Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

MENENTUKAN JENIS PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP


PENANGGULANGAN KEJAHATAN LUAR BIASA BERUPA KORUPSI,
TERORISME DAN NARKOTIKA

Disusun Oleh :

Nama : Anggita Aurelia Vindy

NPM : 20110111054

Kelas : A3

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS WIJAYAKUSUMA PURWOKERTO

TAHUN 2023
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Kejahatan penyalahgunaan narkotika erat kaitannya dengan korupsi dan terorisme.


Dalam kasus transaksi narkoba, ditengarai ada penyuapan kepada oknum petugas di dalamnya.
Transaksi narkoba juga ditengarai menjadi modal gerakan terorisme. Sinergitas dari semua
pihak sangat dibutuhkan untuk menekan dampak buruk penyalahgunaan narkoba.

Melihat hubungan erat ini, Ketua KPK Firli Bahuri mengungkapkan, dalam
penyelidikan sejumlah kasus, KPK dan BNN selalu bertukar informasi. Misalnya, dalam
mengungkap adanya tindakan potensi pencucian uang dengan memperkuat alat bukti
penelusuran aset. Kejahatan luar biasa memiliki kaitan yang erat.

Tidak hanya itu, potensi korupsi juga terjadi saat adanya pengaturan pasar narkoba di
dalam lapas. Dalam beberapa kasus ditemukan pengedar narkoba bisa leluasa mengatur
transaksi narkoba dari dalam lembaga pemasyarakatan. Tentu ada oknum yang bermain mulai
dari oknum sipir dan kepala lapas. Bukan tidak mungkin hasil korupsi yang merugikan negara
juga digunakan untuk membeli narkoba. Di sinilah KPK berusaha untuk mengungkap
kemungkinan adanya suap tidak hanya di lapas, tetapi juga di lembaga atau instansi lain.
Karena itu, sebelum KPK turut serta untuk memberantas kejahatan narkoba, saya harus
memastikan semua pegawai KPK tidak ada yang terlibat atau menjadi pengguna narkoba.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang akan dibahas
pada makalah ini yaitu “Bagaimana Pertanggungjawbaan pidana yang tepat terhadap
penanggulangan kejahatan luar biasa berupa korupsi, terorisme dan narkotika ?”.

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari peelitian ini yaitu untuk
mengetahui Bagaimana Pertanggungjawbaan pidana yang tepat terhadap penanggulangan
kejahatan luar biasa berupa korupsi, terorisme dan narkotika.
BAB 2
PEMBAHASAN
Hakikat hukum pidana ialah suatu kerugian berupa penderitaan yang sengaja diberikan
oleh Negara terhadap seseorang yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap hukum. Dan
dapat disebut suatu pendidikan mental dan moral terhadap pelaku yang telah terbukti
melakukan pelanggaran terhadap hukum disebut dengan pemidanaan.

Tujuan hukum pidana ialah untuk melindungi kepentingan anatar individu atau HAM
dan juga masyarakat luas. Tujuan hukum pidana di Negara Indonesia harus sesuai dengan
falsafah Pancasila yang mampu membawa kepentingan yang seadil-adilnya bagi seluruh warga
Negara Indonesia. Pada hakikat terdapat 3 pokok pemikiran tentang tujuan dan maksud yang
ingin dicapai dengan adanya suatu pemidanaan, yaitu :

1. Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-kejahatan


2. Untuk membuat penjahat tertentu menjadi tidak mampu melakukan kejahatan yang lain,
yakni penjahat yang dengan cara cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi
3. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri.
Dilihat aspek kegunaan atau manfaat, pidana mati akan mengakibatkan efek jera bagi
pelaku yang telah dan berniat melakukan kejahatan, dan juga bisa memelihara wibawa
pemerintah serta para penegak hukum. Maka hukuman yang cocok bagi pelakunya adalah
pidana mati. Berkaitan dengan HAM, bahwa dalam hak asasi juga terkandung kewajiban asasi.
Dimana ada hak disitu ada kewajiban, adalah hak melaksanakan kewajiban dan kewajiban
melaksanakan hak. Hak seseorang terbatas oleh kewajiban menghargai dan menghormati hak
orang lain. Apabila ada seseorang dengan sengaja telah menghilangkan hak hidup/nyawa orang
lain, maka hak hidup/nyawa pelaku bukan sesuatu atau hal yang perlu dipertanyakan dan
dibela.
Oleh sebab alasan dan argument diatas itu, hukuman/pidana mati masih sangat
diperlukan untuk mengancam dan menakut-nakuti para pelaku kejahatan luar biasa.
Kebutuhan akan masih adanya pidana/hukuman mati secara normatif, terasa masih sangat
diperlukan lagi didalam situasi ketika belakangan ini penjatuhan pidana penjara tidak bisa
secara efektif mampu menekan angka kejahatan. Kadangkala penjara tak lebih sama dianggap
sebagai sekolah tinggi kejahatan. Tidak juga sepenuhnya dapat dijadikan alasan perspektif hak
asasi manusia agar dijadikan sebagai alasan mengeliminir pidana/hukuman mati
. Kejahatan Narkotika, Korupsi dan Terorisme merupakan extraordinari crime yang
berdampak penghancuran sebuah bangsa. Kejahatan ini bersifat sistematis dan memiliki
jaringan yang kuat sehingga mampu mempengaruhi siapa saja untuk terlibat didalamnya. Oleh
karenanya perlu penguatan agar masyarakat tidak mudah terpengaruh dengan tiga kejahatan
tersebut di atas.

Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT Mayor Jenderal


Nisan Setiadi mengatakan, narkoba dan terorisme sangat berkaitan. Beberapa terpidana
terorisme adalah bekas pengedar narkoba. Bahkan, narkoba dijadikan salah satu cara untuk
menggalang dana guna membiayai aksi terorisme.

