Anda di halaman 1dari 6

Affina Dyan Setyawati

21/489570/PTK/14292

TUGAS 2
Sistem Informasi Geospasial
Penerapan Etika dalam Proses SIG

Magister Teknik Geomatika, Departemen Teknik Geodesi


Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
Berikan contoh dan deskripsikan tentang Ethics dalam proses SIG sebagai berikut:

a) Pengumpulan DG/IG;
b) Pengelolaan DG/IG;
c) Analisis dan visualisasi IG;
d) Diseminasi IG;
e) Pemanfaatan/penggunaan IG.

Terdapat empat jenis masalah etika dalam desain dan penggunaan Sistem Informasi
Geografis (SIG) yang disebutkan di dalam tinjauan pustaka oleh Graeff (2006), antara lain
bias dan kesalahan data, ketidaktahuan pengguna, kesalahan penyajian data, dan perlakuan
orang sebagai data. Graeff (2006) berfokus pada faktor bias dan kesalahan, yang mana hal
tersebut dapat menurunkan kepercayaan dari peta SIG. Kesalahan tersebut dapat berasal dari
penggunaan beberapa tipe data, perubahan/konversi data, kesalahan perangkat lunak, dan dari
kesalahan langsung. Bias melekat di setiap sistem informasi.Berikut merupakan contoh bias
dan kesalahan yang mungkin terjadi dalam proses SIG dan bagaimana etika seharusnya
diterapkan.

