Anda di halaman 1dari 14

IHDAD WANITA KARIR

(Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif)

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perkawinan Islam 2

Dosen Pengampu :
Moch. Nurcholis, M.H.
Oleh :
Faris Arry Hidayatullah
farisarryhidayatullah@gmail.com

Program Studi Hukum Keluarga Islam


Fakultas Syari'ah dan Ekonomi Islam
Institut Agama Islam Bani Fattah Jombang
Tahun Ajaran 2022-2023
IHDAD WANITA KARIR

A. Pengertian Wanita Karier

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, karir berasal dari kata karier dari bahasa
Belanda, yang artinya sebagai berikut; Pertama, Perkembangan, kemajuan dalam kehidupan,
pekerjaan dan jabatan.Kedua, Pekerjaan yang memberikan harapan maju sedangkan
menurut Kamus Dewan, wanita berarti orang perempuan dan karier berarti kerja atau profesi
yang menjadi kegiatan seseorang dalam hidupnya. Secara umum, definisi wanita karier
mencakup karier wanita sebagai suri rumah sepenuh masa dan juga wanita yang mempunyai
pekerjaan atau profesi tertentu di luar rumah.

Ray Sitoresmin Prabuningrat, menjelaskan tentang bagaimana peran wanita yang


disematkan dengan sebutatn karier, menurutnya wanita karier adalah bagian peran yang
dimainkan dan cara bertingkah laku wanita di dalam pekerjaan untuk memajukan dirinya
sendiri. Wanita karier mempunyai peran rangkap, yaitu peran yang melekat pada kodrat
dirinya yang berkaitan dengan rumah tangga dan hakikat keibuan serta pekerjaannya di luar
rumah.

Dengan demikian seorang wanita karier harus memenuhi berbagai persyaratan dan
tidak mungkin dimiliki oleh setiap wanita. 1

Lebih lanjut Muhammad Al-Jauhari berpendapat bahwa bagi seorang wanita Karier
sangat diperlukan agar ia biasa mewujudkan jati diri serta membangun kepribadiannya.
Sebab dalam hal ini wanita tetap bisa mewujudkan jati dirinya secara sempurna dengan
berprofesi sebagai ibu rumah tangga, sambil berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial atau
politik. 2 Akan tetapi, wanita harus lebih berhati-hati karena Endang Widyastuti, dalam
penelitiannya bahwa seringadanya pandangan negatif dari masyarakat terhadap wanita karir
jika keberhasilannya mengakibatkan rumah tangganya tidak harmonis ikut menyumbang
kemunculan ketakutan sukses pada wanita. 3

Pengertian wanita karier sebagaimana dirumuskan di atas nampaknya tidak identik


dengan “wanita pekerja” atau “wanita bekerja” menurut Prof. Dr. Tapi Omas Ihromi, ialah
mereka yang hasil karyanya akan dapat menghasilkan imbalan keuangan”, meskipun

1 Ray Sitoresmin Prabuningrat, Sosok Wanita Muslimah Pandangan Seorang Artis, (Yogyakarta, Tiara
Wacana: 1993), h. 56.
2 Mahmud Muhammad al-Jauhari dan Muhammad Abdul Hakim Khayyal, Membangun Keluarga Qur’ani:

Panduan Untuk Wanita Muslimah, (Jakarta, Amzah: 2005), h. 91.


3 Endang Widyastuti, Ketakutan Sukses Pada Wanita Karir Ditinjau Dari Konflik Peran Ganda, sebuah artikel

di Universitas Setia Budi dan Universitas Gadjah Mada, 2014, h. 5.


imbalan uang tersebut tidak mesti secara langsung diterimanya. Bisa saja keberadaan
imbalan itu hanya dalam perhitungan, bukan dalam realitas: misalnya, wanita yang bekerja
di ladang pertanian untuk keluarganya dalam kedudukan sebagai pembantu ayah atau
saudaranya. Selesai bekerja. Iya tidak memperoleh hasil atau imbalan keuangan dari ayah
atau saudaranya, namun setelah panen dan hasil pertanian di keluarga ini memperoleh uang.
Wanita ini dinamakan pula wanita bekerja. Hal ini berbeda dengan wanita yang berjam-jam
mengurus rumah tangganya, terkadang hampir tidak ada waktu istirahat di dalam rumah
karena banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan, namun pekerjaaan seperti ini tidak
menghasilkan uang, langsung atau tidak langsung. Wanita semacam ini tidak termasuk
dalam kategori “wanita bekerja. 4

