandiri
tampa tergantung kepada orang lain sehingga anak juga dapat menilai sendiri mana yang
baik dan mana yang buruk yang dapat merugikan dirinya sendiri. pertumbuhan dan
perkembangan anak berawal pada saat konsepsi hingga masa pertumbuhan dan
perkembangan itu berakhir yaitu saat dewasa. Namun, terkadang pada proses pertumbuhan
dan perkembangan anak tersebut dapat5 mengalami suatu gangguan. Gangguan tersebut
dapat berupa gangguan bentuk anatomi, fisiologi maupun psikososial seorang anak yang
dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor yang mempengaruhi.

Dengan adanya pengaturan ini, anak akan mampu menunjukan atau menahan perilaku
tertentu secara tepat sesuai dengan kondisi yang dihadapinya. Dibawah ini diberikan contoh
aspek moral dan nilai-nilai agama yang perlu dikembangkan pada jenjang pendidikan anak
dalam perkembangan sosio emosional dalam perkembangan bakat anak yang dalam usia
perkembangannya mengalami perkembangan.dan Perkembangan moral itu harus didasarkan
pada sikap dan kemampuan yang dimiliki anak tersebut. Maka dari itu kita harus pandai-
pandai mengembangkan kepribadian kita

C. Lembaga Pendidikan Islam Sebagai Benteng Pertahanan Moral

Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi lembaga pendidikan Islam adalah
belum maksimalnya mutu pendidikan pada jenjang dasar dan menengah. Peningkatan
kualitas lembaga pendidikan Islam merupakan sesuatu yang mutlak harus dilakukan karena
merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional. Peningkatan mutu lembaga pendidikan
Islam bertujuan untuk memberikan suatu jaminan mutu kepada pihak-pihak yang
berkepentingan atau masyarakat, yakni suatu jaminan bahwa penyelenggaraan pendidikan di
lembaga pendidikan Islam itu sesuai dengan apa yang seharusnya terjadi dan sesuai dengan
harapan masyarakat.11 Oleh karena itu, diharapkan lembaga pendidikan Islam mampu
melaksanakan proses pelayanan pendidikan yang bermutu untuk menghasilkan output yang
memiliki kompetensi yang berdaya saing secara nasional bahkan di tingkat global. Seiring
dengan perubahan zaman, lembaga pendidikan Islam kini harus berbenah diri dalam
11
Husni Rahim, op. cit., h. 78.
mempersiapkan generasi muslim masa depan yang kompetitif. Generasi baru Islam yang
memiliki spiritual yang kokoh, berakhlak mulia, profesional, dan memiliki wawasan
keilmuan yang luas, serta memenuhi standar kebutuhan lapangan kerja. Malik Fadjar
mengemukakan bahwa untuk merespons tantangan perubahan tersebut, maka pendidikan
Islam harus dikelola menurut manajemen moderen dan futuristik, yaitu suatu manajemen
yang berpotensi membangun manusia profesional intelektual dan skilled agar mereka
mampu bergaul di engah-tengah komunitas global secara dinamis, kreatif, dan inovatif tanpa
kehilangan jati diri sebagai muslim.12
Salah satu tantangan lembaga pendidikan Islam adalah perubahan orientasi. Perubahan
orientasi pendidikan Islam sudah menjadi keniscayaan dan tuntutan zaman, terlebih di era
globalisasi dewasa ini. Orientasi dari sekedar mendidik mereka untuk memahami ilmu
(pengetahuan) agama haruslah diubah menjadi paham terhadap ilmu agama sekaligus ilmu
sosial, ilmu humaniora, dan ilmu alam. Ilmu agama dan ilmu duniawi harus konvergen.
Lembaga pendidikan Islam selama ini kerap dianggap sebagai aktivitas pembelajaran yang
hanya mengurusi masalah-masalah ritual. Sementara kajian di bidang ekonomi, politik,
sosial, budaya, manajemen, kesehatan, pertanian, kelautan, dan sebagainya kurang menjadi
perhatian serius. Pemisahan ilmu dalam penyelenggaraan pendidikan Islam semacam itu
pada gilirannya akan menghambat kemajuan peradaban umat Islam itu sendiri. Selain
adanya pemisahan ilmu agama dari kebutuhan riil masyarakat modern, pendidikan Islam
hingga kini seolah dalam posisi problematik.
Di satu sisi, umat Islam berada pada romantisme historis karena pernah memiliki para
pemikir dan ilmuwan besar serta memiliki kontribusi yang besar bagi peradaban dan ilmu
pengetahuan dunia. Namun di sisi lain, umat Islam harus menghadapi sebuah fakta bahwa
pendidikan Islam tidak berdaya dihadapkan pada realitas masyarakat industri. 13 Kenyataan di
atas kiranya dapat dihubungkan dengan pendidikan agama Islam yang selama ini lebih
menekankan pada hubungan formalitas antara hamba dan Tuhannya. Pada waktu yang
bersamaan, Islam diajarkan lebih pada tingkat hafalan, padahal Islam penuh dengan nilai-
nilai yang harus dipraktikkan. Memenuhi kepentingan ini, pendidikan Islam harus mampu
mengakses perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Pendidikan Islam tidak boleh

