Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Anemia


Anemia merupakan kondisi kurang darah yang terjadi bila kadar hemoglobin darah
kurang dari normal.1 Nilai tersebut berbeda-beda untuk kelompok umur dan jenis kelamin
sebagaimana ditetapkan oleh WHO seperti tercantum pada tabel 2.1
Tabel 2.1 Batas normal kadar hemoglobin2

Anemia mikrositik hipokromik adalah suatu kondisi dimana ukuran eritrosit yang lebih
kecil dari normal dan mengandung konsentrasi hemoglobin yang juga kurang dari normal
(indeks eritrosit: MCV < 73fl, MCH <23 pg, MCHC 26-35%). Penyebab anemia mikrositik
hipokromik antara lain: anemia defisiensi besi, thalassemia major, anemia akibat penyakit
kronik dan anemia sideroblastik.

2.2 Anemia Defisiensi Besi5


2.2.1 Definisi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi
tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada
akhirnya menyebabkan pembentukan hemoglobin berkurang.
2.2.2 Etiologi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh :
a. Kebutuhan besi yang meningkat secara fisiologis, seperti pada prematuritas, anak
dalam masa pertumbuhan,dan kehamilan.
b. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, yang dapat berasal dari :
 Saluran cerna : tukak peptik, kanker lambung, kanker kolon, infeksi cacing
tambang
 Saluran genitalia wanita : menorrhagia
 Saluran kemih : hematuria

1
 Saluran napas : hemoptoe
c. Kurangnya besi yang diserap
 Masukan besi dari makanan yang tidak adekuat akibat kurangnya jumlah besi
total dalam makanan, atau kualitas besi (boavalaibilitas) besi yang tidak baik.
 Malabsorpsi besi : gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.
d. Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis ke dalam sirkulasi ibu akan menyebabkan anemia
defisiensi besi pada masa fetus dan pada awal masa neonatus.
e. Latihan yang berlebihan
Pada atlit yang berolahraga berat seperti olah raga lintas alam memiliki kadar
feritin serum < 10 µg/dl
2.2.3 Patofisiologi
Patogenesis anemia defisiensi besi dimulai ketika cadangan besi dalam tubuh habis
yang ditandai dengan menurunnya kadar feritin yang diikuti juga oleh saturasi transferin dan
besi serum. Penurunan saturasi transferin disebabkan tidak adanya besi di dalam tubuh
sehingga apotransferin yang dibentuk hati menurun dan tidak terjadi pengikatan dengan besi
sehingga transferin yang terbentuk juga sedikit. Sedangkan total iron binding protein (TIBC)
atau kapasitas mengikat besi total yang dilakukan oleh transferin mengalami peningkatan.
Hal ini disebabkan karena tidak adanya besi di dalam tubuh sehingga transferin berusaha
mengikat besi dari manapun dengan meningkatkan kapasitasnya.
Pada anemia defisiensi besi, besi yang dibutuhkan tidak tersedia sehingga heme yang
terbentuk hanya sedikit dan pada akhirnya jumlah hemoglobin yang dibentuk juga berkurang.
Dengan berkurangnya Hb yang terbentuk, eritrosit pun mengalami hipokromia (pucat). Hal
ini ditandai dengan menurunnya MCHC (mean corpuscular Hemoglobin Concentration) <
32%. Sedangkan protoporfirin terus dibentuk eritrosit sehingga pada anemia defisiensi besi,
protoporfirin eritrosit bebas (FEP) meningkat. Hal ini dapat menjadi indikator dini sensitif
adanya defisiensi besi.
Di sisi lain, enzim penentu kecepatan yaitu enzim ferokelatase memerlukan besi untuk
menghentikan sintesis heme. Padahal besi pada anemia defisiensi besi tidak tersedia sehingga
pembelahan sel tetap berlanjut selama beberapa siklus tambahan namun menghasilkan sel
yang lebih kecil (mikrositik). Hal ini ditandai dengan menurunnya MCV (mean corpuscular
volume) < 80 fl.