Dari beberapa penjelasan ahli diatas, yang disebut dengan wanita karier adalah wanita
yang telah sukses melakukan tugas pokoknya dengan kemampuannya ia bisa melakukan
tugas-tugas dan tanggung jawab yang lain tanpa mengganggu aktifitas kegiatan pokoknya.
Dan mengenai bagaimana persyaratan yang diberikan akan dijelaskan pada tema
selanjutnya.

B. Syarat-syarat Wanita Karir

Setelah mengetahui tentang bagaimana yang dinamakan wanita karir, maka untuk
memastikannya adalah dengan mengetahui bagaimana persyaratan yang harus dipenuhi.
Persyaratan tersebut adalah sebagai berikut;

1. Memiliki kesiapan mental


a. Wawasan yang memadai tentang bidang yang digelutinya beserta kaitannya
dengan pihak-pihak lain.
b. Keberanian memikul tanggung jawab dan tidak bergantung pada orang lain.
2. Kesiapan jasmani
3. Kesiapan social
a. Mampu mengembangkan dan menjalankan keharmonisan hubungan antara karir
dan rumah tangga.
b. Mampu menumbuhkan saling pengertian antara keluarga dekat dengan
tentangga dalam menyikapi karier yang dia lakukan atau jalankan.
c. Mampu beradaptasi dengan lingkungan terkait.
4. Memiliki kemampuan untuk selalu meningkatkan prestasi kerja demi
kelangsungan karier di masa depan

4Chuzaimah T. Yanggo, dan Hafiz Anshariy, Problematika Hukum Islam Kontemporer( Jakarta: PT. pustaka
Firdaus, 2009), h. 21.
5. Menggunakan peluang dan kesempatan dengan baik
6. Mempunyai pendamping yang selalu mendukung untuk mengungkapkan gagasan
baru.

Menurut Resti Yuni yang telah telah melakukan penelitian yang sama tentang wanita
karier dalam al-Qur’an, ia mengungkapkan bagaimana pendapat as-sya’rawi dalam
memberikan persyaratan dibolehkannya wanita berkarier diantaranya:

1. Mendapat izin dari walinya, yaitu ayah atau suaminya untuk sebuah pekerjaan yang
halal seperti menjadi pendidik para siswi, atau menjadi perawat khusus bagi pasien
wanita
2. Tidak bercampur dengan kaum laki-laki atau melakukan khalwat dengan lelaki lain.
3. Tidak berlaku tabarruj dan menampakan perhiasan yang dapat mengundang fitnah.

Dari persyaratan yang telah diungkapkan oleh Resti Yuni diatas, ada beberapa poin
tambahan dari beberapa ulama, diantaranya adalah menjauhi segala sumber fitnah

1. Dalam bekerja wanita tidak dibolehkan mengenakan pakaian yang melanggar syara’.
2. Berkata-kata baik dan merendahkan suaranya sesuai dengan suara wanita.
3. Tidak mengenakan wangi yang berlebihan yang pada akhirnya menimbulkan halhal
yang tidak diinginkan oleh agama.
4. Mampu menahan pandangan.

Seorang ulama besar Kairo al-Azhar, menjelaskan beberapa persyaratan yang harus
ditempuh oleh wanita karier, yaitu:

1. Karena kondisi keluarga yang mendesak


2. Keluar bersama mahramnya
3. Tidak berdesak-desakan dengan laki-laki dan bercampur baur dengan mereka
4. Pekerjaaan tersebut sesuai degan tugas seorang perempuan.6
C. Faktor-Faktor Pendorong Wanita Berkarier

Setelah mengetahui bagaimana wanita bisa disebut dengan wanita karier, maka bisa
ditemukan beberapa faktor yang mempengaruhi, diantaranya:

