LP Diabetes Melitus Kelompok
LP Diabetes Melitus Kelompok
OLEH :
1. MUHAMMAD LUTHFIN (2204047)
2. PUTRI AYU WULANDARI (2204054)
3. BAMBANG SUSANTO (2204014)
4. MELINA DEWI A. (2204045)
5. EVITRA INDRASARI (2204026)
6. SHINTA NUVITA (2204060)
7. SITI MASRUROH (2204063)
UNIVERSITAS AN NUUR
TA 2022/2023
LAPORAN PENDAHULUAN
DIABETES MELITUS
2. Klasifikasi
Menurut Smeltzer & Bare (2016) dan Hans Tandra (2017)
mengklasifikasikan Diabetes Melitus menjadi:
Peningkatan glukosa darah tinggi lebih dari 180 mg/100 ml, menyebab
kan glukosa keluar melalui urin (glukosuria), hal ini disebabkan karena
ketidakmampuan ginjal kembali menyerap glukosa (reabsorpsi) yang
telah difiltrasi melebihi ambang batas filtrasi glukosa oleh glumelurus.
Krtika glukosa yang berlebihan disekresikan disertai pengeluaran cairan
dan elektrolit yang berlebihan karena tubulus ginjal tidak mengabsorbsi
air secara optimal, keadaan ini disebut dieresis osmotik, sebagai akibat
banyaknya urin yang diproduksi maka akan mengalami peningkatan
berkemih (poiuria) serta rasa haus (polidipsia). Defesiensi insulin juga
mengganggu metabolisme protein dan lemak dan menurunkan
simpangan atau cadangan makanan, mengakibatkan kelaparan sel dan
merangsang selera makan (polifagia).
5. Patofisiologi
Pada DM tipe II merupakan suatu kelainan metabolik dengan karakteristik
utama adalah terjadinya hiperglikemik kronik. Faktor genetik dikatakan
memiliki peranan yang sangat penting dalam munculnya DM tipe II.
Faktor genetik ini akan berinteraksi dengan faktor-faktor lingkungan
seperti gaya hidup, obesitas, rendahnya aktivitas fisik, diet, dan tingginya
kadar asam lemak bebas (Smeltzer dan Bare, 2015). Diabetes melitus tipe
II sebelumnya disebut sebagai non insulin-dependent atau adult-onset
diabetes, ditandai dengan resistensi insulin, peningkatan pelepasan glukosa
hati, rusaknya penyimpanan glukosa, dan defisiensi insulin. Tujuan jangka
pendek dari manajemen diabetes yaitu untuk menyeimbangkan asupan
makanan dengan pengeluaran energi dan memastikan jumlah insulin yang
cukup (endogen atau eksogen) untuk mempertankan kadar glukosa darah
mendekati normal. Mekanisme terjadinya DM tipe I I umumnya
disebabkan karena resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.
Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan
sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi
suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi
insulin pada DM tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini.
Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan
mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terjadi peningkatan
jumlah insulin yang disekresikan (Smeltzer dan Bare, 2015).
15
6. Manifestasi Klinis
Adanya penyakit diabetes mellitus ini pada awalnya seringkali tidak
dirasakan dan tidak disadari oleh penderita. Manifestasi klinis Diabetes
Melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Jika
hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka
timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang
meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) jika melewati ambang ginjal
untuk ekskresi glukosa yaitu ± 180 mg/dl serta timbulnya rasa haus
(polidipsia). Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul
sebagai akibat kehilangan kalori (Price dan Wilson, 2012).
7. Komplikasi
Kadar glukosa darah yang tidak terkontrol pada pasien DM tipe II akan
menyebabkan berbagai komplikasi. Komplikasi DM tipe II terbagi dua
berdasarkan lama terjadinya yaitu: komplikasi akut dan komplikasi kronik
(Smeltzer dan Bare, 2015, PERKENI, 2015).
a. Komplikasi akut
1) Ketoasidosis diabetik (KAD)
KAD merupakan komplikasi akut DM yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL),
disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton
(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan
terjadi peningkatan anion gap (PERKENI, 2015).
2) Hiperosmolar non ketotik (HNK)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi
(600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas
plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-),
anion gap normal atau sedikit meningkat (PERKENI, 2015).
3) Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah
mg/dL. Pasien DM yang tidak sadarkan diri harus dipikirkan
mengalami keadaan hipoglikemia. Gejala hipoglikemia terdiri dari
berdebar-debar, banyak keringat, gementar, rasa lapar, pusing,
gelisah, dan kesadaran menurun sampai koma (PERKENI, 2015).
b. Komplikasi kronik
Komplikasi jangka panjang menjadi lebih umum terjadi pada pasien
DM saat ini sejalan dengan penderita DM yang bertahan hidup lebih
lama. Penyakit DM yang tidak terkontrol dalam waktu yang lama
akan menyebabkan terjadinya komplikasi kronik.
