Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN MEDIKAL BEDAH

DENGAN DIABETES MELITUS (DM) PADA NY. S DI RUANG EIDELWEIS

RSUD SUNAN KALIJAGA KABUPATEN DEMAK

OLEH :
1. MUHAMMAD LUTHFIN (2204047)
2. PUTRI AYU WULANDARI (2204054)
3. BAMBANG SUSANTO (2204014)
4. MELINA DEWI A. (2204045)
5. EVITRA INDRASARI (2204026)
6. SHINTA NUVITA (2204060)
7. SITI MASRUROH (2204063)

PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN

FAKULTAS SAINS DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS AN NUUR

TA 2022/2023
LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETES MELITUS

A. Konsep dasar Diabetes Melitus


1. Pengertian
Diabetes mellitus adalah sekumpulan gangguan metabolik yang ditandai
dengan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat kerusakan
pada kerja insulin,sekresi insulin atau keduanya,tiga komplikasi akut tersebut
terkait ketidakseimbangan kadar glukosa yang berlangsung dalam jangka
waktu pendek (Brunner & Suddarth, 2017). Diabetes Melitus tipe II
dikarakteristikkan dengan hiperglikemia, resistensi insulin dan keruskan
relatif sekresi insulin (Damayanti, 2015) Diabetes Melitus tipe II atau dikenal
dengan diabetes melitus tidak tergantung insulin, dapat terjadi akibat obesitas,
atau penyakit seperti infeksi, trauma, dan infark miokard (Lee & Weaver,
2013). Faktor Resiko DM tipe II antara lain faktor keturunan dan obesitas, 80-
90% dm tipe II mengalami obesitas (Rahayu, 2015). Diabetes melitus tipe II
terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin atau akibat penurunan
produksi insulin. Diabetes melitus tipe II banyak terjadi pada usia dewasa
lebih dari 45 tahun, karena berkembang lambat dan terkadang tidak terdeteksi
(Tarwoto, 2012).

2. Klasifikasi
Menurut Smeltzer & Bare (2016) dan Hans Tandra (2017)
mengklasifikasikan Diabetes Melitus menjadi:

a. Diabetes Melitus tipe 1


Diabetes Melitus tipe 1 atau Insulin Dependen Diabetes Melitus
(INDDM) yaitu Diabetes Melitus yang bergantung pada insulin. Yang
menderita penyakit ini tidak banyak, namun jumlah nya terus meningkat
3% setiap tahun. Diabetes Melitus tipe I ini disebab karena kerusakan sel
beta pankreas yang menghasilkan insulin.
Hal ini berhubungan dengan kombinasi antara faktor genetik, imunologi
dan lingkungan, seperti virus.

Terdapat juga hubungan terjadi Diabetes Melitus I dengan beberapa


antigen leukosit manusia (HLAs) dan adanya autoimun antibody sel islet
(ICAs) yang dapat merusak sel-sel beta pankreas. Ketidakmampuan sel
beta manghasilkan insulin megakibatkan glukosa yang berasal dari
makanan tidak dapat disimpan dalam hati dan tetap berada dalam darah
sehingga menimbulkan hiperglikemia.

Peningkatan glukosa darah tinggi lebih dari 180 mg/100 ml, menyebab
kan glukosa keluar melalui urin (glukosuria), hal ini disebabkan karena
ketidakmampuan ginjal kembali menyerap glukosa (reabsorpsi) yang
telah difiltrasi melebihi ambang batas filtrasi glukosa oleh glumelurus.
Krtika glukosa yang berlebihan disekresikan disertai pengeluaran cairan
dan elektrolit yang berlebihan karena tubulus ginjal tidak mengabsorbsi
air secara optimal, keadaan ini disebut dieresis osmotik, sebagai akibat
banyaknya urin yang diproduksi maka akan mengalami peningkatan
berkemih (poiuria) serta rasa haus (polidipsia). Defesiensi insulin juga
mengganggu metabolisme protein dan lemak dan menurunkan
simpangan atau cadangan makanan, mengakibatkan kelaparan sel dan
merangsang selera makan (polifagia).