1. Terpaksa oleh keadaan atau kondisi karena keadaan ekonomi yang tidak menentu dan
pendapatan suami tidak memadai atau dikarenakan wanita telah menjadi janda yang
harus melanjutkan hidup bersama anak-anaknya
2. Kehendak ingin tidak merepotkan suami, walaupun suami telah memenuhi semua
kebutuhan yang ia butuhkan.
3. Mencari harta yang sebanyak-banyaknya.
4. Untuk mengisi waktu kosong
5. Untuk mencari hiburan jika pekerjaan yang dilakukan adalah hal yang menjadi hobi
6. Selain hobi, pekerjaan yang dilakukan adalah hal yang bisa mengembangkan bakat
yang wanita tersebut miliki.

Selain faktor-faktor diatas, Chuzaimah memberikan beberapa poin penting yang


menjadikan faktor pendukung bagi wanita untuk menjadi wanita karier, diantaranya:

1. Pendidikan. Pendidikan dapat melahirkan perempuan karier dalam berbagai lapangan


kerja.
2. Untuk alasan ekonomis, agar tidak tergantung kepada suami, walaupun suami mampu
memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, kerena sifat perempuan adalah selagi ada
kemampuan sendiri, tidak ingin selalu meminta kepada suami
3. Untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya, ini biasanya dilakukan oleh
perempuan yang menganggap bahwa uang di atas segalanya, dimana yang paling
penting dalam hidupnya adalah menumpuk kekayaan.
4. Untuk mengisi waktu yang lowong. Di antara perempuan ada yang merasa bosan diam
di rumah karena tidak mempunyai kesibukan dengan urusan rumah tangganya, oleh
sebab itu, untuk menghilangkan rasa bosan tersebut, ia ingin mencari kegiatan di
bidang usaha, dan sebagainya.
5. Untuk mencari ketenangan dan hiburan. Seorang perempuan mungkin mempunyai
kemelut yang berkepanjangan dalam keluarganya yang sudah diatasi, oleh sebab itu ia
mencari jalan keluar dengan menyibukkan diri di luar rumah.
6. Untuk mengembangkan bakat. Bakat dapat melahirkan perempuan karier. Seorang
bukan sarjana, namun berbakat dalam bidang tertentu, akan lebih berhasil dalam
kariernya dibanding seorang sarjana dari fakultas tertentu yang tidak berbakat. Dengan
munculnya faktor-faktor tersebut, maka semakin terbuka kesempatan bagi perempuan
untuk terjun ke dunia karier.5
D. Dampak Dari Wanita Berkarier

Berkarier bagi wanita di satu sisi mempunyai nilai negatif. Namun di sisi lain,
pekerjaan dan karier mempunyai nilai positif bagi wanita. Nilai-nilai positif bagi wanita
dapat dilihat dari berbagai perspektif, menurut Resti Yuni dalam penelitiannya
mengungkapkan bahwa

