Anda di halaman 1dari 93

NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG DALAM PROSES PEMBUATAN

PERAHU PINISI DI DESA ARA KECAMATAN BONTO BAHARI

KABUPATEN BULUKUMBA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Gelar Sarjana Agama


Pada Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Ilmu Politik

UIN Alauddin Makassar

Oleh

FIRAWATI
NIM: 30400118162

JURUSAN SOSIOLOGI AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT DAN POLITIK
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
` 2022
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Mahasiswa yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Firawati

NIM : 30400118162

Tempat/Tanggal Lahir : Bontobaji, 3 Maret 2000

Jurusan : Sosiologi Agama

Fakultas : Ushuluddin dan Filsafat

Alamat : Samata

Judul : Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Proses Pembuatan Perahu


Pinisi di Desa Ara Kecamatan Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba

Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa skripsi ini benar adalah

hasil karya sendiri. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat,

atau dibuat oleh orang lain, sebagian atau seluruhnya, maka skripsi dan gelar yang diperoleh

karenanya batal demi hukum.

Gowa, 12 Agustus 2022


Penyusun,

Firawati
NIM: 30400118162
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah ipuji isyukur ipenulis ipanjatkan iatas ikehadirat iAllah iswt

iyang itelah imemberikan inikmat ikesehatan idan ikesempatan isehingga ipenulis

idapat imenyusun idan imenyelesaikan iskripsi idengan ijudul “Nilai-nilai yang

terkandung dalam Proses pembuatan Perahu Pinisi di Desa Ara Kecematan

Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba” iguna imemenuhi salah isatu isyarat

imenyelesaikan istudi iuntuk imemperoleh igelar Sarjanan(S.Sos) ipada ijurusan

iSosiologi Agama idi iFakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik iUniversitas

iIslam iNegeri iAlauddin iMakassar. iTak ilupa pula penulis ikirimkan ishalawat

ikepada ijunjungan iNabi iBesar iMuhammad isaw yang itelah imembawa ikita

idari ialam igelap imenuju ialam iyang iterang idan berkah iseperti isekarang iini.

Skripsi ini merupakan syarat guna meraih gelar sarjana Sosial pada jurusan

Sejarah dan Sosiologi Agama, Fakultas Ushuluddin, Filafat dan Politik. Dalam

rangka proses penyelesaianya, banyak kendala dan hambatan yang ditemukan

penulis, tetapi dengan keyakinan dan usaha yang luar biasa serta tak lupur

kontribusi berbagai pihak yang dengan ikhlas membantu penulis, hinga skripsi ini

dapat terlesaikan, meskipun demikian penulis menyadari bahwa skripsi ini

memiliki banyak kekurangan, untuk itu diperlukan kritik dan saran yang bersifat

membangun dari berbagai pihak.

Penulis isadar ibahwa idalam ipenulisan iskripsi iini imasih isangat ijauh

dari ikata isempurna. Oleh isebab iitu, ipenulis isangat iberharap imendapat

koreksi idari ipembaca. iDan ipenulis ijuga imenyadari ibahwa iterselesaikannya

penulisaniskripsi iini itidak ihanya ikarena ikeberhasilan ipenulis isendiri, iakan

tetapi semata-mata ikarena iadanya idukungan idari iberbagai ipihak ilain

ii
terutama kepada kedua orang tua saya tercinta, Bapak Liwan dan Ibu Jumanang

yang telah memberikan segalanya untuk saya, segalah kasih dan cinta mereka

curahkan sehingga saya bersemangat dalam menempuh pendidikan. Terimakasih

saya ucapkan sedalam-dalamnya karena berkat kalian saya bisa menjadi manusia

yang lebih baik.iUntuk iitu, idalam ikesempatan iini ipenulisimengucapkan terima

kasih iyang isebesar-besarnya ikepada:

1. Prof. Hamdan Juhanis, M.A, Ph.D Rektor Universitas Islam Negeri

Alauddin Makassar. Prof. H. Mardan, M.Ag., Wakil Rektor I (Satu)

Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga, Prof. Dr. Wahyudin, M.

Hum. Wakil Rektor II (Dua) Bidang Administrasi Umum dan Keuangan,

Prof. Dr. Darussalam, M.Ag. Wakil Rektor III (Tiga) Bidang

Kemahasiswaan. Dr. H. Kamaluddin Abunawas, M.Ag. Wakil Rektor IV

(Empat) Bidang Kerjasama dan Pengembangan Lembaga. Atas

kepemimpinan dan kebijakannya yang telah memberikan banyak

kebijakan dan kesempatan dan fasilitas kepada kami demi kelancaran

dalam proses penyelesaian studi kami.

2. Bapak Dr. Muhsin Mahfuz, S.Ag. M.Th.I. selaku Dekan Fakultas

Ushuluddin Filsafat dan Politik. Ibu Dr. Hj. Rahmi Darmis, M.Ag. selaku

Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik. Ibu Dr. H.

Darmawati H, M.Hi. Wakil Dekan II Fakultas Ushuluddin Filsafat dan

Politik, Bapak Dr. Abdullah Thalib, M.Ag. Wakil Dekan III Fakultas

Ushuluddin Filsafat dan Politik.

3. Ibu Dr. Wahyuni, S.Sos., M.Si. selaku Ketua Jurusan Sosiologi Agama,

Bapak Dr. Asrul Muslim, S.Ag., M.Pd, selaku Sekertaris Jurusan Sosiologi

Agama.

iii
4. Bapak Dr. H. Muhammad Ali, M.Ag. selaku Pembimbing I, Bapak Dr.

Santri Sahar, M.Si, selaku Pembimbing II

5. Ibu Dr. Hj. Marhaeni Saleh, M.Pd, selaku Penguji I dan Ibu Dr. Wahyuni,

S.Sos., M.Si selaku Penguji II

6. Seluruh dosen jurusan Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin Filsafat dan

Politik Universitas Negeri Alauddin Makassar. Terimakasih atas bekal dan

bantuannya selama penulis menimbah ilmu di bangku perkuliahan.

Terimakasih banyak saya ucapkan atas semuanya semooga apa yang di

berikan kelak mendapatkan pahala dan balasan sebaik-baiknya dari Allah Swt.

Gowa, 20 Juli 2022

Penulis

Firawati
Nim: 30400118162
.

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................. v

ABSTRAK ................................................................................................................ vii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1

B. Fokus dan Deskripsi Fokus ............................................................................ 6

C. Rumusan Masalah .......................................................................................... 7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian....................................................................... 8

E. Kajian Pustaka ................................................................................................ 9

BAB II TINJAUAN TEORITIS ............................................................................. 12

A. Nilai-Nilai....................................................................................................... 12

B. Nilai Religi ..................................................................................................... 13

C. Kearifan Lokal ................................................................................................ 19

D. Teori Budaya Simbolik .................................................................................. 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN .............................................................. 27

A. Jenis dan Lokasi Penelitian ............................................................................ 27

B. Pendekatan Penelitian .................................................................................... 27

C. Sumber Data ................................................................................................... 28

D. Metode Pengumpulan Data ............................................................................ 29

E. Teknik Penentuan Informan ........................................................................... 31

F. Instrumen Penelitian ....................................................................................... 32

G. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ........................................................... 32

v
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN........................................ 34

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .............................................................. 34

B. Sejarah Perkembangan Kapal Pinisi............................................................... 39

C. Proses Pembuatan Perahu Pinisi .................................................................... 49

D. Nilai yang Terkandung dalam Pembuatan Perahu Pinisi ............................... 57

E. Pandangan Masyarakat terhadap Tradisi Pembuatan Kapal Pinisi ................ 66

BAB V PENUTUP .................................................................................................... 69

A. Kesimpulan..................................................................................................... 69

B. Implikasi Penelitian ........................................................................................ 70

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 71

DATA INFORMAN ................................................................................................. 74

LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

vi
ABSTRAK
Nama : Firawati
Nim : 30400118162
Jurusan : Sosiologi Agama
Judul : Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Proses Pembuatan Perahu Pinisi
di Desa Ara Kecamatan Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba
Pokok masalah penelitian ini adalah bagaimana Nilai-nilai yang
terkandung dalam proses pembuatan perahu pinisi di Desa Ara Kecamatan Bonto
Bahari Kabupaten Bulukumba? Adapun sub masalah dari pokok permasalahan
tersebut adalah: 1). Proses pembuatan perahu pinisi di Desa Ara Kecamatan Bonto
Bahari Kabupaten bulukumba? 2). Nilai religi dan nilai lokal yang terkandung
dalam pembuatan perahu pinisi di Desa Ara Kecamatan Bonto Bahari Kabupaten
Bulukumba? 3). Pemahaman masyarakat di Desa Ara mengenai nilai religi dan
nilai kearifan lokal dalam pembuatan perahu pinisi?
Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan memakai
jenis penelitian kualitatif yang berbentuk deskripsi mengenai Perahu Pinisi di
Desa Ara, Kecamatan Bonto Bahari, kabupaten Bulukumba. Sumber data
penelitian ini adalah cerita sejarah Kapal Pinisi, Tokoh Budaya, Tokoh Agama,
dan Tokoh Masyarakat. Metode pengumpulan data meliputi metode observasi,
wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis data terdiri dari reduksi data,
penyajian data, serta penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1). Proses pembuatan kapal phinisi:
(1) Membuat kalabiseang/lunas,(2) Lambung kapal, (3) Kerangka kapal, (4)
Membuat papan kapal, (5) Membuat kamar-kamar kapal, (6) Pembuatan layar
pada phinisi, (7) Bagian belakang kapal ditambahkan mesin atau generator kapal.
2). Annakbang kalibeseang (ritual menebang kayu), makna dari ritual annakbang
kalibeseang adalah untuk mendapatkan izin menebang sebagai bahan pembuatan
kapal. Annantara (memasang lunas), simbol pertemuan ayah dan ibu sebagai
terciptanya janin yang selanjutnya akan diproses menjadi bayi dalam bentuk
perahu. Appassili (ritual peluncuran kapal), agar kapal tidak mengalami musibah.
Ammossi (ritual membuat pusar), sebagai lambang lahirnya bayi perahu setelah
berbulan-bulan dirawat sejak terbentuknya janin dalam upacara annattara. Ritual
anyorong lopi, pada ritual ini terdapat lagu dan cerita lucu ini dipercaya bisa
meredakan kepenatan orang yang mendorong perahu ke laut. 3). Persepsi dari
tokoh masyarakat menganggap bahwa tradisi pembuatan perahu pinisi salah satu
bentuk rasa syukur kepada Allah Swt atas segala nikmat dan rezeki yang
diberikan
Implikasi penelitian ini adalah ritual sebelum membuat kapal pinisi di
Desa Ara dapat menjadi daya tarik wisata yang bertujuan untuk memperkenalkan
tradisi ke khalayak umum, ini juga merupakan sarana yang memungkinkan untuk
mengembangkan pendapatan alternatif dan harus didukung oleh beberapa elemen
yang terkait, dan juga merupakan warisan dari nenek moyang yang wajib untuk
dilestarikan.

Kata Kunci: Nilai, Pembuatan, Pinisi

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah sebuah negara maritim dimana terdapat beberapa yang

sudah tercatat dalam historis bahwa ada beberapa pelaut Indonesia yang telah

berlayar bahkan berlayarnya itu sampai ke luar Indonesia. Beberapa kerajaan di

Jawa, Sumatra, Sulawesi dan Maluku pernah berjaya dibidang kemaritiman.

Berbagai literatul suku Bugis-Makassar dikenal sebagai salah satu suku yang

gemar dalam melaut sehingga hal tersebut menjadi mayoritas yang diturunkan

menjadi warisan dari nenek moyang untuk diteruskan kegenerasi selanjutnya, dari

masa kemasa perkembangan melaut dikalangan Bugis-Makassar melampaui tinggi

dengan cara berkreasi menciptakan kebudayaannya.1

Perahu pinisi merupakan alat transportasi yang digunakan oleh orang

Bugis-Makassar dalam melakukan perantuan, dengan alat itu mereka bisa

menjelajahi kepulauan nusantara, bahkan sampai ke Madagaskara. Terdapat

beberapa daerah pesisir pantai yang ditemukan perkampungan-perkampungan

Bugis. Pinisi adalah lambang keperkasaan suku Bugis-Makassar yang merupakan

warisan budaya dengan ciri khas dua tiang dan tujuh layar tersebut merupakan

puncak dari suatu proses pembuatan yang anggung dan perkasa dalam

mengarungi samudera luas. Pembuatan perahu pinisi adalah suatu kearifan lokal

yang unik bagi masyarakat Bugis-Makassar khususnya orang Ara. Para arsitek

perahu pinisi dari dulu merancang konstruksi pinisi dengan sangat cermat. Tiap

komponen dihitung jumlah dan ukurannya meski tanpa alat ukur standar sesuai

1
Alya Salsa Ramadhani, “Pembuatan Perahu Phinisi di Desa Ara Kabupaten Bulukumba”,
Jurnal Universitas Negeri Makassar, (2017):h. 2-3.

1
2

kapasitas perahu yang dibuat, selanjutnya dibentuk dan diberi nama sesuai

posisinya dalam konstruksi perahu. Hal inilah yang sangat menakjubkan orang-

orang dari mancanegara yang menyaksikan langsung proses pembuatan perahu

pinisi. Desa Ara sendiri merupakan salah satu daerah yang terdapat di Kecamatan

Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba yang memiliki sejarah panjang tentang

pembuatan perahu pinisi, namum seiring berjalannya perkembangan waktu dan

kebutuhan akan berbagai hal pembuatan perahu dipindahkan dan berkembang di

Tanah Beru.2

Keahlian membuat perahu bagi orang Ara merupakan suatu kesyukuran

bagi masyarakat sekitar karna dengan adanya potensi tersebut memudahkan para

nelayan untuk menangkap ikan dilaut, disisi lain keahlian membuat perahu juga

membuatnya terkenal sampai kemancanegara. Hal tersebut merupakan hasil karya

warisan leluhur dari nenek moyang. Pengetahuan membuat perahu bagi orang Ara

adalah suatu kearifan lokal dan merupakan keterampilan yang memumpuni.

Sebagai sebuah produk kebudayaan, pinisi juga termasuk dalam sebuah

perwujudan pengetahuan lokal masyarakat Bonto Bahari dalam beradaptasi

dengan lingkungannya atau bisa dikatakan berbaur dengan para antar masyarakat

Bonto Bahari. Kelahiran pengetahuan nelayan juga mempunyai karakteristik

konteks fisik yang mengelilinginya, pengetahuan ini diproduksi secara kultural

dan diakumulasi melalui pengalaman dan terus-menerus dievaluasi dan diciptakan

kembali berdasarkan fitur lingkungan laut yang bergerak. Dari sini kita bisa

melihat bahwa pengetahuan manusia dan sifat lingkungannya mempunyai

keterkaitan yang bisa saling mempengaruhi.3

Eymal B. Demmaliona, “Pelaut Ulung Perahu Pinisi Nusantara”, Jurnal Universitas


2

Hasanuddin, (2000): h. 1
3
Nendah Kunia Sari, dkk, Dimensi Religi dalam Pembuatan Pinisi, (Jakarta: Balai Besar
Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, 2013), h. 2.
3

Adapun proses pembuatan pinisi yang menjadi sorotan masyarakat yakni

diadakan ritual-ritual sebagai bentuk kesyukuran atas berjalannya pembuatan

pinisi tersebut. Tapi ritual kali ini sangat berbeda dengan ritual-ritual pada

umumnya yang bisa dinobatkan dalam hal mistis, ritual-ritual yang dimaksud

dalam pembuatan perahu pinisi adalah berupa persembahan seperti pembagian

makanan dimana cara itu bisa berpengaruh untuk membangun relasi dengan

masyarakat dan para tukang pembuat perahu pinisi dan juga dari relasi tersebut

mengindikasikan bahwa relasi yang terus-menerus antara pengetahuan masyarakat

dengan kondisi lingkungannya kemudian memunculkan sebuah fenomena sakral

dibalik setiap peristiwa, dalam hal tersebut terdapat juga berbagai nilai dan makna

yang terkait denga upaya mereka beradaptasi dengan kondisi linkungan yang

cenderung selalu berubah. Sistem religi ini pun mengalami dinamika seiring

dengan perubahan pada kondisi alam dan peradaban manusia. Begitupun sistem

religi yang menyertai proses pembuatan pinisi di Desa Ara Kecamatan Bonto

Bahari.

Perahu pinisi yang diproduksi masyarakat telah menjadi simbol lokal

daerah Kabupaten Bulukumba maupun Indonesia. Pinisi merupakan kapal layar

sekunar yang bentuknya memiliki nilai keindahan tersendiri. Pinisi ini diyakini

menjadi simbol terhadap nilai-nilai kebudayaan dan tradisi komunitas konjo

pesisir pembuat perahu di Bonto Bahari. Nilai-nilai dan budaya tradisi komunitas

konjo Bonto Bahari membuat masyarakat setempat dikenal hingga tingkat dunia.

Bahkaan, tidak sedikit masyarakat dunia yang tertarik untuk membuat perahu

seperti pinisi ini. Lamanya pembuatan sebuah perahu yaitu sekitar tiga hingga

enam bulan. Kadang-kadang lebih lama, tergantung dari kesiapan bahan dan

musim.4

Andini Perdana, “Nilai Budaya Naskah La Galigo dan Perahu Pinisi di Museum untuk
4

Generasi Milenial”, Jurnal Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan, (2020): h. 2.
4

Terdapat dalam proses pembuatannya, mulai dari penentuan hari baik

sampai pelucuran pinisi ke laut, mengandung nilai-nilai kearifan lokal atau nilai-

nilai budaya yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari.