2
2.2.4 Manifestasi Klinis
Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu :
a. Gejala umum anemia
Kadar Hb < 7-8 g/dl dengan gejala badan lemah, lesu, cepat lelah, pucat, mata
berkunang-kunang, serta telinga mendenging.
b. Gejala khas akibat defisiensi besi
Gejala khas pada anemia defisiensi besi yang tidak dijumpai pada anemia jenis
lain :
1. Koilonychia yaitu kuku mudah rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi
cekung sehingga mirip seperti sendok (spoon nail).
2. Atrofi papil lidah yaitu permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena
papil lidah menghilang.
3. Stomatitis angularis yaitu adanya keradangan pada sudut mulut sehingga
tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
4. Disfagia yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
5. Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia.
c. Gejala penyakit dasar
Pada anemi defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi
penyebab anemia defisiensi besi tersebut, misalnya pada anemia akibat penyakit
cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan
berwarna kuning seperti jerami.
2.2.5 Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia. Gejala ini muncul
pada setiap kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu(Hb
<7 g/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga
mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas,
dan dispepsia.
b. Pemeriksaan fisik
Pada pasien biasanya ditemukan disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis,
dan kuku sendok.
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium meliputi :

3
 pemeriksaan index eritrosit, retikulosit, morfologi darah tepi.
 pemeriksaan darah rutin seperti Hb, PCV, leukosit, trombosit.
 pemeriksaan status besi (Fe serum, TIBC, saturasi transferin, FEP, feritin)
 hapusan sumsum tulang.
Diagnosis diferensial
Normal ADB Anemia Thalasemia
penyakit
kronik
MCV 80 – 90 fl Menurun <70 fl Menurun/N Menurun
MCH 27 – 31 pg Menurun Menurun/N Menurun
Besi serum 50 – 150 μg/dL Menurun Menurun Normal
<50 μg/dL
TIBC 240 – 360 μg/dL Meningkat Menurun Normal/
>360 μg/dL Meningkat
Saturasi transferin 30 – 35% Menurun Menurun/N Meningkat
< 15% 10-20% >20%
Besi sumsum Positif Negatif Positif Positif kuat
tulang
FEP 15 – 18 μg/dL Meningkat Meningkat Normal
>100 μg/dL
Feritin serum 20 – 250 μg/dL Menurun Normal Meningkat
<20 μg/dL >50 μg/dL
Elektrofoesis Hb Normal Normal Hb A2
meningkat

2.2.6 Stadium Anemia Defisiensi Besi


Anemia defisiensi besi secara klasik dibagi menjadi 3 stadium :
1. Storage iron deficiency
Serum feritin < 12 pg/L. Pada stadium ini tidak tampak adanya kelainan hematologi,
baik Hb dan indeks eritrosit masih dalam batas normal
2. Iron deficiency with no anemia
Hb masih dalam batas normal, tetapi pemeriksaan hematologis dan biokimia lain
sudah mulai tampak, seperti penurunan saturasi transferin, peningkatan seru reseptor

4
transferin, gambaran hapusan darah hipokrom mikrositer dan penurunan kadar
retikulosit.
3. Iron deficiency anemia
Terdapat tanda klasik gejala klinik dan kelainan biokimia kekurangan zat besi seperti
penurunan MCV, MCHC, retikulosit, dan peningkatan RDW.
2.2.7 Penatalaksanaan
a. Preventif
 Pendidikan kesehatan, yaitu kesehatan lingkungan dan penyuluhan gizi.
 Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik
paling sering di daerah tropik.
 Suplementasi besi.
 Fortifikasi bahan makanan dengan besi.
b. Kuratif
 Terapi kausal yaitu dengan mengatasi terlebih dahulu penyebab utamanya
 Pemberian preparat Fe
- Ferrous sulphat 3 x 325 mg per oral dalam keadaa perut kosong
- Ferrous gluconate 3 x 200 mg per oral setelah makan
- Iron dextran (mengandung Fe 50 mg/ml) IM, mula-mula 50 mg kemudian
100-200 mg setiap 1-2 hari. Bisa juga secara IV, mula-mula 0,5 ml sebgai
dosis percobaan, dan bila 3-5 menit tidak ada reaksi diberikan 250-500 mg
 Transfusi PRC
Pemberian transfusi darah harus melalui indikasi pemberian, diantaranya yaitu:
1. Anemia pada perdarahan akut setelah didahului penggantian volume dengan
cairan
2. Anemia kronis jika Hb tidak dapat ditingkatkan dengan cara lain
3. Gangguan pembekuan darah karena defisiensi komponen
4. Plasma loss atau hipoalbuminemia jika tidak dapat lagi diberikan plasma
subtitute atau larutan albumin
Pada pasien dengan anemia, transfusi baru diberikan jika terdapat tanda
“oxygen need”

1. Rasa sesak 4. Pusing


2. Mata berkunang 5. Gelisah
3. Berdebar (palpitasi) 6. Hb<6 gr/dl

5
 Vitamin C 3 x 100 mg per hari untuk meningkatkan absorpsi besi
2.2.8 Prognosis
Prognosis baik apabila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja dan
diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat.