Penjatuhan pidana oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana korupsi, terorisme dan
narkotika sebagai bentuk pertanggungjawaban dapat menerapkan ajaran monistis maupun
dualistis. Ajaran monistis memandang “onrechtmachtigheid atau wederrechtelijkheid atau sifat
melawan hukumnya perbuatan dan schuld atau kesalahan sebagai unsur-unsur tindak pidana
atau straft baar feit. Pandangan dualistis memisahkan antara tindak pidana atau strafbare
handlung dengan kesalahan atau schuld si pembuat.

Putusan hakim di Indonesia pada umumnya masih menerapkan ajaran monistis/feit


materiel, telah ternyata tidak mampu menjawab masalah korupsi. Perkembangan praktek
peradilan di Negeri Belanda, menunjukkan adanya pergeseran dari ajaran klasik feit
materil/monistis kepada ajaran modern dualistis, dimulai sejak tahun 1916 atau hampir satu
abad atau 100 tahun sudah berjalan.

Permasalahan yang muncul adalah bahwa hakim di Indonesia pada umumnya masih
menerapkan ajaran monistis dan belum mengenal ajaran dualistis, sehingga pemidanaan hanya
dihubungkan dengan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan karena konsep ajaran
monistis memandang kesalahan pelaku sebagai keadaan psikologi pelaku, sehingga kesalahan
hanya tertuju pada terbuktinya tindak pidana dalam rumusan delik, hal itu berlainan dengan
pandangan yang dualistis, yang memandang kesalahan ditujkan kepada actus reus dan mens
rea, sehingga pemidanaan dihubungkan dengan kesalahan psikologis yang dibuktikan dengan
adaya actus reus dan kesalahan normatif yang dibuktikan dengan adanya mens rea.

Peraturan Pemerintah yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 November 2012, dan
ditempatkan dalam Lembaran Negara Tahun 2012 Nomor 225 itu, lahir berdasarkan
pertimbangan bahwa tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika,
korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta
kejahatan transnasional terorganisasi lainnya merupakan kejahatan luar biasa, oleh karena itu
perlu memperbaiki syarat dan tata cara pemberian Remisi, Asimilasi, dan Pembebasan
Bersyarat terhadap Narapidana yang sedang menjalani hukuman karena melakukan tindak
pidana tersebut.

Oleh karena itu dipertimbangkan bahwa ketentuan mengenai syarat dan tata cara
pemberian Remisi, Asimilasi, dan Pembebasan Bersyarat yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga
Binaan Pemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang
Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, dipandang belum
mencerminkan seutuhnya kepentingan keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan yang
dirasakan oleh masyarakat dewasa ini, sehingga perlu diubah.

Ketentuan yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, pada
pokoknya membatasi dan atau mengawasi pemberian remisi dan pembebasan bersyarat kepada
narapidana korupsi, sedemikian sehingga hanya pelaku korupsi yang bekerja sama dengan
penegak hukum (justice collaborator) atau pemberi informasi atau peniup terompet (whistle
blower) saja, yang akan diberikan remisi. Sementara pelaku korupsi lainnya, tidak diberikan
remisi, karena pemberian fasilitas remisi tersebut, dianggap telah melukai rasa keadilan
masyarakat Dengan Kebijakan tersebut, diharapkan akan timbul efek penjeraan bagi para
pelaku korupsi, sehingga baik langsung atau secara tidak langsung, akan menekan angka tindak
pidana korupsi yang saat ini sudah semakin merajalela, dengan dampak yang sangat
mengkuatirkan.

Kebijakan pengetatan remisi maupun pembebasan bersyarat sebenarnya bukan


merupakan hal baru. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 pun sudah dilakukan
pengetatan, yaitu ada syarat dan tata cara yang berbeda dan lebih berat untuk narapidana
korupsi, terorisme, narkoba, dan organized crime lainnya dalam hal mendapatkan remisi dan
pembebasan bersyarat.

Dengan demikian, kebijakan tersebut merupakan lanjutan dari pengetatan pemberian


remisi dan pembebasan bersyarat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006
Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (selanjutnya disebut Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006).
Terkait dengan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat, Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 2006 pada pokoknya mengatur bahwa demi memenuhi rasa keadilan
masyarakat, maka pemberian remisi terhadap narapidana korupsi, terorisme, dan narkotika,
kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan
kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, dibedakan dengan narapidana umum.
Narapidana umum mendapatkan remisi setelah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam)
bulan), sementara narapidana korupsi, terorisme, narkotika dan psikotropika, kejahatan
terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan
transnasional terorganisasi lainnya, baru mendapatkan remisi setelah menjalani 1/3 (satu
pertiga) dari masa pidana.
BAB III
KESIMPULAN
Kejahatan penyalahgunaan narkotika erat kaitannya dengan korupsi dan terorisme.
Dalam kasus transaksi narkoba, ditengarai ada penyuapan kepada oknum petugas di dalamnya.
Transaksi narkoba juga ditengarai menjadi modal gerakan terorisme. hukuman/pidana mati
masih sangat diperlukan untuk mengancam dan menakut-nakuti para pelaku kejahatan luar
biasa.
Demi memenuhi rasa keadilan masyarakat, maka pemberian remisi terhadap
narapidana korupsi, terorisme, dan narkotika, kejahatan terhadap keamanan negara dan
kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya,
dibedakan dengan narapidana umum.
DAFTAR PUSTAKA

Ali Boediarto, Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung Tentang Hukum Pidana,
Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta, 2000.
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung. 2000
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan
Buku Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga
Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, 2007.
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.

Anda mungkin juga menyukai