Nilai-nilai itu, antara lain kerjasama atau gotong royang, kerja keras, ketelitian,

keindahan dan religius yang dilakukan secara turun temurun. Terdapat juga

didalamnya perpaduan nilai-nilai dan norma yang diperkuat keyakinan serta

perilakunya yang senantiasa menyatu dengan alam serta memiliki tata cara, nilai,

dan norma yang menjadi dasar rasionalitas dalam bertindak. Seiring dengan

berjalannya waktu, pembuatannya mulai memasuki unsur modern ke dalamnya,

bahkan berkembang menjadi bagian industri pedesaan yang telah diaukui dunia,

akan tetapi, tetap mengedepankan ritual adat istiadat disetiap tahapannya sebagai

bentuk adaptasi dengan alam maupun lingkungan sosialnya.5

Kapal pinisi menjadi identitas bagi bangsa Bahari, melalui tangan para

panrita lopi (ahli pembuatan kapal). Kapal pinisi adalah kapal kayu legendaris

yang berasal dari Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Kapal pinisi

dibuat dari btangan ahli dengan menggunakan kepingan-kepingan papan yang

disatukan dengan peralatan sederhana, berdasarkan peraturan dan tata cara

teknologi tradisional dan ritual tertentu, hal tersebut menyebabkan sehingga

keberadaan kapal pinisi menjadi sarat makna, simbol dan filosofi. Kapal pinisi

memiliki keunikan dibandingkan dengan jenis kapal yang lain, yaitu terdapat layar

yang digunakan sebagai alat gerak, selain itu dalam proses pengrajinannya, masih

menggunakan tradisi dari nenek moyang dan kepercayaan setempat. Walaupun

Dirgahayu Lantara, “Proses Produksi Pembuatan Kapal Layar Pinisi Untuk


5

Meminimalkan Waktu Produksi dengan Model Pert”, Jurnal Universitas Brawijaya, (2014): h. 1-
2.
5

terbuat dari kayu kapal ini mampu bertahan dari terjangan ombak dan badai di

lautan lepas.6

Kapal pinisi adalah satu-satunya kapal kayu besar dari sejarah lampau

yang masih diproduksi hingga sekarang. Perkembangan peradaban di era

globalisasi yang setiap harinya semakin maju menyebabkan pengetahuan

pembuatan kapal pinisi sulit terwariskan dari satu generasi kegenerasi berikutnya,

penyebab utama yang menghambat proses transformasi pengetahuan membuat

kapal pinisi di Kecamatan Bonto Bahari karna sebagian besar generasi muda di

Kecamatan Bonto Bahari lebih memilih untuk merantau dan menempuh

pendidikan dibanding belajar membuat kapal pinisi, selain itu dari faktor orang

tua tidak adanya biaya pribadi untuk pembuatan kapal pinisi sendiri sehingga

mereka umumnya dipekerjakan oleh pengusaha kapal, hal tersebut menyebabkan

proses pembelajaran generasi muda menjadi terhambat. Kurangnya generasi muda

di Kecamatan Bonto Bahari yang mengetahui proses pembuatan kapal pinisi

menjadi masalah tersendiri bagi eksistensi kapal pinisi dimasa sekarang dan yang

akan datang, padahal kapal pinisi merupakan, salah satu warisan leluhur yang

harus tetap dijaga dan dilestarikan keberadaannya. Hasil kajian literatul

sebagaimana yang diuraikan diatas menunjukkan belum adanya penelitian yang

secara khusus mengkaji aspek--aspek yang terkait dengan regenerasi pengrajin

kapal pinisi. Padahal, eksistensi pengrajin kapal pinisi secara tradisional menjadi

sesuatu yang sangat penting untuk menjamin keberlanjutannya, terlebih pada era

globalisasi saat ini yang menghadirkan teknologi modern pembuat kapal pinisi.7

6
Wahyuddin Ridwan dan Sutiyono, “Bentuk Kapal Pinisi Sebagai Ide Pencipta Karya
Seni Lukis dengan Media Tanah Liat”, Jurnal Universitas Negeri Yogyakarta, (2019): h. 2.
7
Muslimin, dkk, “Studi Tentang Sulitnya Regenerasi Pengrajin Kapal Pinisi Di
Kecematan Bonto Bahari”, Jurnal Universitas Hasanuddin, (2018): h. 2-3.
6

Kebudayaan merupakan identitas bangsa. Hal ini menunjukkan betapa

kebudayaan merupakan aspek yang sangat penting bagi suatu bangsa. Karena

kebudayaan menunjukkan jati diri bangsa itu sendiri. Perahu pinisi adalah perahu

khas suku Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan yang telah ada sejak abad

keempat belas, pada awalnya dibuat untuk kepereluan angkutan antar pulau,

sebagai alat transportasi untuk merantau dan keperluan menangkap ikan.

Umumnya perahu ini memiliki tujuh buah layar yang menandakan 7 ayat surah

Al-Fatiha yang bunyinya :


ِ ‫ك يوِم‬
٤ ‫ٱلدي ِن‬ ِ ِ‫ ممل‬٣ ‫ح ِن ٱلهرِحي ِم‬
‫ ٱلهر م‬٢ ‫ ٱلمد ِهَّللِ ر ِب ٱلعمل ِمي‬١ ‫ح ِن ٱلهرِحي ِم‬
‫ٱَّللِ ٱلهر م‬
‫بِس ِم ه‬
‫ ِص مرط ٱله ِذين أنعمت علي ِهم غ ِي‬٦ ‫ٱلص مرط ٱلست ِقيم‬ ِ ‫ ٱه ِدن‬٥ ‫إِ هَّيك نعبد وإِ هَّيك نستعِي‬
٧ ‫وب علي ِهم ول ٱلضهالِي‬ ِ ‫ٱلغض‬

Terjemahnya:

“1. Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang 2.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. 3. yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang. 4. yang Menguasai hari pembalasan. 5. Hanya Engkaulah
yang Kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan
6. Tunjukilah kami jalan yang lurus 7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah
Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang
dimurkai dan bukan pula (jalan) mereka yang sesat.”

Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, maka penulis tertarik lebih

dalam untuk meniliti “Nilai-nilai yang terkandung dalam proses pembuatan

perahu pinisi di Desa Ara Kecematan Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba”

B. Fokus dan Deskripsi Fokus

1. Fokus Penelitian

Fokus penelitian merupakan suatu upaya dalam menentukan pemecahan

masalah yang ingin dilihat atau diteliti. Penelitian ini berfokus pada proses

pembuatan perahu, nilai religi dan nilai kearifan lokal yang terkandung dalam
7

pembuatan perahu pinisi di Desa Ara Kecematan Bonto Bahari Kabupaten

Bulukumba.

2. Deskripsi Fokus

Deskripsi fokus digunakan untuk memudahkan pembaca dalam

memahami pembahasan, maka peneliti memberikan deskripsi fokus sebagai

berikut:

a. Proses pembuatan perahu pinisi yang dimkasud peneliti iyalah tentang

tahap-tahap yang dilakukan dalam membuat perahu pinisi dengan cara-

cara tradisional dimana tahap-tahapannya dimulai dari menentukan hari

baik untuk mencari kayu, tahap kedua merupakan proses menebang,

mengeringkan dan memotong kayu.

b. Nilai religi dan nilai kearifan lokal dalam pembuatan perahu pinisi yang

dimaksud peniliti adalah yang pertama nilai religi, dimana pada setiap

pengerjaannya itu selalu diadakan upacara-upacara adat tertentu atau

berupa ritual yang dipercaya dapat mendatangkan keberuntungan bagi para

pekerja. Kedua, nilai kearifan lokal yaitu mulai dari penentuan hari baik

sampai pelucuran pinisi ke laut mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang

dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari dimana nilai-

nilai tersebut antara lain seperti kerja sama atau gotong royong.

c. Pendapat masyarakat mengenai nilai religi dan nilai kearifan lokal dalam

pembuatan perahu pinisi yang dimaksud peneliti iyalah mengumpulkan

informasi tentang pendapat masyarakat Ara dengan adanya nilai religi dan

nilai kearifan lokal dalam pembuatan perahu


8

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, yang menjadi

permasalahan utama pada penilitian ini adalah “Nilai-nilai yang terkandung dalam

proses pembuatan perahu pinisi di Desa Ara Kecamatan Bonto Bahari Kabupaten

Bulukumba”. Untuk memudahkan penulis pada penelitian ini, dapat dirumuskan

beberapa pertanyaan berikut:

1. Bagaimana proses pembuatan perahu pinisi di Desa Ara Kecamatan Bonto

Bahari Kabupaten bulukumba?

2. Bagaimana nilai religi dan nilai lokal yang terkandung dalam pembuatan

perahu pinisi di Desa Ara Kecamatan Bonto Bahari Kabupaten

Bulukumba?

3. Bagaimana pemahaman masyarakat di Desa Ara mengenai nilai religi dan

nilai kearifan lokal dalam pembuatan perahu pinisi ?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Senada dengan rumusan masalah yang telah diungkapkan, terdapat tujuan

yang akan di gapai pada penelitian ini yaitu

a. Untuk menjelaskan proses pembuatan perahu pinisi di Desa Ara Kecamatan

Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba.

b. Untuk menganalisis nilai religi dan nilai kearifan lokal dalam pembuatan

perahu pinisi di Desa Ara Kecamatan Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba.

c. Untuk mengetahui pendapat masyarakat di Desa Ara mengenai nilai religi

dan nilai kearifan lokal dalam pembuatan perahu pinisi.


9

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Untuk menyerap pemberian informasi akan khazanah ilmu pengetahuan

Sosiologi Agama dan bisa memperluas wawasan sejarah mengenai Nilai-nilai

yang terkandung dalam proses pembuatan perahu pinisi di Desa Ara Kecamatan

Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba.

b. Manfaat praktis

1. Untuk masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan

kontribusi mengenai pemahaman terhadap pembuatan kapal pinisi.

2. Untuk pembaca, penelitian ini bisa menjadi pengarah atau aturan dalam

melakukan penelitian selanjutnya terkhusus tentang nilai-nilai yang

terkandung dalam proses pembuatan perahu pinisi di Desa Ara Kecamatan

Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba.

3. Untuk penulis, penelitian ini menjadi pengalaman yang berhubungan

dengan aturan penulisan karya ilmiah terkhusus mengenai Nilai-nilai yang

terkandung dalam proses pembuatan perahu pinisi di Desa Ara Kecamatan

Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba

E. Kajian Pustaka

Berdasarkan pemahaman peniliti untuk mempermudah penulis dalam

melakukan penelitian, penulis mengamati terlebih dahulu rujukan yang sistematis

yang bisa mendukung topik penelitian. Penelitian terdahulu yang pernah

dilakukam oleh peniliti lain akan menambah dukungan terhadap penelitian yang

akan dilakukan.

Sumber dari referensi lain bisa menambah kekuatan untuk memperkuat

argument dari penelitian yang akan dilaksanakan. Referensi yang bisa dipakai

pada penelitian ini yaitu menggunakan karya ilmiah dari hasil penelitian terdahulu
10

yang telah dilaksanakan, misalnya; Penelitian yang berjudul “Perahu pinisi

sebagai lambang Kabupaten Bulukumba” (Analisis Semiotika Charles Sanders

Pierce). Penulis Kamil Nurasyraf Jamil Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas

Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar 2012.

Pada skripsi ini penulis meneliti tentang apa dasar perahu pinisi di jadikan

lambang daerah Kabupaten Bulukumba dan mengetahui makna perahu pinisi yang

terdapat pada lambang daerah Bulukumba.8

Persamaan dari penelitian tersebut dengan skripsi ini adalah sama-sama

menggunakan metode penelitian kualitatif. Sedangkan perbedaannya

permasalahan yang akan diteliti oleh peneliti adalah Nilai-nilai yang terkandung

dalam proses pembuatan perahu pinisi di Desa Ara Kecematan Bonto Bahari

Kabupaten Bulukumba. Hal ini menegaskan bahwa penelitian ini belum pernah

diteliti dan dibahas oleh peneliti sebelumnya.

Penelitian yang berjudul “Dimensi Religi Dalam Pembuatan Pinisi”

(Dimensions Of Religious Elements In Making Pinisi). Penulis Nendah

Kurniasari, Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan 2013.

Persamaan dari penelitian tersebut pada penelitian ini penulis meneliti tentang

bagaimana dimensi religi yang terdapat pada proses pembuatan pinisi serta

dinamika yang menyertainya. Sedangkan perbedaannya terletak pada rumusan

masalah yang akan diteliti. Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran

bahwa bangsa ini pada dasarnya mempunyai beragam nilai yang dapat

dikembangkan sebagai nilai dasar kemajuan bangsa. Pranaji (2012) menegaskan

bahwa pencarian kembali nilai yang bersumber dari khasanah agama. Karena itu,

gambaran mengenai dimensi religi dalam pembuatan pinisi diharapkan dapat

menjadi masukan bagi pemerintah untuk memberikan intervensi kebijakan

8
Kamil Nurasyraf Jamil, “Perahu Pinisi Sebagai Lambang Kabupaten Bulukumba”,
Skripsi (Makassar: Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar, 2012), h. 1.
11

mengenai upaya perlindungan terhadap kearifan lokal Nusantara khususnya pinisi

agar kekayaan tersebut tetap lestari dan dapat memberdayakan masyarakat.9

Penelitian yang berjudul “Makna Perahu Pinisi Bagi Punggawa di

Kelurahan Tanah Beru Kabupaten Bulukumba”. Penulis Asnira Jurusan Ilmu

Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri

Alauddin Makassar 2018. Pada skripsi ini letak persamaan penelitian ini adalah

sama-sama menggunakan metode kualitatif sedangkan perbedaannya penulis

meneliti tentang bagaimana makna perahu pinisi bagi Punggawa terhadap

pembuatan perahu pinisi. Dimana makna merupakan bentuk responsi dari

stimulus yang diperoleh pemeran dalam komunikasi sesuai dengan asosiasi

maupun hasil belajar, Punggawa memiliki responsi tersendiri dari proses

pembuatan perahu pinisi itu sendiri. Serangkaian tahapan dari proses pembuatan

perahu mengandung nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari, seperti kerja sama

tim, kerja keras, ketelitian, keindahan dan penghargaan terhadap alam dan

lingkungan. Prosesnya dalam pembuatan perahu pinisi maka Punggawa dan

tukang sangat erat kaitannya dalam proses pembuatan perahu pinisi.10

Berdasarkan pemaparan diatas serta penelitian sebelumnya menurut

relevansi dengan masalah pokok yang diteliti, namun jika ditinjau dari situasi

tempo dan kawasan tidak didapati penelitian yang sama sebelumnya dengan

“Nilai-nilai yang terkandung dalam proses pembuatan perahu pinisi di Desa Ara

Kecamatan Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba”. Akhirnya penelitian ini belum

pernah diteliti oleh peneliti dahulu serta harus dilaksanakan

9
Nendah Kurnia Sari, Dimensi religi dalam Pembuatan Pinisi, (Jakarta: Balai Besar
Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, 2013), h. 1.
10
Asnira, “Makna Perahu Pinisi Bagi Punggawa di Kelurahan Tanah Beru Kabupaten
Bulukumba”, Skripsi (Makassar: Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar,
2018), h. 1.
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Nilai-Nilai

1. Pengertian Nilai

Nilai adalah standar atau ukuran (norma) yang kita gunakan untuk

mengukur segala sesuatu. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, nilai adalah sifat-

sifat (hal-hal) yang penting dan berguna bagi kemanusiaan. Atau sesuatu yang

menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya,. Misalnya nilai etik, yang

berkaitan dengan akhlak, benar salah yang dianut sekelompok manusia.1

Menurut Scheler, nilai merupakan kualitas yang tidak tergantung pada

benda. Benda adalah sesuatu yang bernilai, ketidak tergantungan ini mencankup

setiap bentuk empiris, nilai adalah kualitas apriori. Ketergantungan tidak hanya

mengacu pada objek yang ada di dunia seperti lukisan, patung, tindakan, manusia,

dan sebagainya, namun juga reaksi kita terhadap benda dan nilai.2

Menurut Amril Mansur, tidak mudah untuk mendefinisikan tentang nilai,

namun paling tidak pada tataran prasis, nilai dapat disebut sebagai sesuatu yang

menarik, dicari, menyenangkan, diingingkan, dan disukai dalam pengertian yang

baik atau berkonotosi positif.3

Nilai sebagai kata benda konkret. Nilai di sini merupakan sebuah nilai atau

nilai-nilai yang sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti

nilainya, nilai dia, dan system nilai. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang

1
Departemen Pendidkan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2012), h. 963.
2
Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 114.
3
Amril Mansur, “Implementasi Klarifikasi Nilai dalam Pembelajaran dan Fungsionalisasi
Etika Islam”, Jurnal Ilmiah Keislaman, (2006): h. 160.

12
13

memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang tidak

dianggap baik atau bernilai.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa nilai merupakan sebuah ide atau

konsep tentang sesuatu yang penting dalam kehidupan seseorang dan menjadi

perhatiannya. Sebagai standar perilaku, tentunya nilai menurut seseorang untuk

melakukannya.

B. Nilai Religi

1. Pengertian Nilai Religi

Nilai atau volue yang berarti: berguna, mampu akan, berdaya, berlaku dan

kuat. Nilai merupakan kualitas suatu hal yang dapat menjadikan hal itu disukai, di

inginkan, berguna, dihargai, dan dapat menjadi objek kepentingan. Menurut

Steeman dalam sjarkawi, nilai adalah suatu yang dijunjung tinggi, yang mewarnai

dan menjiwai tindakan seseorang.4

Kata dasar religius berasal dari religare yang berarti menambatkan atau

mengikat, dalam bahasa inggris disebut dengan religi dimaknai dengan agama.

Dapat dimaknai bahwa agama bersifat mengikat, yang mengatur hubungan

manusia dengan Tuhan-nya. Terdapat dalam ajaran islam hubungan itu tidak

hanya sekedar hubungan dengan Tuhan-nya akan tetapi juga meliputi hubungan

dengan manusia lainnya, masyarakat atau alam lingkungannya. 5 Dari segi isi,

agama adalah seperangkat ajaran yang merupakan perangkat nilai-nilai kehidupan

yang harus dijadikan barometer para pemeluknya dalam menentukan pilihan


6
tindakan kehidupannya. Nilai religius adalah nilai yang bersumber dari

keyakinan ke-Tuhanan yang ada pada diri seseorang.7

4
Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 29.
5
Yusran asmuni, Dirasah Islamiah. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 2.
6
Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), h.
10.
7
Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak, h. 31.
14

Menurut Rokech dan Bank dalam Asmaun Sahlan, bahwasanya nilai

merupakan suatu tipe kepercayaan yang berada pada suatu lingkup sistem

kepercayaan yang berada dimana seseorang bertindak atau menghindari suatu

tindakan, atau mengenai sesuatu yang dianggap pantas atau tidak pantas. Ini

berarti pemaknaan atau pemberian arti terhadap suatu objek. Sedangkan

keberagamaan merupakan suatu sikap atau kesadaran yang munvul yang

didasarkan atas keyakinan atau kepercayaan seseorang terhadap suatu agama.8

Demikian nilai religi adalah sesuatu yang berguna dan dilakukan oleh

manusia berupa sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama

yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari, secara umum makna nilai-nilai religi

adalah nilai-nilai kehidupan yang mencerminkan tumbuh kembangnya kehidupan

beragama yang terdiri dari tiga unsur pokok yaitu aqidah, ibadah dan akhlak yang

menjadi pedoman perilaku sesuai dengan aturan-aturan ilahi untu mencapai

kesejahteraan serta kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

2. Bentuk-bentuk Nilai Religi

Keberagamaan atau religiusitas seseorang dalam berbagai sisi

kehidupannya. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang

melakukan perilaku ritual (beribadah) tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain

yang didorong oleh kekuasaan supranatural. Bukan hanya kegiatan yang tampak

oleh mata tetapi juga aktivitas yang tidak tampak atau terjadi dalam hati

seseorang, karena itu, keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisi

atau dimensi.9

8
Asmaun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah. (Malang: UIN Maliki Press,
2010), h. 66
9
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam di Sekolah. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004) h. 293.
15

Dimensi nilai-nilai religius diantaranya, dimensi keyakinan atau akidah

dalam islam menunjukkan pada seberapa tingkat keyakinan muslim terhadap

kebenaran ajaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang bersifat

fundamental dan dogmatik. Keberislaman, didalam isi dimensi keimanan

menyangkut keyakinan tentang Allah, para malaikat, Nabi atau Rasul, kitab-kitab

Allah, surga dan mereka serta qadha’ dan qadar. Dimensi praktik agama atau

syari’ah menyangkut pelaksanaan sholat, puasa, zakat, haji, membaca al-qur’an,

doa, zikir, ibadah qurban, i’tikaf dimesjid pada bulan puasa, dan sebagainya.

Beberapa hal diatas termasuk ‘ubudiyah yaitu pengabdian ritual

sebagaimana diperintahkan dan diatur didalam al-qur’an dan sunnah. Aspek

ibadah disamping bermanfaat bagi kehidupan duniawi, tetapi yang paling utama

adalah sebagai bukti dari kepatuhan manusia memenuhi perintah-perintah Allah.10

Dimensi pengalaman atau akhlak menunjukkan pada seberapa muslim

berperilaku yang dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana

individu-individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan manusia lain.