b. Diabetes Melitus tipe II


Diabetes Melitus tipe II atau Non Insulin Dependen Diabetes Melitus
(NIDDM). Kurang lebih 90% sampai 95% penderita Diabetes Melitus
adalah Diabetes Melitus tipe ini. Diabetes Melitus tipe II masih bisa
memproduksi insulin, tetapi kualitas insulinnya buruk, tidak dapat
berfungsi dengan baik sebagai kunci untuk memasukkan gula ke dalam
sel. Akibatnya, gula dalam darah meningkat, pasien biasanya tidak perlu
tambahan suntukan insulin dalam pengobatannya, tetapi
memerlukan obat untuk memperbaiki fungsi inslin, menurunkan glukosa
darah dan memperbaiki pengelolaan gula di hati. Normalnya insulin
terkait oleh reseptor khusus pada permukaan sel dan mulai terjadi
rangkaian reaksi termasuk metabolisme glukosa. Pada Diabetes Melitus
tipe II reaksi dalam sel kurang efektif karena kurangnya insulin yang
berperan dalam menstimulasi glukosa masuk ke jaringan dan pengaturan
pelepasan glukosa dihati.

c. Diabetes Melitus Gestasional


Diabetes Melitus Gestasional yaitu Diabetes Melitus yang terjadi pada
masa kehamilan, dapat di diagnosa dengan menggunakan test toleran
glukosa, terjadi kira-kira pada 24 minggu kehamilan. Individu Diabetes
Melitus gestasional 25% akan berkembang menjadi Diabetes Melitus.

d. Diabetes Melitus tipe lain


Diabetes Melitus tipe lain adalah Diabetes Melitus sekunder atau akibat
dari penyakit lain, yang mengganggu produksi insulin atau memengaruhi
kerja insulin atau mengurangi kerja insulin. Penyebab Diabetes Melitus
ini seperti penyakit eksokrin pankreas (pankreatitis, neoplasma, trauma
atau pankreatectomy), endokrineopati (akromegali, pheochromacytoma,
dan cushing’s syndrome), obat-obatan atau zat kimia (glikokortiroid,
hormon tiroid, dan dilantin), penyakit infeksi (congenital rubella, infeksi
cytomegal rubella, infeksi cytomegalovirus), serta syndrome genetik
diabetes (syndrome down).

3. Etiologi dan faktor resiko Diabetes Melitus tipe II


Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin pada diabetes melitus tipe II masih belum diketahui. Faktor
genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. (Padila,
2012). Menurut Tarwoto (2012) faktor resiko yang menyebabkan timbulnya
penyakit DM tipe II antara lain:
a. Usia diatas 45 tahun, hal ini karena adanya perubahan anatomis,
fisiologis, dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat sel, kemudian
berlanjut pada tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat organ yang
dapat mempengaruhi homoeostasis.
b. Obesitas atau kegemukan yaitu berat badan lebih dari 20% dari berat
badan ideal atau BMI (Body Mass Index). Obesitas menyebabkan
respon sel beta pankreas terhadap peningkatan glukosa darah berkurang,
selain itu reseptor insulin pada sel diseluruh tubuh termasuk di otot
berkurang jumlah dan keaktifannya.
c. Riwayat keluarga dengan DM tipe II.
d. Lingkungan seperti virus yang dapat memicu teerjadinya autoimun
danmenghancurkan sel-sel pancreas, obat-obatan dan zat kimia.
e. Riwayat adanya gangguan toleransi glukosa (IGT) atau gangguan
glukosapuasa (IFG).
f. Hipertensi, dengan tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg atau
hiperlipidemia,kolestrol atau trigiserida lebih dari 150 mg/dl
g. Riwayat gestasional DM atau riwayat melahirkan bayi diatas 4 kg.
h. Polystic ovarium syndrome yang diakibatkan resistensi dari insulin.
i. Pada keadaan ini wanita tidak terjadi ovulasi (keluarnya sel telur
dari ovarium), tidak terjadi menstruasi, tumbuhnya rambut secara
berlebihan, tidak bisa hamil.
j. Etnik, banyak terjadi pada orang Amerika keturunan Afrika, Asia.
k. Kebiasaan diet dan kurang olahraga atau kurang beraktifitas fisik.

4. Tanda dan Gejala Diabetes Melitus


Gejala dan tanda-tanda DM dapat digolongkan menjadi 2 yaitu gejala akut
dan gejala kronik (PERKENI, 2015).
a. Gejala akut penyakit DM
Gejala penyakit DM bervariasi pada setiap penderita, bahkan mungkin
tidakmenunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu. Permulaan
gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (poli) yaitu banyak
makan (poliphagi), banyak minum (polidipsi), dan banyak kencing
(poliuri). Keadaan tersebut, jika tidak segera diobati maka akan timbul
gejala banyak minum, banyak kencing, nafsu makan mulai berkurang
atau berat badan turun dengan cepat (turun 5-10 kg dalam waktu 2-4
minggu), mudah lelah, dan bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa
mual (PERKENI, 2015).

b. Gejala kronik penyakit DM


Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM adalah
kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa
tebal di kulit, kram, mudah mengantuk, mata kabur, biasanya sering
ganti kacamata, gatal di sekitar kemaluan terutama pada wanita, gigi
mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun, dan
para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin
dalam kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg
(PERKENI, 2015).