5 Huzaimah Tahido Yanggo, dan Nasaruddin Umar, Fiqih Perempuan Kontemporer.(Bogor: Pt: Ghalia
Indonesia, 2010), h. 63.
1. Ekonomi
Berkarier berarti menekuni suatu pekerjaan yang menghasilkan insentif
ekonomi dalam bentuk upah atau gaji. Dengan hasil itu, wanita dapat membantu
mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Bagi pria atau suami yang penghasilannya
minimal atau bahkan kurang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya
sehari-hari, kerja atau karier wanita tidak hanya diharapkan tetapi juga dibutuhkan.
Telah dimaklumi bersama, bahwa tidak sedikit keluarga yang meskipun sang ayah
atau suami telah mempunyai pekerjaan, tetapi penghasilannya tidak memadai untuk
mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
2. Psikologi
Bekerja atau berkarier umumnya diasosiasikan dengan kebutuhan ekonomis-
produktif. Namun sebenarnya ada kebutuhan lain bagi setiap individu, termasuk
wanita yang dipenuhi dengan bekerja. Di antara kebutuhan itu adalah kebutuhan akan
pengakuan, penghargaan, dan aktualisasi diri. Di saat kesulitan ekonomi menghimpit
lapangan kerja semakin sempit, banyak kalangan perempuan memporoleh pekerjaan
dan sukses berkarier merupakan prestasi tersendiri. Dengan prestasi ini, wanita
menjadi lebih percaya diri.
3. Sosiologis
Seringkali dapat dijumpai di perusahaan, adanya pegawai atau karyawan yang
menolak dipindahkan atau diberhentikan bukan karena khawatir kehilangan upah atau
fasilitas tertentu, tetapi karena tidak ingin berpisah dengan teman kerjanya. Bahkan ia
rela tetap dibayar rendah, sedang di tempat yang baru gajinya lebih tinggi. Ini
menunjukkan bahwa motif ekonomi bukan satu satunya faktor yang melatarbelakangi
seseorang bekerja dan menekuni karier. Dengan bekerja, wanita dapat menjalin ikatan
dalam pola interelasi kemanusiaan. Interelasi yang merupakan salah satu
pengejawantahan fungsi sosial dan status sosial tersebut merupakan unsur penting
bagi kesejahteraan lahir batin manusia.
4. Religius
Pekerjaan dan karier bagi wanita dapat bernilai religius; sebagai wujud ibadah
atau amal shaleh. Jika karena suatu alasan tertentu, suami tidak dapat mencari nafkah
secara memadai, sedang kebutuhan ekonomi rumah tangga tidak terelakkan maka
kerja istri dalam rangka memenuhi kebutuhan ini dapat bernilai ibadah. Jika wanita
itu bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup anaknya dan keluarganya,
melakukannya dengan penuh ketulusan, dan menghindari dari halhal yang dilarang
oleh agama, maka ia telah melakukan kebijakan
Selain dampak positif, tidak bisa dipungkiri bahwa ada pula dampak negatif yang bisa
dirasakan oleh wanita karier. Membawa dampak negatif, baik secara sosiologis maupun
agamis.

1. Terhadap anak-anak. Perempuan yang hanya mengutamakan keriernya akan pengaruh


kepada pembinaan dan pendidikan anak- anak, maka tidak aneh kalau banyak terjadi hal-
hal yang tidak di harapkan, seperti perkalihan antara remaja dan antar-sekolah,
penyalahgunaan obat-obat terlarang, minuman keras, pencurian, pemerkosaan, dan
sebagainya, apabila hal ini tidak diatasi dengan segera, maka akan merugikan anak-anak dan
masyarakat. Hal ini harus diakui, sekalipun tidak bersifat menyeluruh bagi setiap individu
yang berkarier. Akibat dari kurangnya komunikasi antara ibu dan anak-anaknya bisa
menyebabkan keretakan sosial. Anak-anak merasa tidak diperhatikan oleh orang tuanya,
sopan santun mereka terhadap orang tuanya akan memudar, bahkan sama sekali tidak mau
mendengar nasihat orang tuanya. Pada umumnya, hal ini disebabkan karena si anak merasa
tidak ada kesejukan dan kenyamanan dalam hidupnya sehingga jiwanya berontak. Sebagai
pelepas kegersangan hatinya, akhirnya mereka berbuat dan bertindak seenaknya, tanpa
memperhatikan norma-norma yang ada di lingkungan masyarakat.
2. Terhadap suami. Di balik kebanggaan suami yang mempunyai isteri perempuan karier
yang maju, aktif dan kreatif, pandai dan dibutuhkan masyarakat, tidak mustahil menemui
persoalan-persoalan dengan isterinya. Isteri yang bekerja di luar rumah setelah pulang dari
kerjaanya tentu ia merasa capek, dengan demikian kemungkinan ia tidak bisa melayani
suaminya dengan baik sehingga suami merasa kurang hak-haknya sebagai suami. Waktu
yang disisihkan isterinya kepadanya tidak dapat memenuhi kebutuhannya, akibatnya si
suami mencari kepuasan di luar rumah tangganya, misalnya seorang suami menemukan
problem di tempat kerjanya, ia berharap masalah ini bisa diselesaikan dengan isterinya,
tetapi tidak terselesaikan kerena isteri pun mengalami masalah di tempat kerjanya. Untuk
mengatasi masalahnya, si suami mencari penyelesaian dan kepuasan di luar rumah.
3. Terhadap rumah tangga. Kadang-kadang rumah tangga berantakan disebabkan oleh
kesibukan ibu rumah tangga sebagai perempuan karier, yang waktunya banyak tersita oleh
pekerjaannya di luar rumah sehingga ia tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai isteri
dan ibu rumah tangga. Hal ini dapat menimbulkan pertengkaran, bahkan perceraian kalau
tidak ada pengertian dari suami.
4. Terhadap kaum laki-laki. Laki-laki banyak yang menganggur akibat adanya perempuan
karier, kaum laki-laki tidak memperoleh kesempatan untuk bekerja, karena jatahnya telah
direnggut atau dirampas oleh kaum perempuan.
5. Terhadap masyarakat. Perempuan karier yang kurang mempedulikan segi-segi normatif
dalam pergaulan dengan lain jenis dalam lingkungan pekerjaan atau dalam kehidupan
sehari-hari akan menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan suatu masyarakat.
Perempuan lajang yang mementingkan kariernya kadang-kadang bisa menimbulkan
budaya”nyeleneh” nyaris meninggalkan kodratnya sebagai kaum hawa, yang pada akhirnya
mencuat budaya” lesbi dan kumpul kebo”. 6

6Huzaimah Tahido Yanggo, dan Nasarudin Umar, Fiqih Perempuan Kontemporer, ( Bogor: Pt. Ghalia Indonesia,
2010), h. 63.
IDDAH DAN IHDAD WANITA KARIER DALAM
PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. Ketentuan Syari’at Islam tentang Iddah dan Ihdad Wanita Karier


Setelah melakukan penelitian mengenai hal yang berkaitan dengan Iddah dan Ihdad,
konsekuensi dari pada keduanya adalah:32

1. Tidak boleh menerima pinangan laki-laki lain, baik secara terang- terangan
maupun sindiran. Bagi perempuan yang menajalani ‘Iddah wafat, pinangan dapat
dilakukan secara sindiran,
2. Tidak boleh nikah atau dinikahi
ۡ ۡ ‫وََل جناح علَ ۡي ُك ۡم فِيما عر ۡضتم بِِهۦ ِم ۡن ِخ ۡطب ِة ٱلنِسا ِٓء أ َۡو أ َۡكننت‬
‫ٱَّللُ أَنَّ ُك ۡم َستَذ ُك ُروََنُ َّن َولََٰكِن ََّل‬
َّ ‫ِف أَن ُف ِس ُك ۡم ۚ َعلِ َم‬
ِ ‫م‬
ٓ َُ َ َ ُ ََّ َ َ َ َُ َ
‫ٱَّللَ يَ ۡعلَ ُم َما‬ َّ ‫َجلَهُۥ ۚ َو ۡٱعلَ ُمٓواْ أ‬ َِ‫اح ح َّ ََّٰت ي ۡب لُ َغ ۡٱلك‬ ِ ۡ ۡ ۡ ۡ ِ ‫تُواعِ ُد‬
َّ ‫َن‬ ‫أ‬
َ ُ‫ب‬‫ت‬َٰ َ َ ِ ‫وه َّن سًّرا إََِّلٓ أَن تَ ُقولُواْ قَواَل َّمع ُروفاا ۚ َوََل تَع ِزُمواْ عُق َدةَ ٱلن َك‬
ُ َ
ٞ‫ور َحلِيم‬
ٌ ‫ٱَّللَ غَ ُف‬
َّ ‫َن‬َّ ‫ٱح َذ ُروهُ ۚ َو ۡٱعلَ ُمٓواْ أ‬
ۡ ‫ِِف أَنف ِس ُك ۡم ف‬
َ ُ ٓ
Artinya: ”Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu[148]
dengan sindiran[149] atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka)
dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam
pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia,
kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf[150]. dan
janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis
'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam
hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyantun”. (Qs. Al-Baqoroh:235)
ۡ ۡ
‫َٰجا َو ِصيَّةا ِّل َۡزَوَِٰج ِهم َّم َٰتَ اعا إِ ََل ٱۡلَ ۡوِل غَ ۡ َۡي إِ ۡخَراج ۚ فَإِن َخ َر ۡج َن فَ ََل‬ ۡ ۡ ِ ۡ ِ
َ ‫َوٱلَّذ‬
‫ين يُتَ َوفَّو َن من ُكم َويَ َذ ُرو َن أَزَو ا‬
ۡ
ٞ‫ٱَّللُ َع ِز ٌيز َحكِيم‬ َّ ‫ِف أَن ُف ِس ِه َّن ِمن َّم ۡع ُروف ۗ َو‬ ِ ‫ن‬ ‫ل‬ ۡ ۡ
ٓ َ ‫اح َعلَي ُكم ِِف َما فَ َع‬ َ َ‫ُجن‬
Artinya: ”Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan
meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri- isterinya, (yaitu) diberi
nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan
tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris
dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka.
dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al- Baqoroh:240)
B. Ketentuan Iddah dan Ihdad dalam Undang-Undang N0. 1 tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam
1. Dalam Undang-Undang No. 1/1974 pasal 11 Jis. Peraturan Pemerintah No.
9/1975 pasal 39 dan Kompilasi Hukum Islam1 pasal 153. Dalam Undang-undang
No 1 Tahun 1974 disebutkan dalam pasal 11 :
a. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
b. Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam
Peraturan Pemerintah lebih lanjut.
Penjelasan dari pasal 11 tersebut diatas baik ayat (1) maupun ayat (2) tertulis cukup
jelas. Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 39 disebutkan:
1. Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undangundang
ditentukan sebagai berikut :
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130
(seratus tiga puluh) hari
b. apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang
bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh)
hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
c. apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu
ditetapkan sampai melahirkan;
2. Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara
janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin;
3. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak
jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi
perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian
suami.
Penjelasan dari pasal 39 tersebut diatas selain ayat (2) cukup jelas, sedangkan ayat (2)
dijelaskan sebagai berikut:
Bagi wanita yang kawin kemudian bercerai, sedangkan antara wanita itu dengan bekas
suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin maka bagi wanita tersebut tidak ada
waktu tunggu, ia dapat melangsungkan perkawinan setiap saat setelah perceraian itu.
2. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 153 disebutkan:
a. Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali
qabladdukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.
b. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
1) Apabila perkawinan putus karena kematian walaupun qabladdukhul, waktu
tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari;
2) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih
haidl ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang- kurangnya 90 (sembilan
puluh) hari, dan bagi yang tidak haidl ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
3) Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan;
4) Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
c. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang janda
tersebut dengan bekas suaminya qabl al- dukhul
d. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak
jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap,
sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak kematian suami.
e. Waktu tunggu bagi istri yang pernah haidl sedang pada waktu menjalani Iddah tidak
haidl karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu suci.
f. Dalam haidl keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka Iddahnya selama
satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaidl kembali, maka
iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.
Selain dari pada pasal 153, Kompilasi Hukum Islam, pada pasal selanjutnya juga
membicarakan tentang hal yang sangat bekrkaitan berupa:
a. Pasal 154 : Apabila istri tertalak raj'i kemudian dalam waktu iddah menjalani
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) Pasal 153,
ditinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan
sepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya.
b. Pasal 155 : Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khulu',
fasakh dan li'an berlaku iddah talak.
Penjelasan dari pasal 153 sampai dengan pasal 155 tersebut diatas seluruhnya
dikatakan cukup jelas.Pasal pasal mengenai masa iddah janda karena bercerai di
Pengadilan Agama, baik cerai gugat atau cerai talak, semuanya sesuai dengan makna
yang tercantum dalam ayat-ayat Al Quran Surat ke 2 Al Baqarah ayat 228, 234, Surat
ke 33 Az- Zumar ayat 49, Surat ke 65 Al Thalak ayat 4, dan Hadits yang dijadikan
rujukan utama para ahli hukum Islam baik salaf maupun khalaf, namun timbul
paradigma baru yang mempertanyakan apakah masih diperlukan lagi waktu tunggu
tersebut kalau ternyata dalam rahim janda itu benar-benar tidak ada janin atau bahkan
rahimnya sudah diangkat/dikeluarkan dari perutnya.
C. IDDAH DAN IHDAD WANITA KARIER
Menanggapi semua permasalahan yang ditemukan, banyaknya keadaan seorang
wanita yang sedang menjalankan iddah dan ihdad, akan tetapi tidak mengetahui apa yang
yang ditanggungkan kepadanya. Maka setelah menganalisis penelitian yang telah penulis
lakukan dari bab-bab sebelumnya, wanita karier yang diperbolehkan menurut ulama adalah:
Pendapat as-Sya’rawi dalam memberikan persyaratan dibolehkannya wanita berkarier
diantaranya:7