Keberislaman dalam, dimensi ini meliputi suka menolong, bekerjasama,

berderma, mensejahterakan dan menumbuh kembangkan orang lain dan

sebagainya.11

Dari uraian diatas menunjukkan bahwa nilai-nilai religius atau

keberagamaan terbentuk dari tiga dimensi, yang pertama yaitu berupa akidah atau

kepercayaan kepada Allah SWT, Kemudian berupa syariah atau praktik agama

dan yang terakhir adalah akhlak seseorang sebagai wujud ketakwaan manusia

kepada Tuhannya, ketiga hal tersebut memang tak bisa terpisahkan, karena saling

10
Zulkrnain, Transformasi Nilai-nilai Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), h. 28
11
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam di Sekolah. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 298.
16

melengkapi satu sama lain. Jika seseorang telah memiliki akidah atau keimanan

tentunya seseorang tersebut akan melaksanakan perintah Tuhannya yaitu

melaksanakan syari’ah agama atau rajin beribadah dan untuk menyempurnakan

keimanannya seseorang harus memiliki akhlakul karimah.

Uraian diatas diperkuat oleh Endang Saifuddin Anshari yang

mengungkapkan bahwa pada dasarnya islam dibagi menjadi tiga bagian, akidah,

ibadah dan akhlak. Ketiganya saling berhubungan satu sama lain. Keberagamaan

dalam islam bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ibadah ritual saja, islam

mendorong pemeluknya untuk beragama secara menyeluruh pula.12

Namun ada pendapat lain yang membagi bentuk keberagamaan menjadi

dua, yaitu pendapat dari Muhaimin yang menyatakan bahwa Kontek pendidikan

agama atau yang ada dalam religius terdapat dua bentuk yaitu ada yang bersifat

vertical dan horizontal. Horizontal berwujud hubungan antar manusia atau antar

warga sekolah dan hubungan mereka dengan lingkungan alam sekitarnya.

Pada dasarnya pembagian bentuk diatas adalah sama karena dimensi

keyakinan atau akidah dan syari’ah sama halnya dengan bentuk vertikal yaitu

hubungan manusia dengan Allah, sedangkan dimensi akhlak termasuk dalam

bentuk yang bersifat horizontal, hubungan dengan sesama manusia.

3. Macam-macam Nilai Religi

a. Nilai ibadah

Menghambakan diri atau mengabdikan diri kepada Allah merupakan inti

dari nilai ajaran islam. Adanya konsep penghambaan ini, maka manusia tidak

mempertuhankan sesuatu yang lain selain Allah, sehingga manusia tidak

terbelenggu dengan urusan materi dari dunia semata.

12
Ngainun Naim, Character Building Optimalisasi Peran Pendidikan Dalam
Pengembangan Ilmu Dan Pembentukan Karakter Bangsa, (Jogjakarta: Arruz Media, 2012), h. 125
17

Terdapat dalam islam dua bentuk nilai ibadah yaitu: Pertama, ibadah

mahdoh (hubungan langsung dengan Allah), kedua, ibadah ghairu mahdoh yang

berkaitan dengan manusia lain. Semuanya itu bermuarah pada satu tujuan mencari

ridho Allah SWT. Suatu nilai ibadah terletak pada dua hal yaitu sikap batin (yang

mengakui dirinya sebagai hamba Allah) dan perwujudannya dalam bentuk ucapan

dan tindakan. Nilai ibadah bukan hanya merupakan nilai moral etik, tetapi

sekaligus didalamnya terdapat unsur benar atau tidak benar dari sudut pandang

theologis. Artinya beribadah kepada tuhan adalah baik sekaligus benar.13

b. Nilai Jihad

Ruhud jihad artinya adalah jiwa yang mendorong manusia untuk bekerja

dan berjuang dengan sungguh-sungguh. Ruhul jihad ini sdidasari adanya tujuan

hidup manusia yaitu hoblumminallah (hubungan manusia dengan Allah) dan

hablumminannas (hubungan manusia dengan manusia) dan hablumminal alam

(hubungan manusia dengan alam.

Jihad dalam islam merupakan prioritas utama dalam beribadah kepada

Allah, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh ibnu Mas’ud. “saya bertanya

kepada Rasulullah SAW: “perbuatan apa yang paling di cintai Allah? “jawab

Nabi, “jihad didalam Allah (HR. Ibnu Mas’ud).14

Dari kutipan hadis diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa berjihad

(bekerja dengan sungguh-sungguh) sesuai status, fungsi dan profesinya

adalahmerupakan kewajiban yang penting, sejajar dengan ibadah yang mahdoh

dan khos (shalat) serta ibadah sosial (berbakti kepada orangtua) berarti tanpa

adanya jihad manusia tidak akan menunjukkan esksistensinya.

13
Agus Maimun dan Agus Sainul Fitri, Madrasah unggulan lembaga Pendidikan
Alternatif di Era Kompetitif, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), h. 84.
14
Agus Maimus dan Agus Zainul Fitri, Madrasah Unggulan Lembaga Pendidikan, h. 84.
18

c. Nilai Amanah dan Ikhlas

Amanah ialah menghargai kepercayaan orang lain terhadap diri seseorang

dengan melaksanakan tuntutan yang terdapat dalam kepercayaan itu. Amanah

dengan arti kata lain ialah tanggung jawab yang diterima oleh seseorang yang

kepadanya diberikan kepercayaan bahwa ia dapat melaksanakannya sebagaimana

yang dituntut, tanpa mengabaikannya.

Ikhlas ialah mengerjakan atau melakukan sesuatu tanpa mengharapkan

balasan dari seseorang yang telah dibantu.

4. Pemahaman Nilai Religi dalam Pembuatan Perahu Pinisi

Memahami nilai-nilai agama dalam pembuatan kapal pinisi merupakan

salah satu bentuk kepedulian kita terhadap kemajuan bangsa, terlebih dahulu lagi

orang-orang yang memaknai dan menggunakan nilai-nilai agama serta adat

kebiasaannya dalam membuat kapal pinisi sebagai salah satu warisan leluhur dan

menjadi satu set bangsa Indonesia yang ada di Bulukumba. Hal tersebut

berdasarkan terhadap pencarian kembali nilai-nilai dasar kemajuan bangsa bias

dimulai dengan dieksplorasi nilai yang sumber dari khazah agama.

Sebagai generasi muda Indonesia, tentunya salah satu wujud cinta kita

terhadap bangsa adalah dengan memperkenalkan keunikan bangsanya keseluruh

pelosok dunia, dan adanya nilai-nilai agama, adat yang terdapat dalam pembuatan

kapal pinisi merupakan salah satu keunikan yang harus diperkenalkan untuk

membuktikan bahwa bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman agama, upacara,

adat istiadat dan budaya yang menunjukkan kebhinekaan. Selain lebih dari itu

dibalik kokohnya kapal pinisi, terdapat event-event sejarah serta makna dari

upacara keagamaan yang unik yang dirasa perlu untuk diketahui dan dikenal lebih

jauh lagi jadi mampu menambah wawasan masyarakat bangsa Indonesia dan
19

dunia mengenai salah satu set terbaik Indonesia dan dunia dibumi Panrita Lopi

Bulukumba.15

C. Nilai Kearifan Lokal

1. Pengertian Nilai Kearifan Lokal dalam Pembuatan Perahu Pinisi

Nilai dalam setiap kearifan lokal khususnya budaya dapat dijadikan

sebagai bahan ajar pembentukan karakter manusia. Bangsa Indonesia memiliki

budaya lokal yang sarat dengan nilai-nilai sosial, moral harus terus dikembangkan

dan dilestarikan sehingga generasi muda mampu hidup sesuai dengan nilai-nilai

budaya dimaksud, mereka mampu mempertahankan relasi-relasi sosial antar

sesame tidak termakan arus modernisasi yang terus menggeliat. Bangsa yang

besar adalah bangsa yang memiliki karakter yang berasal dari nilai-nilai budaya

masyarakatnya. Serta nilai kearifan lokal mempunyai relevansi dengan

pembangunan karakter bangsa. Upaya dalam menggali nilai kearifan lokal

merupakan langkah yang strategis dalam pembangunan karakter bangsa. Kearifan

lokal merupakan nilai yang di yakini dalam suatu masyarakat menjadi acuan

bertingkah lkau dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dapat ditemui dalam

semboyan, konsep, pepatah, nyanyian, kitab-kitab kuno, tradisi, dan cara

masyarakat lokal memenuhi kebutuhan hidupnya.16

Kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan

berkembang dalam sebuah masyarakat yang dikenal, dipercayai, dan diakui

sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal koleksi sosial ditengah

masyarakat. Kearifan lokal bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan dan

Nendah Kurnia Sari, dkk, “Dimensi Religi dalam Pembuatan Pinisi”, Jurnal Balai
15

Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, (2013): h. 2.


16
Lili Herawati Parapat & Devinna Riskiana Aritonang, “Nilai Kearifan Lokal dan Upaya
Pemertahanan Budaya dalam Menjalin Solidaritas Antar Sesam di Desa Paringgonan Sebagai
Bahan Ajar Pembentukan Karakter Mahasiswa”, Jurnal Universitas Muhammadiyah Tapanuli
Selatan, (2020): h. 2.
20

menciptakan kedamaian, kearifan lokal digali dari produk kultural yang

menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, misalnya system nilai,

kepercayaan dan agama, etos kerja, bahkan bagaimana dinamika itu berlangsung.

Pengertian dalam kamus, kearifan lokal terdiri dari dua kata: kearifan dan

lokal. Kamus dalam bahasa inggris lokal berarti setempat, sedangkan wisdom

sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka lokal wisdom (kearifan

setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat

kebijaksaan, penuh kearifan bernilai baik, yang tertanam diikuti oleh anggota

masyarakatnya. Definisi kearifan lokal secara bebas dapat diartikan nilai-nilai

budaya yang baik yang ada didalam suatu masyarakat. Hal ini berarti, untuk

mengetahui suatu kearifan lokal disuatu wilayah maka kita harus bias memahami

nilai-nilai budaya yang baik yang ada didalam wilayah tersebut. Kalau mau jujur,

sebenarnya nilai-nilai kearifan lokal ini sudah diajarkan secara turun temurun oleh

orangtua kita kepada kita selaku anak-anaknya. Budaya gotong royong, saling

menghormati merupakan contoh kecil dari kearifan lokal.17

Sedangkan pengertian kearifan lokal menurut para ahli, antara lain sebagai

berikut:

a. Rahyono (2009). Menurutnya, kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia

yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui

pengalaman masyarakat. Artinya, kearifan lokal disini adalah hasil dari

masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh

masyarakat yang lain.

b. Apriyanto, (2008). Menurutnya, kearifan lokal adalah berbagai nilai yang

diciptakan, dikembangkan dan dipertahankan oleh masyarakat yang menjadi

pedoman hidup mereka, pedoman ini bias tergolong dalam jenis kaidah

Sulpi Affandy, “Penanaman Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Meningkatkan Perilaku


17

Keberagamaan Peserta Didik”, Jurnal Atthulab, (2017): h. 5.


21

sosial, baik secara tertulis ataupun tidak tertulis. Akan tetapi yang pasti setiap

masyarakat akan mencoba mentaatinya.

c. Paulo Freire (1970). Menurutnya, pendidikan berbasis kearifan lokal adalah

pendidikan yang mengajarkan peserta didik untuk selalu konkret dengan apa

yang mereka hadapi.

1. Ciri-ciri Nilai Kearifan Lokal

a. Sanggup bertahan terhadap budaya luar

b. Mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar

c. Memiliki kemampuan mengintegrasikan budaya luar ke dalam budaya asli

d. Memiliki kemampuan mengendalikan

e. Sanggup memberi petunjuk pada perkembangan budaya

2. Fungsi Nilai Kearifan Lokal

a. Penanda identitas sebuah komunikasi

b. Elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama, dan kepercayan

c. Unsur kultural yang ada dan hidup dalam masyarakat

d. Warna kebersamaan sebuah komunitas18

Adapun fungsi kearifan lokal menurut Mariane (2014) adalah sebagai

berikut:

a. Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam

b. Berfungsi untuk mengembangkan sumber daya manusia, misalnya berkaitan

dengan upacar daur hidup.

c. Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

d. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.

e. Bermakna misalnya sebagai integrasi komunal atau kerabat serta upacara daur

pertanian.

18
Abdullah. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), h. 10.
22

f. Bermakna etika dan moral yang terwujud dalam upacara ngaben dan

penyucian roh leluhur.

g. Bermakna politik, misalnya dalam upacara ngangkuk merana dan kekuasaan

patron client.

2. Pemahaman Nilai Kearifan Lokal dalam Pembuatan Perahu

Kepopuleran perahu pinisi membuat hampir seluruh pelukis di Makassar,

pernah melukis perahu pinisi. Hal ini disebabkan karna penggambaran perahu

pinisi memiliki peluang kreatif yang sangat luas untuk memperoleh bentuk perahu

pinisi dalam berbagai posisi dan sudut pandang. Namun sesunggguhnya tradisi

berlayar telah dikenal oleh nenek moyang bangsa Indonesia sejak masa

prasejarah. Mike Turuzy dan Zainal Beta merupakan dua orang pelukis otodidak

yang ada dikota Makassar. Keduanya pun secara non formal senantiasa terus

belajar memahami keberadaan kebudayaan lokal dan terus bereksperimen untuk

menambah wawasan serta memperkuat identitas kekaryaannya.19

Proses dalam pembuatan kapal pinisi mengandung nilai-nilai kearifan

lokal atau nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan

sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain kerja sama atau gotong royong, kerja keras,

ketelitian, keindahan dan religius. Nilai kerjasama tercermin dalam hubungan

antara punggawa (kepala tukang) atau para sawi (tukang lainnya). Nilai kerja

keras tercermin dalam pencarian dan penebangan kayu welengreng atau dewata

yang tidak mudah karena tidak setiap tempat ada. Nilai ketelitian tercermin dalam

pemotongan kayu yang harus tepat, nilai keindahan dari bentuk yang dibentuk

sedemikian rupa sehingga tampak kuat, gagah, dan indah. Nilai religius tercermin

Karta Jayadi, “Kebudayaan Lokal Sebagai Sumber Inspriasi”, Jurnal Universitas Negeri
19

Makasssar, (2014): h. 7-8.


23

dalam dua tiang layar utama berdasarkan 2 kalimat syahadat dan tujuh buah layar

merupakan jumlah dari surah Al-Fatihah.20

Nilai budaya apabila diberikan contoh dalam masyarakat Indonesia seperti

halnya pandangan tentang kerjasama. Masayarakt di Indonesia pada umumnya

nilai tertinggi dalam hidupnya adalah jika manusia mampu dan bias bekerjasama

dalam menyelesaikan suatu kegiatan, baik dikerjakan secara gotong royong

maupun secara tolong menolong. Saling membantu ini walaupun dilakukan secara

bersama akan tetapi menjadi suatu kebiasaan dan kesepakatan yang tidak tertulis,

bahwa perbuatan yang demikian akan dibalas oleh yang punya hayat jika kelak

keluarga atau anggota masyarakat yang membantu itu juga memiliki suatu

kegiatan untuk kepentingannya sendiri. Kata lain sesuatu itu bernilai tinggi jika

dilakukan bukan bersifat secara saling bersaing. Hal semacam ini jelas

menunjukkan seolah-olah yang demikian tidak rasional, karena dalam kenyataan

hidup sehari-hari senantiasa terjadi persaingan baik persaingan secara sehat dan

terbuka maupun persaingan yang terjadi secara tidak sehat dan tertutup.21

D. Teori Budaya Simbolik

Antropologi simbolik dipopulerkan oleh Victor Turner, yang lahir di tahun

Glasgow, Skontlandia tahun 1920 dan meninggal dunia pada tahun 1983,

mewakili arus utama antropologi sosial. Antropologi simbolik yang

dikembangkan Turner dipengaruhi oleh Emile Durkheim mengenai kohesi sosial.

Pemikiran ini dengan modifikasi terbatas dilanjutkan oleh Max Glucman yang

kelak menjadi guru Turner, yang penelitiannya fokus pada masyarakat Ndembu

mengenai kehidupan sosial politik yang tidak bias menghindar dari konflik sosial

20
Wahyuddin Ridwan dan Sutiyono, “Bentuk Kapal Pinisi Sebagai Ide Penciptaan Karya
Seni Lukis dengan Media Tanah Liat”, Jurnal Universitas Negeri Yogyakarta, (2019): h. 4.
21
Santri Sahar, Pengantar Antropologi Integrasi & Agama, (Makassar: Rumah Buku
Cara Baca Makassar, 2015), h. 107.
24

yang berkepanjangan. Studinya tentang ritual yang menyajikan drama sosial

antara konflik dan integrasi. Kalau Durkheim percaya bahwa manusia primitif

berkumpul akibat kebutuhan psikologis primordial untuk kebersamaan, dengan

menciptakan totem sebagai simbol solidaritas, dengan kata lain, totem merupakan

symbol klen sekaligus simbol ketuhanan, jadi ikatan klen keluarga bias jadi ikatan

yang esensinya bersifat religius. Maka Turner berpendapat bahwa, manusia pada

dasarnya dipaksa untuk berulang kali membangun kehidupan sosial melawan

kekuatan dialam yang terus menerus mengancam untuk menghancurkannya.

Karna simbol adalah kendaraan utama solidaritas ini diatur, mereka adalah

instrument atau peralatan yang dipakai oleh orang untuk mencapai tujuan tertentu

yaitu reproduksi tatanan sosial.

Model simbolisasi ritual yang digagas oleh Turner dikembangkan melalui

kajiannya tentang orang-orang Ndembu di Zambia. Bagi Turner penggunaan

simbol-simbol tergolong penting bagi suatu peristiwa ritual, dan kajian tentang

simbol-simbol ritual tidak mesti terfokus pada simbol-simbol manakah yang

dipergunakan, tetapi yang tidak kalah penting adalah mencermati relasi timbal

balik simbol-simbol itu beserta maknanya seperti halnya ritual insiasi orang

Ndembu. Jadi upacara agama digambarkan sebagai arena dimana rumus-rumus

yang berupa doktrin-doktrin agama berubah bentuk menjadi serangkan ian

metafor dan simbol.

Simbol menurut Turner memiliki ciri-ciri. Pertama, multivokal. Simbol itu

mempunyai banyak arti, menunjuk pada banyak hal, pribadi atau fenomena.

Kedua, polarisasi. Karna simbol mempunyai banyak arti, maka ada arti yang

saling bertentangan. Turner lebih fokus pada simbol tentang dua kutub yang

berbeda, yaitu fisik atau indrawi dan kutub idiologis dan atau normatife. Kutub

pertama dinamai oretik dan kutub kedua dinamai normative. Kutub oretik
25

mewakili level bawah atau apa yang diinginkan dan normatif mewakili level atas

atau apa yang diwajibkan. Kaitannya dengan proses pemaknaan simbol, Turner

juga menunjuk tiga dimensi arti simbol, yaitu pertama eksegetik, arti simbol yaitu

cakupan penafsiran yang diberikan oleh informan asli kepada peneliti, sehingga

interprestasi harus digolongkan menurut ciri sosial dan kualifikasi informan.22

E. Teori Interaksionisme Simbolik

George Herbert Mead adalah tokoh yang tidak bias lepas dari teori

interaksi simbolik. Tiga hal yang sangat penting mengenai konstruksi teori

simbolik, adalah:

1. Fokus pada interaksi antara pelaku dan dunia

2. Pandangan bahwabaik pelaku maupun dunia sebagai proses yang dinamis

dan bukanlah srtyuktur yang statis

3. Nilai yang dilekatkan pada kemampuan pelaku untuk menginterpretasikan

dunia atau masyarakat sosial.23

Aliran pragmatisme yang dirumuskan John Dewey, William James,

Charles Peirce, dan Josoah Royce mempunyai beberapa pandangan sebagai

berikut:

1. Realitas sejati tidak pernah ada didunia nyata, melainkan secara aktif

diciptakan ketika kita bertindak terhadap dunia.