12
Barizi, (Ed.), Holistika Pemikiran Pendidikan A. Malik Fadjar, Jakarta: Rajawali-UIN Malang, 2005, h.ix
13
Ahmad Tafsir, "Pemikiran di Zaman Modern" dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan
Peradaban, ed.Taufik Abdullah, et.al., Jilid IV, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th., h. 397-398.
mengasingkan diri dari realitas kehidupan sosial yang senantiasa berkembang dan terus
berubah mengikuti irama perkembangan peradaban manusia. Dalam kerangka ini dituntut
adanya strategi kontekstualisasi pendidikan Islam yang kompetitif, terutama dalam aspek
pengelolaan pendidikan Islam. Strategi ini mutlak adanya agar pendidikan Islam tidak
terlibas oleh hegemoni perubahan itu sendiri.14 Masyarakat kita saat ini sudah modern dan
maju dalam banyak segi kehidupan terutama sosial budaya.
Saat ini, tolok ukur masyarakat dalam memandang nilai-nilai budaya sudah semakin
jelas dan mengerucut pada pemenuhan kebutuhan material semata yang dalam hal ini
diwakili oleh atau atas nama kepentingan ekonomi. Padahal, sejujurnya dan yang selalu kita
dengung-dengungkan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang bermoral, beradab, dan
berbudaya, atau lebih tegasnya bangsa yang religius. Ini tampak jelas pada sila pertama dan
kedua dalam Pancasila yang merupakan dasar negara ini.
Lembaga pendidikan Islam yang mengedepankan moralitas dan nilai-nilai keagamaan
sebagai basis konsentrasi pengembangan pendidikannya masih dipandang sebelah mata oleh
kebanyakan masyarakat kita. Mereka lebih memilih untuk menyekolahkan putra-putri
mereka di sekolah umum yang dianggap lebih jelas dan lebih terarah tujuan pendidikannya
dan lebih menjanjikan pekerjaan yang layak Menghadapi era globalisasi dan informasi,
peran lembaga pendidikan Islam perlu ditingkatkan. Tuntutan globalisasi tidak mungkin
dihindari. Salah satu langkah bijak, kalau tidak mau dalam persaingan, adalah
mempersiapkan lembaga pendidikan Islam agar tidak ketinggalan kereta.15 Pemenuhan peran
edukatifnya dalam penyediaan sumber daya manusia yang berkualitas, lembaga pendidikan
Islam harus meningkatkan mutu pendidikannya.
Penyediaan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi integratif, baik dalam
penguasaan pengetahuan agama dan pengetahuan umum maupun kecakapan teknologis serta
penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, merupakan prasyarat yang tidak bisa diabaikan
untuk konteks perubahan sosial akibat globalisasi dan modernisasi. Manusia yang berhasil di
masa depan adalah manusia yang mampu mengembangkan dirinya sehingga ia mampu
melakukan inovasi dan improvisasi dalam menghadapi situasi baru yang belum pernah
dialaminya. Oleh karena itu, peserta didik perlu dibekali dengan kemampuan intelektual,

14
Husni Rahim, op. cit., 160
15
Ibid.,
sosial, dan profesional yang tinggi. Pilar utama pendidikan yang harus ditularkan adalah
learning to know, learning to do, learning to be.
Aktualisasi tiga element ini merefleksikan agar terjadi keseimbangan antara teori dan
praktik sehingga keluaran (output) yang dihasilkan memiliki kecakapan dan kemampuan
yang multiguna, baik terhadap agama maupun esensinya sebagai makhluk sosial.
Mempertahankan eksistensi nilai-nilai yang dianut sebelumnya, pendidikan Islam sebagai
dasar ideal dan frame harus bisa menyingkronkan perubahan dengan autentitas nilai-nilai
islamiyah serta melakukan berbagai pembenahan sistem dan manejemen pendidikan Islam
secara sruktural, prosedural, dan progresif terhadap perkembangan zaman di masa yang akan
datang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Secara umum terdapat tiga lembaga pendidikan Islam di Indonesia yaitu, pesantren,
madrasah, dan perguruan tinggi Islam. Ketiga lembaga pendidikan Islam tersebut
yang selama ini memilki peran yang signifikan dalam menghasilkan alumni yang
berilmu dan bermoral.
2. Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren, madrasah, dan perguruan tinggi Islam
dimaksudkan untuk mempertahankan nilai-nilai keislaman dengan titik berat pada
pendidikan. Lembaga pendidikan Islam tersebut berusaha mendidik anak-anak bangsa
ini dengan harapan dapat menjadi orang- orang yang beilmu dan bermoral, sehingga
menjadi benteng pertahanan moral bangsa dari berbagai tantangan globalisasi dan
arus informasi. Lembaga pendidikan Islam ikut terlibat dalam upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa, tidak hanya dari segi moril, namun telah pula ikut serta
memberikan sumbangsih yang cukup signifikan dalam penyelenggaraan pendidikan.
Lembaga pendidikan Islam dinilai memiliki kelebihan karena menerapkan pendidikan
agama dan umum serta sistem pendidikannya didedikasikan untuk membentuk
karakter bangsa.
3. Tantangan lembaga pendidikan Islam adalah perubahan orientasi. Image yang ada
tentang lembaga pendidikan Islam cenderung mengarah ke sesuatu yang bersifat
agamis saja, berbeda dengan lembaga pendidikan umum yang masyhur dengan
sainsnya. Semua itu dirubah dengan tetap mempertahankan dasar lembaga pendidikan
Islam sebagai wadah pendidikan yang bersifat agamis, tanpa mengenyampingkan
ilmu pengetahuan umum atau dalam hal ini sains dan keterampilan.

B. Saran

Ada banyak kekurangan di dalam makalah ini tentu nya dengan adanya
presentasi membuat sempurna nya makalah ini dan semoga menjadi
reverensi ilmu untuk para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Husni Rahim, op. cit., h. 145

Azyumardi Azra, Upaya Menjawab Tantangan Zaman, op. cit., h. 89.

Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam


di Indonesia, h. 151

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), Cet ke.9, hlm. 277

Pius Partanto, M. Dahlan Al Barry, kamus ilmiah populer (Surabaya: Arkola, 1994) hlm. 406

Muhimin, Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 231

Barizi, (Ed.), Holistika Pemikiran Pendidikan A. Malik Fadjar, Jakarta: Rajawali-UIN Malang,
2005, h.ix

Ahmad Tafsir, "Pemikiran di Zaman Modern" dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam:
Pemikiran dan Peradaban, ed.Taufik Abdullah, et.al., Jilid IV, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, t.th., h. 397-398.

Anda mungkin juga menyukai