5. Patofisiologi
Pada DM tipe II merupakan suatu kelainan metabolik dengan karakteristik
utama adalah terjadinya hiperglikemik kronik. Faktor genetik dikatakan
memiliki peranan yang sangat penting dalam munculnya DM tipe II.
Faktor genetik ini akan berinteraksi dengan faktor-faktor lingkungan
seperti gaya hidup, obesitas, rendahnya aktivitas fisik, diet, dan tingginya
kadar asam lemak bebas (Smeltzer dan Bare, 2015). Diabetes melitus tipe
II sebelumnya disebut sebagai non insulin-dependent atau adult-onset
diabetes, ditandai dengan resistensi insulin, peningkatan pelepasan glukosa
hati, rusaknya penyimpanan glukosa, dan defisiensi insulin. Tujuan jangka
pendek dari manajemen diabetes yaitu untuk menyeimbangkan asupan
makanan dengan pengeluaran energi dan memastikan jumlah insulin yang
cukup (endogen atau eksogen) untuk mempertankan kadar glukosa darah
mendekati normal. Mekanisme terjadinya DM tipe I I umumnya
disebabkan karena resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.
Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan
sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi
suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi
insulin pada DM tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini.
Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan
mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terjadi peningkatan
jumlah insulin yang disekresikan (Smeltzer dan Bare, 2015).

Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat


sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan
pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika
sel-sel β tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin,
maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi DM tipe II. Meskipun
terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas DM tipe II,
namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk
mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya.
Karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada DM tipe II. Diabetes
melitus tipe II disebabkan oleh intoleransi glukosa yang progresif dan
berlangsung perlahan dan mengakibatkan hiperglikemia jangka panjang,
dan berperan menyebabkan komplikasi mikrovaskular kronik seperti
penyakit mata, neuropati dan penyakit ginjal. Diabetes juga dikaitkan
dengan peningkatan insidensi penyakit makrovaskular seperti penyakit
arterisklerosis, penyakit serebrovaskular (stroke) dan luka ganggren.
Komplikasi ini dapat muncul sebelum diagnosis ditegakkan. Diagnosa
keperawatan yang diangkat saat pasien mengalami ulkus adalah resiko
infeksi. (Smeltzer & Bare, 2015).
poliuri

Sumber : Smeltzer dan Bare, 2015

15
6. Manifestasi Klinis
Adanya penyakit diabetes mellitus ini pada awalnya seringkali tidak
dirasakan dan tidak disadari oleh penderita. Manifestasi klinis Diabetes
Melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Jika
hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka
timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang
meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) jika melewati ambang ginjal
untuk ekskresi glukosa yaitu ± 180 mg/dl serta timbulnya rasa haus
(polidipsia). Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul
sebagai akibat kehilangan kalori (Price dan Wilson, 2012).

Pasien dengan diabetes melitus tipe II mungkin sama sekali tidak


memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan
pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa.
Pada hiperglikemia yang lebih berat pasien tersebut mungkin menderita
polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak mengalami
ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun
hanya relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk
mnenghambat ketoasidosis (Price dan Wilson, 2012).

7. Komplikasi
Kadar glukosa darah yang tidak terkontrol pada pasien DM tipe II akan
menyebabkan berbagai komplikasi. Komplikasi DM tipe II terbagi dua
berdasarkan lama terjadinya yaitu: komplikasi akut dan komplikasi kronik
(Smeltzer dan Bare, 2015, PERKENI, 2015).
a. Komplikasi akut
1) Ketoasidosis diabetik (KAD)
KAD merupakan komplikasi akut DM yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL),
disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton
(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan
terjadi peningkatan anion gap (PERKENI, 2015).
2) Hiperosmolar non ketotik (HNK)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi
(600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas
plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-),
anion gap normal atau sedikit meningkat (PERKENI, 2015).

3) Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah
mg/dL. Pasien DM yang tidak sadarkan diri harus dipikirkan
mengalami keadaan hipoglikemia. Gejala hipoglikemia terdiri dari
berdebar-debar, banyak keringat, gementar, rasa lapar, pusing,
gelisah, dan kesadaran menurun sampai koma (PERKENI, 2015).

b. Komplikasi kronik
Komplikasi jangka panjang menjadi lebih umum terjadi pada pasien
DM saat ini sejalan dengan penderita DM yang bertahan hidup lebih
lama. Penyakit DM yang tidak terkontrol dalam waktu yang lama
akan menyebabkan terjadinya komplikasi kronik.