2. Manusia mengingat dan melandaskan pengetahuan mereka tentang dunia

pada apa yang terbukti berguna bagi mereka.

3. Manusia mendefinisikan objek fisik dan objek sosial yang mereka temui

berdasarkan kegunaannya bagi mereka, termasuk tujuan mereka.

22
Santri Sahar, Kebudayaan Simbolik, (Makassar: Prodi Sosiologi Agama UIN Alauddin,
2019), h. 3-6.
23
Dadi Ahmadi, “Interaksi Simbolik Suatu Pengantar”, Jurnal Universitas Islam
Bandung, (2008): h. 4-5.
26

4. Bila kita memahami orang yang melakukan tindakan, kita harus

berdasarkan pemahaman itu pada apa yang sebenarnya mereka lakukan

didunia.

Hal tersebut dimaksudkan tidak untuk mempertentangkan wilayah

subtsansi kajian, tetapi hanya sebatas deskripsi kajian teori interaksi simbolik,

sebagai salah satu pendekatan alternatif dari sekian banyak teoro sosial untuk

memahami individu dan masyarakat.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian dan Lokasi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah field research (lapangan)

dengan jenis pengumpulan dan peroleh data kualitatif deskriptif mengenai

pembuatan Perahu Pinisi di Desa Ara, Kecamatan Bonto Bahari, kabupaten

Bulukumba. Penelitian kualitatif adalah penelitian dimana data yang dikumpulkan

bukanlah angka-angka namun bersumber pada hasil wawancara, catatan lapangan,

foto, dokumen pribadi, dan lainnya.1

Pemilihan penelitian kualitatif ini digunakan agar hasil penelitian yang

diperoleh lebih akurat dan sesuai dengan sumber keaslian data yang dihasilkan

melalui interview dan pengamatan langsung dan diuraikan dalam kata-kata.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan diadakan di Desa Ara, Kecematan Bonto Bahari,

Kabupaten Bulukumba. Daerah tersebut dipilih karena merupakan lokasi industri

pengrajin kapal pinisi sekaligus tempat bermukimnya para panrita lopi (ahli

pembuat kapal).

B. Pendekatan Penelitian

Adapun metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

1. Pendekatan Sosiologis

Adalah suatu pendekatan yang secara umum digunakan pada penelitian

sosial. Karna pendekatan sosiologi mempelajari tentang kehidupan bersama dalam

suatu masyarakat. pendekatan sosiologis adalah ilmu yang menggambarkan

1
Moleong, “Penelitian Kualitaif “ (Bandung: Remaja Rosda karya, 2010), h. 11.

27
28

tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur lapisan serta berbagai gejala

sosial lainnya yang saling berkaitan.2 Dan pendekatan ini adalah pendekatan yang

digunakan untuk dijadikan sebagai landasan kajian dalam proses pembuatan

perahu pinisi di Desa Ara, Kecematan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba.

2. Pendekatan Antropologi

Antropologi yaitu pendekatan kebudayaan; artinya agama dipandang

sebagai bagian dari kebudayaan, baik wujud ide maupun gagasan dianggap

sebagai sistem norma dan nilai yang dimiliki oleh anggota masyarakat, yang

mengikat seluruh anggota masyarakat. Ketika mendeskripsikan suatu kebudayaan,

peneliti cenderung untuk kian membatasi diri pada sekelompok manusia yang

tinggal di suatu daerah yang dipandang sebagai entitas yang lengkap dan

sistematis, dan berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin data dari daerah yang

bersangkutan. Adapun, masyarakat sebagai suatu entitas yang sistematis, dapat

dipandang dari berbagai segi.3

C. Sumber Data

Dalam penelitian ini sumber data yang dipakai ada dua sumber yaitu

sumber data primer dan sumber data sekunder.

1. Data primer

Data primer yang dimaksudkan peneliti adalah data yang diperoleh

lapangan bersumber dari informan yang dianggap relevan dijadikan narasumber

dengan menggunakan tekhnik observasi, wawancara secara lansung atau

memberikan pertanyaan-pertanyaan, dan dokumentasi. Misalnya pada panrita lopi

memberikan keterangan terkait penelitian yang akan dilakukan.

2
M Hajir Nonci, Sosiologi Agama (Makassar: Alauddin University Press, 2014), h. 13.
3
Miftahuddin, Metodologi Penelitian Sejarah Lokal, (Yogyakarta: UNY Press), h. 43-44
29

2. Data sekunder

Data sekunder merupakan data pelengkap atau data tambahan yang

melengkapi data yang sudah ada sebelumnya agar dapat membuat pembaca

semakin paham akan maksud peneliti. Sumber data sekunder dimaksudkan dalam

penelitian ini adalah kajian terhadap studi perpustakaan, artikel-artikel atau buku-

buku dan website yang ditulis oleh para ahli yang ada hubungannya dengan

pembahasan judul penelitian ini serta kajian kepustakaannya dari hasil penelitian

ini, baik yang telah diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku

atau majalah ilmiah.

D. Metode Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu peneliti berpartisipasi

dan ikut serta langsung di lapangan untuk memperoleh data dari masyarakat Desa

Ara Kecamatan Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba. Berikut akan dijelas metode

pengumpulan data pada penelitian ini:

1. Observasi (Pengamatan)

Observasi adalah teknik pengumpulan data yang digunakan untuk

menggali data dari sumber yang berupa tempat, aktivitas, benda atau rekaman

gambar. Teknik observasi berperan pasif memungkinkan peniliti mengamati dan

mencatat perilaku dan peristiwa sebagaimana adanya, sehingga dapat mengecek

bias. 4 Observasi pada penelitian ini yaitu jenis observasi partisipasif, dimana

pengamat ikut serta dan terjung langsung di dalam suatu kegiatan yang diamati

tersebut. Khususnya dalam mengamati proses pembuatan perahu, nilai religi dan

nilai kearifan lokal dalam pembuatannya.

4
Farida Nugrahani, “Metode Penelitian Kualitatif Dalam Penelitian Pendidikan Bahasa”
(Surakarta: Cokro Books, 2014), h. 295.
30

2. Wawancara (Interview)

Wawancara adalah metode yang bisa dipakai dalam menghimpun data

penelitian dan dapat pula digunakan untuk subyek, baik yang bersifat umum atau

khusus dan bahkan, dengan persiapan yang benar, untuk topic yang sangat

sensitive. Wawancara bisa dilakukan satu kali atau berulang beberapa kali selama

periode untuk melacak perkembangan. Pewawancara berada dalam posisi yang

baik untuk menilai kualitas tanggapan, untuk melihat apakah suatu pertanyaan

belum dipahami dengan baik dan mendorong responden untuk penuh dalam

jawaban-jawabannya.5 Pada penelitian ini, peniliti menggunakan jenis wawancara

bebas terpimpin, dimana peneliti terlibat dan berpartisipasi dilapangan daerah

penelitian bisa juga dengan secara langsung dengan informan yang ingin

diwawancarai dan memberikan segala informasi yang diperlukan, dan demekian

sangat diharapkan oleh interview agar dapat mengumpulkan berbagai informasi

dari informan tentang bagaimana proses nilai religi dan nilai kearifan lokal yang

terkandung dalam pembuatan perahu pinisi.

3. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.

Dokumentasi bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya monumental dari

seseorang. Dokumentasi yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah

kehidupan dan biografi. Dokumentasi yang berbentuk gambar misalnya foto-foto,

gambar benda dan sketsa. Dan dokumentasi yang berbentuk karya misalnya karya

seni yang dapat berupa gambar patung dan flem. Menggunakan studi dokumentasi

merupakan perlengkapan dari penggunaan metode observasi dan wawancara

5
Adhi Kusumastuti, Ahmad Mustamil Khoiron, Metode Penelitian Kualitatif, (Semarang:
Lembaga Pendidikan Sukarno Pressindo, 2019), h. 118.
31

dalam penelitian kualitatif. Hasil penelitian juga akan semakin kredibel apabila

didukung oleh foto-foto atau karya tulis akademis dari seni yang telah ada.6

E. Teknik Penentuan Informan

Penelitian informan adalah penelitian menggunakan teknik purposive

sumpling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. 7 Kalau

sederhananya, berarti teknik ini pengambilan sampel secara sengaja, maksudnya

penelitian menentukan sendiri sampel yang diambil karena ada pertimbangan

tertentu. Peneliti akan memilih yang berkaitan dengan kebutuhan penelitian.

Peneliti memilih informan agar para informan yang dipilih dapat memberikan

informasi akurat dan dipercaya. Informan yang akan dipilih dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Informan utama

Yaitu informan yang sangat mengetahui atau terlibat dalam permasalahan

yang sedang diteliti, dan informan yang dimaksud disini ialah:

a. Pemilik Kapal (sambalu)

b. Kepala tukang (Punggawa)

c. Pekerja kapal (pajama lopi)

d. Sanro atau dukun

2. Informan biasa

Yaitu informan yang ditentukan dengan dasar pertimbangan yang

mengetahui sejarah tentang perkembangan yang mau diteliti. Jumlah informan

biasa ialah 2 orang masyarakat Desa Ara

6
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan R&D
(Bandung: Alfabeta, 2011), h. 330
7
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, h. 289.
32

F. Instrumen Penelitian

Peneliti adalah instrumen penelitian utama dalam memperoleh,

mengumpulkan data, dan melihat fenomena alam serta fakta sosial. Adapun alat-

alat yang dipakai penelliti untuk mengumpulkan informasi seperti: buku, pena,

sebagai alat untuk merekam data yang diperoleh selama penelitian ini dilakukan,

seperti kamera atau alat perekam lainnya.

G. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data

1. Reduksi data (Data Reduction)

Reduksi dalam data peneliti melakukan proses pemilihan atau seleksi,

pemusatan perhatian atau pemfokusan, penyederhanaan, dan pengabstraksian dari

semua jenis informasi yang mendukung data penelitian yang diperoleh dan dicatat

selama proses penggalian data di lapangan. Proses reduksi ini dilakukan secara

terus-menerus sepanjang penelitian masih berlangsung, dan pelaksanaannya

dimulai sejak peneliti memilih kasus yang diteliti.

2. Penyajian Data (Data Presentation)

Sajian data adalah sekumpulan informasi yang memberi kemungkinan

kepada peniliti untuk menarik simpulan dan pengambilan tindakan.Sajian data ini

merupakan suatu rakitan organisasi informasi, dalam bentuk deskripsi dan narasi

yang lengkap, yang disusun berdasarkan pokok-pokok temuan yang terdapat

dalam reduksi data, dan disajikan menggunakan bahasa peneliti yang logis, dan

sistematis, sehingga mudah dipahami.

3. Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing/Verification)

Pada tahap ini akan mengemukakan kesimpulan dari hasil penelitian dan

penyajian data yang telah dilakukan. Penarikan kesimpulan ini hanya salah satu

kegiatan dalam konfigurasi yang utuh. Hal ini sangat berbeda dengan penarikan

simpulan dalam penelitian kuantitatif yang berkaitan dengan pengujian hipotesis.


33

kesimpulan perlu diverifikasi selama penelitian berlangsung agar dapat

dipertanggung jawabkan. Makna-makna yang muncul dari data harus selalu diuji

kebenaran dan kesesuaiannya sehingga validitasnya terjamin.8

8
Farida Nugrahani, “Metode Penelitian Kualitatif Dalam Penelitian Pendidikan Bahasa”
(Surakarta: Cokro Books, 2014), h. 174-176.
BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Gambaran Umum Kabupaten Bulukumba

Sumber: Website Kabupaten Bulukumba tahun 2022

Daerah Kabupaten Bulukumba terletak pada kondisi empat dimensi yaitu:

dataran rendah, dataran tinggi yang terletak diantara kaki Gunung Bawakaraeng

sampai Gunung Lompobattang, daerah pantai, serta laut lepas. Wilayah Kabupaten

Bulukumba terletak di ujung paling selatan Provinsi Sulawesi Selatan dan

mempunyai luas kurang lebih 1.154,67 km2 atau sekitar 1,85% dari luas wilayah

Provinsi Sulawesi Selatan yang terbagi dalam 10 Kecamatan dan 126

Desa/Kelurahan yang terdiri dari 24 kelurahan dan 102 Desa. Dari 10 Kecamatan

tersebut terdapat dua Kecamatan yang paling luas yaitu Kecamatan Gantarang
dengan luas 173,51 km2 dan Kecamatan Bulukumpa dengan luas 171,33 km2

34
35

sekitar 29,87% dari luas Kabupaten Bulukumba. Sedangkan Kecamatan yang

paling kecil ialah Kecamatan Ujung Bulu yang merupakan Ibu Kota Kabupaten

Bulukumba dan berlokasi di Kota Bulukumba yang mempunyai luas wilayah 14,44

km2 atau sekitar 1,25% dari luas wilayah Kabupaten Bulukumba.

Berikut ini pembagian 10 kecamatan yang ada di Kabupaten Bulukumba

dapat di lihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1: Jumlah Kecamatan pada Kabupaten Bulukumba

No. Kecamatan

1 Rilau Ale

2 Bontobahari

3 Bulukumpa

4 Ujung Loe

5 Kindang

6 Ujung Bulu

7 Gantarang

8 Kajang

9 Bontotiro

10 Bontobahari
Sumber: Website Kabupaten Bulukumba tahun 2022

Daerah kabupaten Bulukumba bermacam-macam, ada yang datar,

bergelombang, perbukitan, dan pegunungan. 95,39% berada pada ketinggian 0-

1000 mdpl dengan tingkat kemiringan tanah 0-40°. Wilayah pegunungan di

Kabupaten Bulukumba terbentang mulai dari bagian Barat ke Utara dengan

ketinggian mulai dari 100 mdpl sampai dengan diatas 500 mdpl. Daerah ini meliputi

Kecamatan Kindang, Kecamatan Bulukumpa, sampai dengan Kecamatan Rilau

Ale. Sedangkan daerah yang memiliki dataran rendah dan pesisir berada pada
36

bagian Bulukumba Timur yang meliputi Kecamatan Bontobahari, kecamatan

Bontotiro dan kecamatan yang berada di sekitarnya.

Masyarakat Kabupaten Bulukumba mempunyai mata pencaharian dan

bergerak pada beberapa sektor yaitu pertanian, peternakan, nelayan, perdagangan

dan profesi-profesi lainnya. Profesi yang dimaksud salah satunya karyawan swasta,

tentara, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan lain sebagainya. Wilayah dibagian

pegunungan seperti Kecamatan Kindang sebagian besar warganya berprofesi

sebagai petani cengkeh. Sedangkan di bagian pesisir lebih banyak bermata

pencaharian sebagai nelayan. Masyarakat yang berprofesi sebagai pembuat perahu

pinisi terdapat di kecamatan Bontobahari salah satunya di Desa Ara. Orang-orang

yang ahli dalam pembuatan perahu pinisi biasa disebut dengan Panrita lopi, yang

merupakan ikon dari Kabupaten Bulukumba.

2. Gambaran Umum Desa Ara

Desa Ara merupakan salah satu desa dalam wilayah Kecamatan Bontobahari

Kabupaten Bulukumba. Desa Ara terletak kurang lebih dari 182,5 km dari arah

selatan kota Makassar, dari kota Makassar kita bisa melewati menggunakan dua

jalur yaitu jalur laut dan jalur darat tapi pada umumnya menggunakan lewat jalur

darat. Jalur darat dengan mengambil angkutan di terminal Mallengkeri.

Perjalanan dari kota Makassar ke Kabupaten Jeneponto menempuh jarak

kurang lebih 4 jam 30 menit menggunakan mobil sewa yang berangkat dari terminal

Mallengkeri Kota Makassar dengan biaya 100 ribu perorang sedangkan

menggunakan kendaraan motor dengan biaya 50 ribu. Sepanjang perjalanan dari

kota Makassar menuju Desa Ara melewati beberapa kota seperti kota Takalar yang

berkhas jagung, kota Jeneponto yang berkhas Gantala’ Jarang, Kota Bantaeng

yang berkhas pantai Seruni dan Kota Bulukumba yang mempunyai ciri khas Masjid
37

Islamic Centre Dato Tiro, Pantai Lemo-Lemo, Pantai Bira dan tentunya Kapal

Pinisi.

Masjid Islamic Centre Dato Tiro Bulukumba, Sulawesi Selatan merupakan

masjid yang berada di pusat kota Bulukumba. Masjid ini menjadi tempat

persinggahan untuk sholat bagi orang-orang yang melakukan perjalan jauh dan

menjadi salah satu objek wisata di Kabupaten Bulukumba.

Setelah melewati dan telah menunaikan sholat dan menikmati keindahan

Masjid Islamic Centre Dato Tiro, kemudian perjalanan dilanjutkan dengan

melewati Bundaran Pinisi yang juga merupakan salah satu ikon yang dikenal

masyarakat sebagai simbol masyarakat Kabupaten Bulukumba yang bertempat di

Kelurahan Bentengnge, Kecamatan Ujung Bulu, Kabupaten Bulukumba.

Kemudian perjalanan dilanjutkan ke titik lokasi penelitian penulis yakni

Desa Ara. Kita bisa bisa menggunakan dua alternatif jalan, untuk lebih mudahnya

lebih baik kita memilih arah selatan yakni ke arah Kecamatan Ujung Loe. Selama

perjalanan, kita disuguhkan dengan pemandangan pohon karet. Jika telah

mendapatkan pertigaan setelah melewati pohon karet, kita langsung mengambil

arah kanan untuk menuju jalan poros Desa Ara.

Luas wilayah Desa Ara adalah 14,38 km² dan wilayah Desa Ara memiliki

batas sebelah utara berbatasan dengan Desa Lembanna, sebelah selatan berbatasan

dengan Desa Darubiah, sebelah timur berbatasan dengan Teluk Bone dan sebelah

barat berbatasan dengan Kelurahan Tanah Lemo.1

Sebagaimana wilayah tropis, Desa Ara mengalami musim kemarau dan

musim penghujan dalam tiap tahunnya. Jarak Pusat Pemerintahan Desa Ara dengan

ibukota Kecamatan 7 km dan ibukota Kabupaten 37 km. Kondisi Topografi Daratan

1
Pemerintah Desa Ara, Profil Desa Ara 2021
38

Desa Ara relatif berbukit dengan ketinggian sekitar 0-75 m diatas permukaan laut

dan keadaan suhu udara rata-rata sebesar 27°-39°.2

Penggunaan sumber daya lahan untuk bangunan di Desa Ara relatif

beraneka ragam yakni Lahan Perkantoran seluas ± 4 ha, Lahan Sekolah seluas ± 4

ha, Tempat Peribadatan seluas ± 3 ha, Lahan Perkebunan seluas ± 127 ha, Lahan

Pemukiman seluas ± 430 Ha, dan Lahan Falilitas Umum seluas ±175 ha. Desa Ara

merupakan wilayah paling potensial untuk Industri Kerajinan, Perdagangan,

Perkebunan dan Pariwisata. Hal tersebut didukung oleh kondisi geografis desa serta

masyarakatnya, dukungan Pemerintah Daerah untuk pengembangan potensi

Perindustrian dan Pertukangan3

a. Keadaan Penduduk

Kondisi demografis suatu wilayah memiliki keterkaitan dengan beberapa

unsur dalam kependudukan, antara lain adalah mengenai jumlah penduduk dan

komposisi penduduknya.Kondisi demografis di suatu wilayah tersebut dapat

dijadikan patokan dalam menentukan kebijaksanaan pembangunan suatu

pemerintahan. Jumlah keseluruhan penduduk di Desa Ara berdasarkan Profil Desa

tahun 2021 terhitung 2.442 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 1.153 jiwa dan

perempuan 1.289 jiwa.4

b. Keadaan Sosial

Gelombang globalisasi terasa kuat dan terbuka, kemajuan teknologi dan

perubahan yang sedang berlangsung menawarkan perspektif baru bagi Indonesia

dia tidak lagi sendirian. Indonesia berada di tengah dunia dunia baru yang terbuka

sehingga orang dapat dengan bebas membandingkan kehidupan dengan Negara-

negara lain.