1) Komplikasi makrovaskular
8. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penderita diabetes melitus. Tujuan penatalaksanaan meliputi :
a. Tujuan jangka pendek : menghilangkan keluhan DM, memperbaiki
kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
b. Tujuan jangka panjang : mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.
c. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas
DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian
glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid (mengukur
kadar lemak dalam darah), melalui pengelolaan pasien secara
komprehensif.
9. Pemeriksaan Penunjang
a. Glukosa darah. Pada pasien DM tipe II biasanya meningkat 100-200
mg/dl, atau lebih. Pemeriksaan gula darah terdiri dari:
1) Pemeriksaan gula darah puasa atau fasting blood sugar (FBS)
Pasien dalam keadaan puasa selama 12 jam, diperbolehkan
minum. Darah diambil dari pembuluh darah vena. Hasil normal
gulah darah puasa adalah 80-120 mg/100 ml serum. Pada pasien
DM tipe II biasanya meningkat 100- 200 mg/dl, atau lebih
2) Pemeriksaan gula darah postprandial
Bertujuan untuk menentukan gula darah setelah makan. Pasien
diberi makan kira-kira 100 gr karbohidrat, dua jam kemudian
diambil darah venanya. Nilai normal gula darah postprandial
adalah kurang dari 120 mg/100 ml serum
3) Pemeriksaan gula darah sewaktu bisa delakukan kapan saja, nilai
normalnya adalah 70 – 200 mg/dl.
4) Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan bebam glukosa 75 gram.
b. Pemeriksaan HbA1c > 6,5% dengan menggunakan metode High-
Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi
oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).
c. Aseton plasma (keton) didapat hasil positif secara menyolok.
d. Asam lemak bebas didapat kadar lipid dan kolestrol meningkat,
karena ketidakadekuatan kontrol glikemik.
e. Osmolitas serum meningkat tetapi biasanya kurang dari 330 mOsm/L
f. Natrium mungkin normal, meningkat atau menurun tergantung pada
jumlah cairan yang hilang (dehidrasi).
g. Kalium normal atau peningkatan semu (perpindahan seluler),
selanjutnya akan menurun Hemoglobin dan hematokrit menurun
disebabkan oleh kegagalan ginjal untuk melaksanakan fungsinya,
salah satu nya adalah menghasilkan eritropoetin, fungsi eritropoetin
adalah penghasil eritrosit. Hal ini mengakibatkan anemia sehingga
kadar hematokrit dan hemaglobin menurun
h. Amilase darah. Mungkinn meningkat yang mengindikasikan adanya
pankreatitis akut sebagai penyebab dari Diabetes melitus (Diabetik
Ketodasidosis).
i. Pemeriksaan fungsi tiroid. peningkatan aktifitas hormon tiroid dapat
meningkatkan glukosa darah dan kebutuhan akan insulin.
j. Pemeriksaan glukosa urin. Adanya glukosauria menunjukkan bahwa
ambang gilnjal terhadap glukosa terganggu. Biasanya didapat hasil
urine gula dan asetan positif, berat jenis dan osmolalitas mungkin
meningkat
k. Kultur dan sensitivitas, kemungkinan adanya infeksi saluran kemih,
infeksi pernafasan, dan infeksi pada luka
(PERKENI, 2015, Tarwoto, 2012 dan Sari, 2013)
m) Sistem neurologis
Biasanya terjadi penurunan sensoris, sakit kepala , latergi,
mengantuk, reflek lambat, dan disorientasi.
6. Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan gula darah puasa atau fasting blood sugar (FBS)
b) Untuk menentukan jumlah glukosa darah pada saat puasa, klien
tidak makan dan boleh minum selama 12 jam sebelum test.
Hasil normal 80- 120 mg/ 100 mlserum dan abnormal 140
mg/100 ml atau lebih.
c) Pemeriksaan gula darah postprandial
d) Untuk menentukan gula darah 2 jam setelah makan, dengan
hasil normal kurang dari 120 mg/100 ml serum dalam abnormal
lebih dari 200 mg/100 dl atau indikasi Diabetes Melitus.
e) Pemeriksaan gula darah sewaktu bisa dilakukan kapan saja, nilai
normalnya adalah 70 – 20 mg/dl.
f) Pemeriksaan toleransi glukosa oral atau oral rolerance test
(TTGO) untuk menentukan toleransi terhadap respons
pemberian glukosa. Pasien tidak boleh makan selama 12 jam
sebelum test dan selama test, pasien boleh minum air putih,
tidak boleh merokok, ngopi atau minum teh selama
g) Pemeriksaan (untuk mengatur respon tubuh terhadap
karbohidrat) sedikit aktivitas, kurangi stress, (keadaan banyak
aktivitas dan stress menstimulasi epinephrine dan kartisol
karena berpengaruh terhadap peningkatan glukoneogenesis).