Kategori umum komplikasi jangka panjang terdiri dari :

1) Komplikasi makrovaskular

Komplikasi makrovaskular pada DM terjadi akibat aterosklerosis


dari pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya arteri akibat
timbunan plak ateroma. Makroangiopati tidak spesifik pada DM
namun dapat timbul lebih cepat, lebih sering terjadi dan lebih
serius. Berbagai studi epidemiologis menunjukkan bahwa angka
kematian akibat penyakit kardiovaskular dan penderita DM
meningkat 4-5 kali dibandingkan orang normal. Komplikasi
makroangiopati umumnya tidak ada hubungan dengan kontrol
kadar gula darah yang baik. Tetapitelah terbukti secara
epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan suatu faktor
resiko mortalitas kardiovaskular dimana peninggian kadar
insulin dapat menyebabkan terjadinya risiko kardiovaskular
menjadi semakin tinggi. Kadar insulin puasa > 15 mU/mL
akanmeningkatkan risiko mortalitas koroner sebesar 5 kali lipat.
Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar antara lain
adalah pembuluh darah jantung atau penyakit jantung koroner,
pembuluh darah otak atau stroke, dan penyakit pembuluh darah.
Hiperinsulinemia juga dikenal sebagai faktor aterogenik dan
diduga berperan penting dalam timbulnya komplikasi
makrovaskular (Smeltzer dan Bare, 2015).
2) Komplikasi mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskular terjadi akibat penyumbatan pada
pembuluh darah kecil khususnya kapiler yang terdiri dari
retinopati diabetik dan nefropati diabetik. Retinopati diabetik
dibagi dalam 2 kelompok, yaitu retinopati non proliferatif dan
retinopati proliferatif. Retinopati non proliferatif merupakan
stadium awal dengan ditandai adanya mikroaneurisma,
sedangkan retinopati proliferatif, ditandai dengan adanya
pertumbuhan pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan adanya
hipoksia retina. Seterusnya, nefropati diabetik adalah gangguan
fungsi ginjal akibat kebocoran selaput penyaring darah.
Nefropati diabetik ditandai dengan adanya proteinuria persisten
(>0,5 gr/24 jam), terdapat retinopati dan hipertensi. Kerusakan
ginjal yang spesifik pada DM mengakibatkan perubahan fungsi
penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti protein dapat
masuk ke dalam kemih (albuminuria). Akibat dari nefropati
diabetik tersebut dapat menyebabkan kegagalan ginjal progresif
dan upaya preventif pada nefropati adalah kontrol metabolisme
dan kontrol tekanan darah (Smeltzer dan Bare, 2015).
3) Neuropati
Diabetes neuropati adalah kerusakan saraf sebagai komplikasi
serius akibat DM. Komplikasi yang tersering dan paling penting
adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi distal dan
biasanya mengenai kaki terlebih dahulu, lalu ke bagian tangan.
Neuropati berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan
amputasi. Gejala yang sering dirasakan adalah kaki terasa
terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa sakit di malam
hari. Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu
dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropatidistal.
Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki
yang memadai akan menurunkan risiko amputasi. Semua
penyandang DM yang disertai neuropati perifer harus diberikan
edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki
(PERKENI, 2015).

8. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penderita diabetes melitus. Tujuan penatalaksanaan meliputi :
a. Tujuan jangka pendek : menghilangkan keluhan DM, memperbaiki
kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
b. Tujuan jangka panjang : mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.
c. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas
DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian
glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid (mengukur
kadar lemak dalam darah), melalui pengelolaan pasien secara
komprehensif.

Pada dasarnya, pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan


disertai dengan latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-
4 minggu). Bila setelah itu kadar glukosa darah masih belum dapat
memenuhi kadar sasaran metabolik yang diinginkan, baru dilakukan
intervensi farmakologik dengan obat - obat anti diabetes oral atau
suntikan insulin sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan dekompensasi
metabolik berat, misalnya ketoasidosis, DM dengan stres berat, berat
badan yang menurun dengan cepat, insulin dapat segera diberikan. Pada
keadaan tertentu obat-obat anti diabetes juga dapat digunakan sesuai
dengan indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter. Pemantauan kadar
glukosa darah bila dimungkinkan dapat dilakukan sendiri di rumah,
setelah mendapat pelatihan khusus untuk itu (PERKENI, 2015).