2
Pemerintah Desa Ara, Profil Desa Ara 2021
3
Pemerintah Desa Ara, Profil Desa Ara 2021
4
Pemerintah Desa Ara, Profil Desa Ara 2021
39

Melihat ke belakang, tampak jelas bahwa ada masalah serius meningkatkan

mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan formal atau informal. Dan itu

mengarah pada kualitas yang buruk Pendidikan yang menghambat penyediaan

sumber daya manusia yang memadai.

Tabel 2: Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Ara

No. Tingkat Pendidikan Jumlah

1. Belum sekolah 86

2. SD/Sederajat 79

3. SMP/Sederajat 234

4. SMA/Sederajat 87

5. Diploma/Sarjana 33

Jumlah 519

Sumber Data: Profil Desa Ara

B. Sejarah Perkembangan Kapal Pinisi

Indonesia adalah sebuah negaramaritim dengan jumlah pulaunya tercatat

sebanyak 17.508 buah dengan luas perairan 5,8 juta kilometer persegi dan panjang

garis pantai 81.000 kilometer. Secara historis juga tercatat bahwa pelaut Indonesia

telah berlayar hingga ke beberapa bagian luar Indonesia. Beberapa kerajaan di

Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Maluku pernah berjaya dibidang kemaritiman. Hal

itu sekaligus menunjukkan betapa pentingnya industri maritim Indonesia. Salah

satu daerah yang potensial dalam pengembangan kemaritiman adalah Sulawesi

Selatan.5

Dalam beberapa karya, suku Bugis-Makassar dikenal sebagai salah satu

suku yang suka melaut. Itu diwariskan dari nenek moyang dan diturunkan ke

generasi berikutnya. Selanjutnya, beberapa orang Bugis-Makassar bermigrasi ke

5
Darmawan Salman, Jagad Maritim, (Makassar: Ininawa, 2006), h. 2
40

berbagai daerah dan negara. Mereka kreatif dalam menciptakan dan

mengembangkan budayanya.

Sulawesi Selatan sebagai bagian dari pulau Sulawesi dimana masyarakatnya

terkenal sebagai pelaut ulung telah banyak menciptakan hasil karya berupa perahu

sebagai alat transportasi laut yang tangguh mengarungi samudra. Berbagai jenis

perahu dan tipe telah tercipta mulai dari bentuk tradisional sampai pada bentuk

modern, pada mulanya alat transportasi air yang tercipta setelah penggunaan rakit

adalah perahu yang di buat dari batang kayu besar yang dikeruk atau lesung.6

Seiring dengan perkembangan waktu dan pemenuhan akan kebutuhan,

maka diperkirakan pada abad XVI barulah tercipta perahu yang lebih besar yang

disusun dari kepingan papan. Perubahan dari tahun-ketahun dan perkembangan

yang berlangsung dalam kurun waktu cukup lama, akhir abad XIX atau awal abad

XX mulai diciptakan model Sombala Pinisi dan kemudian berevolusi menjadi

Pinisi.7

Pada perkembangan selanjutnya, perahu salompoang yang memakai

undakan pada bagian depan dianggap tidak efektif lagi dalam pelayaran, sebab

mudah terhalang ombak dan dapat berbahaya bagi keselamatan pelayaran. Oleh

sebab itu sekitar tahun 1920 salompoang dimodifikasi kembali, pada ujung papan

yang terdapat pada haluan diratakan dan haluan jadi lancip sehingga kecepatan

perahu bertambah. Tipe baru ini disebut perahu palari ukuranya kurang dari 30 ton

memakai layar seperti layar lambok (dua layar) dan perahu palari ukuran besar (30

ton ke atas) memakai dua tiang dan tujuh layar. Perahu palari yang berukuran 30

6
Muhammad Arief dan Abbas, Phinisi Perahu Khas Sulawesi Selatan, (Bulukumba: Proyek
Pembinaan Peninggalan Sejarah Purbakala dan Permuseuman Sulawesi Selatan), h. 24
7
Muhammad Arief dan Abbas, Phinisi Perahu Khas Sulawesi Selatan, h. 24
41

ton ke atas ini yang kemudian dinamakan perahu palari Pinisi dan akhirnya disebut

perahu Pinisi saja.8

Perahu pinisi merupakan alat transportasi yang digunakan orang Bugis-

Makassar dalam melakukan perantauan. Dengan pinisi mereka menjelajahi

kepulauan nusantara, bahkan sampai ke Madagaskar. Di berbagai daerah pesisir

pantai ditemukan perkampungan-perkampungan Bugis. Begitupun di pusat Kota

Singapura terpampang gambar pinisi dan disekitar tempat itu diberi nama Bugis,

seperti Bugis Street dan Bugis Junction.9

Pembuatan perahu pinisi adalah suatu kearifan lokal yang unik bagi

masyarakat Bugis-Makassar khususnya orang Ara. Para arsitek perahu pinisi dari

dulu merancang konstruksi pinisi dengan sangat cermat. Tiap komponen dihitung

jumlah dan ukurannya meski tanpa alat ukur standar sesuai kapasitas perahu yang

akan dibuat. Selanjutnya dibentuk dan diberi nama sesuai posisinya dalam

konstruksi perahu. Hal inilah yang sangat menakjubkan orang-orang dari

mancanegara yang menyaksikan langsung proses pembuatan perahu pinisi.10

Desa Ara sendiri merupakan salah satu daerah yang ada di Kabupaten

Bulukumba yang memiliki sejarah panjang tentang pembuatan perahu pinisi. Sejak

zaman dahulu, Desa Ara merupakan daerah pusat aktivitas pembuatan perahu pinisi

namun dengan seiring perkembangan waktu dan kebutuhan akan berbagai hal pada

tahun 1980-an pusat pembuatan perahu dipindahkan dan berkembang di Tanah

Beru.11

8
Muhammad Arief dan Abbas, Phinisi Perahu Khas Sulawesi Selatan, h. 34.
A. T . Bandung, “Pinisi Meretas Dunia Menyebar Budaya Bugis-Makassar”, Jurnal
9

Walasuji, (2007): h. 42.


10
Saenong, dan Muh. Arief, Pinisi Paduan Teknologi dan Budaya, (Yogyakarta: Ombak,
2013), h. 7
Andi Arief Munawir, “Motorisasi Perahu Pinisi di Tanah Beru Kabupaten Bulukumba
11

1975-1985”, Skripsi (Makassar: Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, 2014), h. 22


42

Pengetahuan masyarakat Desa Ara tentang perahu pinisi diperoleh secara

turun temurun sebagai warisan budaya dari generasi ke generasi. Hal ini dapat

bertahan karena ditunjang oleh tersedianya sarana yang cukup dan mudah diperoleh

di daerah tersebut. Keberadaan pembuatan perahu pinisi dalam kehidupan

masyarakat Desa Ara memiliki sejarah yang cukup panjang, sejak nenek moyang

berdatangan dari tanah asalnya yaitu Benua Asia (Tiongkok) sampai ke sejarah

legenda I La Galigo yang mengisahkan tentang Sawerigading dan perahunya yang

mengadakan perjalanan ke seluruh nusantara bahkan sampai ke mancanegara.12

Pada zaman dahulu, kapal kayu Pinisi telah digunakan di Indonesia. Sejak

zaman raja-raja kuno, para raja dan pangeran telah menggunakan perahu pinisi

untuk berlayar ke negeri-negeri yang jauh. Salah seorang pangeran yangterkenal

dalam sejarahnya adalah Sawerigading yang merupakan putra mahkota kerajaan

Luwu. Dia adalah orang yang dianggap pertama kali menggunakan Pinisi. Dia

menggunakan kapal Pinisi untuk berlayar menuju negeri Tiongkok untuk

meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai.13

Alkisah diceritakan oleh budayawan yang bernama Arief Saenong bahwa

pada zaman dahulu Sawerigading (putra Raja Luwu) jatuh cinta pada saudara

kembarnya yaitu We Tenri Abeng. Karena mereka bersaudara maka cinta tersebut

tidak dapat disatukan. Sawerigading disarankan untuk menikah dengan sepupunya

yaitu We Cudai Dg. Risompa (Putri Raja Cina-Wajo) yang memiliki wajah serupa

dengan Tenri Abeng, akhirnya Sawerigading pun bersedia. Untuk mengantarkan

Sawerigading maka ditebanglah pohon raksasa yang tumbuh di hutan untuk

membuat perahu. Ketika pohon tersebut rubuh terjadilah gempa yang selanjutnya

pohon tersebut ditelan bumi bersama nenek Sawerigading La Toge Langi (gelar

12
Darmawan Salman, Jagad Maritim, (Makassar: Ininawa, 2006), h. 34
13
Tenti Fajrah Ihsani MJ, Nilai-Nilai Religi Dalam Pembuatan Kapal Pinisi Bulukumba,
(Makassar, WSBM FKM Unhas, tt), h. 3
43

Batara Guru). Beberapa waktu kemudian pohon tersebut muncul kembali di pantai

setelah menjadi perahu besar.Berangkatlah Sawerigading ke Cina, dan kemudian

menikah dengan We Cudai.14

Akhirnya Sawerigading berhasil menuju Negeri Tiongkok denganPerahu

Pinisinya dan berhasil pula memperisteri Putri We Cudai. Setelah beberapa lama di

Tiongkok, Sawerigading hendak pulang ke kampungnya menggunakan Kapal

Pinisi, namun sayangnya menjelang sampai di kampungnya kapalnya diterjang

gelombang besar. Pinisinya terbelah menjadi tiga, pecahannya itu terdampar di tiga

desa, diantaranya Desa Ara, Tanah Lemo dan Tanah Beru. Kepingan bagian badan

di Ara, bagian sotting (sambungan lunas) di Tanah Lemo dan bagian layar dan tali

temali terdampar di Bira. Mitos inilah yang mendasari keahlian masyarakat di

ketiga desa tersebut yaitu masyarakat desa Ara dan Tanah Lemo mahir dalam

pembuatan kapal, sedangkan masyarakat Bira mahir dalam berlayar. Sebagian

masyarakat Desa Ara masih percaya bahwa mereka tidak akan bisa mempunyai

kapal karena mereka ditakdirkan sebagai pembuat kapal.15

Keahlian orang Ara dalam pembuatan perahu berawal dari legenda perahu

Sawerigading yang terdampar di Desa Ara, menurut mitos dari legenda I La Galigo

menceritakan bahwa orang Ara mempelajari dan mencontoh perahu Sawerigading

yang terdampar di desanya. Perahu tersebut diciptakan dengan kekuatan magis oleh

La Toge Langi gelar Batara Guru nenek moyang Sawerigading, yang dianggap

sebagai dewa langit dan didaulat sebagai raja bumi yang pertama16

14
Arief Saenong, Pinisi Panduan Teknologi dan Budaya (Bulukumba: Dinas Perindustrian
Pariwisata dan Budaya, 2007), h . 5.
15
Tenti Fajrah Ihsani MJ, Nilai-Nilai Religi Dalam Pembuatan Kapal Pinisi Bulukumba,
(Makassar: WSBM FKM Unhas, tt), h. 4
Alya Salsa Ramadhani, dkk, “Pembuatan Perahu Pinisi di Desa Ara Kabupaten
16

Bulukumba 1970-2017”, Jurnal Pattingalloang 5, no.1 (2018): h. 4


44

Pandangan penting sehubungan dengan tradisi pembuatan perahu di

Bulukumba, Edward Poelinggomang menyatakan bahwa teknologi pembuatan

perahu Ara mungkin merupakan industri pembuatan perahu Kerajaan Gowa pada

masa lalu yang berada di pinggir sungai Ara yang kini berubah menjadi sungai Tallo

yang semakin ramai dengan aktivitas perdagangan lain dan semakin minimnya

bahan baku di Makassar, maka industri perahu Ara dipindahkan ke Desa Ara

sekarang.17

Dahulu salah satu pusat pembuatan perahu ialah di Desa Ara. Kini pusat

pembuatan perahu tradisional dipindahkan ke Tanah Beru Ibu Kota Kecamatan

Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba. Di pantai yang landai sepanjang kurang lebih

1000 meter ini dibangun ratusan buah perahu dari berbagai type dan ukuran.

Ada beberapa alasan sehingga pusat pembuatan perahu beralih ke Tanah

Beru, yaitu:18

1. Tanah Beru adalah pintu gerbang masuk ke Kecamatan Bonto Bahari

(dahulu Kecamatan Tanah Bale) sehingga wilayahnya mudah dijangkau.

Itulah sebabnya maka orang Lemo-Lemo yang wilayahnya terpencil beralih

ke Tanah Beru membuat perahu.

2. Tanah Beru memiliki pantai yang panjang dan landai sehingga

memudahkan transportasi bahan baku.

Perkembangan teknologi pada komunitas industri pembuatan perahu

mencakup perubahan peralatan, bahan produksi, dan cara kerja, terutama yang

terjadi antara sebelum dan sesudah tahun 1970-an. Dengan kehadiran pembeli dari

berbagai daerah luar Bulukumba hingga luar negeri, perkembangan teknologi

17
Hasanuddin, dkk, Spektrum Sejarah Budaya dan Tradisi Bulukumba, (Makassar:
LEPHAS, (2003), h. 22
Alya Salsa Ramadhani, dkk, “Pembuatan Perahu Pinisi di Desa Ara Kabupaten
18

Bulukumba 1970-2017”, Jurnal Pattingalloang 5, no. 1 (2018): h. 4


45

merupakan strategi untuk merespon peningkatan volume kerja, baik karena ukuran

perahu yang semakin besar dan bertambahnya komponen perahu, maupun karena

meningkatnya permintaan. Dengan perkembangan teknologi, tercipta peningkatan

kemampuan kerja, sehingga volume kerja yang lebih besar dapat diselesaikan.

Telah banyak literatur tentang sejarah keberadaan perahu pinisi di

Bulukumba sebagai simbol sebuah karya masyarakat Bontobahari. Sebagaimana

dipahami bahwa pinisi sebagai lambang Kabupaten Bulukumba mempunyai latar

belakang perjalanan kesejarahan sendiri. Menurut Horridge dalam bukunya bahwa

perahu kuno yang terbuat dari kepingan-kepingan papan yang mula-mula tercipta

di Sulawesi Selatan ialah perahu padewakang dengan nama itu karena sering

digunakan ke pulau dewakang. Pendapat ini dipertegas oleh Horridge bahwa perahu

padewakang berasal dari bahasa Bugis-Makassar.19

Dalam perkembangan selanjutnya muncul juga perahu pajala dan patorani

yang bentuk dan tonasenya hampir sama dengan padewakang. Akan tetapi

konstruksinya sudah lebih baik. Menurut Horridge bentuk lambung perahu pajala

merupakan bentuk dasar perahu-perahu di Sulawesi Selatan. Berawal dari pajala

inilah bentuk dan tonase perahu dikembangkan berdasarkan kebutuhan pasar yang

pada akhirnya terciptalah perahu pinisi.20

19
Adrian Horridge, Perahu Layar Tradisional Nusantara, (Yogyakarta: Ombak, 2015), h.
12
20
Adrian Horridge, Perahu Layar Tradisional Nusantara, h. 12
46

Sebelum kehadiran perahu Pinisi, Ada beberapa jenis perahu yang sudah

ada di Sulawesi Selatan antara lain:21

1. Sampan

Perahu jenis ini dibuat dari batang kayu besar yang dikeruk. Bagian depan

dan belakang dibuat dengan bentuk lancip untuk mempercepat laju perahu, orang

Makassar dan Mandar sering menyebutnya perahu lepa-lepa. Perahu ini

kebanyakan dipergunakan untuk memancing atau keperluan lain yang sesuai. Daya

angkutnya hanya beberapa orang saja kadang-kadang perahu jenis ini diberi cadik

(bilah pada sisi kapal) untuk alat keseimbanagan. Untuk menggunakanya

digunakan dayung atau galah. Lepa-lepa juga berfungsi sebagai sekoci pada perahu

besar seperti Pinisi, lambo dan palari.

2. Soppe

Soppe adalah sampan yang bobotnya lebih besar, sehingga dapat

mengangkut beberapa kuintal barang. Untuk menjaga keseimbangan , pada bagian

kiri dan kanan diberi cadik (bilah pada sisi kapal) yang terbuat dari bambu atau

kayu ringan, perahu soppe memakai layar yang berbentuk segi tiga.

3. Jarangka

Perahu jarangka hampir sama dengan soppe, hanya saja ukuranya lebih

besar. Untuk menambah daya angkut biasanya dinding kiri dan kanan dibuat lebih

tinggi dengan atap nipa, tetapi ada pula yang menambahnya dengan papan. Selain

itu juga diberi tempat berteduh yang dibuat dari daun rumbia. Dibagian kiri dan

kanan juga diberi tempat duduk, daya angkut jenis perahu ini sekitar tiga ton. Model

layarnya ada dua macam yaitu sombala yang berbentuk segi empat dan ada pula

memakai dua layar model lambo.

Nurhana, “Perkembangan Pembuatan Perahu Pinisi Di Tanah Beru Kabupaten


21

Bulukumba 1985-1995”, Skripsi (Makassar: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin, 2009),
h. 33.
47

4. Sandeq’

Perahu sande’ adalah perahu khas Mandar. Secara umum bentuknya mirip

soppe, tetapi lambungnya agak ramping sehingga gerakannya agak cepat dan

lincah. Pada bagian kanan dan kiri diberi cadik (bilah pada sisi kapal) yang panjang

dan pada haluan dan buritan ujungnya ke atas. Model layar berbentuk segi tiga yang

sedikit berbeda dengan jenis perahu lainya.

5. Pa’dewakang

Ada dugaan bahwa perahu pa’dewakkang adalah perahu kuno yang pertama

tercipta yang memakai lunas (bagian terbawah kapal) dan dindingnya terdiri dari

kepingan-kepingan papan. Bentuknya sedikit mirip dengan perahu pajalla dan

layarnya berbentuk segi empat serta dibagian depan terdapat layar kecil berbentuk

segi tiga. Menurut beberapa sumber dahulu perahu ini dipergunakan nelayan untuk

pergi ke pulau dewakang (salah satu pulau dalam gugusan kepulauan spermonde

Pangkajene Sulawesi Selatan). Daya angkutnya kurang dari 10 ton. Pada abad

XVIII perahu pa’dewakkang telah dipergunakan orang Bugis ke Australia Utara

untuk menangkap teripang.

6. Lambo’

Perahu lambo’ merupakan perahu khas Mandar dan Buton. Bentuknya mirip

sekoci kapal, sehingga ada yang menduga bahwa nama lambo’ berasal dari “Large

Boat” buritanya bulat dan disebut “Panta” (pantat) sedangkan haluannya agak

lurus dan condong kedepan. Daya angkut perahu lambo’ berkisar antara 15-60 ton.

7. Pajalla dan Patorani

Antara perahu pajalla dan patorani hampir tidak ada perbedaan, kecuali

ukuranya. Perahu Patorani sedikit lebih besar dan dipergunakan untuk menangkap

ikan torani (ikan terbang). Daya angkut perahu Pajalla hanya sekitar empat ton.
48

Perahu pajalla menggunakan layar segi empat yang disebut “Sombala tanja”

(Makassar), “Sompe tanja” (Bugis).