a) Pengumpulan DG/IG
Misalnya adalah peralatan pengukuran ketinggian yang hanya pada tingkat
presisi tertentu, yang membulatkan pengukuran ke meter terdekat. Selain akuisisi data
baru, data lama yang digunakan untuk menganalisis kondisi saat ini juga dapat
menghasilkan analisis yang keliru. Apa yang dapat dilakukan oleh seorang ahli SIG
dalam pekerjaannya menanggapi permasalahan ini adalah membeli data yang lebih
penting untuk akurasi peta secara keseluruhan. Hal itu dilakukan jika memang
peralatan yang dimiliki sudah tidak dapat mengakomodasi tingkat akurasi yang
diinginkan dan data lama yang dimiliki sudah tidak relevan lagi.
Dalam hal akuisisi data di lapangan, ahli SIG harus berpedoman pada
spesifikasi teknis pekerjaan dan/atau Standar Operating Procedure (SOP). Hal itu
untuk menjamin agar produk data dapat digunakan untuk memenuhi tujuan yang telah
ditentukan sebelumnya. Hal itu merupakan penerapan salah satu dasar keutamaan
keprofesionalan, yaitu tanggung jawab. Misalnya adalah pada saat pengambilan
sampel untuk menentukan ketinggian, seorang ahli SIG harus melakukan sampling
dengan benar. Ahli SIG tidak boleh hanya mengambil sampel pada daerah tertentu
saja tanpa memperhatikan karakteristik area pengukurannya, misalnya saja ada yang
curam, tetapi karena tidak teliti akhirnya tidak diambil sampel. Setelah melakukan
pengukuran di lapangan, seharusnya langsung dilakukan cek plotting, apakah data
yang diperoleh sudah berada pada posisi yang tepat dan memiliki bentuk dan orientasi
yang sesuai.
Contoh yang lain adalah penggunaan data yang sesuai dengan peruntukannya.
Misalnya adalah citra satelit atau foto udara dengan resolusi 3 m x 3 m untuk resolusi
rendah dan 6 inci x 6 inci untuk resolusi tinggi. Ukuran piksel yang kecil digunakan
untuk analisis fitur kecil seperti menemukan lokasi hidran kebakaran atau lubang got.
Sementara ukuran piksel yang besar cukup untuk analisis fitur yang berukuran besar
seperti menentukan batas sebuah danau yang besar. Hal ini perlu diputuskan oleh
seorang ahli SIG di awal pekerjaan. Dia tidak boleh menggunakan data dengan
resolusi yang rendah untuk pekerjaan yang membutuhkan detail tinggi karena akan
menimbulkan banyak perkiraan yang berujung pada kesalahan. Namun demikian, data
foto dengan resolusi tinggi memang lebih mahal. Jika memang data tersebut
diperlukan untuk satu bagian peta, maka untuk bagian lainnya seorang ahli
SIG/pengguna mungkin akan menggunakan data yang tidak mahal/bahkan gratis.
Dalam hal ini pengguna juga memperhitungkan mengenai foto dengan resolusi tinggi
membutuhkan memori lebih banyak daripada foto dengan resolusi rendah.
b) Pengelolaan DG/IG
Terkadang pengguna memiliki format data yang beragam, mulai dari data
vektor hingga raster. Menggunakan format data yang berbeda akan menciptakan
inkonsistensi, misalnya sulit untuk membandingkan data raster dan vektor yang ber-
layer-layer. Hal ini nantinya akan menyulitkan proses analisis. Pengguna dapat
memutuskan apakah akan membiarkannya tetap seperti itu atau mengkonversi semua
data ke jenis yang sama dengan rasterisasi data vektor atau vektorisasi data raster.
Yang biasanya terjadi adalah data vektor dirasterisasi. Proses rasterisasi menghasilkan
hanya satu nilai untuk setiap sel grid berdasarkan seluruh data yang ada di sel. Jika
hanya ada satu nilai yang ditetapkan ke setiap grid, data dengan mudah dapat hilang
atau disalahartikan. Cara mengantisipasi hal tersebut adalah dengan menggunakan sel
grid raster yang lebih kecil ukurannya, tetapi kelemahannya ada pada memori yang
besar.
Proses topologi yang lengkap menjadikan analisis berupa overlay peta layak
untuk dilakukan. Jarang didapati topologi yang bersih jika data diperoleh dari proses
digitasi atau konversi/import data dari format lain. Topologi dilakukan untuk menjaga
kualitas dari basisdata.
Ahli SIG dapat mengatasi/menghindari inkonsistensi yang mungkin terjadi
dengan mencocokkan datum, proyeksi, dan format data setiap kumpulan data baru
yang ditambahkan ke SIG dengan data yang ada di SIG. Sulit untuk menghilangkan
semua inkonsistensi data dari SIG, tetapi dengan melakukan pemeriksaan konsistensi
setidaknya dapat mengingatkan pengguna bahwa ada inkonsistensi di peta. Hal itu
dapat membantu pengguna mengidentifikasi masalah yang disebabkan oleh data yang
tidak konsisten dan membuat pengguna bertanggung jawab atas masalah tersebut.
c) Analisis dan visualisasi IG
Contoh kesalahan yang mungkin muncul adalah pada penggambaran
polyline¸di mana garis digambar untuk merepresentasikan kurva. Kesalahan yang
mungkin terjadi adalah jumlah segmen garis yang tidak sama dengan jumlah segmen
pada kurva. Polyline dengan jumlah segmen yang sesuai akan lebih jelas dalam
mewakili kurva asli daripada polyline dengan jumlah segmen yang kurang. Selain itu,
penggunaan snapping juga harus menjadi perhatian karena jika lupa mengaktifkan
menu ini, maka dapat berakibat pada terbentuknya node baru sehingga fitur tidak
menutup sempurna. Dalam hal ini, ada strategi yang dapat dilakukan untuk
menghindari terjadinya sliver/enclave polygon, undershoot, overshoot yaitu dengan
tingkat zoom dalam melakukan digitasi. Level zoom diusahakan harus sama untuk
setiap node yang dibentuk agar memiliki akurasi yang sama. Level zoom merupakan
salah satu bentuk standar untuk meminimalkan jumlah yang disalahartikan oleh
polyline  polyline tidak boleh terlihat dari kurva asli pada tingkat zoom yang telah
ditentukan.
Contoh lainnya adalah perbedaan format data yang digunakan dalam analisis.
Jika pengguna memutuskan untuk menggunakan format raster dan vektor, perlu
ditetapkan terlebih dahulu aturan interpretasi untuk menganalisis petanya. Tanpa
adanya aturan, maka analisis peta akan menjadi subjektif. Hasil analisis menggunakan
raster hasil rasterisasi dari vektor dapat memberikan hasil yang berbeda jika
dibandingkan dengan hasil analisis vektor. Keduanya memberikan kesimpulan
berbeda yang akan berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan
menggunakan SIG.
Dalam proses visualisasi, penggunaan simbologi dalam melakukan klasifikasi
dapat menyesatkan pengguna peta. Dengan kumpulan data yang sama, data dapat
direpresentasikan dengan sangat berbeda karena perbedaan klasifikasi dengan natural
break dan equal interval. Keduanya benar, tetapi ahli SIG harus menyesuaikannya
dengan tujuan peta agar tidak menyesatkan pengguna  seperti how to lie with maps.
Contoh visualisasi yang lain adalah penekanan/perbesaran nilai mayoritas juga
dapat menyesatkan pengguna peta karena menyebabkan kesalahan dalam
merepresentasikan data. Misalnya adalah pada peta pemilihan umum (pemilu), yang
mana akan menekankan wilayah dengan suara terbanyak.
d) Diseminasi IG
Proses diseminasi/penyebarluasan IG harus menyertakan metadata. Hal itu
sesuai amanat yang dimuat pada Undang-Undang Informasi Geospasial (IG) yang
mengharuskan setiap produsen DG/IG untuk memberikan metadata pada setiap
DG/IG yang disebarluaskan. Produsen juga harus memperhatikan format yang
digunakan pada saat membagikan data. Format haruslah interchangeable yang
memungkinkan terjadinya interoperabilitas data. Contoh format data yang disarankan
oleh OGC adalah WFS, WMS, WCS, atau WMTS. Banyak aspek yang sebenarnya
harus diperhatikan, seperti jangan sampai membagikan informasi yang bersifat privat
karena akan melanggar hukum privat, misalnya adalah identitas pemilik suatu bidang
tanah.
e) Pemanfaatan/penggunaan IG
Metadata merupakan cara untuk mengevaluasi kualitas data sebelum
memutuskan akan menggunakan data tersebut atau tidak. Hal itu karena sumber data
ada banyak, cara akuisisinya berbeda-beda, ada perambatan kesalahan yang
menyebabkan gap antara model (data) dan realita. Pengguna yang baik akan
mencermati metadata untuk melakukan evaluasi. Namun, seringkali metadata tidak
tersedia, padahal hal itu diwajibkan oleh Undang-Undang IG, yang mana produsen
DG harus menyertakan metadata untuk setiap DG yang diunggahnya. Metadata
digunakan untuk menilai kesesuaian penggunaan (fitness for use). Pengguna tidak
boleh memaksakan untuk menggunakan suatu data yang tidak dapat mengakomodasi
suatu tujuan. Misalnya peta dengan skala 1:25.000 diturunkan menjadi skala 1:5.000,
tentunya hal ini tidak dibenarkan, konsep yang terbalik. Datanya menjadi salah.

Referensi
Graeff, C. (2006). Ethical Implications of Biases and Errors in Geographic Information
Systems. International Symposium on Technology and Society, Proceedings.
https://doi.org/10.1109/ISTAS.2006.4375883

Anda mungkin juga menyukai