Hasil normal puncaknya 1 jam pertama setelah pemberian 140
mg/dl dan kembali normal 2 atau 3 jam kemudian dan abnormal
jika peningkatan tidak kembali setelah 2 atau 3 jam, urine positif
glukosa.
h) Pemeriksaan kolesterol dan kadar serum trigliserida, dapat
meningkat karena ketidakadekuatan kontrol glikemik.
i) Pemeriksaan hemoglobin glikat (HbAIc). Tes ini mengukur
presentase glukosa yang melekat pada hemoglobin selama hidup
sel darah merah. HbAIc digunakan untuk mengkaji kontrol
glukosa jangka panjang, sehingga dapat memprediksi resiko
komplikasi. Rentang normalnya adalah 5-6 %.
j) Urinalisa positif terhadap glukosa dalam keton. Pada respon
terhadap defisiensi intraseluler, protein lemak diubah menjadi
glukosa (glukoneogenesis) untuk energi. Selama proses
pengubahan ini, asam lemak bebas dipecah menjadi badan keton
oleh hepar. Ketoasidosis terjadi ditunjukkan oleh ketonuria.
Adanya ketonuria menunjukkan adanya ketoasidosis (Tarwoto,
2012).
C. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017):
1. Resiko ketidakstabilan kadar gula darah berhubungan dengan
Manajemen hiperglikemia
2. Defisit Nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan
makanan.
3. Defisit pengetahuan berhubungan dengan tingkat pengetahuan.
4. Ansietas berhubungan dengan ancaman pada status terkini
5. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
volume cairan aktif.
D. Intervensi Keperawatan
Edukasi :
1. Anjurkan menghindari
olahraga saat kadar
glukosa darah lebih
dari 250 mg/dl
2. Anjurkan monitor
kadar glukosa darah
secara mandiri
3. Anjurkan kepatuhan
terhadap diet dan
olahraga
4. Ajarkan pengelolan
diabetes, Mis :
penggunaan insulin,
obat oral
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
insulin, jika perlu
2 Defisit Nutrisi b/d Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nutri :
ketidakmampuan keperawatan, status nutrisi Observasi :
menelan makanan. teratasi dengan kriteria 1. Identifikasi status nutrisi
hasil: 2. Identifikasi alergi dan
Definisi : - Porsi makanan yang intoleransi makanan
Asupan nutrisi tidak cukup dihabiskan 3. Identifikasi makanan yang
untuk memenuhi meningkat disukai
kebutuhan metabolisme - Kekuatan otot 4. Identifikasi kebutuhan
menelan meningkat Kalori dan Jenis nutrient
Penyebab : 5. Monitor asupan makan
Ketidakmampuan - Perasaan cepat 6. Monitor berat badan
kenyang menurun
mengabsorbsi nutrien
- Sariawan menurun Terapeutik :
Tanda mayor : - Diare menurun 1. Fasilitasi menentukan
a. Berat badan menurun - Nafsu makan program diet
minimal 10% di membaik 2. Sajikan makanan secara
bawah rentang ideal - Berat badan membaik menarik dan suhu yang
- Membran mukosa sesuai
Gejala minor : membaik 3. Berikan makanan yang
a. Cepat kenyang setelah tinggi kalori dan protein
makan 4. Berikan suplemen
b. Kram / nyeri abdomen makanan, jika perlu
c. Nafsu makan menurun
Gejala Mayor :
a. Menunjukkan
perilaku tidak sesuai
anjuran
b. Menunjukkan
persepsi yang keliru
terhadap masalah
Gejala Minor :
a. Menjalani
pemeriksaan yang
tidak tepat
b. Menunjukkan
perilaku berlebihan
(mis.
Apatis, bermusuhan)
E. Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan
dalam rencana perawatan. Tindakan keperawatan mencangkup
tindakan mandiri (independen) dan tindakan kolaborasi (Tarwoto
& Wartonah, 2015).
F. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan untuk
dapat menentukan keberhasilan dalam asuhan keperawatan.
Evaluasi pada dasarnya adalah membandingkan status keadaan
kesehatan dengan tujuan atau kriteria hasil yang telah ditetapkan
(Tarwoto & Wartonah, 2015).
DAFTAR PUSTAKA