8. Salompong

Sekitar penghujung abad XIX perahu Pajalla ditingkatkan daya angkutnya.

Peningkatan daya angkut tersebut disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan

sarana angkutan. Untuk meningkatkan daya angkut, perahu Pajalla ditambah daya

angkut dan tingginya dengan papan lamma (papan lemah) beberapa susun.

Penambahan papan lamma diperpanjang kebelakang sebagai buritan perahu sedang

pada bagian depan penambahannya tidak langsung pada bagian sotting (Sambungan

lunas). Oleh karena itu pada bagian tersebut terjadi undakan dan disebut

“Salompong Tanja” perkembangan selanjutnya (awal abad XX) perahu Salompong

ditambahkan lagi daya angkutnya menjadi 30 ton. Perahu Salompong ukuran 30-40

ton memakai dua tiang dan tujuh helai layar.

9. Palari

Perahu Palari adalah bentuk modifikasi dari perahu Salompong. Undakan

bagian depan dirubah dan diratakan sedangkan papan lamma sudah langsung

berhubungan dengan sotting depan, dengan demikian bagian lantai satu (dek) sudah

rata kebagian haluan, perubahan bentuk salompoang menjadi jonggalan dimulai

sekitar 1920-an.

Pinisi merupakan hasil pengembangan bentuk tipe perahu sebelumnya.

Perahu jenis baru ini memiliki ciri utama yaitu dua tiang dan tujuh helai layar. Tiga

layar di depan berbentuk segitiga lancip terpasang antara tiang depan dengan

anjong. Layar paling depan disebut cocoro pantara, yang ditengah disebut cocoro

tangnga dan yang ketiga disebut tarengke. Pada dua tiang utama terdapat dua layar

besar berbentuk trapesium, layar tengah yang melekat pada tiang depan disebut

sombala bakka (layar besar) dan yang dibelakang disebut sombala riboko (layar
49

belakang), sedangkan dua buah layar yang berbentuk segitiga berada dipuncak

kedua tiang disebut tampasere.22

Kemampuan masyarakat Sulawesi Selatan khususnya masyarakat Desa Ara

untuk mengembangkan perahu yang lebih canggih telah diperoleh dengan hasil

rasa, cipta, karya yaitu dengan munculnya perahu pinisi. Perahu ini sampai

sekarang telah mengangkat nama dan derajat bangsa Indonesia khususnya

Kabupaten Bulukumba ke panggung dunia.

Pinisi dapat dikatakan merupakan simbol dan lambang dari suatu kemajuan

teknik yang luar biasa yang tetap didasari oleh nilai-nilai seni yang tinggi dan

budaya yang bersifat tradisional. Karena sifat dari perahu pinisi tidak hanya

dipergunakan sebagai sarana angkut semata-mata atau sarana untuk komoditi

ekspor yang tinggi nilainya, tetapi juga merupakan sesuatu yang bersifat ssimbolik.

Karena sifatnya yang simbolik, maka dalam usaha pembuatannya maupun proses

dalam peluncurannya dan pemanfaatannya diperlukan upacara-upacara tradisional

yang dilandasi oleh kepercayaan atau kekuatan supranatural.23

C. Proses Pembuatan Perahu Pinisi

Peningkatan produksi gas berimbas pada warga Desa Ara. Pengaruh ini

dapat dilihat dari banyaknya perubahan yang terjadi secara umum, yang dapat

dikaitkan dengan perkembangan industri perkapalan. Diharapkan perubahan di

segala bidang akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik dan bermanfaat

bagi masyarakat.

Alya Salsa Ramadhani, dkk, “Pembuatan Perahu Pinisi di Desa Ara Kabupaten
22

Bulukumba 1970-2017”, Jurnal Pattingalloang 5, no.1 (2018): h. 6


Alya Salsa Ramadhani, dkk, “Pembuatan Perahu Pinisi di Desa Ara Kabupaten
23

Bulukumba 1970-2017”, Jurnal Pattingalloang 5, no.1 (2018): h. 6


50

Perkembangan industri perahu Pinisi juga memberikan peluang mobilitas

dalam masyarakat yang kurang beruntung secara sosial. Pembuatan perahu di desa

Ara memiliki model pengelolaan yang tertata dengan baik yang bertujuan untuk

menjaga koherensi dalam komunitas pengrajin. Meskipun ini bukan sesuatu yang

resmi, kepatuhan terhadap sistem dan struktur kerja tetap dihormati. Sederhananya,

struktur itu terdiri dari sambalu (pemilik perahu), punggawa (kepala tukang) atau

panrita (ahli pembuat kapal), sawi (tukang).

Struktur pembuat kapal

Sambalu (Pemilik Perahu)

Punggawa (Kepala Tukang)

Panrita (ahli Pembuat perahu)

Sawi (tukang)

Sumber: wawancara dengan H. Galla pada tanggal 1 Agustus 2022

Perahu Pinisi tidak ada hanya terlihat oleh faktor teknologi dan budaya,

tetapi juga mempunyai peran lebih banyak dibahas sebagai alat transportasi yang

handal. Menurut Baharudin, keberadaan perahu tradisional merupakan salah satu

warisan budaya bahari yang sangat kurang di dunia. Tapi perahu tradisional

Indonesia seperti Pinisi, Lambok, dan lainnya masih lebih dari 20% berdasarkan

volume transportasi nasional antar pulau. Jalur-jalur Sulawesi, Kalimantan, Jawa,


51

Nusa Tenggara, serta berbagai rute laut bagian timur nusantara masih aktif berlayar

perahu tradisional.24

Pembuatan perahu tradisional Kabupaten Bulukumba khususnya Di desa

Ara, ini terjadi pada ratusan bertahun-tahun. Adapun jenis-jenis perahu Pinisi dapat

dikelompokkan sebagai berikut:25

1. Pinisi asli (tipe satu)

Yaitu perahu yang tampil dengan ciri utama dengan memakai 2 (dua) buah

tiang dan 7 (tujuh) layar. Modifikasi hanya terjadi dalam ruang lambung sehingga

penampilan relatif sama dengan Pinisi klasik yang anggun dan mempesona. Sebagai

contoh ialah Pinisi Nusantara, Ammana gappa, Monalisa, Silolona.

2. Pinisi Lambok/Lambok Pinisi (tipe kedua)

Ciri khas perahu ini adalah 2 (dua) tiang dan 7 (tujuh) layar. Type ini

merupakan paduan antara Pinisi dan lambok, modifikasi/kamarnya sangat tinggi

dan menonjol diatas geladak maka penampilanya tidak seangguan lagi dengan

Pinisi asli. Beberapa contoh perahu jenis ini adalah: Pinisi kembang matahari,

ombak putih, citra pelangi dan chatarina.

3. Pinisi tipe ketiga

Perahu dengan dua tiang, terjadi modifikasi model pada layar yang sangat

berbeda dengan layar perahu Pinisi. Pada type ini tidak ditemukan ciri utama Pinisi

(model dan jumlah layar) seperti telah di uraikan sebelumnya, sehingga perahu ini

merupakan jenis baru.

24
Abidin, B. Perspektif dan Tantangan Gelangan Kapal Kapal Rakyat di Daerah
Bulukumba, (tt, tt, 1992), h. tt
25
Arief Saenong, Pinisi Panduan Teknologi dan Budaya, (Bulukumba: Dinas Perindustrian
Pariwisata dan Budaya, 2007), h. 49
52

4. Pinisi tipe keempat

Prototype yang banyak ditemukan di sejumlah pelabuhan ialah perahu yang

bentuknya tidak lagi terdapat ciri utama Pinisi, tiangnya hanya satu dan layarnya

hanya tiga atau empat buah. Pada awal terciptanya sekitar tahun 1980-an oarang

menamainya PLM, namun setelah maraknya pemesanan Pinsi, perahu jenis ini turut

pula dinamai Pinisi. Perahu jenis inilah yang mendominasi pelayaran di nusantara,

yang digunakan pada pengusaha angkutan barang dan jasa.

Langkah-langkah pembuatan kapal pinisi berdasarkan wawancara dengan

Haji Galla ialah:


“Pertama yaitu memasang pangngepe’ (pengikat) untuk mengikat
kalibiseang (lunas) disambungkan ke linggi’ (tiang) depan, lalu kemudian
naik keatas namanya sotting, sudah itu kebelakang susun balok, sudah itu
tiang bos. Setelah papannya merata dilanjutkan tepu tari’ berarti sudah
memasuki rana soloro’ yang bergantian dengan kelu sampai semuanya
terpasang dan memasuki rana lepe”26
Iwan lebih menjelaskan lagi tentang langkah-langkah pembuatan kapal

pinisi:27

1. Pertama yaitu membuat Kalabiseang (Lunas). Lunas adalah kayu utama

yang ditempatkan dalam sebuah lengkungan untuk menghubungkan papan

untuk membentuk lambung kapal. Memasang lunas di kapal seperti

memasang batu fondasi dalam proses konstruksi. Panjang lunas diukur

dengan langkah kaki untuk panjang 33 meter. Ketika kayu itu

disambungkan ke pohon, diibaratkan seorang laki-laki dan perempuan yang

tidak putus atau terpisah, yaitu membentuk cangkang di setiap ujung kayu

yang akan disambung. Kemudian disatukan dengan lem.

2. Setelah lunas telah siap, maka langkah selanjutnya dengan membuat badan

kapal atau dinding kapal atau bisa dikatakan lambung kapal. Proses

26
Haji Galla, Sambalu (pemilik kapal), wawancara, Bulukumba, 1 Agustus 2022
27
Iwan, Kepala tukang (punggawa), wawancara, Bulukumba, 14 Mei 2022
53

pembentukan lambung dengan menggunakan alat bantu bor listrik untuk

melubangi kayu yang nantinya akan dipasangkan baut agar lembaran-

lembaran kayu tidak lepas sehingga lambung lebih sangat kuat.

3. Setelah badan kapal telah kuat, kemudian dibuatlah kerangka kapal.

Pembuatan kapal pinisi tidak sama dengan pembuatan kapal modern,

langkah pertama pada pembuatan kapal modern sendiri dengan membuat

kerangka kapal. Perantara lembaran kayu pada lambung kappal yang

kelihatan masih berlubang di tutupi dengan memasukkan barru’ atau tali

putih (tali pramuka) dan mencampurnya dengan serbuk pati. Barru adalah

jenis bahan yang sangat baik digunakan untuk menutupi lubang pada

lambung kapal karena tahan terhadap air dan jika terkena air akan

mengembang.

4. Setelah rangka telah jadi, kemudian langkah berikutnya yaitu membuat

papan kapal. Sebelum membuat papan kapal, terlebih dahulu dibuat

penahan/palleppe agar proses pembuatan papan pinisi lebih kuat. Lalu

dilanjutkan membuat kamar- kamar kapal. Untuk pemesanan kapal pesiar

penumpang/pariwisata, kamar dibuat lebih banyak dan didesain lebih indah

dan menarik seperti halnya kamar- kamar pada hotel. Sedangkan untuk

pemesanan kapal khusus muatan/pengangkut barang, kamar didesain secara

sederhana dan lebih sedikit jumlah kamarnya.

5. Setelah itu langkah terakhir adalah roses pembuatan layar pada pinisi, yaitu

3 layar dipasang di ujung depan, 2 layar di bagian depan dan 2 layar lagi

dipasang di bagian belakang kapal. Bodi (bagian-bagian kapal) telah jadi,

selanjutnya bagian belakang kapal ditambahkan mesin atau generator yang

berfungsi sebagai penggerak kapal. Untuk mempercantik/ memperindah

pinisi, maka kapal diwarnai dengan cat pada umumnya.”


54

Disisi lain, telah banyak perubahan dalam pembuatan kapal pinisi

sebagaimana dijelaskan oleh Pung Imam Takko:28


“Dalam pembuatan kapal pinisi telah terjadi banyak perubahan, dimulai dari
layar tunggal, kemudian menjadi layar 3 dan hingga sekarang menjadi kapal
berlayar 7 dengan 2 tiang utama. 2 tiang utama pada layar berarti kalimat
syahadat dan 7 layar kapal berarti Surah Al-Fatihah yaitu ada 7 ayat dalam
Surah Al-Fatihah. Dalam artian lain yaitu 7 layar menandakan bahwa nenek
moyang telah mengarungi 7 samudera luas.”

Berdasarkan hasil wawancara tersebut diatas, bahwasanya tiap-tiap elemen

dalam kapal pinisi mempunyai makna-makna yang ada dalam agama islam.

Perubahan juga terjadi pada bagian belakang bodi kapal yaitu dulunya

bagian belakang sama dengan bagian depan kapal yang bentuknya runcing. Tapi

bentuk belakang sudah berubah menjadi tumpul atau bentuknya melebar.

Perubahan tersebut terjadi karena dipengaruhi juga dengan perubahan kapal yang

dulunya tidak menggunakan mesin atau generator penggerak.


“Tetapi sekarang, pinisi sudah dilengkapi dengan generator agar kapal lebih
cepat lajunya karena sudah memiliki bantuan penggerak dari mesin atau
generator. Serta masih banyak perubahan yang lainnya.” 29

Berdasarkan hasil wawancara tersebut diatas, telah terjadi perubahan dari

sisi penggerak dari kapal pinisi. Penggeraknya tidak lagi bertumpu pada kekuatan

angin.

Dari perubahan yang sangat mencolok yang dijelaskan tadi, keuntungan dari

pembuat perahu sendiri adalah tidak terlalu merumitkan dalam pembuatan bodi atau

lambung kapal khususnya bodi bagian belakang karena pembuatan bagian belakang

yang menggunakan model runcing harus membutuhkan tafsiran yang jeli dan

memakan waktu yang lama dalam proses pembengkokan atau pembelokan

pemotongan kayu yang akan digunakan pada bagian belakang.

28
Pung imam takko', sanro, wawancara, Bulukumba, 15 Mei 2022
29
Wiwin, pekerja kapal (pajama lopi), wawancara, Bulukumba, 15 Mei 2022
55

“Sisa-sisa kayu juga sedikit berkurang karena kayu pada bodi bagian
belakang pemotongannya sudah tidak dibengkokkan/dibelokkan, jadi tidak
terlalu banyak sisa-sisa dari bahan baku potongan kayu yang terbuang.
Terdapat banyak keuntungan yang diperoleh dari perubahan-perubahan
tersebut, khususnya perubahan bodi bagian belakang kapal sehingga
pembuatan bodi kapal pinisi lebih cepat selesai dibandingkan dengan model
bodi sebelumnya.”30

Berdasarkan hasil wawancara tersebut diatas, bahwasanya tiap-tiap sisa

bahan baku dari kapal pinisi masih mempunyai fungsi yang lain.

Dengan perubahan-perubahan yang tejadi pada pembuatan pinisi itu sendiri

hingga sekarang juga membuat kapal sekarang sudah sangat tangguh dibandingkan

sebelumnya. Letak ketangguhannya yaitu:31

1. Dengan layar yang dimiliki oleh pinisi sekarang yaitu sudah berlayar 7,

ketangguhan kapal dalam melawan ombak juga sudah kuat dikarenakan

selain memiliki banyak layar tetapi bentuk dan penyusunan layar dibuat

sedemikian rupa untuk melawan angin yang kencang agar pada saat

diterjang ombak dan angin, kapal tidak oleng dan tetap mempertahankan

keseimbangannya.

2. Kini pinisi sudah dilengkapi dengan mesin penggerak yaitu generator,

sehingga laju atau kecepatan pinisi sudah lebih cepat dibandingkan

sebelumnya yang hanya memiliki layar saja.

Ketika kapal pesanan telah selesai dibuat, maka punggawa kapal segera

menghubungi si pemesan yang tidak lain pemesan kebanyakan dari luar Indonesia

(luar negeri).
“Pada saat sebelum kapal dilepaskan dilautan, terlebih dahulu dilakukan
ritual oleh masyarakat setempat yang disaksikan juga si pemesan kapal.
Ritual ini merupakan salah satu adat masyarakat desa Bira. Adat (salamatan)
tersebut dilakukan secara mistis yang bertujuan agar kapal tersebut mampu
menerima si pemesan sebagai pemilik aslinya, karena kapal itu dianggap

30
Aldi, pekerja kapal (pajama lopi), wawancara, Bulukumba, 15 Mei 2022
31
Iwan, Kepala tukang (punggawa), wawancara, Bulukumba, 14 Mei 2022
56

oleh para pembuat kapal dan masyarakat bahwa kapal tersebut ada yang
punya, tidak lain adalah makhluk halus.”32

Berdasarkan hasil wawancara tersebut diatas, pada saat kapal pinisi telah

selesai dibuat, tetap saja mempunyai hal-hal yang mistis.

Setelah ritual dilakukan, maka pinisi tersebut akan dilepaskan ke lautan luas.

Adapun proses pelepasan pinisi yang begitu besar dan berat itu hanya menggunakan

katrol dan kekuatan masyarakat.


“Cara ini dilakukan berupa dorongan dan tarikan dengan alat bantu tali dan
katrol serta nyanyian-nyanyian, sebab dengan nyanyian seprti itu akan
membuat si pendorong kapal lebih bersemangat dan tidak terlalu merasakan
rasa capek. Dengan cara yang sangat sederhana seperti itu, setiap harinya
kapal hanya meninggalkan tempat sekitar 1-2 meter saja. Sehingga waktu
yang dibutuhkan untuk menurunkan kapal sampai lautan yaitu 1 bulan.”33

D. Nilai yang Terkandung dalam Pembuatan Perahu Pinisi

1. Nilai Religi

Pada semua tahap pengerjaan kapal, sangat penting untuk melakukan ritual

atau ritual tradisional tertentu yang diyakini membawa kesuksesan bagi pekerja

untuk menghindari kecelakaan dan kejahatan lainnya. Ritual yang dilakukan

masyarakat pesisir Bulukumba dalam pembuatan kapal Pinisi adalah: Annakbang

kalibeseang, annatara, appassili, dan ammosi. Selain itu, masyarakat pesisir

Bulukumba memiliki ritual syukur atas apa yang telah diberikan Tuhan yaitu ritual

Mancera tasi.

a. Annakbang Kalibeseang (Ritual menebang kayu)

Tujuan dari Ritual Annakbang Kalibeseang adalah untuk mendapatkan izin

menebang kayu untuk digunakan sebagai bahan pembuatan kapal. Ritual ini juga

mendorong untuk mengusir roh penunggu dari pohon.

32
Iwan, Kepala tukang (punggawa), wawancara, Bulukumba, 14 Mei 2022
33
Haji Galla, Sambalu, wawancara, Bulukumba, 1 Agustus 2022
57

“Prasyarat untuk ritual Kalibeseang adalah penyembelihan ayam sebagai


sesajian. Sebelum tahun 1990-an, pohon-pohon yang bisa digunakan untuk
bahan baku didapatkan dari kawasan Bontobahari, namun kawasan hutan
yang semakin berkurang, kayu juga sering didatangkan dari luar kawasan,
terutama dari Sulawesi Tenggara.” 34

Berdasarkan hasil wawancara tersebut diatas, memperlihatkan bahwa

semakin berkurangnya bahan baku pembuatan kapal pinisi tidak menyurutkan niat

dari masyarakat untuk tetap menjalankan usaha pembuatan kapal pinisi.