2.3 Thalassemia6
2.3.1 Definisi
Thalassemia merupakan kelainan darah yang disebabkan oleh genetik dan ditandai
dengan tidak terbentuk atau berkurangnya salah satu rantai globin baik itu -α ataupun -β yang
merupakan komponen penyusun utama molekul hemoglobin normal. Gen untuk sintesis
rantai globin terletak di kromosom 11 (β) dan 16 (α).
2.3.2 Klasifikasi
 Berdasarkan kelainan genetiknya :
1. Thalassemia alfa  terjadi akibat mutasi pada kromosom 16. Rantai globin alfa
terbentuk sedikit atau tidak terbentuk sama sekali sehingga rantai globin yang ada
membentuk HbBart (γ4) dan HbH (β4). Tetramer tersebut tidak stabil dan badan
inklusi yang terbentuk mempercepat destruksi eritrosit.
2. Thalassemia beta terjadi akibat mutasi gen globin beta sehingga produksi rantai
globin beta menjadi berkurang atau tidak terbentuk sama sekali. Rantai globin alfa
yang terbentuk tidak semua dapat berikatan dengan rantai globin beta sehingga
terjadi peningkatan HbF dan HbA2. Selain itu terbentuk pula rantai tetramer alfa
yang tidak stabil yang mudah terurai. Rantai globin alfa bebas tersebut tidak larut,
kemudian membentuk presipitat yang memicu lisis eritrosit di mikrosirkulasi (limpa)
dan destruksi di sumsum tulang.
 Berdasarkan klasifikasi klinis :
1. Thalassemia mayor  pasien memerlukan transfusi darah yang rutin dan adekuat
seumur hidupnya.
2. Thalassemia intermedia  pasien membutuhkan transfusi tetapi tidak rutin.
3. Thalassemia minor/trait/pembawa  secara klinis tampak sehat sama dengan orang
normal, tidak bergejala, dan tidak butuh transfusi darah.
2.3.3 Diagnosis
1. Anamnesis :
 Pucat kronik; usia awitan terjadinya pucat perlu ditanyakan.

6
 Pada thalassemia β/HbE usia awitan pucat umumnya didapatkan pada usia yang
lebih tua.
 Riwayat transfusi berulang  anemia pada thalassemia mayor memerlukan
transfusi berkala.
 Riwayat keluarga dengan thalassemia dan transfusi berulang.
 Perut buncit  perut tampak buncit karena adanya hepatosplenomegali.
 Etnis dan suku tertentu  angka kejadian thalassemia lebih tinggi pada ras
Mediterania, Timur Tengah, India, dan Asia Tenggara.
2. Pemeriksaan Fisis
Beberapa karakteristik yang dapat ditemukan dari pemeriksaan fisis pada anak dengan
thalassemia yang bergantung transfusi adalah pucat, sklera ikterik, facies Cooley (dahi
menonjol, mata menyipit, jarak kedua mata melebar, maksila hipertrofi, maloklusi
gigi), hepatosplenomegali, gagal tumbuh, gizi kurang, perawakan pendek, pubertas
terlambat, dan hiperpigmentasi kulit.
3. Laboratorium
 Darah perifer lengkap (DPL)
a. Anemia yang dijumpai pada thalassemia mayor cukup berat dengan kadar
hemoglobin mencapai < 7g/Dl
b. Hemoglobinopati seperti Hb Constant Spring dapat memiliki MCV dan MCH
yang normal, sehingga nilai normal belum dapat menyingkirkan kemungkinan
thalassemia trait dan hemoglobinopati.
c. Indeks eritrosit merupakan langkah pertama yang penting untuk skrining
pembawa sifat thalassemia (trait), thalassemia δβ, dan high Persisten fetal
hemoglobine (HPFH)13
d. Mean corpuscular volume (MCV) < 80 fL (mikrositik) dan mean corpuscular
haemoglobin (MCH) < 27 pg (hipokromik). Thalassemia mayor biasanya
memiliki MCV 50 – 60 fL dan MCH 12 – 18 pg
e. Nilai MCV dan MCH yang rendah ditemukan pada thalassemia, dan juga pada
anemia defisiensi besi. MCH lebih dipercaya karena lebih sedikit dipengaruhi
oleh perubahan cadangan besi (less suscpetible to storage changes).

7
 Gambaran darah tepi
a. Anisositosis dan poikilositosis yang nyata (termasuk fragmentosit dan tear-drop),
mikrositik hipokrom, basophilic stippling, badan Pappenheimer, sel target, dan
eritrosit berinti (menunjukan defek hemoglobinisasi dan diseritropoiesis)
b. Total hitung dan neutrofil meningkat
c. Bila telah terjadi hipersplenisme dapat ditemukan leukopenia, neutropenia, dan
trombositopenia.
 Red Cell Distribution Width (RDW)
RDW menyatakan variasi ukuran eritrosit. Anemia defisiesi besi memiliki RDW
yang meningkat >14,5%, tetapi tidak setinggi seperti pada thalassemia mayor.
Thalassemia trait memiliki eritrosit mikrositik yang uniform sehingga tidak / hanya
sedikit ditandai dengan peningkatan RDW. Thalassemia mayor dan intermedia
menunjukkan peningkatan RDW yang tinggi nilainya.
 Retikulosit
Jumlah retikulosit menunjukkan aktivitas sumsum tulang. Pasien thalassemia
memiliki aktivitas sumsum tulang yang meningkat, sedangkan pada anemia
defisiensi besi akan diperoleh hasil yang rendah
2.3.4 Tatalaksana Thalassemia
 Tranfusi darah berulang
 Transplantasi Sumsum Tulang  Prosedur ini dilakukan untuk menggantikan
sumsum tulang yang terkena thalasemia. Sumsum tulang yang akan
ditransplantasikan diambil dari pendonor yang sehat dan cocok dengan penderita,
agar sumsum tulang ini dapat menghasilkan sel darah yang normal.
 Operasi Pengangkatan Limpa  Prosedur operasi pengangkatan limpa
(splenektomi) dilakukan jika organ limpa sudah sangat membesar, karena
pembesaran organ limpa (splenomegali) akan memperparah anemia yang dialami
penderita.
 Menerapkan Pola Hidup Sehat  Penderita thalasemia perlu menjalani pola hidup
sehat, dan dianjurkan untuk mengonsumsi makanan rendah lemak, sayuran, dan
buah-buahan. Penderita sebaiknya membatasi makanan yang mengandung zat
besi, seperti daging sapi dan hati ayam

8
2.4 Anemia Pada Penyakit Kronis7,8
2.4.1 Definisi
Anemia pada penyakit kronik adalah anemia yang menyertai penyakt infeksi,
inflamasi atau keganasan yang menetap lebih dari 1-2 bulan.
2.4.2 Etiologi
Penyakit-penyakit yang menyebabkan anemia penyakit kronik :
1. Infeksi kronik  Endokarditis bakterialis subakut , Osteomielitis, dan infeksi paru-
paru seperti abses, emfisema, dan TB.
2. Inflamasi kronik  Artritis rematoid, Demam rematik, SLE
3. Keganasan Limfoma, Multipel mieloma, Leukimia, Gagal ginjal
2.4.3 Patofisiologi
Patogenesis anemia pada penyakit kronik melibatkan sistem imun yaitu sitokin dan
sistem retikuloendotelial, yang memicu perubahan dalam homeostasis besi, penghambatan
proliferasi sel progenitor eritroid dan produksi eritropoietin. Pada anemia penyakit kronik,
pengambilan dan retensi besi dalam sel retikuloendotelial meningkat keadaan ini
menyebabkan besi yang tersedia terbatas untuk digunakan oleh sel progenitor dan proses
eritropoiesis. Makrofag akan melakukan eritrofagositosis serta mengambil besi serum melalui
divalent metal transporter 1 (DTM1). Sitokin yaitu IL-1 dan IL-6 mengaktifkan sintesis
feritin sehingga terbentuk banyak feritin yang memiliki kapasitas penyimpanan besi. Hal ini
mengakibatkan besi dengan mudah akan tersimpan dalam sel dan tidak beredar bebas dalam
sirkulasi. Hepsidin suatu protein fase akut yang dihasilkan oleh hepar turut berperan yaitu
dengan menghambat absorpsi besi di duodenum serta menahan pelepasan besi oleh makrofag
dengan cara menghambat ferroportin.
2.4.4 Penegekan diagnosis
1. Gejala Klinis
Gambaran klinis pada anemia penyakit kronis sesuai dengan kondisi penyakit
yang mendasarinya. Derajat anemia pada penyakit kronis biasanya ringan dengan
kadar hematokrit 30-40%. Berat ringannya anemia sesuai dengan aktivitas
penyakit yang mendasari dan pada keganasan tergantung dari stadium atau
luasnya infiltrasi kesekitarnya.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Hematokrit umumnya menurun hingga 60% dari nilai normal. Kadar serum feritin
normal atau meningkat. MCV normal atau sedikit hipokrom. Morfologi eritrosit

9
biasanya normokrom normositer tetapi dapat juga terjadi hipokrom mikrositer
terutama dengan keadaan defisiensi besi.
2.4.5 Tatalaksana
Tidak ada pengobatan yang spesifik pada anemia penyakit kronis, bila penyakit yang
mendasarinya diobati dengan baik maka anemia akan membaik. Pemberian transfusi
bisa dipertimbangkan. Transfusi darah merupakan pengobatan intervensi yang cepat
dan efektif, terutama pada anemia yang berat atau mengancam jiwa.
Pemberian recombinant human erytropoietin pada anemia penyakit kronis telah
digunakan pada penderita yang mendapat kemoterapi, penyakit ginjal, dan penderita
HIV yang mendapat obat mielosupresif.

2.5 Anemia Sideroblastik9,10,11


2.5.1 Definisi
Anemia sideroblastik adalah anemia mikrositik-hipokromik yang disebabkan oleh
abnormalitas metabolisme heme. Penderita anemia ini pada sumsum tulangnya ditemukan
sideroblas cincin, yang merupakan sel darah merah berinti (eritrosit imatur) dengan lingkaran
perinuklear mengandung granula besi (agregat besi dalam mitokondria). Eritrosit imatur ini
gagal menjadi matur dan banyak hancur dalam sumsum tulang sebelm mencapai sirkulasi.
2.5.2 Etiologi
Penyebab anemia sideroblastik dapat dikategorikan menjadi 2 kelompok, yaitu
congenital anemia sideroblastik dan anemia sideroblastik yang didapat. Anemia ini
melibatkan sintesis heme yang abnormal sehingga terjadi deposisi granular besi di
mitokondria yang membentuk cincin di sekitar inti eritrosit imatur. Penyebab kongenital
sering ditemukan anemia normositik atau mikrositik, sedangkan yang didapat sering
ditemukan normositik atau makrositik.
2.5.3 Patofisiologi
Perubahan pada anemia sideroblastik pada dasarnya terjadi kegagalan inkorporasi besi
ke dalam senyawa hem pada mitokondria yang mengakibatkan besi mengendap pada
mitokondria sehingga jika yang dicat dengan cat besi akan terlihat bintik-bintik yang
mengelilingi inti yang disebut sebagai sideroblas cincin. Hal yang menyebabkan kegagalan
pemnbentukan hemoglobin yang disertai eritropoesis inefektif dan menimbulkan anemia
hipokromik mikrositik.

10
2.5.4 Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala utama adalah sesak napas saat beraktivitas, sesak pada saat
istirahat, fatigue, gejala dan tanda keadaan hiperdinamik (denyut nadi kuat,
jantung berdebar, dan roaring in the ears), kelelahan, dan pusing. Pada anemia
yang lebih berat, dapat timbul letargi, konfusi, dan komplikasi yang mengancam
jiwa (gagal jantung, angina, aritmia dan/atau infark miokard). Penyakit jantung,
kerusakan hati, dan gagal ginjal dapat terjadi akibat penumpukan zat besi dalam
organ-organ ini.
2. Pemeriksaan fisik
Pada anemia sideroblastik kulit terlihat pucat, anemia sedang sampai berat
terdapat anisocytosis dan poikilocytosis. Pada pemeriksaan abdomen dapat
ditemukan pembesaran lien dan hepar.
3. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan Lab didapatkan :
a. Peningkatan serum iron
b. Peningkatan kadar ferritin
c. Total iron-binding capacity normal
d. Saturasi transferin tinggi
e. Hematokrit sekitar 20-30%
f. Volume corpuscular rata-rata atau MCV biasanya normal atau rendah untuk
penyebab kongenital anemia sideroblastik
g. Pada keracunan timbal, melihat coarse basophilic stippling pada sel darah
merah pada apus darah tepi
h. Tes khusus: Prussian blue stain pada sel darah merah di sumsum tulang yang
menunjukan ring sideroblas. Pewarnaan biru Prusia melibatkan reaksi non-
enzimatik ferrous iron dengan ferrocyanide membentuk ferric-ferrocyanide,
yang berwarna biru.
2.5.5 Tatalaksana
Kadang-kadang, anemia dapat menjadi sangat parah sehingga diperlukan transfusi.
Pasien-pasien ini biasanya respon dengan terapi eritropoietin. Pada beberapa kasus telah
dilaporkan bahwa tingkat heme dapat ditingkatkan melalui penggunaan pyrodoxine dosis
tinggi (Vitamin B6.).

11
Dalam kasus yang parah transplantasi sumsum tulang juga merupakan pilihan dengan
informasi yang terbatas tentang tingkat keberhasilan. Dalam kasus akibat isoniazid
sideroblastic anemia, penambahan B6 dapat digunakan untuk memperbaiki anemia.

12
BAB III
KESIMPULAN

1. Anemia mikrositik hipokromik adalah suatu kondisi dimana ukuran eritrosit yang lebih
kecil dari normal dan mengandung konsentrasi hemoglobin yang juga kurang dari
normal (indeks eritrosit: MCV < 73fl, MCH <23 pg, MCHC 26-35%).
2. Penyebab anemia mikrositik hipokromik antara lain: anemia defisiensi besi,
thalassemia major, anemia akibat penyakit kronik dan anemia sideroblastik.
3. Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis anemia yaitu Hb, penambahan indeks
eritrosit, pemeriksaan hapusan darah perifer, luas distribusi sel darah merah, eritrosit
protoporfirin, besi serum, serum transferi, serum feritin.
4. Tatalaksana pasien anemia adalah dengan mengatasi dasar penyebab anemia dan jika
Hb<6gr% merupakan indikasi dilakukannya transfusi darah.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia.


Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.
2. WHO. 2001. Iron Deficiency Anemia Assessment, Prevention, and Control. A guide
for Programme Manager
3. McLean E., Cogswell M., Egli I., Wojdyla D., dan de Benoist B. 2009. Worldwide
prevalence of anaemia, WHO Vitamin and Mineral Nutrition Information System,
1993–2005. Public Health Nutr, 12: 444–54
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
5. Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG (2009). Anemia defisiensi besi. Dalam buku
ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Edisi V.Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, Eds. Jakarta: Interna publishing. Hal 644-650.
6. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran, Tatalaksana Thalasemia. NOMOR
HK.01.07/MENKES/1/2018.
7. Zarychanski R, Houston DS. 2008. Anemia of chronic disease -- a harmful disorder,
or a beneficial, adaptive response?. Can. Med. Assoc. J. 179 (4): 333–7.
8. Harmening, Denise. (2009). Clinical Hematology and Fundamentals of Hemostasis.
F.A. Davis
9. Caudill JS, Imran H, Porcher JC, Steensma DP. 2008. Congenital sideroblastic anemia
associated with germline polymorphisms reducing expression of FECH.
Haematologica 9,3 (10): 1582–4.
10. Mir, Muhammad. 2013. Anemia Sideroblastik. Pennsylvania State University College
of Medicine
11. Papadakis, Maxine A.; Tierney, Lawrence M.; McPhee, Stephen J. (2005).
"Sideroblastic Anemia".Current Medical Diagnosis & Treatment, 2006. McGraw-Hill
Medical.

14

Anda mungkin juga menyukai