1. Mendapat izin dari walinya, yaitu ayah atau suaminya untuk sebuah pekerjaan yang
halal seperti menjadi pendidik para siswi, atau menjadi perawat khusus bagi pasien
wanita
2. Tidak bercampur dengan kaum laki-laki atau melakukan khalwat dengan lelaki lain.
3. Tidak berlaku tabaruj dan menampakan perhiasan yang dapat mengundang fitnah.
Dalam pandangan hukum positif, menjelaskan apa yang tergambar dalam
agama, yaitu:
Pasal 154 : Apabila istri tertalak raj'i kemudian dalam waktu iddah menjalani
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) Pasal 153,
ditinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh
hari terhitung saat matinya bekas suaminya.
Dari pasal ini, tergambar waktu menunggu bagi seorang perempuan dalam
ditinggalnya meninggal, adalah sesuai dengan hukum agama empat bulan sepuluh
hari. akan tetapi pembatasan tentang hukum positif yang menyangkut dalam ihdad
yaitu masa berkabungnya seorang istri sama dengan hukum waktu menunggu
dikarenakan agar tidak terjadi percampuran dua jenis seperma yang walaupun sudah
diketahui tidak hamil, akan tetapi menurut penelitian kedokteran bahwa menempelnya
seperma itu akan hilang selama jangka waktu tersebut. Dan jika tidak maka akan
berakibat fatal bagi seorang perempuan. Penjelasan hukum menahan dari semua yang
berkaitan dengan wangi-wanginan adalah seperangkat peraturan yang bisa
menyempurnakan hukum aslinya. 8
Penelitian penulis, berdasarkan penelitian yang digunakan oleh para ahli
sebagaimana yang telah penulis cantumkan.
Kedudukan wanita karier dalam melakukan Iddah dan Ihdad adalah sesuai dengan
semua yang tidak dilarang oleh pendapat yang rajih(kuat) akan tetapi ada beberapa alternatif,
antara lain:

7Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi, Fiqih Perempuan.( Bandung: Hamzah. 2005), h. 141.


8Abdul Halim Hakim, Mabadi’ Awwaliyyah, (Jakarta; Maktabah as-Sa’adiyah Putra, 2010), h. 7.
4. Berdandan sesuai dengan kebiasaan jika dianggap tidak mempengaruhi pandangan orang
lain untuk meminangnya. Sebagaimana kaidah usul fiqih bahwa:

‫اۡلكم يدور مع العلة وجودا وعدما‬


“Hukum bergulir berdasarkan ditemukannya illat dan tidak”.
Ilat dari masalah berdandan adalah dengan berdandan bisa menyebabkan ketertarikan
dari laki-laki untuk meminang yang pada akhirnya membuat masa Iddahnya terganggu. Jika
hal itu bisa dihindanri dan berdandan hanya dengan menjaga kebersihan diri maka itu
dibolehkan.
Kebolehan itu juga dikuatkan oleh kaidah yang lain bahwa “kebiasaan adalah sebuah
hukum”. Jika seseorang yang berada ditempat yang biasa disekelilingnya banyak
menggunakan alat-alat berdandan dan semua itu dianggap biasa maka hal itu bisa
mengurangi kekerasan dari hukum berdandan dari larangan pada orang yang beriddah.
5. Keluar rumah untuk bekerja.
Larangan ini adalah ditujukan untuk berkabung dengan meninggalnya suami, Akan
tetapi jika masalah yang dihadapi adalah ketidak mampuan dan tidak adanya sisa warisan
yang ditinggalkan oleh suami, maka akan mendesak bagi seorang perempuan untuk
mempertahankan kehidupannya dan anak-anaknya. Jika hal ini dikaitkan dengan kaidah
ususl fiqih bahwa : menghindari kerusakan besar lebih baik daripada mendahulukan
kebaikan yang sedikit.
Dari kedua alternatif bisa dilakukan menurut penulis jika memang keadaan yang
terjadi sangatlah genting dan berkesuaian. Jika tidak maka hukum para ahli yang
didahulukan untuk menegakan semua ketentuan bagi seorang wanita yang sedang
menjalankan Iddah dan Ihdad.

KESIMPULAN

A. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 153 disebutkan bahwa;Pertama, Bagi seorang istri
yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau Iddah, kecuali qabladdukhul dan
perkawinannya putus bukan karena kematian suami. Kedua, Waktu tunggu bagi seorang
janda ditentukan sebagai berikut: Apabila perkawinan putus karena kematian walaupun
qabladdukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari;.
B. Dari ketentuan hukum diatas, memberikan gambaran bahwa masa menunggu atau yang
disebut dengan iddah dan masa berkabung yang disebut dengan ihdad adalah sebuah
keharusan bagi seorang perempuan. Akan tetapi masalah hal-hal yang dilarang adalah
berkesesuaian dengan bagaimana si istri menjalani kehidupannya. Konsep ini diambil
karena pengambilan hukum dalam KHI harus mengambil pesan dasar agama. Sehingga
masa menunggu dan masa berkabung adalah sebuah keharusan akan tetapi larangan yang
menyertainya harus berkesesuaian dengan keadaan seorang perempuan itu sendiri.
C. Ketentuan mengenai Iddah dan Ihdad bagi perempuan menurut hukum Islam bahwa
kepatutan seorang perempuan dalam masa berkabung adalah menunjukkan kondisi di mana
isteri harus menahan diri atau berkabung selama empat bulan sepuluh hari. Dan selama masa
itu, isteri hendaknya melakukan masa berkabung dengan tidak berhias, tidak bercelak mata
dan tidak boleh keluar rumah. Larangan itu lebih sebagai cara untuk menghindari fitnah dan
sekaligus bertujuan untuk menghormati kematian suami.
Ketentuan hukum Iddah dan Ihdad jika dikaitkan dengan wanita karier bisa berlaku
dengan beberapa alasan. Jika keadaan yang memang mendesak dan diharuskan untuk keluar
rumah maka, hal ini bisa menjadi sebuah alasan untuk melakukan wanita karier, asalkan ia
tetap menjalani Iddah dan Ihdad tentang larang menikah sebelum selesai masa Iddah
tersebut.
Alasan diharuskannya melakukan Iddah dan Ihdad bukan hanya saja alasan hukum
akan tetapi semua hal di atas menggambarkan bahwa hukum Islam tidak kaku, jadi sifatnya
elastis dan fleksibel sebagai sebuah kepatuhan seorang perempuan akan hukum Allah SWT.
dan kebaikan bagi dirinya sendiri, sesuai dalam kaidah di sebutkan.

‫اۡلكم يتغۡي بتغۡي اَلزمنة و اَلمكنة و اَلحوال‬


“Hukum itu menyesuaikam dengan perubahan zaman, tempat dan keadaan”

Daftar Pustaka

Al Jauhari, Mahmud Muhammad dan Muhammad Abdul Hakim Khayyal. 2005.


Membangun Keluarga Qur'ani : Panduan Untuk Wanita Muslimah. Jakarta:
Amzah.
As Sya'rawi, Syaikh Mutawalli. 2005. Fiqih Perempuan. Bandung: Hamzah.
Hakim, Abdul Halim. 2010. Mabadi' Awwaliyyah. Jakarta: Maktabah as Sa'adiyah Putra.
Prabuningrat, Ray Sitoresmin. 1993. Sosok Wanita Muslimah Pandangan Seorang Artis.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Yanggo, Chuzaimah T. dan Hafiz Anshary. 2009. Problematika Hukum Islam
Kontemporer. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus.
Yanggo, Tahido Huzaimah dan Nasaruddin Umar. 2010. Fiqih Perempuan Kontemporer.
Bogor: PT. Ghalia Indonesia

Anda mungkin juga menyukai