Stabilitas tradisi Annakbang Kalibeseang dipengaruhi oleh perubahan cara

mendapatkan bahan baku, dengan pembuat kapal menerima kayu sebagai kayu

olahan. Kelangkaan kayu sebagai sumber bahan baku pinisi di wilayah Bontobahari

dan Sulawesi Selatan tidak hanya akan menghambat pendekatan Kalibeseang,

tetapi juga akan membahayakan keberadaan budaya yang melingkupi produksi

pinisi. Seperti produk pinisi saat ini, kekayaan Sulawesi Selatan cenderung

berpindah ke daerah lain misalnya Sulawesi Tengah, Papua dan Kalimantan yang

masih banyak bahan baku produksi kapal yakni kayu. Jenis kayu yang dipakai ialah

kayu besi, kayu betti (bitti), kayu jati dan kayu pude. Kayu betti (bitti), kayu jati

dan kayu pude sendiri berasal dari Kabupate Bulukumba karena kayu tersebut

masih banyak daerah tersebut. Sebelum melakukan penebangan, terlebih dahulu

Sambalu mendatangi penjual kayu untuk menawarkan dua poin yaitu membeli kayu

tersebut secara perpohon atau diborong tergantung dari kesepakatan penjual dan

pembeli. Untuk kayu besi, penjual langsung menawarkan kepada calon pembeli

yang mereka kirim langsung dari daerah pengahasil kayu besi misalnya dari

Sulawesi Tengah, Papua dan Kalimantan.35

Sebelum mengadakan upacara penebangan, dicari dulu tanggal atau hari

terbaik. Misalnya, hari baik adalah tanggal 5 dan 7 setiap bulan. Hari ke-5 memiliki

arti rezeki sudah di di tangan (Naparilimai dalle'na).

34
Pung imam takko', sanro, wawancara, Bulukumba, 15 Mei 2022
35
Haji Galla, Sambalu, wawancara, Bulukumba, 1 Agustus 2022
58

“Hari ke-7 (Natujuangi dalle'na), artinya selalu mendapat rezeki. Setelah


tanggal yang disepakati, Panrita lopi akan memimpin penuh upacara
penebangan pohon (Annakbang kalabiseang). Upacara pengusiran warga
hutan dilakukan sesaat melakukan penebangan.” 36

Berdasarkan hasil wawancara tersebut diatas, masyarakat tidak serta merta

melaksanakan sesuatu tanpa memperhatikan makna dari hari pelaksanaan.

Penebangan pohon dilakukan antara jam 9 dan 11 siang hari atau matahari

terbit. Menentukan waktu tidak terlepas dari makna, dan begitu matahari terbit,

harapan dan rezeki meningkat dan berjalan lancar. Kemudian kapak Panrita lopi

ditancapkan langsung pada pohon.


“Letakan kapak pertama mengahadap keatas. Hal ini terjadi karena
kepercayaan masyarakat setempat bahwa ketika kapak mengarah ke atas
memiliki harapan dan seringkali beruntung.”37

Berdasarkan hasil wawancara tersebut diatas, menjelaskan bahwa dalam hal

sekecilpun masyarakat tetap memperhatikan dan mempunyai tujuan tersendiri

dalam melakukan sesuatu hal. Selain kapak, alat yang biasanya juga digunakan oleh

Panrita Lopi ialah mesin pemotong kayu yang bernama sinso.

b. Annantara (memasang Lunas)

Annatara dirayakan sebagai syukuran awal dalam membuat kapal.

Annantara berarti “memotong”, yaitu memotong atau meratakan ujung Lunas

untuk menyambungkannya dengan sambungan depan dan belakang. Makna dari

ritual Annatara ialah simbol pertemuan ayah dan ibu sebagai terciptanya janin yang

selanjutnya akan diproses menjadi bayi dalam bentuk perahu. Hal tersebut

dijelaskan oleh Haji Galla:


“Makna Annantara itu adalah simbol pertemuan ayah dan ibu sebagai
terciptanya janin yang selanjutnya akan diproses menjadi bayi dalam bentuk
perahu. ke dalam lubang kalabiseang dimasukkan material tertentu yang
merupakan simbol isi kandungan sang ibu yang bermakna kekuatan,
kemuliaan dan kemakmuran. Mantera yang diucapkan punggawa
merupakan do’a dan spirit yang akan memberikan ketenangan dan harapan

36
Pung imam takko', sanro, wawancara, Bulukumba, 15 Mei 2022
37
Iwan, Kepala tukang (punggawa), wawancara, Bulukumba, 14 Mei 2022
59

bagi pemilik perahu. Serpihan kayu pannatta’ dibagi dua


antara punggawa dan pemilik perahu, merupakan simbol ikrar dan
kesepakatan di antara mereka.38

Berdasarkan hasil wawancara tersebut diatas, menjelaskan bahwasanya

dalam ritual Annantara sarat akan makna yang berhubungan dengan kehidupan

dalam keluarga.

Lunas atau Kalabiseang merupakan elemen utama atau terpenting dari

pembuatan kapal, karena itu perlu berkonsultasi antara Panrita lopi dan pemilik

kapal untuk menentukan ukurannya. Sebelum persiapan bahan mentah di hutan dan

pemotongan dan penyambungan Lunas, konsultasi dan kesepakatan harus

dilakukan. Dua faktor perlu dipertimbangkan dalam menentukan ukuran dan

panjang Lunas.
“Yang pertama adalah tonase untuk kapal dengan rentang panjang 11 kaki
dan berat 30 sampai 40 ton, dan 100 ton untuk kapal dengan panjang 17
kaki. Kedua, untuk menambah dan mengurangi alas (Kalabiseang) dari
ukuran di atas, kita perlu melakukan beberapa langkah.” 39

Masih banyak yang harus dilakukan setelah itu, baik itu pemasangan papan

keras atau kamus konjo lokal artinya anjama papan terasa adalah papan kulit

pertama. Namun sebelum itu, mulailah dengan papan kelima, keempat, ketiga dan

lainnya yang membentuk lambung kapal. Untuk memperkuat hubungan antara

kedua papan, biasanya digunakan pasok buku dengan sekitar 3.000 batang yang

digunakan di Pinisi.
“Untuk mengerjakan tiang agung dalam perahu pinisi, dalam bahasa konjo
disebut Anjama Palajareng, dua batang tiang didasarkan pada Bangkeng
salara. Ketinggian strip harus seimbang dengan ukuran strip. Dengan
perahu atau beradaptasi dengan lambung perahu. tiang depan utama
memakai penumbu dan lebih panjang dari tiang belakang.”40

38
Haji Galla, Sambalu (pemilik kapal), wawancara, Bulukumba, 1 Agustus 2022
39
Wiwin, pekerja kapal (pajama lopi), wawancara, Bulukumba, 15 Mei 2022
40
Iwan, Kepala tukang (punggawa), wawancara, Bulukumba, 14 Mei 2022
60

Pada hasil wawancara diatas, menjelaskan bahwa tiap-tiap pembuatan tiang

agung tersebut harus selaras dengan tiang yang berada di depan dan di belakang

agar mempunyai keseimbangan.

c. Appassili (Ritual peluncuran kapal)

Appassili dilaksanakan pada malam hari sebelum upacara Ammossi untuk

mengusir bala. Upacara ini wajib bagi pemilik kapal agar kapal tidak mengalami

musibah. Besar kecilnya upacara tergantung pada kemampuan pemilik untuk

menyumbangkan dana. Appassili menyajikan kue tradisional gogoso, kolapisi (kue

lapis), onde-onde, kaddo massingkulu (kue beras dibungkus daun bambu), songkolo

(nasi ketan) dan unti labbu.


“Sebelum appassili digelar, dilakukan ritual songkobala atau
penyembelihan hewan berupa sapi, kerbau atau kambing di depan kapal.
Jenis hewan yang akan disembelih tergantung dari kemampuan pemiliknya.
Darah hewan tersebut kemudian dicuci di bagian haluan, mesin, ujung dan
kemudi untuk mencegah hal-hal buruk terjadi pada kapal. Daging hewan
tersebut kemudian dipanggang dan disajikan pada malam hari saat upacara
Appassili. Appassili dikunjungi oleh para pekerja, pemilik kapal, anggota
masyarakat adat dan penduduk setempat. Ritualnya penuh dengan berbagai
doa, sambil makan dan terus menderek kapal sampai kapal bergerak sedikit,
pertanda kapal siap tenggelam ke laut.” 41

Berdasarkan hasil wawancara diatas, menjelaskan bahwa pada ritual

tersebut masyarakat tidak diberatkan pada aspek penyediaan hewan yang akan

disembelih pada saat upacara ritual. Tetapi pada ritual tersebut tetap memperhatikan

kondisi ekonomi dari masyarakat.

Setelah upacara Appassilli, para tamu dan masyarakat umum dapat

menikmati hidangan yang sudah disiapkan sebelumnya yakni kue tradisional. Arti

dari manisan tradisional ini adalah:


“Unti labbu mempunyai arti perahu dan pemiliknya panjang umur. Onde-
onde selalu merasa bahwa setiap perjalanan dari kapal berakhir manis.
Gogoso, atau dalam bahasa lokalnya gogos, kata Konjo yang biasa disebut
A'gogoso, berarti mengumpulkan rejeki. Onde-onde selalu merasa bahwa
setiap perjalanan dari kapal berakhir manis. Kolapisi, atau kue lapis, artinya

41
Pung imam takko', sanro, wawancara, Bulukumba, 15 Mei 2022
61

rejeki yang didapat seringkali berlapis-lapis. Songkolo, atau makanan


kukus, mempunyai arti untuk menjauhkan marabahaya.”42

Berdasarkan hasil wawancara diatas, tiap-tiap makanan yang disediakan

tidak sembarang, melainkan makanan yang disediakan ialah makanan yang

mempunyai makna tersendiri saat kita mengonsumsinya.

d. Ammossi (Ritual membuat pusar)

Layaknya karakter kapal yang utuh dibandingkan manusia, kapal pasti

memiliki pusar. Ritual pembuatan pusar (possi) disebut Ammossi, yang dilakukan

sebagai tahap terakhir pembuatan kapal. Konon Ammossi merupakan lambang

lahirnya bayi perahu setelah berbulan-bulan dirawat sejak terbentuknya janin dalam

upacara annattara. Ammossi dilengkapi dengan berbagai kue tradisional dan dupa.

sesajian ini ditempatkan pada Lunas, kemudian pemangku adat membacakan

mantra. Kemudian dia membuat lubang di Lunas.


“Ritual ini dilakukan pada malam hari sebagai tahapan terakhir dari ritual
appasilli. Ammossi berarti menyerahkan bayi perahu kepada Nabi Sulaeman
(Penguasa Bumi) dan Nabi Haidir (Penguasa Laut).” 43

Berdasarkan hasil wawancara diatas, memperlihatkan bahwa masyarakat

setempat melakukan ritual tersebut mengumpamakan ritual yang dilaksanakan

dengan nilai-nilai islami.

Wawancara dengan Haji Galla tentang proses pembuatan pusar:


“Tengahnya kapal itu dilubangi pakai bor, lalu dikasi masuk emas dilubang.
Jadi itumi emas sebagai pengganti lubang lalu disiram air kebawah. Lalu
airnya dimasukkan ke botol baru airnya disimpan di ritual”44

Berdasarkan wawancara tersebut diatas tentang proses pembuatan pusar

kapal yang mempunyai makna kapal tersebut akan mendapatkan banyak rejeki saat

beroperasi.

42
Pung imam takko', sanro, wawancara, Bulukumba, 15 Mei 2022
43
Arif Muhammad Saenong, Pinisi Paduan Teknologi dan Budaya, (Yogyakarta: Penerbit
Ombak, 2013), h. 56
44
Haji Galla, Sambalu, wawancara, Bulukumba, 1 Agustus 2022
62

Kapal pinisi memiliki dua tiang dan tujuh layar dan mempunyai makna

tersendiri. Pemosisian layar memiliki tiga layar di depan, dua di tengah dan tiga di

belakang. Pentingnya dua tiang utama ini sama dengan prinsip dasar kehidupan dan

prinsip dasar Islam itu sendiri adalah dua kalimat syahadat. Untuk makna tujuh

layar pinisi sama dengan jumlah ayat dalam Surah Al-Fatihah. Tujuh layar kapal

pinisi berarti nenek moyang bangsa Indonesia zaman dahulu mampu mengarungi

dan menaklukkan tujuh lautan besar dunia.

e. Ritual Anyorong Lopi

Upacara ini merupakan puncak dari upacara pembuatan perahu pinisi karena

upacara ini merupakan proses pertama saat perahu pinisi pertama kali berlayar.

Upacara pembukaan berlangsung saat upacara annyorong lopi dengan penampilan

tari tradisional Marise Resa dan pamannca. Pada saat pembukaan telah selesai, dua

buah tali akan dibentangkan dan rantai dikaitkan pada bagian badan perahu.

Masyarakat mengelilingi tempat itu, lalu bersama-sama mereka menarik perahu ke

laut. Semua masyarakat tersebut sudah termasuk pemuka agama, pemuka

masyarakat dan pembuat kapal pinisi hadir di upacara tersebut.


“Ritual Anyorong Lopi harus dilakukan secara cepat dan ditandai dengan
isyarat atau pemberitahuan dari pemandu yang telah diberi hak dan
kepercayaan untuk melakukan ritual tersebut. Dalam ritual ini terdapat
proses yang unik, yaitu adanya apa yang dikenal sebagai Appatara Taju
yang berisi syair lagu dan cerita lucu yang diturunkan dari nenek moyang
sebelumnya yang bertahan hingga hari ini. Lagu dan cerita lucu ini
dipercaya bisa meredakan kepenatan orang yang mendorong perahu ke
laut.” 45

Berdasarkan hasil wawancara diatas, menjelaskan bahwasanya terselip hal-

hal unik dalam ritual yang dilaksanakan. Tidak semata-mata hal-hal mistis saja

yang dilaksanakan. Namun didalamnya juga terkandung makna sosiologis

dikarenakan sifat bergotong royog dapat meningkatkan kekompakan para

masyarakat setempat.

45
Iwan, Kepala tukang (punggawa), wawancara, Bulukumba, 14 Mei 2022
63

Tradisi yang diturunkan secara turun temurun ini masih dipertahankan oleh

para ahli warisnya, khususnya di kawasan pembuat perahu pinisi, dan akhirnya

mendapat pengakuan dunia, menjadi Intangible Heritage of Humanity pada tahun

2017 oleh UNESCO. Annyorong lopi juga sarat akan kearifan lokal, yang menjadi

salah satu acara yang diadakan setiap tahun sebagai bagian dari Festival Pinisi.

Pengaruh positif dari unsur religi masyarakat Desa Ara yang tercermin dari

kegiatan ritual dan pantangan tertentu dalam pembuatannya dapat menjadi daya

tarik wisata yang sangat menarik. Tentu saja, selain mengejar tujuan untuk

memperkenalkan tradisi ke khalayak umum, ini juga merupakan sarana yang

memungkinkan untuk mengembangkan pendapatan alternatif. Selain itu, adanya

nilai-nilai religi dalam produksi Pinisi dapat menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia

kaya akan keragaman suku dan budaya serta kekhasannya, yang membedakannya

dengan negara lain yang perlu kekayaan dan pelestarian budayanya.

2. Nilai Lokal

Kondisi geografis desa Ara sejalan dengan legenda Saweregading, sehingga

akan ada motivasi yang sesuai. Pengetahuan masyarakat Desa Ara tentang perahu

pinisi diperoleh secara turun temurun sebagai warisan budaya dari generasi ke

generasi. Hal ini dapat bertahan karena ditunjang oleh tersedianya sarana yang

cukup dan mudah diperoleh di daerah tersebut. Keberadaan pembuatan perahu

pinisi dalam kehidupan masyarakat Desa Ara memiliki sejarah yang cukup panjang,

sejak nenek moyang berdatangan dari tanah asalnya yaitu Benua Asia (Tiongkok)

sampai ke sejarah legenda I La Galigo yang mengisahkan tentang Sawerigading

dan perahunya yang mengadakan perjalanan ke seluruh nusantara bahkan sampai

ke mancanegara.46

46
Darmawan Salman, Jagad Maritim, (Makassar: Ininawa, 2006), h. 34
64

Pada zaman dahulu, kapal kayu Pinisi telah digunakan di Indonesia. Sejak

zaman raja-raja kuno, para raja dan pangeran telah menggunakan perahu pinisi

untuk berlayar ke negeri-negeri yang jauh. Salah seorang pangeran yangterkenal

dalam sejarahnya adalah Sawerigading yang merupakan putra mahkota kerajaan

Luwu. Dia adalah orang yang dianggap pertama kali menggunakan Pinisi. Dia

menggunakan kapal Pinisi untuk berlayar menuju negeri Tiongkok untuk

meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai.47

Mitos Sawerigading telah menjadi pilihan yang menarik bagi profesi

pembuatan kapal dalam menanggapi tantangan hidup. 48 Seperti yang diungkap

dalam wawancara bersama Wiwin seorang Pajama Lopi di Desa Ara:


“Ini keahlian membuat perahu menurutku ada memangmi saat dahulu kala,
yang diwariskan nenek moyang kepada penerusnya misalnya kayak saya
sekarang. Dan alhamdulillah sekarang menjadi mata pencaharian utamaku
sekarang.”49

Ini menunjukkan bahwa semangat budaya Pajama Lopi terkait dengan

mitologi Saweregading, sehingga mengangkat jiwanya di luar kegiatan pembuatan

perahu.

Selain kepercayaan dari cerita rakyat Saweregading yang mencerminkan

semangat budaya masyarakat Desa Ara sebagai pembuat perahu, ada unsur budaya

yang bisa ditelaah. Aspek budaya ini mencerminkan kegiatan budaya yang

dilakukan oleh suatu masyarakat dalam sistem budaya yang berbeda. Dari sistem

kepercayaan, masyarakat desa Ara memulai dengan kepercayaan asketis yang

mereka miliki sebelum munculnya dan berkembangnya agama Islam di desa Ara.

Kepercayaan ini mengacu pada tradisi pembuatan perahu, yaitu kesakralan tradisi

47
Tenti Fajrah Ihsani MJ, Nilai-Nilai Religi Dalam Pembuatan Kapal Pinisi Bulukumba,
(Makassar, WSBM FKM Unhas, tt), h. 3
48
Usman Pelly, “Ara dengan Perahu Bugisnya”, Tesis (Makassar: Pusat Latihan Ilmu–
ilmu Sosial, 1975), h. 11
49
Wiwin, pekerja kapal (pajama lopi), wawancara, Bulukumba, 15 Mei 2022
65

pembuatan perahu di Desa Ara, yang dipenuhi dalam berbagai upacara, mulai dari

mulai penebangan pohon untuk persediaan perahu hingga peluncuran perahu.

Pelaksanaan setiap ritual untuk pemesan kapal juga harus dilakukan secara

bersama-sama antara pelanggan dengan pembuat kapal. Hal ini menunjukkan

bahwa hubungan yang perlu dijaga oleh kedua belah pihak harus terjalin dengan

baik, dan yang akan mempengaruhi keberhasilan kapal di masa depan. Ritual ini

dianggap perlu karena timbul kesulitan pembayaran antara orang tersebut dengan

Pajama Lopi, yang seringkali menimbulkan konflik dan terkadang salah satu pihak

harus menempuh jalan santet. Oleh karena itu, setiap acara pelaksanaan ini harus

melibatkan kedua belah pihak.

Tata letak lambung kapal juga memiliki perhitungan dalam membuat

perhitungan sesuai dengan preferensi pribadi pembeli kapal. Panrita lopi diminta

untuk menentukan ukuran lebar perahu dengan mengukur kaki atau tangan pemesan

pada sebatang bambu, untuk menentukan ukuran perahu dimana yang pertama

Massale-sale (bersenang-senang), kedua, tallang ri lauq (tenggelam di lautan),

ketiga, mengejar keuntungan, keempat, Nialla Pamuso (diculik oleh bandit) dan

yang kelima Mate ri daraq (mati di daratan). Ukuran pelanggan akan dikalikan

sehingga dia mendapatkan salah satu dari tiga keuntungan yang dianggap. Selain

itu, bagian ini akan ditawarkan sebagai sarana untuk mengidentifikasi jejak (bawah)

perahu. Susunan lambung memiliki nama dan preseden tertentu dalam pembuatan

kapal. Semuanya dibuat menggunakan alat sederhana, seperti mesin kerajinan

tradisional, tanpa menggunakan panrito untuk membangun dan menyiapkan

bentuk.
66

E. Pandangan Masyarakat terhadap Tradisi Pembuatan Kapal Pinisi

Masyarakat di Desa Ara, Kecamatan Bontobahari pada umumnya selalu

mengawali proses pembuatan perahu pinisi dengan serangkaian upacara adat. Pada

saat peletakan lunas misalnya, akan digelar upacara Barazanji yang dipimpin oleh

pemuka atau tokoh agama untuk membacakan serangkaian doa dan kenduri. Hal

serupa juga akan dihelat kembali setelah pembuatan lambung kapal. Setelah itu,

masyarakat akan menggelar serangkaian upacara untuk melepas kapal pinisi ke laut.

Upacara yang terakhir ini cukup panjang karena dimulai sejak malam sebelum

kapal dilepas. Mula-mula, masyarakat akan menggelar upacara Appasili’, dimana

upacara ini lebih tepatnya disebut proses tolak bala (mengusir aura jahat demi

keselamatan di laut). Keesokan harinya, masyarakat akan kembali menggelar

Barazanji.

Puncak upacara adat akan diakhiri dengan prosesi Ammossi, dimana pada

kesempatan ini pemuka adat akan membuat pusar di tengah-tengah lunas (bagian

terbawah) perahu. Pemberian pusar dimaksudkan untuk memberi tanda bahwa pada

hari tersebut telah terlahir perahu pinisi yang siap terjun ke laut. Proses pelepasan

perahu ke laut juga dilakuan secara tradisional, dimana ratusan orang akan

menyeretnya menggunakan tambang. Tapi setelah semua itu selesai, bukan berarti

proses pembuatan perahu juga sudah selesai. Masih ada satu tahap lagi yang perlu

dilewati yaitu pemasangan layar. Pemasangan layar ini kita lakukan setelah perahu

sudah berada di lautan atau di sekitaran pantai. Dalam pemasangan layar pinisi ini,

biasanya dilakukan tergantung dari pemilik perahu. Beda halnya dengan perahu

pinisi yang dipesan oleh orang luar atau dari Mancanegara, pastinya memerlukan

waktu yang singkat dan pengerjaannya harus di percepat dan mempunyai target.
67

Pemasangan layar pinisi merupakan proses terakhir dalam pembuatan

perahu pinisi sebelum berlayar. Perahu pinisi mempunyai dua tiang utama dan

memiliki tujuh buah layar yang masing-masing mempunyai makna.


“Posisi layarnya dibagian ujung depan ada tiga, di tengah dua, dan
dibelakang juga dua. Makna dari tujuh buah layar pinisi sama dengan
jumlah ayat Surah Al-Fatihah dan makna yang lainnya adalah sebagai bukti
bahwa leluhur terdahulu mampu mengarungi dan menaklukkan tujuh
samudera besar di dunia. Sedangkan makna dari dua tiang utama yaitu sama
dengan dua kalimat syahadat yang merupakan pondasi utama bagi umat
Islam.”50

Berdasarkan hasil wawancara diatas, makna-makna beberapa elemen dalam

kapal pinisi tetap mencerminkan bahwasanya nilai-nilai islam ada dalam kapal

pinisi tersebut

Apabila mantera diidentikkan atau disamakan dengan berdoa maka akan

sangat penting bagi ketentraman batin. Karena dengan berdoa dapat memupuk dan

menambah rasa optimisme didalam diri manusia serta akan menjauhkan rasa

pesimis dan putus asa. Dalam setiap upacara ritual pembuatan perahu selalu ada

dan diawali dengan pembacaan basmalah, dan merupakan nilai agama Islam yang

selalu dijunjung tinggi tetapi masih mempertahankan nilai tradisi.Sedangkan

mantera yang diucapkan oleh panrita lopi salah satunya yaitu “a…i…u.” dipercaya

sebagai huruf hidup yang merupakan huruf keramat dan angka tiga itu sendiri

dipercaya sebagai angka kosmos.

Pengaruh Islam yang begitu kuat, perlahan mengganti mantera atau

pengucapan “a…i…u” menjadi pengucapan basmalah, tetapi sebagian dari panrita

lopi menggabungkan pengucapan atau pembacaan dari kedua mantera atau doa

tersebut.

50
Dina, masyarakat, wawancara, Bulukumba, 15 Mei 2022
68

“Keberadaan Islam didalam prosesi atau upacara ritual pembuatan perahu


pinisi dianggap menyempurnakan mantera-mantera yang di pake
sebelumnya oleh nenek moyang terdahulu. Panrita lopi menganggap
pengaruh Islam tidak sama sekali mengurangi nilai kebudayaan dari setiap
upacara ritual yang dilaksanakan.”51
Berdasarkan wawancara diatas memperlihatkan bahwa masyarakat Desa

Ara Kab. Bulukumba masih menyelaraskan ajaran-ajaran Islam dalam tiap-tiap

ritual yang dilaksanakan

Ada juga yang berpandangan bahwa perahu pinisi tidak semata-mata

merupakan sebuah karya dari manusia. Tetapi karya dari manusia memiliki

hubungan dengan kekuatan spritualisme alam yang tak akan pernah bisa dipisahkan

dan selalu memiliki hubungan sebab akibat. Kekuatan alam memberikan

kepercayaan dan keahlian bagi tiga daerah yaitu, Desa Ara, Tanah Beru yang ahli

dalam pembuatan perahu, sedangkan masyarakat Bira mahir dalam berlayar. Mitos

Sawerigading yang mendasari keahlian masyarakat dari ketiga daerah tersebut.


“Mitos tersebut telah membentuk pola pikir dan kepercayaan sebagian
masyarakat Kecamatan Bontobahari bahwa mereka adalah bagian dari alam.
Alam mempunyai kekuatan supranatural yang mempengaruhi setiap sendi
kehidupan mereka.”52

Masih terjaganya ritual-ritual atau upacara adat sebelum dan sesudah

pembuatan perahu pinisi merupakan salah bentuk bentuk penghargaan masyarakat

dan pemerintah setempat mengenai warisan budaya yang dititipkan oleh leluhur

kepada penerusnya dan diharapkan dapat terjaga terus kedepannya.

51
Kaeng ati, masyarakat, wawancara, Bulukumba, 14 Mei 2022
52
Siti Hadija, masyarakat, wawancara, Bulukumba, 14 Mei 2022
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Langkah-langkah pembuatan kapal phinisi adalah sebagai berikut:

pertama, membuat kalabiseang/lunas (bagian terbawah kapal), langkah

selanjutnya dengan membuat lambung kapal, kemudian dibuat kerangka

kapal, langkah berikutnya yaitu membuat papan kapal, lalu dilanjutkan

membuat kamar-kamar kapal. Setelah itu adalah proses pembuatan layar

pada phinisi, selanjutnya bagian belakang kapal ditambahkan mesin atau

generator yang berfungsi sebagai penggerak kapal..

2. a). Annakbang kalibeseang (ritual menebang kayu), makna dari ritual

annakbang kalibeseang adalah untuk mendapatkan izin menebang kayu

untuk digunakan sebagai bahan pembuatan kapal. b). Annantara

(memasang lunas), ritual ini mengandung makna simbol pertemuan ayah

dan ibu sebagai terciptanya janin yang selanjutnya akan diproses menjadi

bayi dalam bentuk perahu, c). Appassili (ritual peluncuran kapal), upacara

ini bermakna bagi pemilik kapal agar kapal tidak mengalami musibah. d).

Ammossi (ritual membuat pusar), bermakna sebagai lambang lahirnya

bayi perahu setelah berbulan-bulan dirawat sejak terbentuknya janin

dalam upacara annattara. e). Ritual anyorong lopi, pada ritual ini terdapat

lagu dan cerita lucu ini dipercaya bisa meredakan kepenatan orang yang

mendorong perahu ke laut.

3. Persepsi dari tokoh masyarakat menganggap bahwa tradisi pembuatan

perahu pinisi merupakan relasi antara kebudayaan dan agama.

Pengaruh ajaran agama islam menyempurnakan beberapa mantera

69
70

yang dipake sebelumnya. Masyarakat juga percaya bahwa tradisi ini

merupakan bentuk rasa syukur kepada allah swt atas segala nikmat

dan rezeki yang diberikan.

B. Implikasi penelitian

1. Pengaruh positif dari unsur religi masyarakat desa ara yang tercermin dari

kegiatan ritual dan pantangan tertentu dalam pembuatannya dapat menjadi

daya tarik wisata yang sangat menarik selain mengejar tujuan untuk

memperkenalkan tradisi ke khalayak umum, ini juga merupakan sarana

yang memungkinkan untuk mengembangkan pendapatan alternatif dan

harus didukung oleh beberapa elemen yang terkait

2. Adanya nilai-nilai religi dalam produksi pinisi dapat menjadi bukti bahwa

bangsa indonesia kaya akan keragaman suku dan budaya serta

kekhasannya, yang membedakannya dengan negara lain yang perlu

kekayaan dan pelestarian budayanya. Hal tersebut sudah bisa menjadi

landasan utama mengapa pemerintah dan masyarakat seyogyanya tetap

melaksanakan hal tersebut yang merupakan warisan dari nenek moyang.


DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Abdullah, Irwan,Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006
Alim, M., Pendidikan Agama Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006
Arief, Muhammad dan Abbas, Phinisi Perahu Khas Sulawesi Selatan, Bulukumba:
Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah Purbakala dan Permuseuman
Sulawesi Selatan
B. Abidin, Perspektif dan Tantangan Gelangan Kapal Kapal Rakyat di Daerah
Bulukumba, tt, tt, 1992
Fitri, A. Maimun, Madrasah unggulan lembaga Pendidikan Alternatif di Era
Kompetitif, Malang: UIN Maliki Press, 2010.
Hasanuddin, dkk, Spektrum Sejarah Budaya dan Tradisi Bulukumba, Makassar:
LEPHAS, 2003
Horridge, Adrian, Perahu Layar Tradisional Nusantara, Yogyakarta: Ombak, 2015
Khoiron, A. Mustamil, Metode Penelitian Kualitatif, Semarang: Lembaga
Pendidikan Sukarno Pressindo, 2019.
Moleong, Penelitian Kualitaif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2020.
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam. Upaya Mengefektifkan Pendidikan
Agama Islam di Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004
Nonci, M. H. Sosiologi Agama, Makassar: Alauddin University Press, 2014
Nugrahani, Farida, Metode Penelitian Kualitatif Dalam Penelitian Pendidikan
Bahasa, Surakarta: Cakra Books, 2014.
Nuhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 2006
Risieri, F, Pengantar Filsafat Nilai, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Rizal, J. Kehidupan Wanita Bira Studi Sosiologi tentang Pola Perikelakuan
Wanita Masyarakat Pelayar, Ujung Pandang: Pusat Latihan Penelitian
Ilmu-Ilmu Sosial, 1978
Saenong, A. M., Pinisi Paduan Teknologi dan Budaya, Bulukumba: Dinas
Perindustrian Pariwisata Seni Budaya, 2007.
Sahar, Santri, Kebudayaan Simbolik Makassar: Prodi Sosiologi Agama
Universitas Islam UIN Alauddin, 2019.
Sahlan, A. Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah, Malang: UIN Maliki Press,
2010.
Salman, D. Jagad Maritim, Makassar: Ininnawa, 2006.
Santri, Sahar, Pengantar Antropologi Integrasi Ilmu & Agama, Makassar: Rumah
Buku Carabaca Makassar, 2015.
Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak, Jakarta: Bumi Aksara, 2018

71
72

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, Bandung: Alfabeta,


2010
Taqyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Pemikiran Islam,
Surabaya; Risalah Gusti, 2002.
Tim Penulis, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Departemen
Pendidikan Nasional, Gramedia Pustaka Utama, 2012.
Yusran, Asmuni, Dirasah Islamiah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
Zulkrnain, Transformasi Nilai-nilai Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2018

JURNAL
A. T . Bandung, Pinisi Meretas Dunia Menyebar Budaya Bugis-Makassar.
Jurnal Walasuji, (2007)
Affandi, Penanaman Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Meningkatkan Perilaku
Keberagamaan Peserta Didik, Jurnal Atthulab (2017).
Alya Salsa Ramadhani, dkk, Pembuatan Perahu Pinisi di Desa Ara Kabupaten
Bulukumba 1970-2017, Jurnal Pattingalloang 5, no.1 (2018)
Andini, P., Nilai Budaya Naskah La Galigo dan Perahu Pinisi di Museum untuk
Generasi Milenial, Jurnal Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi
Selatan Jalan Ujung Pandang, (2020).
Aritonang, L, D., Nilai Kearifan Lokal dan Upaya Pemertahanan Budaya dalam
Menjalin Solidaritas Antar Sesam di Desa Paringgonan Sebagai Bahan
Ajar Pembentukan Karakter Mahasiswa, Jurnal Universitas
Muhammadiyah Tapanuli Selatan Padang sidimpuan, 2020.
Dadi Ahmadi, Interaksi Simbolik Suatu Pengantar, Jurnal Mediator, (2008).
Eymal B. Demmalino, Pelaut Ulung Perahu Pinisi Nusantara. Jurnal Universitas
Hasanuddin, (2000).
Fadilla, A. dkk, Desain Kapal Wisata Jenis Pinisi di Perairan Indonesia Timur,
Jurnal Universitas Darma Persada, (2020).
Fajrah Ihsani MJ, Tenti, Nilai-Nilai Religi Dalam Pembuatan Kapal Pinisi
Bulukumba, Makassar, WSBM FKM Unhas, tt
Hastuti, D. R. D, dkk, Pendekatan Perspektif Weber Terhadap Tindakan
Rasionalisme Pembuatan Perahu Pinisi, Jurnal Universitas Negeri
Makassar, (2018).
Jayadi, K. Kebudayaan Lokal Sebagai Sumber Inspriasi, Jurnal Universitas
Negeri Makasssar, (2014).
Lantara, D. Proses Produksi Pembuatan Kapal Layar Pinisi Untuk Meminimalkan
Waktu Produksi dengan Model Pert, Jurnal Universitas Brawijaya,
(2014).
Manshur, F. M. Kajian Teori Formalisme dan Strukturalisme, Jurnal Universitas
Gajah Mada, (2019).
Mansur, A. Implementasi Klarifikasi Nilai dalam Pembelajaran dan
Fungsionalisasi Etika Islam, Jurnal Ilmiah Keislaman, (2006).
73

Muslimin, dkk, Studi Tentang Sulitnya Regenerasi Pengrajin Kapal Pinisi Di


Kecematan Bonto Bahari, Jurnal Universitas Hasanuddin, (2018).
Ni Putu Ryani Puspa Yeni, Gammara Lopi Metafora Ritual Kapal Pinisi dalam
Karya Busana Exotic Dramatic Style, Jurnal Insititut Seni Indonesia
Denpasar, (2020).
Ramadani, A. dkk, Perancangan Media Informasi Pengenalan Perahu Pinisi Di
Kabupaten Bulukumba, Jurnal Universitas Negeri Makassar, 2018.
Ramadhani, A. S. Pembuatan Perahu Phinisi di Desa Ara Kabupaten Bulukumba.
Jurnal Universitas Negeri Makassar, (1970).
Sutiyono, R. W. Bentuk Kapal Pinisi Sebagai Ide Penciptaan Karya Seni Lukis
dengan Media Tanah Liat, Jurnal Universitas Negeri Yogyakarta, 2019.

SKRIPSI
Arief Munawir, Andi, Motorisasi Perahu Pinisi di Tanah Beru Kabupaten
Bulukumba 1975-1985, Skripsi, Makassar: Fakultas Sastra Universitas
Hasanuddin, 2014.
Asnira, Makna Perahu Pinisi Bagi Punggawa di Kelurahan Tanah Beru Kabupaten
Bulukumba, Skripsi, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2018.
Jamil, K. N., Perahu Pinisi Sebagai Lambang Kabupaten Bulukumba, Skripsi,
Universitas Islam negeri Alauddin Makassar, 2012
Nurhana, Perkembangan Pembuatan Perahu Pinisi Di Tanah Beru Kabupaten
Bulukumba 1985-1995, Skripsi, Makassar: Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Hasanuddin, 2009
DATA INFORMAN

NO. NAMA UMUR KETERANGAN

1. Haji Galla 60 tahun Pemilik Kapal (Sambalu)

2. Iwan 31 tahun Kepala tukang (punggawa)

3. Pung Imam Takko’ 50 tahun Sanro

4. Wiwin 28 tahun Pekerja kapal (pajama Lopi)

5. Aldi 26 tahun Pekerja kapal (pajama Lopi)

6. Dina 40 tahun Masyarakat

7. Kaeng Ati 26 tahun Masyarakat

74
LAMPIRAN

Foto 1: Wawancara dengan Sanro bernama Pung Imam Takko, pada tanggal 15

Mei 2022

Foto 2: Wawancara dengan masyarakat Desa Ara bernama Dina, pada tanggal 15

Mei 2022

75
Foto 3: Wawancara dengan Pajama Lopi bernama Wiwin, pada tanggal 14 Mei

2022

Foto 4: Wawancara dengan kepala tukang bernama Iwan pada tanggal 14 Mei

2022
Foto 5: Wawancara dengan sambalu bernama H. Galla pada tanggal 1 Agustus

2022

Foto 6: Wawancara dengan masyarakat Desa Ara bernama Kaeng Ati pada

tanggal 14 Mei 2022


Foto 7: Wawancara dengan Pajama Lopi bernama Aldi pada tanggal 14 Mei 2022

Foto 8: tampak samping kapal pinisi


Foto 9: pengerjaan badan kapal pinisi

Foto 10: tampak samping badan kapal pinisi


Foto 11: tampak samping kapal pinisi

Foto 12: tampak lunas kapal pinisi


Foto 13: Rangka kapal pinisi

Foto 14: Lunas kapal pinisi


Foto 15: bagian belakang kapal pinisi

Foto 16: Pengerjaan kapal pinisi yang pengerjaannya hampir rampung


Foto 17: Pengerjaan kapal pinisi yang pengerjaannya hampir rampung

Foto 18: Pengerjaan kapal pinisi yang pengerjaannya hampir rampung


RIWAYAT HIDUP

Firawati, Tempat tanggal lahir Bontobaji, 3 Januari 2000.

Alamat saya di Desa Bontobaji Dusun Tandor Kecamatan

Kajang Kabupaten Bulukumba, terlahir dari pasangan Liwang

dan Jumanang, yang merupakan anak ke 2 dari 3 bersaudara,

menempuh Pendidikan pertama di Sekolah Dasar 285 Tandor


pada tahun 2005-2011, berlanjut di Sekolah Menengah Pertama

Negeri 20 Bulukumba pada tahun 2011-2014 dan menempuh Sekolah Menengah

Atas Negeri 5 Bulukumba pada tahun 2015-2018. Setelah itu melanjutkan jenjang

Pendidikan di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar dengan melalui jalur

UMK dan lulus pada Jurusan Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.

Selama kuliah penulis pernah bergabung dalam Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ)

Sosiologi Agama.

Anda mungkin juga menyukai