9. Pemeriksaan Penunjang
a. Glukosa darah. Pada pasien DM tipe II biasanya meningkat 100-200
mg/dl, atau lebih. Pemeriksaan gula darah terdiri dari:
1) Pemeriksaan gula darah puasa atau fasting blood sugar (FBS)
Pasien dalam keadaan puasa selama 12 jam, diperbolehkan
minum. Darah diambil dari pembuluh darah vena. Hasil normal
gulah darah puasa adalah 80-120 mg/100 ml serum. Pada pasien
DM tipe II biasanya meningkat 100- 200 mg/dl, atau lebih
2) Pemeriksaan gula darah postprandial
Bertujuan untuk menentukan gula darah setelah makan. Pasien
diberi makan kira-kira 100 gr karbohidrat, dua jam kemudian
diambil darah venanya. Nilai normal gula darah postprandial
adalah kurang dari 120 mg/100 ml serum
3) Pemeriksaan gula darah sewaktu bisa delakukan kapan saja, nilai
normalnya adalah 70 – 200 mg/dl.
4) Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan bebam glukosa 75 gram.
b. Pemeriksaan HbA1c > 6,5% dengan menggunakan metode High-
Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi
oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).
c. Aseton plasma (keton) didapat hasil positif secara menyolok.
d. Asam lemak bebas didapat kadar lipid dan kolestrol meningkat,
karena ketidakadekuatan kontrol glikemik.
e. Osmolitas serum meningkat tetapi biasanya kurang dari 330 mOsm/L
f. Natrium mungkin normal, meningkat atau menurun tergantung pada
jumlah cairan yang hilang (dehidrasi).
g. Kalium normal atau peningkatan semu (perpindahan seluler),
selanjutnya akan menurun Hemoglobin dan hematokrit menurun
disebabkan oleh kegagalan ginjal untuk melaksanakan fungsinya,
salah satu nya adalah menghasilkan eritropoetin, fungsi eritropoetin
adalah penghasil eritrosit. Hal ini mengakibatkan anemia sehingga
kadar hematokrit dan hemaglobin menurun
h. Amilase darah. Mungkinn meningkat yang mengindikasikan adanya
pankreatitis akut sebagai penyebab dari Diabetes melitus (Diabetik
Ketodasidosis).
i. Pemeriksaan fungsi tiroid. peningkatan aktifitas hormon tiroid dapat
meningkatkan glukosa darah dan kebutuhan akan insulin.
j. Pemeriksaan glukosa urin. Adanya glukosauria menunjukkan bahwa
ambang gilnjal terhadap glukosa terganggu. Biasanya didapat hasil
urine gula dan asetan positif, berat jenis dan osmolalitas mungkin
meningkat
k. Kultur dan sensitivitas, kemungkinan adanya infeksi saluran kemih,
infeksi pernafasan, dan infeksi pada luka
(PERKENI, 2015, Tarwoto, 2012 dan Sari, 2013)

B. Konsep Asuhan Keperawatan Diabetes Mellitus


1. Pengkajian
Menurut (Bararah, 2013) konsep asuhan keperawatan diabetes
mellitus. Data yang perlu didapatkan adalah:
1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab)
Biasanya identitas klien/ penanggung jawab dapat meliputi:
nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, suku, bangsa,
pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa
medis, nomor registrasi, hubungan klien dan penanggungjawab.
2. Keluhan utama
Biasanya pasien masuk ke rumah sakit dengan keluhan utama gatal-
gatal pada kulit yang disertai bisul atau lalu tidak sembuh-sembuh,
kesemutan atau rasa berat, mata kabur, kelemahan tubuh. Disamping
itu pasien juga mengeluh poliuri, polidipsi, anoreksia, mual dan
muntah, BB menurun, diare kadang-kadang disertai nyeri perut,
kram otot, sakit kepala sampai penurunan kesadaran.
3. Riwayat kesehatan sekarang
a) Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya pasien datang degan keluhan yang dominan adalah
sering buang air kecil (poliuria), sering lapar dan haus (polidipsi
dan polifagia), sebelum pasien mempunyai berat badan yang
berlebih, biasanya pasien belum menyadari kalau itu merupakan
perjalanan penyakit diabetes mellitus. Pasien baru tahu kalau
sudah memeriksakan diri di pelayanan kesehatan.
b) Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya pasien DM pernah dirawat karna kadar glukosa darah
tinggi. Adanya faktor resiko yang mempengaruhi seperti genetic,
obesitas, usia, minimnya aktivitas fisik, pola makan yang
berlebihan atau salah.
4. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya dari genogram keluarga terdapat salah satu anggota
keluarga yang juga menderita diabetes mellitus.
5. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik menurut Riyadi (2014) antara lain:
a) Status penampilan kesehatan
Biasanya yang sering muncul adalah kelemahan fisik.
b) Tingkat kesadaran
Biasanya normal, latergi, stupor, koma (tergantung kadar gula
darah yang dimiliki dan kondisi fisiologis untuk melakukan
kompensasi kelebihan gula darah).
c) Rambut
Biasanya lebat, tipis ( banyak yang rontok karena kekurangan
nutrisi dan sirkulasi yang buruk). Kulit kepala biasanya normal.
d) Mata
Sklera: biasanya normal dan ikterik
Conjungtiva: bisanya anemis pada pasien kekurangan nutrisi dan
pasien yang sulit tidur karena sering buang air kecil di malam
hari.
Pupil: biasanya miosis, midrosis atau anisokor.
e) Telinga
Biasanya simetris kiri dan kanan, gendang telinga biasanya
masih bisa berfungsi dengan baik apabila tidak ada mengalami
infeksi sekunder.
f) Hidung
Biasanya jarang terjadi polip dan sumbatan hidung kecuali ada
infeksi sekunder seperti influenza.
g) Mulut
Biasanya sianosis, pucat (apabila mengalami asidosis atau
penurunan perfusi jaringan).
h) Leher
Biasanya jarang distensi vena jugularis dan pembesaran kelenjar
limfe.
i) Thorak dan paru-paru
Auskultas terdengar stridor (penderitaa mengalami obstruksi
jalan nafas), whezzing (apabila penderita mempunyai riwayat
asma dan bronkithis kronik).
j) Sistem kardiovaskuler
Biasanya perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah, takikardi
atau bradikardi, hipertensi atau hipotensi, aritmia, dan
kardiomegalis merupakan tanda dan gejala penderita diabetes
mellitus.
k) Sistem gastrointestinal
Biasanya terdapat polifagia, polidipsi, mual, muntah, diare,
konstipasi, dehidrasi, perubahan berat badan, peningkatan
lingkat abdomen, dan obesitas.
l) Sistem muskuloskletal
Biasanya terjadi penurunan massa otot,cepat lelah, lemah, nyeri,
dan adanya ganggren di ekstremitas.

m) Sistem neurologis
Biasanya terjadi penurunan sensoris, sakit kepala , latergi,
mengantuk, reflek lambat, dan disorientasi.
6. Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan gula darah puasa atau fasting blood sugar (FBS)
b) Untuk menentukan jumlah glukosa darah pada saat puasa, klien
tidak makan dan boleh minum selama 12 jam sebelum test.
Hasil normal 80- 120 mg/ 100 mlserum dan abnormal 140
mg/100 ml atau lebih.
c) Pemeriksaan gula darah postprandial
d) Untuk menentukan gula darah 2 jam setelah makan, dengan
hasil normal kurang dari 120 mg/100 ml serum dalam abnormal
lebih dari 200 mg/100 dl atau indikasi Diabetes Melitus.
e) Pemeriksaan gula darah sewaktu bisa dilakukan kapan saja, nilai
normalnya adalah 70 – 20 mg/dl.
f) Pemeriksaan toleransi glukosa oral atau oral rolerance test
(TTGO) untuk menentukan toleransi terhadap respons
pemberian glukosa. Pasien tidak boleh makan selama 12 jam
sebelum test dan selama test, pasien boleh minum air putih,
tidak boleh merokok, ngopi atau minum teh selama
g) Pemeriksaan (untuk mengatur respon tubuh terhadap
karbohidrat) sedikit aktivitas, kurangi stress, (keadaan banyak
aktivitas dan stress menstimulasi epinephrine dan kartisol
karena berpengaruh terhadap peningkatan glukoneogenesis).
Hasil normal puncaknya 1 jam pertama setelah pemberian 140
mg/dl dan kembali normal 2 atau 3 jam kemudian dan abnormal
jika peningkatan tidak kembali setelah 2 atau 3 jam, urine positif
glukosa.
h) Pemeriksaan kolesterol dan kadar serum trigliserida, dapat
meningkat karena ketidakadekuatan kontrol glikemik.
i) Pemeriksaan hemoglobin glikat (HbAIc). Tes ini mengukur
presentase glukosa yang melekat pada hemoglobin selama hidup
sel darah merah. HbAIc digunakan untuk mengkaji kontrol
glukosa jangka panjang, sehingga dapat memprediksi resiko
komplikasi. Rentang normalnya adalah 5-6 %.
j) Urinalisa positif terhadap glukosa dalam keton. Pada respon
terhadap defisiensi intraseluler, protein lemak diubah menjadi
glukosa (glukoneogenesis) untuk energi. Selama proses
pengubahan ini, asam lemak bebas dipecah menjadi badan keton
oleh hepar. Ketoasidosis terjadi ditunjukkan oleh ketonuria.
Adanya ketonuria menunjukkan adanya ketoasidosis (Tarwoto,
2012).

C. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017):
1. Resiko ketidakstabilan kadar gula darah berhubungan dengan
Manajemen hiperglikemia
2. Defisit Nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan
makanan.
3. Defisit pengetahuan berhubungan dengan tingkat pengetahuan.
4. Ansietas berhubungan dengan ancaman pada status terkini
5. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
volume cairan aktif.
D. Intervensi Keperawatan

Intervensi Keperawatan pada Pasien Diabetes Melitus Tipe II


No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi
(SLKI) (SIKI)
1 Resiko ketidakstabilan Setelah dilakukan tindakan Manajemen hiperglikemia
b/d kadar glukosa darah keperawatan, tingkat Observasi :
keletihan teratasi dengan 1. Identifikasi kemungkinan
Definisi : kriteria hasil: penyebab hiperglikemia
Resiko terhadap variasi - Mual berkurang 2. Identifikasi situasi yang
kadar glukosa darah dari - Perubahan status menyebabkan kebutuhan
rentang normal mental membaik insulin meningkat
- Peningkatan kadar mis : penyakit kambuhan
Faktor Risiko : glukosa darah 3. Monitor kadar glukosa
a. Kurang terpapar membaik darah, jika perlu
informasi tentang - Kelemahan berkurang 4. Monitor intake dan output
manejemen diabetes - Pusing berkurang cairan
b. Ketidaktepatan
pemantauan glukosa Terapeutik :
darah 1. Berikan asupan cairan
c. Kurang patuh pada oral
rencana manejemen 2. Konsultasi dengan medis
diabetes jika tanda dan gejala
d. Penambahan berat hiperglikemia tetap ada
badan atau buruk

Edukasi :
1. Anjurkan menghindari
olahraga saat kadar
glukosa darah lebih
dari 250 mg/dl
2. Anjurkan monitor
kadar glukosa darah
secara mandiri
3. Anjurkan kepatuhan
terhadap diet dan
olahraga
4. Ajarkan pengelolan
diabetes, Mis :
penggunaan insulin,
obat oral

Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
insulin, jika perlu
2 Defisit Nutrisi b/d Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nutri :
ketidakmampuan keperawatan, status nutrisi Observasi :
menelan makanan. teratasi dengan kriteria 1. Identifikasi status nutrisi
hasil: 2. Identifikasi alergi dan
Definisi : - Porsi makanan yang intoleransi makanan
Asupan nutrisi tidak cukup dihabiskan 3. Identifikasi makanan yang
untuk memenuhi meningkat disukai
kebutuhan metabolisme - Kekuatan otot 4. Identifikasi kebutuhan
menelan meningkat Kalori dan Jenis nutrient
Penyebab : 5. Monitor asupan makan
Ketidakmampuan - Perasaan cepat 6. Monitor berat badan
kenyang menurun
mengabsorbsi nutrien
- Sariawan menurun Terapeutik :
Tanda mayor : - Diare menurun 1. Fasilitasi menentukan
a. Berat badan menurun - Nafsu makan program diet
minimal 10% di membaik 2. Sajikan makanan secara
bawah rentang ideal - Berat badan membaik menarik dan suhu yang
- Membran mukosa sesuai
Gejala minor : membaik 3. Berikan makanan yang
a. Cepat kenyang setelah tinggi kalori dan protein
makan 4. Berikan suplemen
b. Kram / nyeri abdomen makanan, jika perlu
c. Nafsu makan menurun

Tanda minor : Edukasi :


a. Bising usus hiperaktif 1. Ajarkan diet
b. Membran mukosa yang
diprogramkan
pucat
c. Serum albumin turun
Kolaborasi :
d. Rambut rontok
berlebihan 1. Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrien yang dibutuhkan,
jika perlu.

3 Defisit Pengetahuuan Setelah dilakukan tindakan Edukasi Kesehatan


berhubungan dengan keperawatan, diharapkan Observasi :
tingkat pengetahuan tingkat pengetahuan 1. Identifikasi kesipan
meningkat dengan kriteria dan kemampuan
Definisi : hasil: menerima informasi
Ketiadaan atau kurangnya - Perilaku sesuai 2. Identifikasi faktor-faktor
informasi kognitif yang anjuran meningkat yang dapat meningkatkan
berkaitan dengan topik - Kemampuan dan menurunkan
tertentu. menjelaskan motivasi perilaku hidup
pengetahuan tentang bersih dan sehat
suatu topik meningkat
- Perilaku sesuai
Penyebab : dengan pengetahuan Terapeutik :
a. Keteratasan kognitif meningkat 1. Sediakan materi
b. Gangguan fungsi - Pertanyaan tentang dan media
kognitif masalah yang pendidikan
c. Kekeliruan dihadapi menurun kesehatan
mengikuti anjuran - Persepsi yang 2. Berikan kesempatan
d. Kurang terpapar keliru terhadap untuk bertanya
informasi masalah menurun
e. Kurang mampu - Perilaku membaik Edukasi :
mengingat 1. Jelaskan faktor resiko
yang dapat
Tanda Mayor : mempemgaruhi kesehatan
a. Menanyakan masalah 2. Ajarkan perilaku
yang dihadapi hidup bersih dan sehat

Gejala Mayor :
a. Menunjukkan
perilaku tidak sesuai
anjuran
b. Menunjukkan
persepsi yang keliru
terhadap masalah
Gejala Minor :
a. Menjalani
pemeriksaan yang
tidak tepat
b. Menunjukkan
perilaku berlebihan
(mis.
Apatis, bermusuhan)
E. Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan
dalam rencana perawatan. Tindakan keperawatan mencangkup
tindakan mandiri (independen) dan tindakan kolaborasi (Tarwoto
& Wartonah, 2015).

F. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan untuk
dapat menentukan keberhasilan dalam asuhan keperawatan.
Evaluasi pada dasarnya adalah membandingkan status keadaan
kesehatan dengan tujuan atau kriteria hasil yang telah ditetapkan
(Tarwoto & Wartonah, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Diabetes IDF. (2018). IDF (International Diabetes Federation).

Kepatuhan dalam Pengelolaan Diet pada Pasien Rawat Jalan


DIabetes Mellitus Tipe 2 di Kota Semarang. Journal of Health
Education, 2(2), 138–145. Retrieved from
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jhealthedu/ Diakses pada
tanggal 16 november 2018

Huang, I. (2016). Patofisiologi dan Diagnosis Penurunan Kesadaran pada


Penderita Diabetes Melitus. Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas
Pelita Harapan,Tangerang.JournalofHelathEducation.
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jhealthedu. Diakses pada
tanggal 16 november 2018

Joyce M. Black, & Jane Hokanson Hawks (2014). Keperawatan Medikal


Bedah (edisi 8). Singapore : Elsevier Pte Ltd.

Kemenkes, R. (2017). Profile Kesehatan Indonesia Tahun 2017. Ministry


of Health Indonesia. https://doi.org/10.1002/qj

Kemenkes. (2016). PTM Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak


Menular di Indonesia.
Kurniati Amelia, et all. (2013). Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana
Sheehy. Singapore : ELSEVIER

Krisnatuti, D., dan Yenrina, R. 2008. Diabetes Sehat untuk Penderita


Diabetes Melitus. Jakarta: Penerbit Penebar Swadaya.Penyakit Dalam
RSUD dr. Rasidin Kota Padang. (2018). Penyakit Dalam RSUD dr.
Rasidin Kota Padang.
PERKENI. (2011). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 di Indonesia.

PERKENI. (2015). Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di


indonesia 2015.

Price, S.A. & Wilson, L. M (2013) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-


Proses Penyakit. Edisi VI. Jakarta: EGC

Raharjo, Muji. 2018. “Asuhan Keperawatan Ny.N Dengan Diabetes Melitus


Di Ruang Kirana Rumah Sakit TK.III DR. Soetarto Yogyakarta.”
Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Yogyakarta.
Rahayu, W. (2015). Mengenal & Mencegah Penyakit Diabetes, Hipertensi,
Jantung dan Stroke untuk Hidup Lebih Berkualitas. yogyakarta:
Media Ilmu.Sari, I. P. (2018). Gambaran tingkat stres pasien diabetes
mellitus, 2(1). https:// scholar.google.co.id diakses pada tanggal 16
november 2018

Rudianto, A. D. (2015). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes


Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015. Pengurus Besar Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia (PB PERKENI).

Sari, K. (2013). Standar Asuhan Keperawatan. Jakarta: Trans Info Media.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. (2013). Textbook of medical-surgical nursing.


Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. (2017). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : buku


kedokteran EGC

Tarwoto. (2012). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Trans Info Media.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2019. Standar Diagnosis Keperawatan


Indonesia: Defenisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta:
DPP PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2019. Standar Intervensi Keperawatan


Indonesia: Defenisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta:
DPP PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan


Indonesia: Defenisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1.
Jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai